Senin, 22 Desember 2014

Janji Seorang Pengkhayal

#Percayalah



Bandung, pertengahan Desember 2014.
Sepanjang hari kota ini seperti tak pernah berhenti mendapatkan berkah dari langit, jutaan galon air tumpah. Beberapa daerah bahkan terendam, atau bahkan tanah mereka berpijak tak lagi kuat menahan dorongan air yang mengalir, menimbun semuanya. Lenyap, satu dua saudara menghilang, bahkan puluhan nyawa melayang, hanya ada isak tangis dan ratapan, terdengar pilu di sela-sela malam tanpa bintang dan cahaya rembulan.

Sebagian orang menangis pilu, sebagian merapal butiran kata menjadi doa, dikirimkan kepada Sang Pencipta, sebagian kecil termenung, meresapi suasana ini, sisanya terlelap, menarik selimut nyaman. Mimpi indah.

Sudah ku katakan, aku akan selalu suka jika hujan turun. Bukan hanya karena romantismenya yang membuat mabuk kepayang, bukan hanya gemuruhnya terdengar bagai melodi, bukan juga karena ia memberikan rasa nyaman dengan hawa dingin, bukan hanya itu. Hujan selalu memiliki arti penting, sebuah siklus yang akan selalu berputar, ini tentang makna yang ingin ku sampaikan, kepada diri sendiri dan jika bisa dimengerti, untuknya juga.

Ini semakin rumit bukan? Ya, ini semakin pelik. Satu persatu akan mulai terbuka, ini akan menjadi sebuah kontradiksi, pertentangan yang akan selalu bertentangan, tak akan pernah bersatu. Tapi, coba perhatikan. Magnet akan selalu memiliki dua sisi kutub yang berbeda, bahkan jika kemudian sebatang magnet itu dibelah, maka masih akan ada dua bagian yang berbeda, dan seperti itu seterusnya, hingga bagian terkecil. Intinya, sisi yang berlawanan dan bertentangan itu akan selalu ada, itu hukum pasti, tak bisa dielakkan.

Kita, dua bagian dari satu cerita yang berbeda. Aku, si pembuat cerita, dan kau adalah lakonnya, secara harfiah, tentu aku bisa membelokkan semuanya, dengan keinginannku, dan kau, kau tak perlu protes seharusnya. Aku si pencipta, aku berkuasa atas alur yang dibuat, tapi lagi-lagi, itu akan selalu berbenturan bukan? Ini akan semakin rumit, aku, kamu dan mereka tidak akan mudah menerima ini tentunya.

Hampir tengah malam.

Hujan yang turun semakin deras, hawa dingin dari gunung di belakangku berhembus kencang, menerpa semua yang ada.
….

“Tahun depan, dia melamarku,” tiba-tiba dia berkata, lirih.

Aku menoleh menatapnya, mencoba tersenyum. Ini kabar bahagia. Lamat-lamat ku tatap wajahnya, sesaat ku lihat kedua matanya, yang selalu ku suka jika dia mengenakan kaca mata.

“Kapan tepatnya?” tanyaku, dengan intonasi perlahan. Mencoba menyamarkan getaran suara yang terdengar getir.

“Belum pasti. Kamu datang kan nanti ke acara pernikahannya?” ia bertanya. Tersenyum ke arahku.
Aku tersenyum, getir.

“Insya Allah. Aku pasti datang”

Sejenak terdiam. Beberapa saat aku masih mengendalikan diri, mencoba berdamai dengan hati. Sudah ku katakan, hari ini pasti akan terjadi. Jelas sekali, kebiasaanku menerka kejadian di masa yang akan datang selalu terjadi, percis. Ini seperti perkiraanku beberapa waktu lalu, satu tahun ke belakang. Ini pasti akan terjadi.

Aku tersenyum menatap wajahnya, bisa jadi ini yang terakhir kalinya aku menatap mata indah itu. Lamat-lamat ku perhatikan, ingin ku lukis di ingatan tatapan mata itu, bibir itu, hidung, alis. Aku akan menggambarnya untuk yang terakhir kalinya.

Waktu itu suasana cerah, ada beberapa bintang yang menemani rembulan yang duduk di singgasananya, setengah lingkaran. Masih beberapa hari lagi purnama terlukis di langit, dan aku sekarang akan melukis purnama itu, untuk yang terakhir kalinya, sebelum dihapus oleh mentari pagi keesokan harinya.

“Kenapa kamu tak pernah membeciku? Padalah tak terhitung ku lukai hatimu?” ia bertanya, sedikit bergetar.

Aku hanya tersenyum menatapnya, lalu mengalihkan pandanganku ke seberang jalan.

Bandung malam itu begitu syahdu. Musik mengalun perlahan di dalam café ini, iramanya senada, membuat betah siapa saja. Secangkir kopi dan beberapa kudapan bisa menambah suasana menjadi romantis. Ku lihat di sebelahku, sepasang muda mudi tampak asyik bercengkrama, usianya tak jauh berbeda denganku. Mungkin mahasiswa.

“Engga, aku ga akan pernah bisa membencimu. Kau beritahu kau satu hal, pahami ini. Kau memberiku banyak pelajaran. Makna dari rasa sakit itu adalah berkah, itu adalah kenyataan. Darimu, aku belajar banyak hal. Kau menjadi guruku. Jadi tak wajar seorang murid membenci gurunya,” jelasku.

Dia diam. Meminum Chocolate Beverages yang masih setengah.

“Seharusnya kamu benci aku, aku pantas mendapatkannya,”

Aku menggeleng, ku acak-acak kepalanya, dia tidak pernah suka dengan itu. Dia melukiskan wajah protes. Aku berhenti, sembari tertawa.

“Ayolah, bersikaplah bijak. Untuk apa kamu selalu memikirkan hal itu? Itu sudah lama sekali.  Sekarang, kamu akan menjalani fase baru, itu adalah sesuatu yang berbeda.” aku menatapnya.

“Begini, kamu hanya boleh melakukan itu kepadaku. Cukup satu kali kau lakukan itu. Jaga baik-baik hatimu, jaga baik-baik perasaan itu. Karena sekali saja kamu kehilangan rasa itu. Bisa jadi kamu akan susah mendapatkannya lagi, ini akan menjadi rumit jika kita buat rumit, tapi ini akan menjadi mudah jika kita menyederhanakannya. Sederhananya, gunakan perasaan itu di waktu yang tepat, jangan pernah memicunya terlalu banyak, jangan juga dibiarkan padam. Ingat itu.”

Masih ku lihat wajahnya, masih ku coba menggurat bagian terakhir yang akan selalu ku ingat. Mata itu, mata itu selalu sulit untuk digambarkan. Lalu otakku mulai merekam suaranya, perlahan-lahan, hati-hati sekali, sepertinya tak ingin terlewatkan setiap nada yang keluar darinya.

Dia mengangguk. Aku tersenyum.

“Sudah malam, mungkin kita pulang. Mungkin jika ini adalah dua tahun lalu, kita bisa menghabiskan malam dengan duduk-duduk di depan gedung Sate, menikmati suasana di gedung Merdeka, atau berkendara di jalanan Braga.” aku tersenyum menatapnya.

Tanpa berkata dia beranjak, membereskan beberapa berkas yang berserakan di meja. Aku juga sama, menutup jurnalku, setelah memastikan ada beberapa suasana yang bisa ku terjemahkan dengan beberapa kata, mungkin bisa ku gunakan untuk menulis nanti.

Ia tampak anggun dengan setelan blazer itu. Serasi dengan tas dan sepatunya. Dia memang berbeda secara penampilan. Sementara aku, masih seperti dulu. Secara penampilan tak ada yang berubah, pekerjaanku jelas tak memerlukan setelan perlente, selagi masih bisa memproduksi kata, itu jauh lebih baik.

Suasana Bandung yang romantis, lukisan terakhir wajahnya selesai di waktu yang tepat.


Sungguh, aku tak pernah berani mengingkari janji itu. Janji yang kau tulis beberapa waktu lalu. Tapi, seperti yang ku katakan tadi. Firasatku selalu berkata jujur, sejauh ini itu terlihat luar biasa. Ku katakan dalam satu episode, bahwa di sana kita akan saling menjauh, menjaga jarak, karena masalah ini. Aku terlalu khawatir tentang itu, maka ku putuskan untuk memberitahukanmu tentang firasat yang kau tanyakan tadi siang.

Sengaja ku putar alurnya, agar tak terburu-buru. Aku berhasil membuat cerita hari ini berputar, berpindah-pindah, hingga kau lupa tentang apa yang kau tanyakan, dari pertanyaan sederhana yang kemudian mengarah kepada itu. Kau mungkin lupa, aku seorang pengarang cerita.

Ku katakan kepadamu, sahabatku. Hujan ini, akan selalu mengingatkanku dan mengingatkanmu tentang kita. Kau lebih dari bayangan, kau jelas terlihat meski tak akan ku sentuh, kau jelas menghidupkan hati, meski jelas aku tak menggunakannya lagi, perlahan, sadar atau tidak, suka atau tidak, kau ajari aku untuk kembali menggunakan rasa.

Hujan masih menggantung di luar sana. Malam semakin pekat. Mungkin kau sudah terlelap. Dari guratan halilintar di cakrawala, aku akan melukiskan itu dengan seksama. Janjiku, aku akan selalu membunuh rasa itu, tak akan ku biarkan tumbuh, kawan. Percayalah, aku akan menjaga itu, sama seperti yang kau inginkan. Pegang janji seorang pengkhayal. Setidaknya, aku akan menghilang dari hadapanmu, jika memang itu benar-benar tumbuh. Cerita kita terlalu indah, tak akan ku biarkan dinodai oleh dusta bernama cinta itu, percayalah, janji kita lebih sakral dari janji sepasang kekasih.


Kita, dua orang bodoh yang sama-sama tak memahami arti sebuah rasa. Kita akan selamanya menjadi dua orang tolol yang tidak akan pernah mengerti. Tapi, percayalah. Sebodoh-bodohnya kita, kita tidak akan pernah saling berkhianat.
Read More




Ornamen Hujan Tengah Malam

#Kontradiksi




Braga, setelah petang datang.

Sedikit kaku, aku hanya melemparkan senyum kecut ke arahnya, ku buat semanis mungkin. Aku berusaha maksimal. Jika saja bisa ku serap energi bumi, mungkin sudah ku serap semua energi bumi ini, hanya untuk melukiskan senyum terbaik di wajahku yang terlanjur berantakan. Huft, aku hanya bisa menghela napas di dalam hati.

“Kamu aja yang makan, aku ga laper!” tidak ketus memang, tapi tegas pernyataannya.

“Kenapa?” tanyaku singkat. Menelan ludah yang sepertinya tercekat di tenggorokan.

“Aku udah ga laper.” jawabannya masih dingin. Ia berada di atas angin, mengendalikan semuanya. Mengintimidasi dengan cara yang menakutkan.

Ia terlihat kecewa, aku pun sama. Tapi aku sekuat tenaga untuk mencari solusi, sepersekian detik, mencoba untuk menetralisirnya. Menguasai kedaan. Berhasil, ku belokkan arah pembicaraan, negosiasi. Setidaknya aku telah belajar untuk menjadi seorang negosiator di beberapa kesempatan. Ini tak jauh berbeda.

“Sama, aku juga tiba-tiba kenyang. Serius,” jelasku, masih mencoba menggurat senyum.

Dia diam, aku juga.

“Kita makan es krim. Mau?” kataku mencoba bernegosiasi.

Sesaat dia berfikir. Aku diam, harap-harap cemas. Tak ada jawabnya. Tapi anggukannya cukup sudah untuk menjelaskan semua pertanyaan yang tadinya samar, menjadi terang benderang. Sama seperti jalanan Braga malam itu, yang semakin terang dengan sorot lampu kedai, café dan sorot lampu kendaraan yang berlalu lalang.

Hujan lagi, hanya ada hawa dingin di luar sana. Hanya ada sepi memeluk malam yang kian pekat. Aku masih berada di sini, mencoba menggoreskan ratusan kata yang kemudian menjadi beberapa kalimat dan paragraf. Aquarium di sebelahku tak tampak lagi cerianya, hanya ada seperempat air yang tersisa, berwarna sedikit merah. Bukan, cokelat. Dulu silinder itu tampak hidup, dengan berbagai warna dari beberapa ikan kecil dan hijaunya tanaman. Lampu yang menyerap air tampak seperti siraman mentari pagi, menyejukkan mata ketika memandangnya, tapi faktanya, kini semua itu tak lebih dari sebuah silinder tak bernyawa, mati.

Senandung itu masih terdengar pelan, ribuan mantra terbang ke angkasa, menembus cakrawala, menyibak angkasa, menembus berlapis-lapis langit, dan jika mantra itu kuat, maka ia akan sampai di singgasana-Nya, dan kemudian berharap Tuhan akan menjawab itu dengan rahmat-Nya. Dengan sentuhan yang jelas bisa dirasakan, meski dengan guratan rasa sakit, tapi rasa sakit itu hanya akan terasa jika kita terlalu bodoh, tolol dan bebal. Karena, jelas Tuhan tak akan menyakiti hambanya.

Di kaki gunung Manglayang.

Suasana ini benar-benar indah. Pukul 11.24 WIB, hanya terdengar suara tetasan hujan, bertalu-talu menghantam atap rumah ini, bersenandung dengan irama detak jantung, bersinergi dengan tatapan mata, mejalar pelan, menembus qalbu, membawa kedamaian yang mungkin masih bisa dirasakan. Aku terpaku, terkesima dengan rintihan malam yang panjang. Bukan, itu bukan rintihan malam -meski malu ku katakan- hatiku yang merintih pilu malam ini.

Ini adalah bagian terindah dari sisa hari ini, hanya beberapa menit lagi hari akan berganti, ini bagian terpenting dari sebuah proses. Ini akan menjadi makna yang tak terhingga, ketika bisa ku terima rahmat yang diberikan-Nya.

Jendela itu ku buka, membiarkan angin masuk perlahan. Membelai ruangan ini, mengusap tubuhku yang sepertinya tampak mulai lelah, aku tergugu, masih menari jemariku, menuliskan kata-kata ini. Ini adalah keinginan dan harapan seseorang, penyuka hujan, pengagum mentari pagi dan kabut dingin, penikmat senja, perindu orion, dan seseorang yang lebih suka menyendiri dalam malam.

Selarik kilat tergores di angkasa, membuat terang semuanya. Hanya sesaat, sebelum gelegar halilintar membahana di atas sana. Sejenak mataku yang merekam kejadian itu terkesima, aku bisa suka itu. Tapi, lalu otakku berkata lain, ia mengajak jemariku kembali menuliskan beberapa kata lagi.
….

Beberapa waktu lalu, aku masih merindukan gelak tawa dan rengekan manja itu. Sekarang, tidak. Aku bisa kembali meniti hari. Menjelaskan satu persatu jawaban dari pertanyaan masa lalu, mencoba meluruskan nurani dan naluriku. Mencoba berinteraksi dengan sesuatu yang baru. Hanya satu sesuatu yang coba ku yakini, sungguh kenyataan itu akan selalu berbicara benar. Semua yang diberikan kepadaku, itulah yang terbaik, aku selalu percaya Tuhan maha bijaksana.
….

Masih di Braga.

Dua es krim itu menyatukan keadaan, menetralisir semuanya. Satu dua obrolan ringan mulai muncul. Sesaat ku lihat tatapan matanya, ada rona kecewa di sana. Tapi itu tak terjadi begitu lama, es krim itu meluluhkan hatinya, sejenak. Aku mencoba mencairkan kedaan dengan rentetan pertanyaan, pekerjaannya, pekerjaanku, masalah kantornya, masalah kantorku, masalahku dengan ‘dia’, dan masalahnya dengan ‘dia-nya’.

Hanya beberapa saat memang, tapi sungguh itu berharga.
….

Kaki gunung Manglayang, hari baru pukul 00.08 WIB.

Ku beritahu kau tentang satu hal, dia buat beberapa peraturan yang tanpa persetujuanku langsung disepakati olehnya, egois. Peraturan yang sebenarnya konyol, dan sepertinya dia serius dengan itu, meski jelas aku tak terlalu peduli dengan perjanjian itu, tapi aku selalu mengingatnya, detail. Aturannya, aku tidak boleh kangen dia, terlebih jika suka, aku tak boleh terlalu sering gombalin, apa lagi panggil dia dengan sebutan yang paling dia suka (yang ini jelas tak akan ku tuliskan), dan masih ada beberapa aturan lainnya.


Aku hanya bisa tersenyum, meski jelas, aku akan berusaha untuk mengikuti aturan main itu. Ku beri tahu kau akan satu hal, bahkan aku tak berani melukainya, bahkan dengan cara terhalus dan terindah sekalipun. Ada banyak alasan kenapa dia bisa menjadi salah satu tokoh karakter yang selalu ku tulis, ini bukan cerita tentang cinta sepasang kekasih, ini cerita tentang harapan dan impian, ini kisah tentang sesuatu yang terbuang, ini tentang puzzle dari kepingan yang tersingkirkan, ini adalah rangkaian nada dalam sebuah irama.
Read More




Minggu, 21 Desember 2014

Ornamen Kabut dan Hawa Dingin

#Karakter Itu Nyata




Pagi menyapa, kembali seperti beberapa hari yang lalu. Hawa dingin berkali lipat membungkus hari yang belum tampak mentari di batas cakrawala. Aku masih menatap layar 14 inci ini, masih mengkhayal seperti biasa, sepagi ini aku kembali menyapa sesuatu yang entah berwujud seperti apa, menanti mentari yang hangat menyapa, mungkin membutuhkan beberapa waktu lagi, mungkin aku akan kembali melewatkan momen paling romantis ketika gelap mulai hilang.

Aku hanya ingin mengingat semuanya, merekam di dalam memori yang tersisa di otak, kembali memutarnya jika mulai samar, kembali memutarnya jika gundah menyapa. Aku mulai bisa merasakan kenangan yang menyakitkan beberapa waktu silam, berubah menjadi kenangan terindah, tak ada setitik penyesalan di sana, meski ku akui ada sedikit gundah tergambar di relung terdalam sanubari ini.

….
Beberapa hari lalu, penat menguasai hati. beberapa hari ini yang ada hanya rasa lelah, entah muncul dari mana.  Aku akan kembali menceritakan hari-hari itu, hari-hari yang terus berlalu, tak pernah berhenti, begitu juga dengan kisah yang terus berganti, bergulir seperti bola salju, semakin membesar dan terus membesar.

Ada semburat senja yang mulai luntur keindahannya, ada juga tentang rintik hujan yang hanya menyisakan hawa dingin tanpa ketenangan di dalamnya. Atau sekarang aku lebih suka menatap kabut tipis di saat pagi menyapa, meski jelas terkadang aku merindukan saat-saat semburat warna jingga itu terlukis di langit ketika petang menjelang, atau sedikitnya aku masih bisa merasakan tenangnya hati ketika hujan turun, lagi.

Dia, menjadi bagian dari karakter yang ku ciptakan. Dan tak ada yang lebih membahagiakan jika karakter itu benar-benar hidup. Karakter dari setiap tokoh yang digambarkan itu benar-benar menyapa, tak pernah samar meski gelap mulai menyapa, tak pernah senyap meski sepi menemani, selalu hangat meski hujan memeluk bumi, selalu sejuk bahkan ketika garang mentari duduk di kepala, dan akan semakin syahdu ketika pagi berselimut kabut tipis, seperti beberapa hari ini.

Sejenak, terbesit untuk menyelesaikan tulisan itu, tapi entah kenapa. Tanpa daya aku hanya bisa menyerah begitu saja, membiarkan tumpukan kertas itu semakin menggunung, tanpa ada penyelesaian di dalamnya, tanpa ada kejelasan kisah itu. Entahlah, tapi inginku, cerita itu akan menjadi kado terindah di hari yang indah, untuknya.

Ketika ku pacu kendaraan tua ini, meliuk-liuk di padatnya kota kembang, seperti biasa. Dia terlalu tua jika harus dipacu sedemikian rupa, jelas sekali penyebabnya, hampir setahun lalu kuda besi Eropa ini mendapatkan sentuhan tangan mekanik. Ah, aku hanya bisa berharap, dia tak lantas pergi meninggalkanku, ketika ia berkata “Aku mulai bete”.

Jalanan Braga, pukul 18.45 WIB. Ramai tentu saja, kehidupan malam mulai menggeliat di sana. Lantas, mimpi buruk itu seperti menjadi nyata ketika pesan baru ku terima, handphone bergetar, satu pesan baru di terima. Ku lihat di layarnya, sesaat kemudian ku buka. Ada pesan di sana, enggan membaca, tapi jelas awalnya akan berbunyi apa. “Aku pulang!”

Tatapanku kosong, terdiam di bahu jalanan yang semakin ramai. Aku terdiam bagai tak bergerak, menatap layar itu, membaca pesan itu berulang-ulang, lagi, lagi dan lagi. Aku hanya bisa membalas: “Maaf, hati-hati di jalan.” sesalku.

Masih terdiam di sana, masih meratapi kebodohanku waktu itu, yang membiarkan semuanya berlalu, dan aku, di bawah rintik hujan yang mulai turun dari angkasa yang pekat, hanya diam. Beberapa menit berlalu, ku putuskan untuk mengelilingi seputaran pusat kota, naas, besi tua ini kehabisan bahan bakar. Ada pesan baru masuk: “Kamu di mana sekarang?” bunyi pesan itu, bergegas ku jawab. “Masih di Asia Afrika (Gedung Merdeka)” jawabku singkat, dan kemudian ku lanjutkan. “Maaf, sekali lagi maaf.” tak ada balasan, hanya sepi.

Ini untuk ketiga kalinya ku lalui jalanan Braga yang terus bertambah meriah, aku kembali terdiam. Ada pesan masuk.

“Di mana?”

“Masih di Braga, nanti kasih tau kalau udah sampe,” jawabku kembali. Masih bernada penyesalan dan permintaan maaf di sana.

“Ya udah, tunggu. Aku ke sana.” tegas jawabnya.

“Jangan, kamu jangan ke sini lagi,” aku tak bisa mencegahnya, aku kembali termenung di bahu jalan.

Hanya beberapa saat kemudian, dia tampak di belakang. Dengan wajah yang sungguh, aku tak berani menatapnya, aku terdiam sesaat. Jelas moodnya berantakan, sama juga sepertiku, hancur. Hawa dingin kembali menyeret udara, menerbangkan debu-debu di sekitar kami, pepohonan yang baru di tanam bergoyang, mengikuti irama angin yang berhmbus bercabang.

Hanya beberapa saat setelah rencana pertama gagal, ku putuskan untuk menggantinya dengan rencana berikutnya. Untungnya, aku terbiasa dengan second plan, kembali meraut suasana, mencoba melukis keadaan, mengubah warna pekat dengan terang benderang, orange, jingga. Dan hanya beberapa saat kemudian, semuanya telah kembali seperti sedia kala, seperti semula. Meski nanti ada hal yang membuatku tertawa dan tampak bodoh, menjadi sangat bodoh dan tolol, dan aku baru tahu beberapa hari kemudian. Kesegaran es krim dan suasana Braga mencairkan keadaan malam itu..


Masih belum tampak matahari di sini, masih dingin membungkus hari, ku putuskan untuk mengakhiri cerita ini, masih belum selesai..
Read More




Rabu, 19 November 2014

Senandung Si Penggenggam Hujan

#Pahami Ini


Lekaslah pergi ketika tak kau dapati apa yang di cari, beranjak menjauh, atau mengasingkan diri. Yang terakhir adalah langkah yang paling bijak, jika memang semua cara telah menemukan titik jenuh, tak ada lagi yang bisa dilakukan, tak ada lagi yang bisa ditemukan kecuali dengan perjalanan.

Tak perlu alasan bukan, bahkan ketika kau mencitai seseorang, terkadang kau tak perlu alasan, karena jika memang semuanya harus beralasan, bisa jadi nanti kita akan membencinya karena alasan-alasan itu. Aku mecintaimu tanpa alasan, tanpa ada materi yang ku beri, maka aku akan pergi menjauh tanpa alasan, tanpa apa pun, tak perlu di sesalkan, karena perjalan akan membawaku, membawa kita, terutama kisah yang entah apakah akan kau kenang, karena terkadang memang ‘melupakan’ adalah bagian terbaik jika kau tak bisa ‘rela’.
November yang basah, tak ada kegaduhan selain rinai hujan yang menghujam keras di atap-atap rumah, kantor, gedung-gedung tinggi, pertokoan, pusat perbelanjaan, jalan raya, gang sempit atau apa pun. Gaduh. Selepas gelap melepas kepergian siang, mentari hanya menyapa ragu, seperti hati ini yang tak kunjung yakin.

Aku, sama seperti para wanita itu, memiliki harapan yang sama, memiliki keinginan yang tak jauh berbeda. Terlebih jika itu berkata tentang urusan cinta, naif jika ku menampik bahwa kehadiran seorang lelaki itu tidak penting, realitanya, aku bahkan merindukan ada seseorang yang menyapa di kala fajar menyapa, atau ketika malam semakin matang. Ahh, aku bahkan merindukan canda dan tawa bersama, menikmati secangkir es krim bersama, duduk di meja yang sama, atau mungkin kita berdiskusi mengenai buku yang dibaca, sederhana bukan? Ya, ku pikir semuanya sesederhana itu.

Tapi, sepertinya memang tidak sesederhana itu. Heran, tentu saja. Aku bahkan sulit untuk menjelaskan bagaimana menerjemahkan rasa cinta ke dalam kata-kata, lantas, aku selama ini menjadi bagian dari si penyambung hati, selalu dan selalu. Aku bisa begitu lugas, menjelaskan perkara yang menyangkut rasa. Semua ini hanya seperti parodi bagiku.

Ada yang selalu mengeluh tentang semuanya, bahkan ada yang berujar bahwa hidup ini tak adil? Aku ingin tahu, ini tak adil untuk siapa? Bodoh, jika aku bisa mengumpat, aku akan lancarkan ribuan serangan dengan kata-kata kasar, tapi sayangnya, aku tak segila itu, masih ada banyak kata untuk menyadarkan mereka, dan tentu saja aku sedang menyadarkan diriku sendiri. Sial, semuanya hanya menjadi sebuah angan tanpa bayang, nyata pun tidak, bagaimana aku bisa merasakannya, ini terlalu dingin untukku.
Beberapa waktu yang lalu, ada sesuatu yang tidak ku mengerti. Ini cerita tentang dua orang pasang, tak jelas status mereka. Satu hal yang pasti, aku berada di antara kisah mereka. Ini bukan keuntungan bagiku, mencoba memahami dari dua sisi yang berbeda. Ku beritahu kau akan satu hal, perempuan itu sahahabatku, sementara yang lelaki, bahkan aku tidak kenal siapa dia, tapi aku sekarang cukup mengenalnya.

Dari sudut pandangku. Tentu tak akan ada pola yang akan tercipta begitu saja, semuanya harus saling berkaitan, satu sama lain, memahami dan mengerti, itu adalah harga yang harus dibayar jika membawa persolan rasa ke dalam ranah logika.

Ini bukan persoalan pilih memilih, bukan juga persoalan layak atau tidak layak. Aku hanya tidak mengerti, kenapa semuanya bisa menjadi begitu rumit, bagi mereka. Aku terlalu takut kehilangan sahabataku, aku bahkan tidak akan membuka aibnya, biarkan semuanya berjalan seperti itu, bagaimana pun juga, dia adalah sahabatku, aku lebih dari sekedar tahu bagaimana dia bersikap.

Sementara itu, aku tahu bahwa lelaki itu baik, humoris, pengertian, puitis, mungkin juga sedikit cerdas, asyik,kurus, datu hal lagi, dia gila. Gila dengan ide dan cita-citanya, ku pikir tak semua orang berpikir dengan caranya, idenya tak masuk akal, bagiku. Itu penilaianku tentangnya, Tapi di luar dari semua penilaianku itu, dia layak untuk mendapatkan sesuatu yang lebih, dari sahabatku, sekali pun itu menyakitkan, tapi dia layak mendapatkannya, ahh, tapi memang menjadi tak indah jika semuanya cepat berlalu.

Aku tak begitu paham dengan jalan pikiran mereka.
….
Dingin, tak ada lembayung senja yang menggantung di angkasa hari ini. Terlalu pekat, hujan berdansa sepanjang hari, tak memberikan kesempatan kepada para pengagum senja menikmati secarik keindahan yang tertuang di selembar cakrawala. Tak ada bintang malam ini, terlebih rembulan, hanya ada desau angin yang berbisik manja, hanya ada suara sisa tetesan air hujan yang berada di atas atap kamar ini.

Sebuah makna dalam perjalanan, mengasingkan diri, mencoba tak tersentuh dengan kenyataan yang menyakitkan, atau berkamuflase dengan lingkungan sekitar. Mencoba meraba dari setiap jengkal makna kehidupan, yang terkadang menerjang, tanpa ampun, tanpa belas kasihan.

Aku menjadi si penunggu waktu, menunggu tiap detik waktu yang berputar, mencoba mencari dan memahami, ada apa yang terjadi di luar sana, aku terlalu takut untuk meninggalkan ketakutan ini, aku menjadi si penunggu waktu, hingga mungkin waktu akan menjemputku, entahlah, aku hanya bisa berharap, waktu akan membawaku, jauh.

Aku bisa rasakan hujan memelukku erat, dingin di sekujur tubuh, menggigil. Aku bisa merasakan air semangat itu diciptakan melalui air, aku bisa merasakan bahwa sebagian orang akan merasa tenang ketika hujan turun, dan aku akan menggenggamnya, meski itu akan menjadi mustahil. Tapi, aku akan menggenggam hujan, menjadi penjaga semangat yang dilukiskan melalui rinai-rinai air yang tumpah dari awan kelabu itu, aku ingin menggenggamnya, hingga nanti bisa ku lepaskan genggaman ini, jika ada seseorang yang bisa merasakan hangat pelukannya.


Ini secarik cerita yang aku tak tahu dari sudut mana aku melihatnya, bahkan jika benar itu adalah sudut yang ku maksud, aku akan mulai memahami ini semua, bahwa kita hanya akan mati setelah hidup. Semuanya belum berakhir, dan ini terlalu dini untuk diputuskan. Ini akan menjadi bagian dari awal perjalanan yang tidak diketahui, berjalan seorang diri, mungkin akan menjadi sebuah pencarian hakiki, menapaki sisa-sisa kehidupan yang mulai menjemukan, aku perlu sesuatu yang baru, dan di sinilah aku  melihat awalnya, dari sudut yang berbeda aku akan memulainya. Begitulah rencananya..
Read More




Senin, 17 November 2014

Dia, Wanita yang Tak Ku Kenal

#Tafsir




Bahkan aku tak mengenalnya. Pertama kali ku sapa, tak ada maksud lain yang terlintas di dalam benak, hanya ingin menyapa dan mengucapkan terima kasih. Namun, akan selalu ada hal menarik, hingga aku menuliskan ini. Tengah malam, ketika udara di kota ini benar-benar menjadi sangat dingin.

Segera tuntas pekerjaanku, dengan pikiran yang bisa ku bilang ‘kacau’ aku harus bisa menunaikan kewajiban bukan? Tak ada kompromi untuk memberikan yang terbaik dalam menuntaskan tanggung jawab, karena pernah ku dengar bahwa ‘tanggung jawab adalah sebuah kehormatan’ dan itu akan selalu ku tunaikan, meski memang masih ada kesalahan, karena ku anggap itu adalah prosesnya. Dan begitulah aku menjalani hidup.

Pekat merayap pelan, menelan semua kecerahan di angkasa, di luar tak ada kehidupan, sepi. Ketika ku telisik tentang dia, seseorang yang tak ku kenal itu. Ada sebuah makna yang entah seperti apa wujudnya, yang ku tahu bahwa jelas masih ada orang yang melakukan apa pun untuk mendapatkan keinginannya, dan jika itu menyangkut rasa, aku akan selalu tertarik untuk menelisik, membuat lembaran demi lembaran kisah tentang itu.

Naluriku terlalu kuat untuk dicegah, namun ada sedikit kemampuan untukku selalu bisa menemukan sumber cerita, meski dengan versi yang berbeda, namun ku yakin alurnya akan tetap sama, satu persatu kisahnya terungkap, ada makna yang sedari awal ku terka, wanita ini mengalami kejadian yang tentu tidak ingin di alami. Wajar, ini hanya menjadi sebuah parodi pada akhirnya, lelucon sebelum kebenaran itu muncul. Tak habis fikirku tentang seseorang yang mengungkapkan rasanya dengan cara seperti itu.

Dia -lelaki- tidak hanya menyulut dahan kering dengan api, namun juga menambahkan angin dan bahan bakar, tentu saja dia hanya akan mendapatkan abu, abu yang bahkan hanya akan menghilang ketika musim kemarau datang, angin akan membawanya terbang, hilang.

Bagaimana mungkin dia akan menjelaskan bahwa itu adalah bentuk dari kasih sayang? Bukan, itu hanya ambisi, hasrat. Seperti birahi yang meninggi, dan kemudian menghilang jika sudah tersalurkan. Sesaat.

Lalu bagaimana dia akan menjelaskan, ketika bentuk perhatiannya justeru meneror sang pujaan? Itu juga bukan hal yang baik, tapi aku tak bisa berkata benar atau salah, karena tentu itu akan menjadi sebuah bahasa yang semakin tak jelas arahnya. Benar dan salah? Itu klise.

Aku belajar dari banyak hal, dari sebuah kemungkinan yang terbilang memiliki peluang mendekati mustahil, jika mengukur dengan presentase. Namun, ku tegaskan, tak akan ada hal yang mustahil, mengukir di atas air dan menggurat pena di angkasa itu bisa dilakukan, caranya? Tak perlu bertanya-tanya tentang itu, karena jika kau tak yakin dengan itu, mustahil kau mengerti tantang jawabanku, kau baru akan mengerti itu jika kau meyakini apa yang ku yakini.

Dan wanita ini, meski aku sudah tahu apa sebenarnya yang terjadi antara dia dan orang itu, aku belum cukup tahu tentang semuanya, tapi setidaknya dia -yang tidak ku kenal- bisa membuka mataku, bahwa ada cerita seperti ini, dan itu nyata.

Tentu akan ku buat ambigu, karena aku berharap bisa memperjelasnya, dalam balutan nada dan dentingan dawai kehidupan.
Terima kasih telah menemani dalam setiap detik di penghujung waktu, terima kasih untuk setiap detik waktu yang tersedia ketika di awal waktu ia kembali menyapa, terima kasih untuk secercah keyakinan tentang permukaan setiap kemungkinan yang mulai tenggelam, si penggenggam hujan akan bersenandung, dan dia akan menemukan ‘pelukis langit’ dengan versinya..


Read More




Minggu, 16 November 2014

Wanita Penggenggam Hujan

#Prosa


Harinya benar-benar kacau, semua rencana yang telah disusun tiba-tiba tak berbentuk, berantakan. Belum lagi mengenai hati, masalah pekerjaan sepertinya juga mulai mengintimidasi. Wajar, karena semuanya akan berproses bukan? Tidak akan mendapatkan apapun, kecuali dengan usaha dan kerja keras. Setelah itu bersyukur dan ikhlas, dan berharap mendapat ridho-Nya.
Apa yang bisa dinikmati sesiang ini, ketika langit tak lagi berseri? Secangkir kopi yang sudah menjadi dingin dan berbatang-batang tembakau terbaik dari negeri ini, mungkin itu menjadi sebuah racun, namun itu juga bisa menjadi penawarnya, mungkin saja.

Aku, masih berada di sini, berhadapan dengan kertas dan layar monitor, angan melayang, mencoba menggambarkan bentuk perasaan melalui goresan tulisan. Mencoba meluapkan amarah, menyalurkannya dengan cara yang berbeda. Ketika orang-orang menyampaikan amarahnya dengan bara api, aku akan melakukannya dengan menggunakan air, bisakah? Tak ada yang tidak bisa bukan?

Berkali-kali aku mencoba untuk bisa kembali berdiri, berdamai dengan rasa sesal dan sedikit keraguan, mencoba menentukan pilihan, masalahnya hanya satu. Layakkah aku memilih? Bahkan sedari dulu aku diajarkan untuk selalu menerima setiap pemberian dari yang maha kuasa, dan sekarang aku harus memilih? Alangkah bodohnya hidup, jika kita terus menerus memilih tanpa mengukur diri.

Mengukur diri, itu yang harus dilakukan, seberapa layak kita mendapatkan sesuatu yang diharapkan, jika tidak terlalu baik, maka jangan berharap yang terlalu baik, semua hasil telah ditentukan berdasarkan kadarnya masing-masing bukan?

Dan di sinilah aku berada, mencoba menerjemahkan semua prosa yang bermakna ambigu, samar.
Dia benar-benar kacau, tak ada tawa yang mengiasi wajah yang biasa sumringah. Terpekur dengan keadaan, masih memiliki harapan sederhana, yang diyakini sebagai cita-cita terbesar dalam hidupnya. Menjadi PNS.

Mungkin ia tidak cantik seperti para wanita di luar sana, begaya modis dengan berbagai aksesoris yang menempel di tubuhnya, mungkin juga dia tidak semenarik para model iklan di televise dengan rambut panjang dan rok super mini, atau mungkin juga ia akan kalah anggun jika dibandingnkan dengan pemeran film dalam romansa cinta yang selalu diputar setiap minggu, di bioskop-bioskop kota ini.

Tapi tidak bagiku, dia lebih dari sekedar bentuk fisik yang cantik dan anggun, lebih dari sekedar menarik. Atau pernah suatu ketika dia berujar, bahwa suaranya paling cempreng di antara keluarganya, tapi bagiku suaranya cukup halus, bisa menenangkanku, sesekali. Tidak, sering kali bahkan.

Pagi itu, suasana masih berkabut, dingin. Musim hujan. Rentetan pertanyaanku tak juga dijawab, dia masih enggan menyampaikan apa yang diketahuinya, aku lebih dari mengerti mengenai posisinya, aku lebih paham, mungkin.

Mungkin kesalahan terbesarku adalah menyeretnya ke dalam permasalahan ini, masalahku, mungkin kini akan menjadi masalah untuknya, dan hanya beribu maaf dan sesal yang bisa kutawarkan untuknya, tak ada yang bisa dilakukan kecuali itu.

Cukup, mungkin aku tidak akan melibatkannya lagi dalam setiap masalahku, terlebih jika mengenai hati, walaupun jujur ku akui, saat ini bahkan si pengagum senja dan orion sekali pun tak mengerti tentang kondisi ini, terlebih satu nama yang aku enggan menyebutnya, meski dengan sebutan yang biasa ku sematkan kepadanya, satu nama yang tidak pernah berubah, dari dua hal yang paling ku sukai di dunia ini, hujan dan senja.

Wanita penggenggam hujan, si pembawa pesan, si pengingat kehidupan, si penunggu waktu apa lagi nama yang akan ku sematkan kepadanya, entahlah. Itu hanya sebuah sebutan untuknya, itu adalah bentuk ucapan terima kasih yang mungkin tak pernah bisa kusampaikan dengan arti yang tinggi.
….
Aku pernah berbicara tentang janji. Dulu kalimat itu menjadi sebuah kalimat yang paling manis, lalu gampang ku muntahkan jika terasa hambar, dan ku beritahu kau tentang sesuatu, kalimat itu kini selalu menghantuiku. Aku tahu akibat dari semua janji yang tak pernah ku tepati, ada banyak orang terluka, hingga mereka sulit untuk sekedar berdiri dengan kaki sendiri. Dan hari ini, aku kembali berjanji, dan itu akan ku tepati, aku akan berusaha melunasi setiap hutang sebelum benar-benar si pencabut maut menjemput.

Dari sini, dari tempat yang enggan ku tinggalkan, karena ada banyak keindahan di dalam ruang dan waktu, silam. Aku mulai menuliskan tentangnya, menuliskan tentang dia, tentang diriku, tentang semuanya, ada banyak sekali hal yang terlewatkan, selagi kaki masih ingin menapak di tempat ini, aku akan terus menatap hamparan ilalang yang terus selalu tumbuh, aku akan terus menikmati rinai hujan yang kini terasa sangat menyakitkan, dan aku akan tetap menikmati itu, sekali pun itu menjadi sangat menyakitkan, hujan, selalu menimbulkan ketenangan bagiku.

Dan ketika ku genggam hujan ini untuknya, maka aku akan menceritakan segala ungkapan dari hati melalui tetesan yang menenangkan, genggaman ini tak akan ku lepaskan, sampai ada seseorang yang bisa memeluknya, nanti.


Ini kisah yang terus akan ku tuliskan, tentang wanita penggenggam hujan..
Read More




Sabtu, 15 November 2014

Karakter Tanpa Nama

#Bayang


Masih mendung. Awan kelabu masih menggantung di angkasa, tanpa setitik warna biru yang tergores di sana. Hawa dingin menyergap perlahan. Sudah siang, mentari tak kunjung menyapa lagi, tapi pagi hanya sesaat ia muncul, menggurat angksa dengan secercah kemegahan, tunjukkan kedigdayaan sebagai penguasa angkasa.

Ia masih menatap tanpa bahasa, tanpa lisan berucap. Berusaha mencerna dari setiap kejadian yang tertera dalam barisan kenyataan, ini adalah nyata yang harus dihadapinya. Tanpa kompromi, ya kenyataan itu menamparnya begitu kuat, hingga lunglai tak berdaya, lemas. Teronggok bagai sampah yang basah, mengeluarkan aroma busuk, dan kemudian hancur karena panas sengatan matahari dan terpaan hujan yang mendera.

Ada bagian yang terbuang, ada bagian yang hilang, ada juga bagian yang ditemukan, berserakan, terpecah belah, tercabik, benar-benar hilang dari hadapan, menguap disengat zaman yang sekali lagi terlanjur menjadi begitu kejam, ketika kelembutan hati tak bisa dijaga, ia hanya akan membuatnya menjadi sangat buruk, merubahnya dari sosok yang berbeda dari sebelumnya. Kenyataan mengajarkan akan rasa sakit. Perih.

Tergores pelan, menyusuri antara batas-batas yang tersekat di antara cabikan malam yang menyayat hati, ada selaksa tawa yang tercekat di antara kerongkongan, tertahan menjadi sesak.

Kepalanya berdenyut kembali, merasakan sakit yang entah bertambah hingga berapa kali lipat, yang dia rasakan hanya rasa sakit. Baru bangun beberapa waktu lalu, sebelumnya ia masih bisa merasa senang, karena hujan di pagi hari memeluknya pelan, terlelap ketika barisan hujan itu kembali menyapa suasana pagi. Jika sekarang adalah tiga tahun lalu, dia tidak akan melewatkan suasana semanis ini. Tapi itu dulu, kini tak ada lagi yang bisa dirasakan selain dingin.

Jemarinya mencoba meredakan rasa sakit itu, memijit-mijit pelan berharap rasa itu berkurang, namun semakin dipijit, itu semakin sakit. Jika otaknya tidak berfungsi mungkin dia telah membenturkan kepalanya di tembok itu, tembok yang terlihat semakin usang. Udara pengap dari kamar yang tak pernah terkena matahari itu semakin membuatnya tersiksa.
Lihat, wajahnya memerah, mungkin karena malu, atau bahkan bisa jadi itu adalah ungkapan dari rasa yang tidak bisa diucapkannya, bahagia. Dia begitu suka membuat wajah wanita itu memerah, ia begitu suka ketika wanita itu merengek manja, atau bahkan mencubit pelan, Dia juga suka membuat wanita itu kesal karena sering mengacak-acak kelapanya.

“Hujan, bukankah kita selalu suka saat-saat seperti ini?” dia bergumam pelan, matanya nanar tak berkedip melihat jutaan galon air yang tumpah ke bumi.
Wanita di sebelahnya tak menjawab, terlalu asyik dengan laptop di depannya. Jemarinya lentik mengeja satu-satu huruf di keyboard dengan kedua telunjuknya. Sesekali tersenyum, serasi manis dengan suasana pagi ini, bulu matanya lentik, alisnya juga sama.

“Hey, lagi apa? Sibuk Banget?” dia kembali memegang kepalanya, mengacak-acak rambut panjangnya.

Wanita itu menghentikan aktivitasnya. Seperti biasa, ketika kesal bibirnya akan maju beberapa centi, kemudian menatap garang. Mencoba teriak, meluapkan kekesalan karena merasa terganggu. Lebih mirip dengan induk singa yang merasa anaknya dalam ancaman.

Sebelum teriakannya menggemparkan tetangga, ia bergerak cepat. Membekam mulutnya, mencoba berdamai. Wanita itu berontak, jelas tenaganya begitu kuat karena tak pernah digunakan, sedangkan aktivitas sehari-harinya hanya makan dan makan.

Setelah berhasil lepas dari cengkraman tangan lelaki itu, si wanita berteriak, keras. Lagi, ia gagal mencegah itu terjadi.

“Kaakkk!! Kenapa si ganggu?! Bisa gak diem?” dia mengancam, sambil mengacungkan kepalan tangannya.

“Iya iya, maaf. Janji, gak akan ganggu lagi, piss.” wanita itu mendengus sebal, tapi sesaat tersenyum setelah melihat layar laptop.

“Dasar, wanita!” ucapnya ketus, nyaris tak terdengar. Namun ternyata si wanita mendengar itu cukup jelas. Matanya mendelik ke arahnya, masih dengan tatapan mengancam. Ia hanya nyengir kuda, lalu diam.

Di luar, hujan masih turun dengan deras. Suasana yang indah. Ia mengambil jurnal di dekatnya, menggoreskan tinta di dalam barisan kertas kosong. Beberapa larik tentang hujan kembali tercipta, hujan dan semua suasana indah.
            …

Kemarin, ketika malam mulai menjelang, tatapan mata penguasa cakrawala tak terlihat sejak pertama kali seharusnya dia menampakkan diri. Hujan rintik-rintik masih saja turun. Ku putuskan untuk hanya sekedar jalan, menemui salah seorang sahabat. Menembus hujan, mengindahkan rasa dingin yang menggigit, menyusuri sisi jalan yang sempat hening sesaat.

Sekedar makan malam, bercerita tentang sesuatu yang ringan. Sesekali tertawa, terkadang begitu keras, sesekali hening, berkonsentrasi dengan makanan. Sudah lama memang suasana makan malam seperti ini tak ku rasakan. Sementara waktu terus berputar, membelah bilangan waktu dalam perjalanan satu hari ini. Sedikit masalah pekerjaan bisa terurai malam tadi, sedikit bisa kembali mengendurkan syaraf dan meluruskan harapan tentang seseorang, yang jika ku boleh berkata jujur, ku tunggu kabarnya malam tadi.

Hanya beberapa menit, tak sampai satu jam. Tapi memang tak butuh waktu lama untuk merasa bahagia bukan? Namun, sendiri dan sepi, itu lama baru bisa beranjak menghilang. Kembali setelah meresapi belaian angin yang menjadi dingin, aku kembali diingatkan akan kehadiran seseorang. Dan jika dia tahu dan bisa merasakannya, tentu seumur hidupnya enggan untuk merasakan hal seperti ini.


Terima kasih untukmu, si penunggu waktu (ini adalah nama terbanyak yang ku berikan kepada seseorang), dan untuk dia, sebaris catatan dalam anggunnya rintik hujan..
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML