Hanya Menunggu Waktu, Sejarah Bangsa Indonesia Akan Sirna: Film yang mengangkat tokoh bangsa Indonesia terpuruk
Read More
Savanna Senja
Cerita Hari Ini, Dari Bagian Sekarang dan untuk Masa Depan
Rabu, 20 April 2016
Sekali Lagi, Masyarakat Indonesia Disuguhi ‘Hiburan’ Penuh Ironi
Sekali Lagi, Masyarakat Indonesia Disuguhi ‘Hiburan’ Penuh Ironi: Skandal Panama Papers, cerita jurnalisme dibalik skandal global
Read More
Minggu, 16 Agustus 2015
Kisah Kita Sore Itu
ilustrasi: aisyafra.files.wordpress.com |
Jemari
cahaya senja meremas kenangan, menggurat hati melalui nada dalam untaian ruang
dan waktu. Membius kesadaran, menyandarkan keinginan dalam pelukan harapan,
tampak sayu memandang gerombolan kapinis yang terbang berkelompok, mengiringi
kepergian senja yang terlukis dalam keindahan sore, lembayung senja terlihat
mempesona di atas sana.
Sudah
beberapa kali, kami menikmati senja yang merona. Ya, kami, bukan aku sendiri. Dan
sekarang, itu adalah bagian yang luar biasa, bagian yang selalu ku nantikan
keberadaannya. Dan dia, satu-satunya perempuan yang akhirnya bisa ku ajak untuk
menikmati pesona sang senja.
Akan ku ceritakan kisah
yang selalu ku tuliskan dalam bingkai-bingkai dalam rangkaian kata itu, tentang para wanita itu, wanita dan kisah senja yang mempesona, ku beritahu kau tentang itu, mereka dan aku tentang senja itu. Kami bahkan belum pernah menatap senja di tempat yang sama. Ya, belum pernah. Dan dia,
adalah satu-satunya perempuan itu. Jika kau tanya siapa orang yang beruntung,
tentu itu adalah aku. Bukan dia. Menjadi perempuan pertama yang ku ajak
menyaksikan indahnya senja, bukanlah hal yang terlalu istimwa, itu adalah
momenku, itu adalah inginku, dan itu adalah bagian dari angan-angan yang mulai
terbuka satu persatu.
Biasanya,
aku hanya bisa menggurat gambar indah senja melalui kata-kata, melalui
deskripsi singkat dari pesan elektronik. Melalui rangkaian kata yang tertuang
dalam puluhan paragraph. Dan aku selalu berhasil membuka setiap jarak dalam kenangan
yang membentang, dalam indahnya pesona sang hari yang mulai menepi. Kisah itu
mungkin akan menjadi titik balik dari rangkaian cerita sebelumnya, apakah ini
akan berakhir di satu titik ini, atau akan kembali berlanjut? Aku tidak tahu,
tapi jika kau tanya apa inginku. Akan ku beritahu kau itu. Inginku, semoga saja
pencarianku akan berhenti pada titik ini, dengannya. Semoga saja, itu rapalan
mantra yang terus ku ucapkan di setiap gelap merenggut cahaya di cakrawala. Dan
ku harap, Si Pemilik Hati memberikan anggukan untuk setiap rapalan mantra yang
ku eja.
…..
Suasana
malam ini masih seperti beberapa hari yang lalu, masih cerah dengan hiasan
beberapa kemerlip bintang yang tergambar di bentangan malam yang indah, itu sangat
indah. Aku tidak mengada-ada, memang begitulah adanya. Malam akan selalu
menjadi kisah misterius, seperti ujarku waktu itu, malam akan selalu menjadi
rangkaian cerita yang selalu sulit di baca, tapi, gunakan hatimu, maka kau akan
tahu maksudnya. Dia bahkan bisa berujar dalam hembusan semilir angin, pelan,
perlahan, dan itu menjadi bagian yang harus dimengerti, tak bisa lantas kau
langsung paham maksudnya begitu saja.
Beberapa
waktu ini memang keadaan mulai menampakkan wujudnya yang sebenarnya, sama
seperti yang terjadi di pesisir pantai, ketika kuatnya gelombang menghantam
karang, gelombang akan selalu mengantam, tak peduli siang atau malam, setiap
detik dalam setiap putaran waktu. Dari hal terkecil hingga masalah prinsipil,
masalah itu terus saja mendera. Ku beritahu, bahwa cinta itu tak melulu manis,
ada kalanya dia terasa pahit, tak melulu tertawa, terkadang –atau bahkan lebih
sering- kita akan merasakan kecewa, tapi memang begitulah iramanya.
Bukanlah
kita sudah mengeja kata ikhlas ketika bisa mulai membaca, bukankah kita telah
berlatih untuk memahami arti kata rela, ketika kita mulai memutuskan untuk
memiliki sesuatu? Dan benar, jika memahami semua itu bukanlah semudah untuk
mendapatkannya, prinsip dasar yang ku temukan –di sebuah kompetisi- bahwa
merebut atau mendapatkan itu lebih mudah, tetapi mempertahankannya, itu sulit. Sebuah
pelajaran yang ku dapatkan baru-baru ini, pelajaran yang sebenarnya sudah ku
ketahui dari waktu dulu.
Tapi,
itu bukanlah soal. Karena –akan selalu ku coba – untuk memahami itu, mengerti
dari setiap garis yang tergurat dalam ketetapan langit, bahwa setiap kesusahan
akan selalu ada kemudahan, bahkan kita tak pantas untuk mempertanyakan setiap
kejadian yang telah terjadi, terlebih mempertanyakannya kepada Sang Pemilik. Karena,
nikmat mana yang kita dustakan. Bukankah tidak terhitung nikmat yang kita
dapatkan? Bukankah seharusnya kita menerimanya. Bukankah kita tunduk kepada
aturan-Nya. Ya, begitulah seharusnya. Tapi, lagi-lagi kita terlalu tolol untuk
memahami itu. Terlalu banyak pertanyaan yang kita ajukan kepada-Nya, tanpa
menoleh ke belakang, tanpa mengeja ketetapan yang telah digariskan.
Persoalan
itu, percayalah. Akan ada penyelesaian. Tergantung bagiamana kita menyikapi itu.
Maka, jabatlah erat setiap masalah, dan jadikan itu sebagai teman bukan lawan,
karena ketika kita bisa berdamai dengannya, kita tidak akan pernah merasa ia
menekan, justru kita akan semakin tegak berdiri.
Kamis, 25 Juni 2015
Merapal Harapan
#Bagian Sekarang dan untuk Cerita
Masa Depan
Ilustrasi:1.bp.blogspot.com |
“Kau
tahu, ku rasa rapalan mantra doa miliknya lebih kuat daripada milikku. Dari setiap
tempat yang dia datangi, dari setiap waktu yang dia lewati, sedetikpun dia tak
pernah melupakan untuk merapal harapan itu. Kau tahu, semua itu begitu
bermakna, begitu berirama, begitu kuat. Firasatku buruk tentang ini. Tentang
dia yang tentu saja masih mengharapkanmu, entah kapan akan berakhir
penantiannya.
“Dia,
mungkin mencintaimu melebihiku. Dia, mungkin mengharapkanmu melebihi harapanku.
Ketakutanku hanya satu. Aku takut kau lantas menyesal karena meninggalkannya. Ku
lihat dia begitu anggun, begitu kuat, dengan jejak kaki yang terus menapaki
tiap jengkal bumi nusantara ini. Aku, iri padanya.”
Senja
makin tenggelam di dasar sana, menyisakan roman indah dari bias cahaya yang
tertera di antara cakrawala Membungkam seribu tanya yang terlontar dari
keraguan sang pemilik hati. Sekumpulan burung golejra terbang bergerombol,
mencicit memecah kebisingan kota yang diselimuti warna lembayung, membentuk
paduan warna yang mempesona, elok dipandang mata, melegakan ruang hati.
Sementara
dia berhenti, ujung matanya menyipit, bibirnya tampak maju beberapa millimeter
berwarna merah muda, membuatku semakin gemas dibuatnya. Aku tersenyum
menatapnya, memegang kepalanya, mengelus perlahan.
“Kau,
masih saja seperti itu. Kau beritahu kau beberapa hal, dari setiap tempat yang
ku datangi, orang-orang yang ku jumpai, dari setiap detik dalam putaran waktu
yang mengintari hari, aku juga merapal doa, menjadikannya begitu bermakna,
menjadi begitu kuat, kau tahu firasatku selalu baik. Terlebih tentang kita,
iya, kita.
“Lihat,
perhatikan setiap kejadian yang akan terjadi setelah ini. Kau tahu bukan, bahwa
kita bahkan tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi. Kita hanya bisa
berprasangka. Ketakutanmu, mungkin baik, tapi bisa menjadi buruk jika terlalu
berlebih, bukan begitu?”
Aku
mencoba mendapatkan kesepakatan. Melukiskan senyum terindah di wajah kusut ini,
mencoba mematut-matutkan diri di depannya. Ia hanya mengangguk, tetap cemberut.
“Hahaha,
kau ini. Jangan seperti itu, semakin kau merajuk, nanti tak bisa ku lupakan
wajah manismu itu. Sudah cukup kau mengintimidasi tiap malam dan kesendirianku
dengan wajah itu, kau tahu, wajahmu selalu ada di pelupuk mata, bahkan ketika
mataku terpejam, kau sedikit pun tak berpaling. Sekarang, apa kau tega
menekanku dengan tampang seperti itu?” aku tertawa demi melihat wajahnya yang
terlihat kesal, namun tak berapa lama senyum tersungging di wajahnya.
“Nah,
begitu lebih baik. Kau terlihat lebih cantik beberapa persen dari sebelumnya.” dia
mencubit lenganku.
Kenangan
itu masih begitu jelas tampak di kepalaku, masih berada mengisi relung jiwaku. Setiap
detik bahkan hingga putaran waktu ini kian menekan. Malam semakin dingin,
akhir-akhir ini suasana menjadi tak menentu, angin menerjang ketika malam
datang, dan terik membakar ketika siang menjelang. Tapi setidaknya di
penghujung hari aku bisa tersenyum menatap ke atas, menikmati mahakarya sang
pencipta, ada lukisan indah ketika sore menjelang. Ah, aku selalu bisa
merasakan kehadirannya kini bahkan setiap detik aku bisa merasakan sentuhan
jemari indahnya.
Bagian-bagian
itu terususun kembali. Membentuk sebuah bidang dengan garis tegas dari tiap
sisinya. Menguak tabir dari kepingan silam yang akan menjadi salah satu pondasi
kuat dari perjalanan kisah seorang anak manusia, menjadikannya pegangan ketika
badai kecewa dan nestapa menerjang dinding-dinding harapan.
Waktu
itu, pernah ku berujar, akan membuatnya bahagia dan tertawa. Namun, tak
terhitung berapa banyak ku torehkan luka dan kecewa kepadanya, namun, dengan
ketulusan hati dan kelembutan rasa yang dimilikinya, semua rasa kecewa itu
melebur menjadi sebuah rasa yang kian menguat. Mengaburkan setiap kepingan kata
salah menjadi untaian kata maaf dan menjadi ucapan terima kasih.
Tak
terhitung berapa kali cemooh dan ucapan bernada miring menerjangku, dan semakin
kuat dia bisa menggenggam keyakinanku tentang mimpi-mimpi itu, tentang harapan
yang hanya di anggap isapan jempol bagi sebagian lainnya.
Malam
ini, ketika pekat memeluknya begitu erat, aku juga berada di sana, mencoba
memeluknya lebih erat dari biasanya, menggenggam erat jemarinya, membisikkan
kata-kata cinta, membisikkan rapalan mantra untuknya. Harapanku, harapannya,
berputar lantas menembus angkasa, pada malam itu juga, bagian dari kisah indah
akan tertera dalam balutan nada indah. Antara aku dan dia. Perempuan penggenggam
hujan, dan si pelukis langitnya.
Rabu, 27 Mei 2015
Menikam Malam #4
Kenangan
bersamanya, hanya itu satu-satunya harta yang ku punya. Hanya itu satu-satunya
yang ingin ku ingat. Aku hanya ingin mengingat wajahnya, aku hanya ingin
mengingat dia, selama setiap detik di sisa waktu hidupku. Bahkan aku tak
peduli, jika semuanya akan berakhir lebih tragis seperti di awal cerita, aku
bahkan tidak peduli melanjutkan dan menata kehidupan yang telah porak-poranda,
berserakan bagai kepingan puzzle yang tidak mungkin bisa tersusun, karena
terlalu banyak kepingan yang hilang.
Melanjutkan
hidup dengan normal? Aku bahkan tak tahu, apakah masih bisa melakukannya
sekarang, setelah semuanya yang telah berlalu. Aku bahkan tak percaya terhadap
siapa pun, yang ku percaya hanya satu, bahwa sebelum matahari tenggelam akan
terlihat setitik kehangatan dan keindahan di sana, akan ada gelap malam yang
terukir di cakrawala, akan ada matahari pagi yang hangat muncul di sebelah
timur, bahwa terang akan selalu diliputi kegelapan, dan aku tak tahu akan ku
hias dengan apa kegelapan itu. Aku tidak tertarik untuk menghias malamku dengan
kerlip cahaya. Aku hanya ingin gelap, tetap pekat.
Kejadian
malam kemarin masih saja terbayang di pelupuk mata, aku masih mengingatnya
begitu lekat. Wanita itu, mengingatkanku kepada Ana-ku, mengingatkan betapa dia
menderita pada saat itu, mengigat wajah wanita itu, seperti menyibak luka yang
telah tertutup. Masih ku ingat, orang-orang itu tanpa nurani hanya mendengarkan
nalurinya, naluri binatang.
“Bos, kita
apakan mereka?” tanya salah seorang anak buah Romi, mereka berlima
masih menunggu komando.
“Terserah
kalian. Urusanku sudah selesai. Pastikan bajingan ini menderita. Terserah
kalian akan apakan wanita itu. Buat dia tak bisa melupakan malam ini, buat
mereka menderita sebelum menghilang dari dunia.” ia tersenyum picik, menatapku
dan menatap Ana.
Bukk!! Keras
hantaman tinjunya menerjang ulu hatiku.
“Ini salam perpisahan dariku, sahabatku. Hahahaha!”
Tawanya
menggema memecah keheningan malam. Ia berlalu, keluar ruangan ini. sementara
aku hendak melawan, tiga kacung Romi telah beraksi, memberikan bogem mentahnya
ke tubuhku. Badanku, remuk redam, aku sudah tak bisa melihat dengan jelas di
sekitarku. Tapi masih bisa ku dengar teriakan Ana, mencoba mengentikan mereka.
“Berhenti!
Jangan! Aku mohon, jangan lagi pukul dia, aku mohon,” suaranya bergetar pilu.
“Hahaaha,
diam kau!” plakk! Salah seorang tanpa belas kasihan menampar Ana.
“Nanti
tunggu giliranmu cantik. Hahaha. Sekarang, kau lihat dulu suamimu ini, lihat
bagaimana dia tak bisa melakukan apa-apa. Akan kita buat dia lebih
menderita di ujung hidupnya,”
Ana
tersungkur, aku tak bisa berbuat apa-apa. Suaraku parau, mereka benar-benar
berhasil membuatku tak berdaya.
Jangankan melawan, hanya sekedar berteriak, tenagaku habis terkuras.
Menahan sakit yang menjalar di tubuhku.
Hangat darah
yang mengucur di pelipis masih bisa ku rasakan, pandanganku kabur, tapi masih
bisa ku lihat sekitar. Pemukul baseball yang menghantam wajahku tadi
benar-benar membuatku kehilangan setengah kesadaran.
“Ya, Rabb..
Jangan kau biarkan hambamu ini teraniaya. Jika Kau masih memberikan hidup
kepadaku, biarkan hamba melakukan tugas sebagai seorang suami, menjaga
kehormatan istrinya. Dan jika Kau menentukan untuk mengambilku, biarkan aku
menghadap-Mu dengan cara yang baik. Jangan Kau biarkan hamba-Mu ini menghadap
dengan menyimpan dendam di hati. Hanya kepada-Mu hamba meminta pertolongan,
hidupku adalah milik-Mu, maka Kau berhak menentukan apa yang kau inginkan.”
Ucapku lirih dalam hati.
Sebuah doa
dari hamba yang teraniaya, dan akan benar-benar terjadi. Tidak sekarang, tapi
kejadian ini merupakan titik balik dari kejadian di masa yang akan datang. Aku
hanya bisa terbaring di lantai, napasku tersengal, satu-satu. Aku benar-benar
tak berdaya, dan semakin perih ketika melihat para bintang itu mendekat Ana
dengan tatapan buas. Aku benar-benar tidak bisa melihat kejadian itu. Aku hanya
bisa menangis, melihat mereka mengagahi belahan jiwaku. Sengaja mereka
membiarkanku sadar, melihat semua itu. Mereka benar-benar menjalankan instruksi
majikannya, mereka benar-benar membuatku menderita.
Aku masih
bisa melihat bagaimana Ana memberikan perlawanan, tapi sekuat-kuatnya seorang
wanita tidak akan mampu menghadapi lima lelaki yang pikirannya telah menyerupai
dajjal. Tanpa ampun, mereka memukul dan menjambak rambutnya, menyeret dan
memukul bagai bintang. Dan sebelum hilang kesadaranya, mereka berhasil
merenggut kehormatan istriku, mengoyak hatiku. Aku hanya bisa menangis
melihatnya, tak bisa berbuat apa-apa. Amarahku bahkan tak bisa membuatku
bangkit. Dan semuanya benar-benar cepat berlalu. Tak lagi ku dengar suara Ana,
hanya ada gelap. Dan semuanya hilang.
Senja masih
tergurat indah di atas sana. Mencoba berdansa dengan cakrawala di akhir
waktunya. Sementara itu, burung-burung itu berkicau pelan, ada yang terbang berkelompok,
membuat formasi hurup V, menyibak cakrawala dengan kepakan sayap-sayap mungil
itu. Anda saja, hidup ini seperti yang dituliskan di cerita-cerita fiksi.
Begitu tenang, indah. Dengan balutan romansa cinta yang menghipnotis, dengan
lantuan dawai indah menghiasi tiap detak jantung yang memompa darah. Tapi,
cerita-cerita itu, tak ubahnya hanya khayalan semu, tak akan pernah terjadi di
dunia nyata ini. Jika pun ada, aku tak akan bisa merasakannya lagi.
Ku habiskan
sisa hari ini dengan berjalan menyusuri kota ini, kota yang baru ku huni
beberapa tahun lamanya. Kota yang selalu dianggap sebagai sepotong surga yang
jatuh ke bumi, atau ada yang mengatakan, Tuhan sedang tersenyum ketika
menciptakan tempat ini. Jika keadaan berbeda, tentu aku bisa membenarkan kata-kata
itu, tapi sekarang, tidak. Aku bahkan hanya bisa merasakan rasa sakit, tanpa
bahagia, tanpa ada yang tersisa di jiwa.
Sejak tiga
tahun lalu, ketika terkapar di tepi jalan tol. Aku melanjutkan hidup tanpa
arah, pagi itu ketika fajar menyingsing di ufuk timur ku lanjutkan hidup
sebagai seorang yang teraniaya. Sempat ku kembali mencari Ana, tapi tak ada
harapan. Menghilang tanpa jejak. Duniaku seperti runtuh ketika ku dengar kabar
jika dia telah tiada.
“Apakah ada
informasi tentang Nayla Anastasya pak?”
“Sebentar.
Anda siapa, dan ada kaitan apa dengannya?”
“Saya
kerabat jauhnya pak, sudah tiga bulan ini saya tidak mendengarkan kabar tentang
dia. Apakah babak tahu? Saya sudah datang ke rumahnya, tetapi rumah itu sudah
bukan miliknya lagi. Penunggu barunya pun tidak tahu kemana mereka pergi.”
“Tunggu,
saya carikan dulu datanya,”
“Nayla
Anastasya, istri pengusaha bernama Ryan Wijaya. Betul?” tanya polisi itu.
“Benar pak,
apakah ada informasi tentang mereka, apa yang terjadi?” tanyaku tak sabar.
Jantungku berdetak kencang.
“Ia
ditemukan tewas mengenaskan. Diperkosa sebelum dibunuh. Rumahnya berantakan, dan
dari olah kejadian tempat perkara, kami menyimpulkan terjadi perampokan di
rumah itu. sementara suaminya, tidak ditemukan hingga kini. Masih belum ada tanda-tanda
tentang dia. Kemungkinan dia juga dibunuh, tetapi dibawa ke tempat lain. Kami
masih melacak jejaknya,”
“Perampokan?”
aku mendesis, menahan amarah, menahan air di mata yang telah tergenang.
“Iya,
rumahnya berantakan, beberapa barang-barang hilang. Brankas di rumah itu telah
dibobol, bersama dengan dua mobil mewah yang juga ikut raib.”
“Lantas,
apakah perampoknya sudah ditemukan?”
“Ya, sudah.
Tapi tiga diantara mereka tewas, pada saat penangkapan. Mereka mengadakan
perlawanan. Mereka berjumlah lima orang, satu diantaranya mendekam dalam
tahanan, dan satunya berhasil meloloskan diri.” jawab polisi tersebut.
Aku
benar-benar lemas mendengarkan kabar tersebut. Si bajingan itu benar-benar
berhasil memanipulasi kejadian. Sampai sekarang kebejatannya tak terendus oleh
pihak berwajib.
“Maaf, nama
Anda tadi siapa, Romi?” tanya polisi tersebut.
“Benar pak.”
jawabku tergagap.
“Nama Anda
sama dengan rekan si pengusaha malang itu,”
Aku
terhenyak demi mendengar kabar tersebut. Berarti dia sempat berhubungan dengan
pihak kepolisian.
“Pak Romi,
juga berperan aktif dalam penangkapan perampok tersebut. Dia turut membatu kami
dalam penangkapan mereka. Bahkan, dia yang memberikan informasi tentang
keberadaan perampok tersebut. Dua minggu setelah kejadian kami berhasil
menggrebek sarang komplotan perampok yang telah masuk ke daftar buruan kami.
Dan itu berkat informasi dari beliau. Mungkin Anda kenal beliau. Dan hingga
kini, dia masih sering berhubungan dengan kami, mencari informasi keberadaan
penguasaha tersebut. Dia meminta kami mengusut kasus ini hingga tuntas dan
beliau meminta kami segera menemukannya.?”
“Tidak, saya
tidak mengenalnya.” aku hanya menggeleng. Menahan amarah yang terbakar. Dia
benar-benar seorang biadab. Setelah apa yang dilakukannya, dia berlagak seperti
pahlawan. Dan tentu saja dia ingin tahu keberadaanku, dia akan menghabisiku
jika tahu aku masih hidup. Aku benar-benar geram.
“Baiklah,
apakah ada yang bisa dibantu?”
“Tidak pak,
terima kasih informasinya.” polisi tersebut mengangguk, mempersilakanku pergi.
Dari kantor
polisi aku langsung menuju kantorku, bukan. Bukan lagi kantorku, tetapi bekas
kantorku. Ku perhatiakan dari kejauhan, lima orang keamanan berada di depan
gerbang, tampak ketat dijaga oleh security, juga ada dua polisi yang sedang
berjaga di sana. Dia benar-benar meningkatkan kewaspadaannya.
Aku tak bisa
mendekat. Semua orang itu baru, dan tidak ada satu pun anak buahku yang
tersisa. Aku tidak bisa mendekat. Aku harus waspada. Tidak bisa sembrono
menghadapi ini, aku perlu sebuah rencana. Ya, rencana untuk membalas
kekejiannya, aku akan membalas semua itu, dengan cara yang tak akan bisa
dilupakannya, aku akan merenggut semuanya darinya, aku ingin merasakan seperti
apa rasanya kehilangan. Tapi tidak sekarang, aku harus segera menjauh. Jika
tidak, semuanya akan sia-sia, amarahku hanya akan mengacaukan semuanya.
Tapi, aku
justru terjerembab di sini. Terdampar di kota ini. Setelah dari kantor Romi,
langkahku tak tentu arah. Rasa putus asa itu bahkan mampu melupakan amarah dan
dendam. Langkah kakiku akhirnya menuntunku untuk berada di tempat ini. Terkunci
di sini, nasibku berakhir menjadi seorang berandal dan pemabuk.
Dua tahun
lalu, setelah kejadian yang memilukan itu. Ketika aku berjalan tak tentu arah,
membiarkan langkah kaki membawa tanpa tujuan, dunia ini semakin kelam usai
kejadian selanjutnya yang mampu mengubah hidupku. Kejadian di mana untuk kedua
kalinya aku harus berjumpa dengan amarah. Ketika malam berada di titik
tergelap, aku melihat tiga orang menghajar seorang lelaki yang sudah tidak
berdaya. Darah membasuh wajahnya, luka cabikan benda tajam menganga dari
tubuhnya. Kakiku tergerak begitu saja ketika melihat kejadian itu. Dan ketika
salah seorang hendak memukulkan batu
bata ke wajah lelaki yang telah terkapar itu, secepat kilat aku
menyambar sebuah pipa yang berada di sampingku.
Buk!! Sekuat
tenaga ku pukulkan pipa itu di kepala bagian belakang lelaki itu, tak menunggu
lama dia terkapar. Sementara dua orang rekannya yang terkejut melihat rekannya
ambruk langsung berbalik arah kepadaku. Satu orang memegang belati, sementara
satu orang lagi menggunakan tangan kosong. Bersiap menghadapiku. Aku masih
ingat pelajaran beladiri pencak silat semasa kuliah dulu, beberapa jurus masih
bisa kugunakan. Aku tak akan mundur, aku telah masuk ke arena laga, pantang
bagiku mundur.
Tanpa
basa-basi kedua orang itu menyerangku membabi buta, bergantian melancarkan
tinju dan terjangan. Aku masih bisa berkelit, tapi satu hujaman belati itu
berhasil menggores lenganku, mengoyak kaos yang ku kenakan. Tapi satu tinju ke
arah rahang mampu membuatnya ambruk, sementara tendangan memutarku berhasil
mengenai ulu hati satu orang lainnya. Mereka terkapar, aku kalap. Semuanya
gelap, tinjuku bergantian mengajar orang-orang itu, wajahnya sudah tak
berbentuk. Berada di tingkat khusus satu dalam perguran silatku, cukup
merubuhkan orang-orang itu dengan mudah. Meski telah lama tak ku gunakan,
beberapa jurus dan olah napas masih bisa kukuasai dengan baik.
Amarahku
terbakar, kejadian malam itu benar-benar menguasai kelapa. Batu-bata yang
tergeletak di sebelahku tadi ku ambil, tanpa pikir panjang, ku hantamkan sekuat
tenaga ke wajah salah seorang dari mereka. Dia hanya mengerang sebelum berhenti
bergerak. Sementara mataku tajam melihat satu orang lainnya, ia mundur ke
belakang, dengan posisi duduk. Menyeret tubuhnya yang tak lagi kuat berdiri,
tapi sebelum bata yang ku genggam mendarat di wajahnya lelaki yang dikeroyok
tadi bangkit dan sekuat tenaga menghantamkan kayu ke kepalanya.
Brak!! Ia
mendengus puas. Sementara yang dipukul langsung tergeletak. Bersimbah darah
yang mengucur dari kepalanya. Aku hanya menatap kejadian itu, mengatur napas
yang tersengal. Mencoba kembali mengembalikan nalar yang telah dikuasi amarah.
“Siapa kau?”
Aku hanya
diam. Lelaki itu tak lama juga ikut ambruk. Luka di tubuhnya telah membuat dia
tak mampu berdiri dengan sempurna. Malam ini rangkaian cerita ini akan menyusun
kembali puzzle yang berserakan. Mengganti kepingan yang hilang, menjadi satu
rangkaian baru yang akan benar-benar berbeda dengan cerita yang ada sebelumnya.
Ketika malam menikam dengan kejadian yang tak pernah terbayangkan, aku
dihadapkan kepada situasi yang benar-benar rumit, dan tidak akan pernah ku
mengerti mengapa menjadi seperti ini. Doa malam itu akan terjawab dengan
rangkaian kejadian dalam waktu yang entah kapan berakhir.
Sabtu, 23 Mei 2015
Menikam Malam #3
#Secangkir Kenangan Manis di Sore
yang Romantis
Ilustrasi: http://4.bp.blogspot.com |
Terik
menyengat, membakar sisa harapan, lantas menguap. Menghilang entah kemana. Rasa
kantuk mulai menyergapku, di bawah pohon rindang ini, semuanya begitu
menenangkan. Entah, sudah berapa lama tak ku injakkan kaki di pelataran rumah
itu. Bangunan dengan tembok tinggi, berjejer mobil di dalam garasi. Lagi pula,
tak ada gunanya aku ke sana. Itu bukan milikku lagi, kini, sesuatu yang ku
sebut rumah, telah benar-benar hilang dan tak ada alasan buatku untuk pulang,
karena aku tak tahu kemana harus melangkah, menentukan tujuan.
Teduh
tatapannya, renyah tawa itu mencairkan suasana. Suasana yang selalu ku suka. Ia
menatap penuh perasaan, aku selalu suka membelai rambut itu, menatap kedua mata
itu, begitu lekat. Mengecup bibirnya, aku selalu suka. Ahh, bayangan itu,
setidaknya selalu berkelebat terlintas di pikiranku, sesaat menghiburku. Sudah
tiga tahun semua itu berlalu, sejak aku menyuntingnya, menjadikannya bagian
dalam hidupku. Aku baru saja mereguk bahagiaku dengannya, seorang wanita yang
ku perjuangkan dengan nada lantang, wanita yang membuatku tertawa, aku sempat
merasakan bahagia dengannya.
Tapi,
kejadian itu. Kejadian itu benar-benar membuat semuanya sirna. Bajingan itu,
benar-benar menghancurkan semuanya. Entah apa pasalnya, seorang yang dianggap
sahabat itu, dengan lantang merenggut semua yang dimilikinya.
“Rom!
Apa yang kau lakukan?!”
“Yang
ku lakukan? Menghancurkanmu!”
“Bangsat!
Lepaskan!”
“Diam!”
lelaki yang dipanggil Romi itu menggebrak meja.
“Kau,
tanda tangani ini. Cepat!”
Ku
tatap nanar tumpukan kertas itu. Sebuah surat perjanjian hibah saham
perusahaan. Aku menggeleng, lalu bisa menebak apa maksud Romi. Belakangan ini dia
telah melakukan berbagai cara, namun gagal. Dari mulai cara terhalus dan
sekarang dengan cara kekerasan. Sementara dua orang yang memegangiku mendorong
paksa.
“Kenapa,
kau enggan menandatangani surat itu, baiklah. Sepertinya kau butuh dorongan
untuk melakukannya,” tatapan matanya sinis, penuh dengan kelicikan.
“Bawa
wanita jalang itu ke sini!” ia
memberikan komando ke salah satu anak buahnya.
Ana
dibawa ke ruangan ini, dengan mulut tersumpal kain, kedua tangannya tak luput
dari sasaran. Pipinya bersemu biru, sepertinya dia melakukan perlawanan. Amarahku
memuncak, napas menderu, tak pernah ku biarkan orang lain menjamahnya.
“Bagaimana
sekarang? Kau masih enggan melakukan apa yang ku minta. Jika kau menolak, bisa
kau pastikan, seumur hidupmu akan menanggung derita dan sesal. Kau bahkan tidak
bisa menjaga wanita yang telah menyerahkan semuanya kepadamu. Aku bahkan tak
yakin kau mampu berteriak melihat semua ini,” Romi menyentuh pipi Ana,
merabanya dengan tatapan picik, lalu menarik paksa penyumpal mulutnya.
Tanpa
ku duga, Ana meludahi Romi, tepat di wajahnya. Tatapannya garang, penuh
kebencian. Aku belum pernah melihat kemarahan seperti itu sebelumnya.
“Dasar
jalang!”
Plak!
Romi menapar wajah Ana, tak terima mendapatkan penghinaan itu.
“Rom!
Sekali lagi kau sentuh dia..”
“Apa,
kau mau melawanku? Heh?”
Buk!!
Seketika tinjunya menghantam perutku. Aku ambruk, berlutut di depannya. Menahan
nyeri di ulu hati.
“Sialan
kau Rom!” desisku.
“Jangan
banyak bicara kau, cepat. Tandatangani berkas itu, atau sesuatu yang tidak kau
inginkan akan terjadi. Sesuatu yang sangat kau benci. Hahahaha”
Romi
melemparkan berkas itu ke hadapanku. Tanpa berdaya, aku melakukan yang dia
minta. Perusahaan itu, adalah sesuatu yang ku rintis dengannya. Entah kenapa,
dia melakukan ini. Padahal dia adalah sahabatku, sejak di Universitas dulu, dia
jelas tahu bagaimana susahnya aku merintis usaha ini dari awal, di awali dengan
berjualan cermin di pinggir-pinggir jalan, menjajakannya ke rumah-rumah. Hingga
akhirnya setelah berperih-perih, aku berhasil membuka kios, tidak hanya cermin
yang dijual, semua jenis kaca ku jual di kios itu. Sampai akhirnya aku bertemu
seorang pengusaha, dia memberikan kepercayaan kepadaku menjadi pemasok kaca di
gedung yang akan dibangunnya.
Hingga
saat ini, setelah delapan tahun aku bergelut di bisnis ini, memiliki pabrik di
tiga kota, dan beberapa cabang perusahaan yang bergerak di bidang properti, akan
segera sirna. Semua aset yang ku miliki akan lenyap ketika ku tandatangani
berkas itu. Di tangan seseorang yang ku sebut sahabat.
Sesaat
ku lihat Ana yang berada tepat di depanku. Matanya berkaca-kaca. Sungguh, aku
tidak bisa kehilangan dia disakiti, bahkan hanya dijamah orang lain, aku tak
akan rela. Harta ini, bisa ku cari, tetapi tidak akan ku temui Ana lain di luar
sana.
“Cepat!
Apa lagi yang kau tunggu?”
Gemetar
tanganku menandatangani berkas itu.
“Ya
Tuhan, jika harta ini bukan milikku, maka buat aku rela melepaskannya, biarkan
itu semua jadi ladang ibadah untukku. Tapi jika itu adalah hakku, maka berikan
pengertian kepadaku, jika semua itu akan kembali padaku. Jangan Kau buat aku
ragu tentang keputusanmu, jangan Kau buat bimbang hatiku tentang semua ini,”
gumamku dalam hati.
Kasar
Romi mengambil berkas itu dari tanganku. Dengan wajah penuh kemenangan, dia
tersenyum sinis. Hatiku hanya bisa mengumpat. Tak bisa berbuat banyak lagi. Aku
tidak akan mempertaruhkan keselamatan Ana. Aku tidak akan pernah membuatnya
dalam bahaya, itu adalah janjiku, janji ketika aku hendak menyuntingnya. Tetapi,
kini aku telah gagal menepati janji itu.
Buk!!
Sekali terjang kakinya telak mengenai rahangku, darah mengucur dari mulutku. Kesadaranku
perlahan memudar, padangan kabur. Sekuat tenaga ku coba untuk tetap sadar.
“Kau
tahu, dari dulu aku tidak bisa menerima ini. Kau tentu ingat, bagaimana aku
bekerja keras ketika kita masih menjadi kawan sebangku. Kau tentu juga tahu,
aku selalu lebih pintar darimu. Aku lulus dengan predikat terbaik, sedangkan
kau. Kau tidak sama sekali, kau bahkan tidak berhasil menyelesaikan studimu. Kau
selalu lebih populer dariku, padahal akulah yang terpintar. Lalu, kau merebut
dia dariku. Wanita yang ku sayangi. Kau merebut semuanya dariku. Sekarang, kau
akan menerima akibat dari perbuatan keji itu.”
“Hajar
dia, tapi jangan kalian buat mati. Biarkan dia sekarat. Wanita itu, terserah
kalian!” Romi berikan instruksi kepada kelima anak buahnya.
Tanpa
basa-basi, ketiga anak buah Romi menghajarku, ketika tubuhku remuk redam. Aku masih
bisa melihat Ana berteriak di depanku, matanya bercucuran air mata melihatku
tersiksa. Tapi, keadaan yang lebih pedih terjadi. Bukan terjadi kepadaku,
tetapi kepada dia, kepada Ana-ku.
Aku
terjaga, tepat ketika suara muadzin kumandangkan adzan. Mungkin pukul empat
sore sekarang. matahari mulai condong ke barat. Sebentar lagi hari akan menepi,
menyajikan pemandangan yang selalu kami sukai, ya, aku dan Ana-ku, selalu suka
menatap senja yang merona, atau menikmati secangkir teh ketika hujan menyapa. Bercengkrama
dengan belaian hawa dingin.
Sekuat
tenaga aku menepis semua kenanagan itu. Kenangan yang kemudian menjadi sangat
menyakitkan. Tiga tahun lalu, setelah ku putuskan untuk meninggalkan semua
kenangan di kota itu, kakiku melangkah tak tentu arah, dan terdampar di sini. Bertahan
dengan sisa kenangan yang terus berkecamuk. Berakhir tragis di kota yang selalu
romantis.
Kamis, 21 Mei 2015
Menikam Malam #2
#Wanita Pesolek
Ilustrasi: cdn.metrotvnews.com |
Pukul
01.43 dini hari, tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Napasnya masih
tersengal. Kejadian itu begitu cepat berlalu. Semuanya masih ada di depan mata,
sangat nyata. Tangannya masih bergetar hebat, sementara keringat dingin terus
mengucur. Masih bisa terlihat dengan jelas, bagaimana si botak yang mencoba
menjamahku tadi rubuh seketika, setelah pecahan botol itu merobek perutnya,
sementara dua lainnya juga terkapar tak berdaya. Lantas, siapa orang itu,
kenapa dia membantuku, kenapa dia menolongku. Lalu, kenapa dia juga begitu
dingin, kenapa dia begitu kasar. Siapa dia, sama seperti ketiga lelaki itu,
preman atau anggota geng, atau dia hanya sekedar lewat, tapi dia menenggak
minuman keras. Ahh, semua pertanyaan itu berkecamuk di benaknya, masih belum ada
titik terang dari semua tanya itu.
Malam
merangkak pelan, di dalam taksi Rey masih terpekur. Menggigil ketakutan,
sementara sang sopir fokus memegang kemudi. Jalanan lengang, hanya ada beberapa
kendaraan yang melintas, suasana kota ini memang begitu syahdu, terlebih ketika
malam menjelang atau ketika tak terlalu banyak aktifitas.
“Mau
kemana neng kita?”
Aku
tersentak, menepuk jidat. Sial, aku lupa belum memberikan alamat jelas akan
kemana tujuanku.
“Ke
Burangrang pak,” jawabku.
Dalam
hati Rey hanya bisa merutuki nasibnya malam ini. Entah mimpi apa semalam, hanya
satu, hari ini benar-benar kacau. Rentetan masalah terus mendera bak gelombang
pasang, terus menerjang, bahkan hampir saja merobohkannya. Pagi-pagi sekali dia
harus mencari cara, bagaimana untuk bisa mencari uang pinjaman, kira-kira
selepas subuh, ia mendapatkan telepon dari kampung, adiknya masuk rumah sakit
karena typus, dengan kata lain, orang tuanya butuh uang segera. Persediaan uangnya
habis sudah, pekerjaannya yang hanya sebabai pelayan sebuah café habis, bulan
ini dia telah mengirimkan uangnya ke rumah sebanyak dua kali, dan ini kali
ketiga ibunya berikan kabar yang mengusiknya.
Sempat
terlintas untuk meminjam uang, tapi kepada siapa. Ke tempat ia bekerja, hal
yang tidak mungkin, dia terlalu sering melakukan kas bon. Dan kali ini
benar-benar mendesak, Ari, adiknya telah demam tinggi lebih dari dua hari,
segala macam obat tradisional telah diberikan, tapi kondisi itu tidak membaik,
dan terpaksa harus mendapatkan rawat intensif di rumah sakit.
Sempat
kembali terlintas di pikirannya untuk menerima tawaran Kikan yang diterimanya
sore tadi, ia kembali membuka pesan singkat yang membuatnya tersentak. Tapi kali
ini, tawaran itu benar-benar membuatnya bimbang.
“Rey,
temanku minta ketemuan sama kamu, kalo mau kamu datang malam nanti jam 10 di
Andalusia café.” Kikan mengirimkan pesan
tersebut.
Sebuah
ajakan yang tidak bisa langsung ku iya-kan. Beberapa hari lalu, aku
menceritakan masalah finansial ini kepadanya. Dia memberikan pinjaman uang yang
ku butuhkan, sekaligus memberikan solusi untukku. Ada alasan penting, kenapa
Kikan menjadi tujuanku ketika keadaan finansial mendesak, sebab dari segi
ekonomi, dia jelas lebih mapan dariku. Padahal, dia satu tempat kerja denganku,
dan dia selalu bisa memiliki uang lebih. Sempat ku tanyakan hal itu kepadanya,
tapi ia hanya tersenyum sembari berkata.
“Nanti
aku bakal cerita, kalo kamu benar-benar butuh bantuanku, sekarang, kamu tidak
harus tau,” aku hanya mengangguk. Tidak banyak kata, karena hingga saat ini dia
adalah satu-satunya sahabat terbaikku.
Dan
dua hari lalu, saat ku ceritakan masalah ini kepadaku dia mengungkap sebuah
rahasia yang tetap bungkam. Rahasia yang membuatku hanya bisa termenung, tidak
pernah terbayangkan sebelumnya. Ketika fajar tenggelam, hatiku berkecamuk
kelam. Sebuah pertanyaan yang tidak gampang untuk ku tuntaskan, sebuah tanya
yang ingin selalu ku tanyakan, tapi, aku masih belum tahu, kepada siapa
pertanyaan ini akan ku berikan.
“Kamu
pikir, hanya menjadi pelayan café, aku bisa menghidupi diriku. Kamu lihat,
pakaian ini, tempat tinggal ini, sepatu, tas dan semua yang ku punya, tentu
tidak bisa didapatkan dengan bekerja sebagai pelayan café. Tapi aku bisa
mendapatkan semua itu, dengan melayani mereka. Orang-orang berduit itu,”
“Ya,
mungkin kau akan segera merasa jijik denganku. Tapi, kamu tau, semua itu adalah
harga yang pantas didapatkan. Orang-orang seperti kita ini, sulit untuk bisa
hanya sekedar berjalan. Kerja banting tulang, mengeluarkan yang terbaik, tapi
kamu lihat kan? Cucuran keringat kita hanya dibayar dengan uang yang bahkan
tidak cukup untuk makan sebulan,”
“Kerja
di kantoran, untuk orang desa seperti kita, sulit. Terlebih sekarang persaingan
dunia kerja seperti itu. kamu tahu, berapa banyak sarjana di sana yang berakhir
hanya duduk-duduk saja sehabis kuliah, sementara kita yang mengandalkan ijazah
SMA, apa yang bisa kita lakukan? Tidak ada Rey!”
Mata
Kikan berkaca-kaca. Jelas dia tidak menikmati apa yang dilakukannya saat ini. Aku
hanya bisa memeluknya. Tak ada sepatah kata yang bisa terlontar dari bibirku.
“Kamu
tahu Rey, awalnya ku lakukan itu karena butuh biaya. Kau tahu, seperti saat
ini, sama seperti yang kamu alami. Orang tuaku terlilit hutang, Bapakku,
terlilit hutang oleh rentenir, dan tanah miliki mereka telah habis terjual. Dan
harapan satu-satunya, hanya aku. Mereka memberikan kabar kepadaku, jika hutang
tersebut tidak segera dilunasi, Bapak akan dipenjara. Aku tak mau melihat
keluargaku seperti itu. biarkan aku berkorban lebih. Mereka telah melakukan
banyak hal untukku. Dan sekarang, giliranku berkorban untuk mereka.”
“Kamu
tahu Rey, kondisi itu tidak semakin membaik. Setelah ku bayar hutang itu. Bapak
tiba-tiba sakit, entah bagaiamana caranya mereka tahu pekerjaanku ini. Bapak
tidak menerima itu, akibatnya dia kena serangan jantung. Dan tak lama
kemudaian, ia harus meninggalkan kami. Meninggalkan ibu dan dua adikku yang
masih sekolah. Dan sekarang, hanya aku satu-satunya tulang punggung keluarga
ini, pekerjaan ibu yang hanya buruh tani, tak cukup untuk membiayai sekolah
kedua adikku. Aku tidak ingin kedua adikku mengalami nasib yang sama denganku,
terjerambab di jurang kenistaan ini. Sekuat tenaga, aku akan menyekolahkan
mereka, kini mereka telah masuk universitas, sebentar lagi salah satu dari
mereka akan mendapatkan gelar sarjana. Besar harapanku untuk mereka,”
Aku
hanya bisa diam. Sungguh, tak pernah terbersit di pikiranku, tentang sahabat
baikku ini. Aku hanya bisa diam seribu bahasa.
“Kamu
tidak harus mengikuti jejakku Rey, aku tahu kamu perempuan baik. Kamu bisa
melalui semua ini tanpa harus melumuri tubuhmu dengan dengus sejuta lelaki,”
ungkapnya lirih.
Kikan
menyodorkan amplop kepadaku, aku hanya menatapnya.
“Ini,
mungkin bisa meringankan bebanmu, uang ini memang dari hasil nista. Tapi aku
tulus memberikannya untukmu.”
Aku
hanya menggeleng, menolak bantuannya.
“Kenapa?
Bukankah kamu butuh ini. untuk berobat adikmu Rey.”
“Maaf,
aku tidak bisa. Maafkan aku, kamu lebih membutuhkannya dariku. Aku baik-baik
saja, aku bisa melalui ini. semoga,” ucapku lirih.
“Baiklah,
keputusanmu. Aku tidak bisa memaksa.”
Aku
hanya mengangguk pelan. Sementara itu, langit di atas sana tampak tersenyum. Indah,
lukisan Illahi tampak begitu anggun. Dengan lembayung memeluk senja yang
mempesona. Aku terpaku sesaat, menikmati sebagian hari yang mulai tenggelam. Sementara
hatiku, sungguh tak bisa merasakan kedamaian kota yang tersenyum di batas
waktunya.
Malam
merambat pelan, rinai hujan menyisakan hawa dingin. Menusuk tulang, pesona
mentari memang telah tenggelam di batas cakrawala. Tapi, kota ini, selalu
menyajikan pesona yang berbeda. Akan selalu tampak cantik, tak perlu bersolek. Dan
aku, masih terpaku di depan cermin. Menatap wajahku yang baru saja selesai
dipoles dengan make-up, membayangkan
wajahku dijamah oleh orang lain, aku bergidik. Tak sanggup membayangkannya. Tapi
tekadku sudah bulat, tadi aku membalas pesan singkat kepada Kikan. Bahwa aku
akan menemuinya di café yang telah ditentukan olehnya. Tekadku, bahkan
mengalahkan rasa jijikku terhadap semua ini.
Pukul
08.00, aku harus segera bergegas. Hujan tidak akan menyurutkan geliat kota ini.
Tentu jalanan akan semakin padat, ditambah ini adalah weekend, akan banyak pelancong yang datang ke kota ini. Hatiku
diliputi perasaan gamang luar biasa, hatiku tidak bisa menerima ini, tapi jelas
keadaan benar-benar membuatku harus melupakan ego dan mungkin harga diri. Tapi,
sejak tadi aku berada di tempat ini, masih berusaha menimbang apa yang ku
lakukan, dan akhirnya ku putuskan untuk mengirim pesan singkat kepada Kikan.
“Kikan,
maaf. Aku tidak bisa.” tulisku singkat.
Tidak
menuggu lama, teleponku berdering. Nada panggilannya meraung-raung, berpadu
dengan bisingnya gejolak hatiku. Ku putuskan untuk menolak panggilan itu. Telah
tiga kali, Kikan memanggil ulang, aku benar-benar tidak bisa menerima ajakan
itu. Hatiku menolak tegas. Tapi, sekelebat bayangan adik dan keluargaku di
rumah, sesaat mendatangiku. Terbayang wajah adikku yang saat ini tergolek lemas
karena sakit, terbayang wajah ibu yang cemas menunggu. Maaf, bu, aku tidak bisa
melakukan ini. batinku lirih.
Ku
matikan teleponku, ku putuskan untuk berjalan melewati malam. Dan sial, ketika
lamunanku mengintimidasi logikaku, aku telah berada di tempat ini, tempat yang
sepi. Sementara kini, di depanku telah berdiri tiga orang laki-laki. Dari tampangnya,
mereka bukanlah kiyai atau ustadz. Bau alcohol menyengat, sementara itu lelaki
yang berkepala plontos dipenuhi dengan tato, sementara dua lainnya bisa ku
simpulkan, mereka juga bukan orang baik-baik.
Mereka
mungkin juga berpikiran sama denganku. Tubuhku dibalut dengan pakaian yang
bahkan sulit untukku bernapas. Rok di atas lutut dengan pakaian agak terbuka,
memperlihatkan leher jejang dan rambut panjangku. Belum lagi goresan make-up di
wajah dan parfum menyengat, mereka segera bisa menyimpulkan jenis wanita
seperti apa aku ini, terlebih aku berjalan seorang diri di tengah malam. Aku benar-benar
dalam kondisi yang sulit untuk dibayangkan. Keluar dari kadang buaya, aku justru
memberikan tubuhku ke segerombolan serigala.
Aku
hanya bergidik, takut membayangkan apa yang akan terjadi. Tapi rasa takut itu
mulai sirna sedikit ketika datang seorang pria yang menyela ketiga serigala
ini. Tapi, perasaan lega itu hanya sesaat. Karena pria itu berjalan
sempoyongan, menggenggam botol minuman keras, menyongsong kami.
Aku
telah meminta kepada mereka, untuk mengambil apa pun yang ku miliki, dan
membiarkan aku pergi. Tapi, ruapanya mereka menginginkan lebih, mereka
menginginkan lebih dari sekedar barang-barang yang ku bawa. Mereka menginginkan
tubuh molekku. Aku tertegun, benar-benar tak bisa membayangkan hal ini.
Tapi
sebelum semuanya ku mengerti, kejadian itu cepat berlalu. Ketiga orang tersebut
tumbang, dengan darah mengucur dari kepala dan perut mereka, sementara satu
orang lagi terkapar dengan lelehan darah yang keluar dari mulutnya. Dan kini,
hanya tersisa dia seorang, lelaki yang tadi berjalan sempoyongan, kini tak ada
lagi botol minuman yang tergenggam di tangan. Karena telah pecah di kepala
orang itu, sementara sisa pecahannya masuk ke dalam perut si plontos.
Tampang
pria itu jelas tak bersabahat. Dari kata-katanya sangat kasar. Sementara itu,
penampilannya tak lebih dari sekedar pemabuk. Rambut gondrong tergerai, jambang
tak terawat dengan bau alcohol yang juga menyengat. Tapi, dia masih tampak
bingung. Entah karena apa, dia melihat tangannya yang tadi memegang botol. Mungkin
menyesal karena minuman itu telah berhamburan di jalanan.
Belum
mendapat penjelasan, pria itu menyentak dengan kasar, menyuruhku segera
bergegas meninggalkannya. Dan tanpa pikir panjang, aku bergegas, hanya saja tak
sempat ku ucapkan terima kasih kepadanya.
Pikiranku
masih melayang bebas di awang-awang. Sementara aroma hujan masih menyisakan
sebuah tanya. Aku terpekur, nyaris saja terjerumus ke jurang itu. Tapi, aku
belum benar-benar terlepas dari kondisi itu. Entah sampai kapan aku bisa
bertahan. Pertanyaan ini, apakah bisa akan terjawab dengan satu kata. Dan malam
benar-benar menikam keadaan, benar-benar menyayat perasaan.
Langganan:
Postingan (Atom)