Pada akhirnya semua
jalan itu akan mengarah pulang. Sejauh apapun berjalan, berpetualang,
mengelilingi separuh putaran hidup dengan terus melangkah, mencoba mencari dan
selalu mencari. Entah, hingga kini pun, belum ada yang kutemukan, bahkan
sebenarnya aku tidak tahu apa yang dicari. Hati dan pikiranku mencoba untuk
selaras, mencoba saling berinteraksi dengan lingkungan sadarku, mencoba
memberikan gambaran nyata, melalui bayangan yang diperhatikan oleh seruas makna
yang dimiliki hati.
Jika hanya ingin mengerti
tanpa memahami, maka esensi dari sebuah pencapaian keberhasilan tidaklah bisa
didapatkan. Karena entah kenapa, banyak sekali orang mempunyai tujuan yang
serupa, jika disodorkan pada kisah-kisah petualangan akan dengan antusias
merasa bahwa itulah dirinya. Akulah sang petualang, akulah sang penakluk,
akulah segalanya. Dan seperti itulah ketika kita tidak bisa memahami arti dari
sebuah esensi perjalanan.
Dalam setiap langkah
kaki yang terus berjalan tenang, aku kembali dihadapkan dengan situasi yang sebenarnya
sulit untuk dimenengerti. Aku berada pada bagian yang sebenarnya tidak ingin
kulalui, tapi sebenarnya mengelak pun tidak akan bisa, karena itu sebuah
kenyataan, kenyataan yang seharusnya tidak untuk dikeluhkan. Jika terlalu
banyak mengeluh, kita hanya akan semakin terseret masuk ke dalam kubangan yang
suatu saat nanti dengan cepat bisa mengubur kita perlahan, bahkan bisa dengan
sangat cepat.
Pada bagian lain sebuah
persahabatan, adakalanya perselisihan menjadi sebuah warna. Ketika ada
intimidasi, akan diselingi dengan pembelaan diri, ketika ada yang di salahkan,
maka akan ada yang membenarkan. Kekecewaan mungkin saja terjadi, mungkin saja akan
menimbulkan percikan dari sebuah sebuah persahabatan menuju rasa tidak percaya.
Aku pernah di kecewakan,
tapi aku lebih sering mengecewakan. Aku pernah disakiti, tapi aku lebih sering
menyakiti, aku pernah di khianati, tapi aku lebih sering mengkhianati. aku
tidak lebih baik daripada penjilat-penjilat itu, aku tidak lebih baik daripada
bangsat itu. Ketika semua kejelekan seseorang diungkapkan ke permukaan, menjadi
bahan obrolan di meja makan, maka sepertinya semua omongan jelek itu menuju
kearahku, mengelilingiku seraya berkata, “Dengarkan, semua orang sedang
membicarakan kejelekkanmu, lalu bagaimana nanti jika kau sudah mati? Tidak akan
ada yang akan membicarakan kebaikan-kebaikanmu, maka celakalah kamu!”
Sepertinya kata-kata itu
membuatku bergidik ngeri. Entah, sampai kapan semua ini akan berakhir, entah
sampai kapan semuanya akan dimulai kembali. Aku terus melangkah, semakin
menjauh, semakin banyak orang yang ku sakiti, semakin banyak orang yang ku
kecewakan, selangkah aku berhenti, maka akan ada yang merasa di sakiti pada
langkah berikutnya.
Jika langkahku harus
selalu panjang, aku tidak akan pernah berhenti, hingga nanti waktunya aku harus
kembali. Entah kapan semuanya akan berakhir, entah sampai kapan semuanya bisa
dimulai dari awal lagi. Pada sebuah nama yang entah lafalnya seperti apa,
terkadang cinta itu tidak mengenal aksara, karena hanya ada rasa dan kasih.
Tidak perlu mencarinya, karena tanpa dicari ia akan datang sendiri, setidaknya
seperti itulah pemahamanku mengenai persoalan yang satu ini. Tidak perlu
mengejarnya, karena ia akan menghampiri jika waktunya sudah tiba.
Semakin cepat mengatakan
cinta, maka akan secepat itu pula kita akan mengatakan benci. Akan selalu ada penyebab
dari sebuah persoalan, aka nada solusi menyertai pula. Terkadang kita tidak
sadar jika semua permasalahan itu akan disertai dengan berbagai solusi, seperti
kata pepatah lama, ada banyak jalan menuju Roma, maka ada banyak pula jalan
untuk mencari setiap masalah yang sedang menyapa.
Malam ini begitu dingin,
sangat dingin, seperti sedang berdiam di suatu tempat dengan ketinggian 3000
Mdpl. Semilir angin yang berhembus pelan sudah cukup membuatku merasakan dingin
mulai masuk dari ujung kaki, perlahan dengan sangat pelan dingin ini mulai
membekukan keadaan, sepertinya semuanya mulai terbuai dengan sunyinya malam,
semuanya kembali ke peraduan. Dan sesaat kemudian hanya akan ada hening yang
sempurna, indah.
Selarut ini, malam
merayap pelan. Mulai mengisahkan tentang perjalanan mentari yang mengintari
bumi. Seperti cerita seorang teman yang mengisahkan tentang malam ini, ia
berujar tentang bulan, terlihat indahnya bulan diantara awan yang menggumpal,
terlihat indah ketika bulatan bercahaya itu menyibakkan sisa-sisa awan yang
menutupinya. Sepertinya sang awan memahami bahwa dia harus menjauh dari
rembulan, karena ada seseorang yang berharap keindahannya terlihat di malam
yang begitu dingin, terlebih setelah sepanjang hari hanya ada dominasi hujan
dan awan gelap, dingin ini berpadu dengan harmonisasi cahaya rembulan, bersinar
terang keemasan.
Suasana ini tentu akan
berarti bagi sebagian orang, bagi sebagian orang yang menyukai keidnahan dari
sisi pandang yang berbeda, menikmati keindahan dari sisi gelapnya, menyaksikan
lukisan Illahi, lalu dalam hati bergumam, berharap dan merapal doa kepada Sang
Pencipta, mengenai angan dan cita-cita, menganai rasa, mengenai hati, mengenai
tujuan awal dan tujuan akhir, mengenai perihal jalan untuk kembali pulang.