Tengah malam, hujan. Tepat setelah beberapa menit tiba di
tempat ini, kesunyian ini merdu seketika tatkala balada instrument rintik hujan
kembali bersenandung di tengah malam. Alam seperti menjawab semua pertanyaan
dan kegundahanku akan beberapa hal yang masih membuatku ragu untuk terus
berjalan tegak. Sepertinya ia mendengarkan setiap keluhan yang tidak pernah
terucap. Dan ia menjawab pertanyaanku dalam bahasanya, ia menenangkanku dengan
caranya.
Entah sudah sejauh apa aku melangkah. Sepertinya sudah lelah
terus melangkah, terus berjalan. Namun seperti yang kurasakan sekarang, aku
tidak beranjak kemana-mana. Bergeser beberapa centimeter pun tidak sama sekali.
Namun kenapa aku bisa begitu lelah, kenapa aku merasa sudah berjalan cukup
lama, bukankah aku sudah melangkah ribuan kali. Namun seperti yang ku sadari,
aku masih tegak berdiri di tempat ini. Tidak bergeser selangkahpun.
Aku masih terbawa suasana romantic tengah malam, senandung
kerinduan kepada sebuah pencapaian, kerinduan akan sesuatu yang begitu di
dambakan. Aku begitu ingin berjalan sangat jauh, aku ingin berada di tempat
yang tidak pernah ku duga bisa mencapainya. Aku ingin langkah membawaku ke
tempat-tempat itu. Aku ingin berjalan menyusuri kesunyian yang merdu ini.
Bukankah selalu ku ceritakan tentang petualangan yang sangat
menarik. Petualangan yang begitu menarik itu terjadi karena beberapa masalah,
beberapa kesulitan dan beberapa rasa sakit. Dan itu akan menjadikannya menarik,
setiap kisah petualangan harus di bumbui dengan romansa cinta, balada
kegetiran, rintihan pelan sesaat, dan kisah petualangan akan menjadi
benar-benar hidup, ia akan menjadi sebuah cerita yang selalu melegenda, tidak
akan pernah bosan untuk menceritakan ulang.
Aroma hujan di tengah malam membawa sebuah kenangan masa
silam. Aroma yang selalu sama, aroma yang selalu berkisah tentang kesejukan,
aroma yang selalu bercerita tentang kedamaian, aroma yang selalu kurindukan,
sesaat hujan membawa setetes kerinduan akan penantian panjang sebuah perjalanan
yang belum di mulai.
Aku selalu ingin berjalan lebih jauh dari orang-orang di
sekitarku, aku ingin selalu bercerita tentang indahnya sebuah perjalanan
panjang ini. Jika seseorang bisa mendapatkan keberhasilan dalam satu langkah,
maka aku akan memilih melangkah lebih jauh untuk mendapatkan keberhasilan itu. Ketika
orang-orang bisa mendapatkan apa yang di inginkan dalam satu kali hentakan kaki
berpijak di bumi, maka tidak begitu denganku. Tuhan sepertinya mengajarkanku
bagaimana berdiri tegak setelah terjatuh, bagaimana menerima rasa sakit sebagai
rasa terindah yang pernah diberikan untukku.
Semua orang bisa mendapatkan apa yang di inginkan, dengan
proses yang begitu cepat. Tetapi tidak denganku, aku selalu menjadi orang yang
telat untuk menyelesaikan prosesnya. Aku selalu menjadi orang terakhir yang
menyelesaikan fase tertentu. Dan jika kalian mengira aku mendapatkan hasil yang
memuaskan, itu adalah salah besar, karena hasil yang ku dapatkan ternyata tidak
lebih baik dengan orang-orang di sekitarku.
Seperti rangkaian cerita fiksi, ia memiliki kisah yang begitu
bergairah. Terkadang menyala merah darah, namun terkadang redup seperti
kelamnya malam yang di selimuti kabut, sesekali menyala jingga penuh romansa.
Tetapi sayangnya, hidup bukanlah fiksi. Tidak selalu
bergairah, tidak selalu menyala penuh romansa. Perjalanannya pun tidak seperti
fiksi yang bisa di baca dalam waktu beberapa jam. Membaca peta kehidupan,
membiarkan langkah menyusuri tempat-tempat yang entah terletak dimana, berjalan
menembus batas, berjalan goyah, terjatuh, bangkit, terjatuh lagi, bangkit lagi,
jatuh. Begitulah alurnya, panjang, terkadang tidak bisa di pahami, terkadang
begitu rumit.
Hujan masih memainkan perannya malam ini, masih memainkan
instrument berbalut nada yang mengalun sendu, memerdukan kesunyian yang
berjalan begitu tenang.
Sesekali ku lihat ke gumpalan awan berwarna pekat, sewarna
dengan malam yang gelap. Sesekali lentera yang di pijarkan halilintar membuka
tirai yang menutupi wajah indanya. Memberikan senyum termanis diantara
kegelapan dan hawa dingin. Aku membalas
senyuman indahnya, dengan senyum seadanya. Sangat sederhana, karena tentu aku
tidak memiliki senyuman indah sepertinya.
Dalam benakku, dalam usahaku menyadarkan apa yang sudah ku
lakukan selama ini, benarkah aku berjalan di tempat yang sama, benarkan aku
tidak bergeser selangkah pun. Perjalanan
sepertinya belum yakin dengan langkahku yang belum benar-benar tegap. Sepertinya
dia masih akan memberikan sedikit bahan yang akan dijadikan ujian untukku. Masih
ada beberapa ujian yang akan diberikannya sebelum memberikanku sebuah
perjalanan yang ku idam-idamkan.
Atau mungkinkah sekarang perjalanan sudah ku dapatkan, apakah
ini yang harus dilalui, berjalan seirama. Monoton. Menjalani hidup yang
datar, tanpa ada kebanggaan untuk di
ceritakan kepada rekan sejawat, tidak ada nilai lebih yang bisa di nilai secara
kasat mata. Bahkan, sepertinya orang tua para wanita itu enggan memberikan
tanggung jawab menjaga putri kecilnya kepada orang-orang seperti aku. Ada yang
mencibir, “masa lalu kelam, masa depan suram” ungkapan sindiran yang menjadi
sebuah lelucon, lelucon yang tidak lucu sama sekali. Namun anehnya, aku tetap
tertawa terbahak-bahak, hingga batuk-batuk. Sampai nyeri perutku karena semua
otot mencengkram lambung yang tidak terbalut oleh daging.
Jika benar ini adalah jalannya, ini merupakan petualangan
yang ku idam-idamkan tentu tidak seperti yang ku kira. Perjalanannya begitu
monoton, terlalu banyak intrik dan cerita putus asa, terlalu banyak romansa
yang di alihkan oleh pandangan kebencian. Terlalu banyak rasa curiga dan derai
air mata, terlalu banyak kisah yang di dramatisir. Terlalu banyak kekecewaan yang di dasari oleh
pengkhianatan, terlalu banyak kebohongan yang melahirkan kebencian. Terlalu banyak.
Namun memang tidak ada pilihan untukku, tidak bisa langsung
menolak begitu saja. Karena inilah yang ku minta, dalam setiap sujud ku, dalam
setiap helaan nafasku ketika mengingat-Nya, aku menginginkan sebuah petualangan
yang bisa mengajarkanku untuk berdiri tegak, dan inilah perjalanannya,
perjalanan yang sangat monoton, perjalanan yang ku idam-idamkan ternyata tidak
membawa langkahku bergeser begitu jauh. Hanya saja aku memang benar-benar sudah
terseret begitu jauh, meninggalkan rekan dan kawan yang ketika berjumpa selalu
berbicara tawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar