#Bagian 2
Ilustrasi: giewahyudi.files.wordpress.com |
Kau
tau, bahkan dalam diam, dia selalu berujar lirih, tentang pertanyaan yang tak
akan pernah terjawab, tentang hujan dan pengagumnya, tentang sebaris belaian
mentari pagi yang menyapa di batas langit itu, semua pertanyaan akan tetap berujar.
Tapi, tentu kau bahkan tak perlu mendengar, tak perlu menjawab, kenapa? Kau akan
tahu jawabannya, nanti, tidak saat ini. Karena dia, yang akan menjawab semuanya. Sendiri.
Di
surau itu, aku hanya diam menatap kelopak mata yang terlihat lelah, merah. Tapi
jelas bisa kutangkap raut kecewa yang tergurat di wajah itu, beberapa saat
kemudian, ketika berbicara dengan bahasa yang sangat sederhana, ungkapan rasa
itu terurai dari tatapan mata. Menerjemahkan sisa-sisa tanya yang terangkat ke
permukaan, mengambang dibawa hembusan angin, terbawa oleh lantunan nada yang
terkadang hanya terdengar desis lembut, nyaris tak terdengar.
“Maaf.”
sepotong nada yang kemudian terucap lirih dariku.
Aku
tertunduk, menatap potongan ubin yang tersusun rapih, sementara itu aktivitas
di dalam surau masih begitu hidup dengan rutinitas kerohanian. Sementara itu,
dia melirik ke arahku. Mencoba menyibak pertanyaan yang enggan diberikan.
“Untuk
apa? Bukankah tidak ada yang perlu dimaafkan, aku tahu akan seperti ini
kisahnya. Kau tahu, ketakutanku beberapa hari lalu terjawab kemarin, kau tahu,
ketakutan itu kemudian benar-benar diterjamahkan oleh sesuatu yang bisa jadi
sangat mengecewakan.” bergetar suaranya, parau. Suara yang terdengar
dipaksakan. Menyayat sore yang mulai terlelap.
Ku
perhatikan lamat-lamat suara itu. Aku tidak bisa menjawabnya, masih berusaha
bernegosiasi dengan hati, menyelaraskan dengan suasana yang sebenarnya indah.
“Dia
masih mencarimu, hingga sekarang. Kembalilah, biarkan aku sendiri di sini,
kembali seperti dulu.”
“Tidak.”
jawabku lirih.
“Aku
sudah selesai dengan semua itu, aku sudah selesai. Kau tahu itu dari awal, aku
hanya ingin memulai sesuatu yang ku yakini. Tapi, sekarang aku tak bisa berbuat
banyak lagi. Tak bisa, aku kembali berjalan di lorong gelap, jalan yang sama,
dan untuk kesekian kalinya, aku kembali harus menikam semuanya, mengucurkan
racun kepada benih yang baru saja ku tuai. Inikah balasan yang pantas ku
dapatkan, inikah jawaban dari setiap bait doa yang ku lantunkan? Jika iya, maka
aku akan menerimanya, tak peduli apa rasanya, toh aku sudah berulangkali
merasakan hal yang seperti ini,” jelasku.
Ia
menatapku, dalam. Aku, hanya diam, menatap matanya hanya akan membuat hatiku
semakin perih, aku tak sanggup menatap wajah itu. Aku, baru saja menikam dua
hati yang baru saja saling berjanji, untuk tidak saling mengkhianati. Aku menghempaskan
dua tubuh yang berjalan diantara lereng nan curam, memasukkannya ke dalam
jurang yang akan memisahkan dua janji.
….
Suasana
kembali lengang, menyisakan deru angin yang mengajak berdansa pepohonan di
depanku, dahan-dahan itu kembali bergesek satu sama lain, menimbukkan instrument
alam yang seharusnnya terdengar menenangkan, sebentar kemudian, daun-daun
kering itu mulai berguguran, jatuh di depan kami. Ada makna yang tersirat, tapi
sulit untuk diterjemahkan, menarik kesimpulan? Aku tak bisa. Nihil meski
berulangkali ku coba lakukan itu, tetap saja, masih tak ada jawaban dari setiap
perkara yang diberikan kepadaku. Sore ini, dua pertanyaan akan segera terjawab,
cepat atau lampat. Sebuah keputusan akan segera diambil dari kejadian sore ini.
Hujan
kembali jatuh dari langit yang pekat, rinainya lembut menyentuh tubuh. Dingin..
Setelah
semua yang terjadi, ia kembali mencoba memeluk sesuatu yang telah
dilepaskannya. Kembali merajut asa yang telah dilemparkannya jauh ke dalam
bayangan nan gelap. Rintik hujan itu kembali memeluk dua tubuh yang hanya
saling diam, tak banyak percakapan yang terjadi. Hanya saja, pelukan itu,
sepertinya bisa menjawab ribuan tanya yang muncul di kepala. Tentu tak perlu
ditanyakan pertanyaan itu, tentu tak perlu pula dijawab. Karena semuanya telah
terjawab di waktu yang selalu tepat.
Bisa
ku lihat senyum di wajahnya kala itu, kembali mendengarkan suara itu,
bersenandung memecah keheningan, berdesis lembut, merayu dengan bahasa yang
hanya bisa dimengerti oleh kita.
Sekali
lagi, baru saja ku tikam sebuah benih yang baru ditanamkan kembali. Menghempaskannya
ke dalam lubang terdalam dari sebuah bayangan, bayangan yang akan tetap menjadi
bayangan. Aku, mati rasa..