Udaranya
dingin, kupikir masih pagi. Tapi setelah benar-benar terjaga waktu sudah
menunjukkan tengah hari, namun tak sedikitpun ada tanda-tanda kemunculan
matahari. Seperti biasa, aku masih bisa menikmati suasana disaat hujan seperti
ini, menikmati irama dari tiap tetesannya, merasakan hawa dingin ini, seperti
membawaku kepada kenangan tentag masa silam. Entahlah, hujan selalu bisa
membuatku berjalan mundur, kembali pada kisah di halaman-halaman yang telah
tertutup, dimana tidak ada kekhawatiran tentang hari esok.
Siklus
hidupku masih seperti dulu, beranjak tidur ketika mentari mulai menyapa
diantara kesunyian yang tersisa, dan kemudian terjaga beberapa jam setelahnya,
ketika matahari tepat berada diatas kepala. Ada sesuatu yang kusesali,
seringkali ku lewatkan hangatnya belaian mesra sang mentari, padahal dulu aku
selalu bercengkrama dengannya, sembari menikmati seutas ketenangan dan harapan
yang mulai meninggi, sama seperti sabda Illahi tentang matahari yang selalu
mengintari bumi.
Pada fase
berikutnya, perjalanan ini memang belum ku ketahui bagaimana aku harus memulai.
Ada yang datang dan ada yang pergi, ada ketenangan dan kebisingan yang silih
berganti mengisi hari, lalu secuil kekhawatiran itu bisa menumbuhkan ketakutan
yang menggunung, atau pada sebuah harapan yang masih ragu untuk dijalankan. Semuanya
berpola menjadi sebuah lingkaran yang sepertinya tidak akan terputus
dipertengahan. Dan aku berjalan diantara lingkaran tersebut, perjalanan yang
hanya akan berhenti jika aku mati.
Diluar masih belum
tampak pertanda mentari akan menghangatkan bumi, tidak ada pertanda tentang
keberadaannya, satu-satunya tanda adalah meskipun mentari tak menampakkan diri,
tapi masih bisa kulihat sekitar, tebalnya awan yang menggulung menyerupai
samudera di cakrawala itu tidak bisa menghalangi secercah tanda tentang
keberadaannya. Segelap apapun siang, dia tidak pernah benar-benar gelap, dan
seterang apapun malam, dia tidak pernah benar-benar terang.
Jika
aku bercerita tentang hari yang syahdu, seperti dimana awan gelap yang
diselimuli kabut tipis ini berpadu menjadi satu, lalu rintik hujan mulai
membasahi bumi, satu-persatu turun ke bumi, memberikan setetes kehidupan
melalui keagungan-Nya.
Masih
bisa kurasakan tentang kekecewaan seseorang. Dari setiap tulisan yang kubaca,
dari setiap tanda diakhir kalimatnya selalu mengisyaratkan sesuatu yang bisa ku
mengerti. Bahasa tulisan bisa lebih fulgar daripada teriakan-teriakan yang
menyakitkan, Bahasa tulisan terkadang bisa membuat kita menitikkan air mata
ketika membacanya, dan bahasamu adalah Bahasa yang bisa kumengerti tanpa harus
membaca berulang kali.
Kau tahu,
aku masih terjebak didalam sebuah prahara dan kemelut akan tujuan sesungguhnya,
aku berjalan pun masih gontai, sesekali terjatuh, terjerembab, sesekali tersesat, dan semakin
jauh aku melangkah, meninggalkan semuanya, itu menjadi sangat indah. Menjadi sendiri,
menikmati sapaan indahnya kesunyian, memeluk warna keheningan, bercengkrama
dengan hawa dingin. Dan kau tahu, aku pun masih menginginkan semuanya berjalan
berirama, meski tak harus sama, yang penting dia berbunyi, terserah jika harus
cempreng atau sumbang, karena irama hidup pun tidak selalu merdu mendayu.
Jika kau
katakan, ada sedikit gundah mengenai cerita masa silam, dan menjadikan langkah
semakin berat untuk berjalan, maka ku katakan, aku terseok-seok untuk kembali
berjalan, lebih tepatnya bergeser. Ya, hanya bergeser sejengkal setiap waktu,
hingga akhirnya aku bisa kembali berdiri, menikmati secangkir kopi di pagi hari,
atau menghabiskan sisa senja dibatas kota. Menikmati ketengangan malam yang
dipeluk cahaya rembulan, itu merupakan kesunyian yang kudambakan, tidak ada kebisingan,
tidak ada hiruk-pikuk, tidak ada kata yang menodai rasa.
Angin
bertiup agak kencang, menerbangkan debu-debu yang membeku. sementara itu, aku
hanya bisa merapatkan tangan kedalam jaket yang sudah tidak memiliki bentuk
ini. compang-camping, tetapi secara fungsional dia masih bisa menghangatkan. Seperti
halnya dengan apa yang sering kita lihat, kita rasakan, ku katakan. Secara fisik,
mungkin aku cidera karena rasa, tetapi secara fungsional aku masih bisa
mengenal dan meraskannya. Tidak perduli seburuk apa tampaknya, yang kutahu,
selagi masih bisa berfungsi dengan baik, itu lebih baik.
Suatu
waktu aku bertemu dengan seseorang, seperti biasa ada saja obrolan yang mampu
menghangatkan. Mengalir begitu tenang, merambah suasana mencekam menjadi
suasana yang menyenangkan. Kemanapun arah pembicaraannya, selalu akan ditemukan
titik temu dari inti pembicaraan. Meskipun tidak secara terang-terangan ku katakan
tujuanku, atau meskipun tujuanku tidak mengarahkan pada setitik nama pada
harapan rasa, akan selalu ada kesan diakhir cerita.
Entah
bagaimana memulainya, naluriku mulai berbisik pelan, mulai menjarah dari tiap
inci kekosongan yang sempat tertutup rapat oleh kenyataan yang menyakitkan. Ketika
kenyataan mengajari aku dengan begitu jujur, sesaat sakit itu akan berbalik. Pada
waktu tertentu, aku bisa berdendang dengan lagu yang berbeda diwaktu yang sama.
Naluriku mengajarkan tentang kejadian selanjutnya, sepertinya dia menuntunku
kearah sana.. maaf, hatiku terlalu jujur untuk menceritakan semua rencana naluriku.
Jujur
jika ku katakan, ada sebaris sajak tentang kerinduan yang tiba-tiba menyeruak
ke pikiran, lalu menjadi sebuah kalimat yang mampu menggoda, bukan hanya engkau
saja yang tergoda duhai pesona, akupun tergoda untuk merasakannya. Ketika imajiku
berkelana, menemukan mozaik dari setiap kata-kata mesra, aku bisa merasakan
bahwa keajaiban itu akan selalu menyapa disetiap kesulitan yang kita hadapi.
Aku tahu,
semakin banyak ku ungkapkan kata yang dibalut sebuah rasa tanpa makna hanya
akan mencipatakan rasa sakit, tapi aku selalu bisa menikmati rasa sakit itu. Semakin
kurasakan sakit menjalar di setiap urat, maka akan semakin indah rasanya ketika
meneguk manisnya kebagaiaan. Teori yang selalu bisa ku buktikan dengan tentetan
rencana Tuhan yang selalu menegangkan.
Dan untukmu,
untuk dia, untuk mereka, goresan kata-kata ini bisa saja menyisakan luka yang
mendalam. Tetapi, seandainya kau tahu. Aku tidak ingin melukai dan menyisakan
bekas luka di sisa langkahku yang semakin menjauh, sedalam itu aku melukai
indahnya sebuah rasa, maka sedalam itu rasa tercipta diantara hati yang
membeku.
Ada baiknya
kita mulai membuka diri, menikmati sisa indah mentari, menikmati hawa dingin
ketika hujan, menikmati malam yang dipeluk rembulan, menikmati embun pagi yang
sunyi. Sejauh-jauhnya aku pergi, suatu saat aku akan kembali. Karena ada
sesuatu yang selalu bisa menarikku kembali semua itu kusebut “rumah”. Aku akan kembali
lagi ditempat itu, meskipun kusadari, belum ada keyakinanku untuk menyebut
sebentuk hati diantara para pesona itu dengan sebutan rumah. Karena kurasa aku
harus kembali berjalan, melangkah dan menjauh, untuk kembali membentuk sebuah
harapan tentang masa depan, mengenai rasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar