Waktu itu, malam sudah cukup larut. Seorang sahabat,
kakak dan saudara kembali mendatangi kami. Sesaat bersalam-salaman, kemudian
secangkir kopi hangat dan berbatang-batang tembakau menghantarkan pada obrolan
ringan yang menyenangkan. Berbagi pengalaman, bertukar cerita, kembali
bergosip, kembali menceritakan tentang kisah masa silam. Malam yang dingin itu
dihangatkan dengan cerita-cerita yang membuatku kembali terpana akan berbagai
perjalanan yang sudah dilakukannya. Ya, sejauh ini aku hanya bisa mendengarkan
berbagai cerita yang selalu mengalir, tidak pernah kering.
Ia datang dengan
membawa oleh-oleh yang selalu ku nantikan, bukan sebungkus nasi padang atau
sate Madura, tetapi oleh-olehnya dalam bentuk cerita. Sebuah pengalaman tentang
perjalanan yan tidak pernah kering, selalu mengalir seperti air di
sungai-sungai jernih diantara rimbunnya hutan, selalu menyambung dari satu alur
ke alur berikutnya, tidak mengenyangkan secara harfiah mungkin, namun bisa
mengurangi dahagaku akan luasnya dunia luar, mampu kembali membakar gairahku
untuk kembali merangkai impian dan meraihnya berada di genggaman.
Bagaimana ia
bercerita tentang hebatnya wanita-wanita di bumi rencong, melawan
ketidakadilan, menegakkan keadilan, mengangkat parang dan senapan. Menumpahkan darah
lawan, menggetarkan kesombongan, meruntuhkan kecongkakkan, demi satu kata,
kebebasan, kesetaraan dan ketenangan untuk kembali melanjutkan hidup di negeri
yang kaya raya ini. Lalu ia kembali bercerita, bagaimana warung kopi bisa
menjadi tempat sakral, segala gagasan dan semua pergerakan dimulai dari warung
kopi, menyusun siasat, berbincang mengenai politik, gossip-gosip terhangat, hingga
membahas tetek bengek yang tidak penting awalnya, namun pada akhirnya bisa
menggerakkan roda perekonomian dan lain-lain.
kaum ibu menjadi benteng pertama yang akan
membela keluarga, ketika para suami, kakak, ayah dan adik laki-lakinya tidak
bisa melangkah keluar rumah. Bukan karena malas atau senang berpangku tangan. Tidak
ada pilihan lain, mereka tidak bisa memilih, menjadi tidak berarti lagi jika
orang-orang yang di sayanginya kembali ke rumah hanya tinggal jasad tanpa nyawa,
atau minimal pulang dengan luka lebam di sekujur badan. Maka, wanita akan
mengambil kendali. Bukan berarti menentang kodrat, namun kenyataan yang
mengharuskan mereka untuk seperti itu.
Ada banyak kisah
yang tersampaikan diantara hawa dingin yang mulai menggigit, diantara kisah yang
panjang, terkadang menegangkan, ada banyak kisah konyol, ketakutan dengan terror
yang akan menimpa. Semuanya terangkum dalam sebuah malam yang kelam, gelap.
Aku mencoba untuk
masuk kedalam alurnya, mencoba berjalan diantara kalimat dan kata yang terucap.
Hanya membayangkan saja bisa kurasakan betapa sebuah perjalanan akan sangat
bermakna jika bisa di pahami, semua pandangan tentang sesuatu yang mustahil
bisa dilakukan, tidak ada jalan buntu, karena akan selalu ada jalan keluar
untuk kembali menatap harapan di masa yang akan datang.
Menyelami setiap
kejadian, meneguk berbagai pengalaman, menelan setiap kejadian, sepahit apapun
rasanya, akan terasa manis juga ketika artinya bisa di dapatkan. Atau beberapa
saat yang lalu, seorang kawan baru menceritakan kisahnya, dengan uraian air
mata yang tidak pernah henti keluar dari kelopak mata beningnya. Kisah yang
sebenarnya akan selalu sama, kisah yang pasti serupa, dan sekali lagi aku
membuktikan semua teori yang sempat ku tuliskan pada catatan harian,
bahwasannya setiap permasalahan akan ada banyak kesamaan, alurnya akan sejalan
seirama dengan putaran waktu. Kejadian yang kita alami sekarang, suatu saat
akan di jalani seseorang, dan pada bagian ketika kita mendengarkan, kita akan
bisa meyimpulkan, bukan berarti kita paranormal, namun sebenarnya kisah itu
juga pernah menyambangi kita beberapa saat yang lalu.
Tidak pernah
terfikirkan sebelumnya, kita akan kembali diingatkan oleh cerita masa lalu yang di ceritakan ulang oleh
mereka, kita akan selalu diingatkan oleh cerita-cerita yang sama, bahkan akan
sangat detail setiap kata dari kalimat-kalimatnya. Akan terdengar senada dengan
kisah itu, akan seirama dengan putaran jarum jam, membuka kembali tentang rasa
sakit dan kecewa, kembali lagi merasakan kekecewaan yang pernah kita pendam di
dalam palung samudera terdalam dibelahan dunia.
Dan tanpa
bermaksud meremehkan, kita akan tertawa pelan. Dan berujar dalam hati, kisahmu
sama dengan kisahku. Tidak perlu berlarut-larut dalam sebuah penyesalan, karena
aku pernah merasakannya, dan aku tahu akibatnya jika terlalu lama berada
diantara rasa duka. Namun, semua itu harus dirasakan, karena pada bagian itu,
semuanya akan menjadi terbalik, pilihannya hanya ada dua, kita akan mampu
menatap dan memandang sesuatu itu dari berbagai hal, dan semakin kita dihantam
dengan keadaan yang mencekam, maka pijakan kita akan semakin mencengkram. Dan pilihan
kedua adalah, jika kita tidak bisa terlepas dari kisah kelam itu, kita akan
semakin jauh dan dalam terhempas kedalam lubang yang semakin gelap. Dan tidak
akan pernah bisa keluar dari lubang yang kita gali sendiri, semakin dalam dan
semakin dalam, hingga kita benar-benar tenggelam diantara penyesalan yang tidak
pernah berujung.
Waktu beranjak
dari terang benderang menjadi gelap yang pekat, rasa hangat akan berganti
dengan dingin. Obrolan ini semakin menarik pada setiap bagian episodenya. Semakin
dalam aku menyelam diantara kisah-kisah itu, sembari berharap, suatu saat aku
yang akan bercerita di tempat ini. Harapanku akan selalu ada, keinginan itu
akan ku pelihara, meskipun ku tahu, bahwa keinginan adalah sumber penderitaan
(seperti kata Iwan Fals).
Seperti sapa
seorang teman, ia akan selalu dinanti kedatangannya. akan selalu dirindukan,
seperti menanti seorang kekasih yang lama telah pergi, senyaman pelukan ibu,
sebijak seorang ayah berkata. Impian itu akan selalu membangunkan, ia akan
menyadarkan ketika kita terlalu terlena diantara buaian indahnya, kenyataan
akan mengajarkan itu kepada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar