#Bahagia Kita, Cukup Sederhana
![]() |
Ilustrasi: www.kaffah.biz |
Pada
bagian mana yang belum diketahui? Akan ku
beritahu kau tentang sesuatu, atau bahkan mungkin kau juga sudah tahu tentang
itu, tapi tak apalah, aku akan tetap mengatakannya. Begini, akan selalu ada
pertanyaan dari setiap jawaban yang terlontar dari setiap kejadian. Dari balik
semua ini, dari dalam diri sendiri atau bahkan dari orang lain, jawaban akan
selalu dijawab dengan pertanyaan -lagi-.
Jadi
apakah kau masih akan mempertanyakan jawaban yang telah diberikan? Akankah semua
jawaban itu adalah bahan untuk kembali melontarkan pertanyaan yang akan kau
ajukan? Entahlah, aku bahkan tak mengerti akan seperti apa semuanya, jika
kembali kau berkata: “Aku tak tahu” mungkin sebenarnya kau tahu itu, atau kau
hanya akan menutup semua jawaban yang ku yakini adalah “Iya, aku juga merasakan
hal yang sama”.
Pada
bagian ini, sengaja kenapa aku inginkan ada jarak diantara kebersamaan yang
mengasyikkan, aku hanya ingin, aku dan kamu, atau bahkan mereka berpikir
sejenak, tentang semuanya. Merenungkan apa yang sebenarnya terjadi, karena aku
selalu yakin, bahwa ketiadaan itu akan dianggap ada jika semuanya benar-benar
tidak ada, jadi ku sebut ini adalah simulasi untuk pengujian tentang semua ini.
Dan apakah masih ada kata-kata ‘Aku tidak tahu”.
…
Sore
itu, hujan mulai mereda. Ku katakan malam sebelumnya, bahwa senja kali ini akan bersemu jingga. Merona di
cakrawala, sebelah barat sana. Akan ada lukisan indah di langit, akan ada
cerita tentang keindahan yang selalu ku katakana padanya. Dan keyakinan itu
muncul begitu saja, benar, sore itu, menjelang petang datang, ketika tak ada
harapan lagi bahwa akan ada mentari yang bersemu jingga di atas sana, langit
terlukis indah, setelah sepanjang hari hujan memeluk bumi.
“Indah
bukan? Sudah ku katakan, bahwa langit akan terlukis indah sore ini,” sebuah
pesan singkat ku kirim padanya.
Tak
lama kemudian ada pesan masuk, darinya.
“Iya,
indah. Bahkan sudah lama aku tak melihat ini, mungkin aku sudah lupa. Kapan terakhir
kalinya langit bersemu jingga setelah hujan,” balasnya. Aku tersenyum.
Aku,
selalu percaya tentang harapan. Bahwa keyakinan itu patut di perjuangkan. Aku belajar
banyak sore ini, bahkan ketika keputusasaan menjalar di dalam hati, harapan itu
musnah, ketika seharian hujan mengguyur bumi, membasahi semuanya, tak ada jeda.
Langit mengajarkan pelajaran, bahwa akan selalu ada kemungkinan dari setiap
kejadian, dan keyakinan adalah salah satu alasan kenapa semua ini patut di
perjuangkan.
Secangkir
kopi, berteman tembakau terbaik negeri ini. Menjadi sahabat yang bahkan -ku tahu-
ia akan membunuhku perlahan. Pada sisa
bagian malam ini, aku kembali merenungkan tentang makna perjuangan, harapan,
cita-cita dan romansa.
“Kau
masih tak yakin dengan semua ini?” tanyaku.
“Hmm..
Aku tak tahu. Bukankah kau sudah tahu jawabannya? Kenapa kau selalu tanyakan
itu padaku?” lagi, pertanyaanku dijawab dengan pertanyaan.
Lagi,
aku hanya tersenyum mendengarkan semua itu. Aku, bahkan seseorang yang tidak
perlu mendengarkan jawaban itu, masih menanyakannya. Bukankah semua orang butuh
penjelasan? Bukankah semua orang butuh pengakuan, tapi sedikit demi sedikit,
aku mencoba untuk tidak memerlukan pengakuan itu, meski jelas mungkin tindakan
itu hanya akan melahirkan sebuah kata ‘munafik’.
….
Malam
merambat pelan, ketika aku membelah jalanan. Hawa masih terasa sangat dingin. Bandung
bulan Januari selalu saja dingin, curah hujan periode ini meningkat pesat,
warga kota ini tidak terlalu asing dengan hawa dingin, dan perlahan aku juga
menyesuaikan semua ini. Mencoba memahami ini dengan hati, mengolah rasa dengan
balutan keyakinan yang terus memudar. Aku, masih berharap, masih memeluk semua
ini dengan keyakinan. Keyakinan yang bahkan mungkin mulai tergerus, memudar
atau mungkin ada juga peluang akan hilang.
Malam
itu, kembali pertemuan itu terulang kembali. Pada bagian ini, suasana sederhana
itu menjadi sangat berarti bagiku. Tak ada hiasan lilin dan menu mewah di atas
meja, hanya ada satu lembar papan panjang, kursi plastik dan teh tawar. Menu sederhana,
dan ku beritahu satu hal, bahwa untuk merasakan indahnya romansa berbalut
bahagia itu begitu sederhana.
“Jadi,
selama tiga hari ini kita tidak akan bertutur sapa. Tak ada sms, telepon, chatting atau apa pun.” kataku, berikan
senyum terbaik malam ini.
“Baiklah,”
jawabnya singat, seraya mengangguk, membalas senyuman.
“Lantas,
apa hukumannya jika salah satu dari kita melanggar kesepakatan itu?” tanyaku
lagi.
“Hmm…
Mungkin sebatang cokelat akan menjadi harga yang pantas untuk itu. Bagaimana?”
tanyanya.
“Baiklah,
tak masalah.” aku menyepakati itu, tanpa berpikir panjang.
Jangan
dilihat dari sebatang cokelatnya, aku hanya ingin bertemu lagi. Sesederhana itu
semuanya bisa membuat suasana menjadi riang gembira, akan ada tawa yang
terlukis di wajah itu, dua orang yang masih akan tertawa dalam kesederhanaan.
Sore itu, hanya
beberapa jam saja, tak lebih dari dua jam pertemuan itu, tapi begitu bermakna. Terlukis
bahagia dengan balutan kesederhanaan, tanpa kemewahan. Tapi coba kau perhatikan lalu kemudian rasakan,
bahwa ada tawa terlukis di dua wajah malam itu, mungkin akan banyak lagi tawa
yang akan tercipta setelahnya, atau tak menutup kemungkinan akan ada derai air
mata yang akan terlukis di dua wajah bahagia itu. Semuanya, masih akan menjadi
bagian dari rencana-Nya, masih akan ada pertanyaan yang akan dijawab dengan
pertanyaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar