#Meyakinkan Kita
![]() |
Ilustrasi: stat.ks.kidsklik.com |
Lagi,
seperti menekan tombol reset, semuanya terulang, sama persis. Sementara aku,
kembali tertawa seperti waktu itu, meskipun jelas ada gurat kecewa tertera di
lubuk hati, tapi keinginan dan perjuanganku terlalu lemah untuk melawan
kehendak-Nya. Lagi-lagi, aku di ajarkan satu kata itu, rela. Ya, aku kembali di
ajarkan tentang semuanya, ternyata tak mudah untuk mengucap rela, dan untuk
yang kesekian kalinya, si pemilik hidup berikan pelajaran berharga.
Dua
kejadian berantai menerjang bak gelombang, memeluk tubuh batuan karang di
tepian pantai, hanya bisa teronggok diam, tak bisa melawan, setabah itu pula
dia menerima terpaan hidup yang terus menggerus tak pernah berhenti walau dalam
hitungan detik. Tapi, sekuat-kuatnya batu karang, ia akan terkikis juga,
seteguh apa pun hatinya, ada saja sebait kata rasa mengubah suasana. Frame ini
sama sekali tak ku suka, tapi ku bilang, aku miliki kisah luar biasa. Si pelukis
waktu kembali menuliskan setiap kejadian tentang irama kehidupan.
….
Setelah
hari ini, akan selalu ada tulisan yang bisa di baca, di mengerti untuk kemudian
di pahami dan mungkin aku akan membuatnya bisa dicerna, bahkan dengan bahasa
diam. Malam kemarin, aku baru saja kembali memahami tentang arti merindu,
mencoba kembali mengingat detail tiap kejadian yang tersimpan di dalam satu
kata itu. Seperti candu, satu kata itu bahkan bisa mengguratkan luka terdalam,
aku, kembali menapaki sebuah jalan yang membentang, panjang.
“Harus
menahan rindu berapa lama lagi dan harus menunggu hingga kapan hanya untuk sekedar
bertemu, atau hanya sekedar saling menatap?” tanyanya suatu ketika.
Aku
terdiam, tak ada bahasa yang bisa ku jelaskan padanya. Mataku nanar tajam
menatap ke depan, pikiran melayang menembus cakrawala yang semakin pekat,
kosong.
“Dan
jika ia datang, apa yang bisa dilakukan selain merapal doa. Jika tidak ada
pertemuan, apakah rindu akan terselesaikan?” ia melanjutkan. Ku coba untuk
mencerna setiap kata yang bahkan tak bisa ku mengerti.
“Rindu,
ia adalah anugerah. Usah resah terlebih gundah. Dia akan berkata dengan cara
terhalus, tak harus terucap dengan kata atau tanya. Karena rindu bahkan bisa
berbicara dengan caranya, cara terakhir yang sulit untuk di mengerti, diam.” kata
ku kemudian, hanya itu jawaban yang ku miliki. Menunduk.
Sesaat,
matanya berbinar. Ada harapan di sana, bahkan jika pun ia tak mengerti, dia
akan tetap suka. Jawabanku diterjemahkan dengan rasa yang terus berkejolak di
hatinya. Aku bahkan tak paham dengan apa yang ku ucapkan.
“Diam?
Apa ketika rindu terus menggerus, dan kita hanya diam, apakah bisa semudah itu
dijawab? Apa semuanya bisa selesai hanya dengan diam?” rentetan pertanyaan itu
seperti menyeretku ke dalam jurang terjal, tanpa ada pegangan, aku terseret,
jatuh. Dia benar, aku membenarkan sesuatu yang ku yakini salah. Munafik, aku
menjadi seperti itu sekarang ini.
“Apa
aku terlalu egois jika selalu menantikan pertemuan itu? “ tanyanya.
Aku
menggeleng, mencoba memasukkan setiap pertanyaan itu ke dalam pikiran dan
hatiku, yang sedari tadi menolak untuk memahami dan mengerti tentang percakapan
ini. Jelas, ada sebaris kata yang entah apakah ingin lagi ku rasakan.
“Bahkan,
kau harus mengerti tentang makna diam. Ya, diam. Hanya itu satu-satunya bahasa
yang bisa dimengerti oleh hati. Dengan diam, kita akan mengerti tentang instrumen
kehidupan,” jawabku sekenanya. Jawaban putus asa.
“Pertemuan,
itu hanya akan selalu di akhiri dengan perpisahan. Penyesalan adalah pernyataan
selanjutnya yang akan terlontar jika semua kata tak bisa menjawab itu. Egois,
itu hanya bagian yang kemudian, secara perlahan akan menenggelamkan diri kita
ke dalam jurang yang bernama penyesalan.” ku lanjutkan kataku.
Kembali,
putaran waktu itu seperti membawaku ke masa dulu. Ketika tawa dan bahagia
menjadi nada terindah untuk didendangkan, ketika semua derita bermakna
pelajaran berharga. Tapi, kemudian ada satu hal yang bisa ku tarik garisnya,
memintalnya menjadi lembaran-lembaran kisah, menjadikan semua kisah itu hanya
menjadi bualan semata, ironis. Itu adalah satu kata yang bisa disimpulkan.
Ku
katakana kepadanya, aku akan menjelaskan makna dari satu kata itu. Tapi kemudian
ku sadari, bahwa hanya aku yang akan mengerti bahasa diam, hanya aku yang bisa
mengerti arti kata yang diterjemahkan sebagai keputusasaan oleh sebagian orang.
Orang yang tidak mengerti, bahwa dalam diam sekalipun ada selarik kejadian dan
perbuatan yang melebihi arti dari
sekedar perjuangan dan pengorbanan semu.
….
Sore
tadi, ketika selesai turun hujan.
Aku
kembali terpekur. Meresapi kejadian ini. Sessaat sebelum matahari tergelincir
di sebelah barat. Sebelum semuanya tenggelam, ku tuliskan harapan di sisa hari
yang tinggal beberapa detik saja. Ku jabarkan ke dalam bahasa yang sulit
diterjemahkan, akhirnya ketika bahasa diam tak bisa dimaknai oleh sebagian
orang, aku berkata lantang. Ku teriakkan setiap kata itu, menuliskannya dengan
huruf kapital besar-besar, agar terbaca, jika bisa aku ingin mereka mengeja
dengan mata tertutup.
Lagi,
harapan itu dikandaskan oleh waktu. Ketika kemapanan dan derajat pekerjaan di
pandang sebagai tolak ukur jaminan kebahagiaan, aku adalah orang pertama yang
akan menentangnya, menjadi garda terdepan untuk mengucapkan bahwa semua itu hanya
penilaian yang tak beralasan. Dan aku akan menjadi orang paling terakhir jika
memang benar bahwa uang dan jabatan adalah hal mutlak untuk menuliskan cerita
indah dengan gurat tawa menyelingi di setiap waktunya.
Menanti
mentari esok hari, kembali berdansa dengan harapan dan impian, dengan atau
tanpa kata bahagia, aku akan terus berjalan, terus mengukir kisah pada seseorang yang ada di
dalam hati, cerita tentang si penunggu waktu mungkin memang akan berakhir, karena
hanya waktu satu-satunya yang pasti. Kemudian, aku akan tetap menuliskan
harapan kepada dia ‘ku’ tentang arti kata diam yang sesungguhnya, kepada si
penyuka hujan yang terus menanti penggenggamnya hadir memeluk setiap harapan
dan impian ‘gila’nya, tentang rapalan doa yang terajut dalam rangkaian mantra
pelipur lara, di sini, aku akan memeluk hujan, berdansa dengannya, bercerita
tentangnya, akan ku yakinkan bahwa setiap perjuangan akan selalu ada harga yang
harus ditebus, akan selalu ada harapan, bahkan ketika semua kata tak bisa menjelaskannya.
Aku
akan buat dia ‘ku’ meyakini apa yang ku yakini, aku akan menjelaskan kepadanya
dengan bahasa yang kini hanya bisa ku mengerti seorang diri, bagaimanapun, dia ‘ku’
harus mengerti tentang semua ini. Bahwa akan selalu ada lukisan indah di
langit, setiap waktu. Tak mengenal waktu, bahkan aku akan berusaha menikam
waktu, sebelum waktu membunuhku.
Percayalah,
bahwa kita akan selalu miliki harapan indah, cerita petualangan yang
mengesankan, akan menjadi milik kita. Percayalah, bentangan bumi ini
mengajarkan kita banyak hal, kita bukan hanya akan menceritakan ramah sapa dari
bagian Asia, menapaki peradaban di birunya Eropa, berjalan diantara eksotisme
bumi Afrika, atau kemudian berdansa dengan liukan tubuh si Latin di benua
Amerika, ini akan menjadi kisah kita yang paling hebat. Percayai itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar