#Kapan
![]() |
Ilustrasi: 3.bp.blogspot.com |
Mata
sang fajar sebentar lagi terbuka, menyapa dunia dengan cahayanya, hangat. Menyibak
pelan selimut kabut yang memeluk cakrawala, menembus diantara dedaunan,
sementara semilir angin mengajak burung-burung tuk berdansa, bersenandung
menyapa hari, bercengkrama dengan embun pagi, menyibak sisa kenangan yang
hendak terbuang, terbungkam ribuan kata yang tersusun rapih.
Sementara
aku masih terjaga dengan kejadian malam tadi, ketika tak ada rembulan dan
bintang yang bermunculan di angkasa, hanya ada gelap yang menyelimuti hari. Sementara
sendu cahaya lampu dari jalanan, menambah syahdu ketika petang beranjak dari
peraduan, semakin sunyi ketika pekat benar-benar menikam waktu.
“Kapan
waktu itu akan tiba?” suaranya memecah keheningan.
Sejurus
mataku bertatap dengan matanya, mencoba menggali jawaban dari tanya yang akan
melahirkan pertanyaan baru.
“Kapan,
apakah akan seindah yang kita kira? Apakah akan semudah seperti yang kita
inginkan? Apakah semuanya bisa terjadi seperti yang kita khayalkan?”
“Kapan?”
gumamku perlahan, mencoba meyakinkan tentang tanya yang di ucapkan.
“Iya,
kapan?”
“Entahlah,
biarkan waktu yang akan berkata kepada kita, biarkan dia berbicara dengan
caranya, biarkan kenyataan membimbing kita, biarkan seperti itu adanya. Tak perlu
kita bertanya-tanya, tak perlu kita menerka-nerka, biarkan dia seperti
matahari, yang terus berputar. Bahkan matahari tak pernah bertanya, kenapa dia
terus melakukan hal yang sama setiap waktu, dia diperintahkan seperti itu, dan
itulah yang dilakukannya, dan kita, kita harus seperti itu. menjalani semua
ini, tanpa harus bertanya kapan waktu itu akan tiba,”
“Aku
tak mengerti,” jawabnya, menatapku. Tajam.
“Kau
bahkan tak perlu tahu tentang hal itu, kau bahkan tidak harus mengerti saat
ini, tidak sekarang,” jawabku.
“Terkadang
kita memang perlu penjelasan, karena memang fitrah kita, akan selalu minta
penjelasan, meski sudah jelas hal itu tergambar dari setiap kejadian, tetapi,
kita tidak akan pernah berhenti meminta penjelasan. Tapi, terkadang kita tidak
harus mencari penjelasan, atau bahkan memintanya, karena itu akan menajdi jelas
seiring waktu berjalan perlahan. Tidak sekarang, tapi nanti. Bersabar, hanya
itu yang perlu kita lakukan,”
Ia
tersenyum menatapku. Aku sangat suka senyum itu. Aku sangat suka guratan alis
di wajah itu, aku selalu suka.
Percakapan
singkat itu begitu menohokku, menghujam, pertanyaan tentang ‘kapan’ adalah
pertanyaan yang lebih dari sekedar apa pun. Karena hal itu menjelaskan tentang
waktu, waktu yang bahkan aku sendiri tidak akan pernah tahu, apakah akan bisa
melihat mentari esok hari. Pertanyaan ‘kapan’, aku selalu tak bisa menjawabnya.
Temaran
lampu jalanan masih menghiasi kota yang habis bersolek. Di jantung kota,
kerumuman orang-orang tidak pernah berhenti berlalu lalang, mengabadikan momen
dengan rekan, dan sang pujaan. Momen yang sungguh, aku bisa menangkap rona
bahagia di sana, sementara aku, dingin melalui lautan tawa manusia, kembali
bertanya-tanya, tentang pertanyaan yang tak ingin ku jawab.
Dan
ketika sepertiga malam, otakku mulai protes. Keterlaluan, pikiranku kacau,
sulit untukku bisa fokus. Sementara malam terus merangkak, tak ku pedulikan
hawa dingin yang dibawa semilir angin, jemariku masih menari, merangkai kata,
menjadi bagian-bagian yang terhubungkan. Aku masih terpaku di layar 14 inci,
menjelajah daya nalarku, menekan imajinasi.
Aku
masih belum mengerti tentang tanya yang entah kapan akan terjawab. Jika kau
khawatir, aku pun sama. Jika kau takut, aku juga. Ya, terlebih bayang-bayang
tentang kegagalan akan selalu ada,
melintas di kepala, menyapa pelan, mengusap imaji, mencoba
mengintimidasi. Dan aku pernah menyerah dengan keadaan seperti itu beberapa
waktu lalu, dan sekarang, tak akan ku biarkan dia kembali mengintimidasiku,
mengintimidasi kita.
Sementara
jingga mulai terlihat di atas cakrawala, rasa kantuk mulai menyergap pelan. Akan
ku arungi syahdu pagi ini dengan sedikit mimpi, akan ku basuh dengan keyakinan
sang fajar. Setidaknya, mataku sudah mulai merasakan kantuk, sepagi ini, ketika
sebagian orang beranjak dari ranjang, aku terkapar di jalan, jalan yang entah
akan menuju kemana. Aku, kamu, hanya dua orang bodoh yang berusaha untuk tidak
saling menyakiti. Dan setidaknya, dua orang bodoh ini tidak akan saling mengkhinati.
Janji seorang pengkhayal masih bisa kau pegang, untuk saat ini, dan
mudah-mudahan hingga nanti..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar