#Prosa
Harinya
benar-benar kacau, semua rencana yang telah disusun tiba-tiba tak berbentuk,
berantakan. Belum lagi mengenai hati, masalah pekerjaan sepertinya juga mulai
mengintimidasi. Wajar, karena semuanya akan berproses bukan? Tidak akan
mendapatkan apapun, kecuali dengan usaha dan kerja keras. Setelah itu bersyukur
dan ikhlas, dan berharap mendapat ridho-Nya.
…
Apa yang bisa
dinikmati sesiang ini, ketika langit tak lagi berseri? Secangkir kopi yang
sudah menjadi dingin dan berbatang-batang tembakau terbaik dari negeri ini,
mungkin itu menjadi sebuah racun, namun itu juga bisa menjadi penawarnya, mungkin
saja.
Aku, masih
berada di sini, berhadapan dengan kertas dan layar monitor, angan melayang,
mencoba menggambarkan bentuk perasaan melalui goresan tulisan. Mencoba
meluapkan amarah, menyalurkannya dengan cara yang berbeda. Ketika orang-orang
menyampaikan amarahnya dengan bara api, aku akan melakukannya dengan
menggunakan air, bisakah? Tak ada yang tidak bisa bukan?
Berkali-kali aku
mencoba untuk bisa kembali berdiri, berdamai dengan rasa sesal dan sedikit
keraguan, mencoba menentukan pilihan, masalahnya hanya satu. Layakkah aku
memilih? Bahkan sedari dulu aku diajarkan untuk selalu menerima setiap
pemberian dari yang maha kuasa, dan sekarang aku harus memilih? Alangkah
bodohnya hidup, jika kita terus menerus memilih tanpa mengukur diri.
Mengukur diri,
itu yang harus dilakukan, seberapa layak kita mendapatkan sesuatu yang
diharapkan, jika tidak terlalu baik, maka jangan berharap yang terlalu baik,
semua hasil telah ditentukan berdasarkan kadarnya masing-masing bukan?
Dan di sinilah
aku berada, mencoba menerjemahkan semua prosa yang bermakna ambigu, samar.
…
Dia benar-benar
kacau, tak ada tawa yang mengiasi wajah yang biasa sumringah. Terpekur dengan
keadaan, masih memiliki harapan sederhana, yang diyakini sebagai cita-cita
terbesar dalam hidupnya. Menjadi PNS.
Mungkin ia tidak
cantik seperti para wanita di luar sana, begaya modis dengan berbagai aksesoris
yang menempel di tubuhnya, mungkin juga dia tidak semenarik para model iklan di
televise dengan rambut panjang dan rok super mini, atau mungkin juga ia akan
kalah anggun jika dibandingnkan dengan pemeran film dalam romansa cinta yang
selalu diputar setiap minggu, di bioskop-bioskop kota ini.
Tapi tidak
bagiku, dia lebih dari sekedar bentuk fisik yang cantik dan anggun, lebih dari
sekedar menarik. Atau pernah suatu ketika dia berujar, bahwa suaranya paling cempreng di antara keluarganya, tapi
bagiku suaranya cukup halus, bisa menenangkanku, sesekali. Tidak, sering kali
bahkan.
Pagi itu,
suasana masih berkabut, dingin. Musim hujan. Rentetan pertanyaanku tak juga
dijawab, dia masih enggan menyampaikan apa yang diketahuinya, aku lebih dari
mengerti mengenai posisinya, aku lebih paham, mungkin.
Mungkin
kesalahan terbesarku adalah menyeretnya ke dalam permasalahan ini, masalahku,
mungkin kini akan menjadi masalah untuknya, dan hanya beribu maaf dan sesal
yang bisa kutawarkan untuknya, tak ada yang bisa dilakukan kecuali itu.
Cukup, mungkin
aku tidak akan melibatkannya lagi dalam setiap masalahku, terlebih jika
mengenai hati, walaupun jujur ku akui, saat ini bahkan si pengagum senja dan
orion sekali pun tak mengerti tentang kondisi ini, terlebih satu nama yang aku
enggan menyebutnya, meski dengan sebutan yang biasa ku sematkan kepadanya, satu
nama yang tidak pernah berubah, dari dua hal yang paling ku sukai di dunia ini,
hujan dan senja.
Wanita
penggenggam hujan, si pembawa pesan, si pengingat kehidupan, si penunggu waktu apa lagi nama yang
akan ku sematkan kepadanya, entahlah. Itu hanya sebuah sebutan untuknya, itu adalah
bentuk ucapan terima kasih yang mungkin tak pernah bisa kusampaikan dengan arti
yang tinggi.
….
Aku pernah
berbicara tentang janji. Dulu kalimat itu menjadi sebuah kalimat yang paling
manis, lalu gampang ku muntahkan jika terasa hambar, dan ku beritahu kau
tentang sesuatu, kalimat itu kini selalu menghantuiku. Aku tahu akibat dari
semua janji yang tak pernah ku tepati, ada banyak orang terluka, hingga mereka
sulit untuk sekedar berdiri dengan kaki sendiri. Dan hari ini, aku kembali
berjanji, dan itu akan ku tepati, aku akan berusaha melunasi setiap hutang
sebelum benar-benar si pencabut maut menjemput.
Dari sini, dari
tempat yang enggan ku tinggalkan, karena ada banyak keindahan di dalam ruang
dan waktu, silam. Aku mulai menuliskan tentangnya, menuliskan tentang dia,
tentang diriku, tentang semuanya, ada banyak sekali hal yang terlewatkan,
selagi kaki masih ingin menapak di tempat ini, aku akan terus menatap hamparan
ilalang yang terus selalu tumbuh, aku akan terus menikmati rinai hujan yang
kini terasa sangat menyakitkan, dan aku akan tetap menikmati itu, sekali pun
itu menjadi sangat menyakitkan, hujan, selalu menimbulkan ketenangan bagiku.
Dan ketika ku
genggam hujan ini untuknya, maka aku akan menceritakan segala ungkapan dari
hati melalui tetesan yang menenangkan, genggaman ini tak akan ku lepaskan,
sampai ada seseorang yang bisa memeluknya, nanti.
Ini kisah yang
terus akan ku tuliskan, tentang wanita penggenggam hujan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar