Ilustrasi: farm8.static.flickr.com/ |
Tidak
ada bunga atau bingkisan menarik nan romantis lainnya yang akan ku berikan,
bukan juga tentang janji-janji manis atau tentang muluknya harapan nan menawan
di masa depan, bukan, tentu bukan itu. Kenapa, kau tahu sebabnya? Ya, bagiku,
hal-hal itu mungkin tidak bisa ku penuhi, karena awalnya aku pernah berjanji –meski
tak pernah benar-benar terucap- tapi selangkah pun, tak ada yang mendekati. Maka,
ku putusakan, untuk tidak sama sekali melakukannya lagi.
Sekarang,
hanya ada gambaran realita yang membetang luas, realita penuh dengan nestapa
dan derita. Jangan berpikir bahwa tidak akan ada bahagia di sana, tentu ada. Tapi,
akan ku jelaskan, semua kebahagiaan di dalam novel itu tentu tidak akan semua
bisa didapatkan, ya, tidak akan mudah. Akan selalu ada ranting yang akan
menghadang jalan, akan ada terjal jalan yang akan ditempuh, akan ada curam yang
menganga di bawah sana, sesekali tergelincir, sesekali tersungkur, tidak akan
selalu bisa berlari, bahkan, ku katakan bahwa tak jarang kita akan merangkak
nantinya.
….
Setelah
seharian ini mendung merundung angkasa, akhirnya hujan turun juga, ketika pekat
merangkak perlahan, rinai hujan kembali menyapa sisa hari yang diselimuti
lelah, malam yang dipeluk rindu, malam yang dibungkus dengan harapan, malam
yang diselingi dengan senandung lara atau bahkan ratapan penuh tanda tanya. Ya,
berjuta kisah kembali tertuang di dalam setiap detik putaran jam sepanjang hari
ini. Kemudian, untaian doa –atau mungkin juga- ratapan, sumpah serapah terbang
ke angkasa, tertuju kepada yang dituju, entah siapa, mungkin Tuhannya, mungkin
juga tak bertujuan. Ah, terlalu banyak kemungkinan bukan?
Matanya,
aku masih lekat menatap. Perhatikan tiap lekuk wajahnya, mencoba mengukir
kembali guratan-guratan yang terlukis di sana. Mengukirnya perlahan di dalam
ingatan. Senyumnya, hmm.. Kemudian pandanganku kembali ke sepasang bola mata
bening itu, ku lihat, tatapan yang terkadang begitu manja, atau mendengarkan
suara yang selalu terdengar sama. Aku selalu
menyukai hal-hal serupa. Tidak akan pernah bosan, semoga. Tapi, tidak malam
ini.
“Aku
hanya tidak suka, bagaimana mereka menilaimu,” ucapnya lirih. Bergetar, penuh
emosi yang meradang.
“Aku
tidak suka, mereka bahkan belum mengenalmu, lantas, kenapa dengan mudahnya
mereka menganggapmu seperti itu? Kenapa? Tak bisakah mereka membiarkanku
menentukan pilihan sejenak, tak bisakah aku sekarang menikmati asa yang mulai
tertera di sanubari? Tak bisakah..” suaranya tercekat kemudian.
Ku
tatap bola mata itu, berair. Ada genangan di kelopak mata bening itu. Aku
tersenyum. Mencoba menghiburnya, dengan genggaman tangan dan tatapan penuh
keyakinan. Dengan sekali anggukan. Tak ada kata yang ingin ku ucapkan. Dia sudah
lebih dari mengerti apa maksudku, dari sentuhan dan tatapan yang ku berikan.
Tak perlu lisanku berucap, tak perlu panjang kalimatku menenangkannya, ini
lebih dari cukup.
Setengah
jam kemudian, dia masih meracau, mengutarakan kekecewaannya. Masih menuangkan
gundahnya kepadaku, masih bercerita tentang topik yang sama. Dan sekali pun,
tak pernah aku memotong perkataannya, tidak ada juga kata yang ku ucapkan untuk
menanggapi itu. Ya, dia tidak perlu balasan, dia hanya perlu didengarkan, dan malam
ini, aku akan menjadi pendengar yang baik. Setelah sekian lama, aku menjadi
pendongeng ulung. Kali ini, ceritaku akan ku simpan, lain kali aku akan kembali
berkisah, tentang apa pun yang dia inginkan. Ya, aku akan kembali bercerita,
tapi tidak malam ini.
“Hei,
lihat. Kau lihat orang-orang itu. tertawa lepas. Bahkan satu sama lain mungkin
tidak saling kenal –benar-benar kenal-. Tapi, lihatlah. Mereka bisa tertawa
bersama bukan? Ada banyak hal yang mungkin tidak mereka tahu dari orang di
sebelahnya. Lihat, yang satu sedang menggenggam jemari pasangannya, sementara
yang lainnya sibuk tertawa, entah menertawakan apa. Lalu lihat itu, bahkan
semua orang melepaskan semua beban di saat sebagian lainnya merasa kelaparan,”
ucapku, sambil menunjuk salah satu orang yang bersimpuh di depan etalase toko
itu, dari tampilannya, terlihat seperti seorang tunawisma.
“Lalu,
lihat mereka,” ku tunjuk segerombolan anak-anak yang berdiri di seberang jalan.
Tampak bercanda riang, pakaiannya lusuh, rambutnya kusut, wajahnya penuh dengan
debu.
“Lihat,
mereka juga tertawa begitu lepas. Sama seperti orang itu,” ku tunjuk sepasang
muda-mudi yang dipeluk asmara, serta segerombolan remaja yang sibuk dengan gadget di tangan, tampak asyik berfoto
ria.
“Lihat,
bahagia itu tak perlu alasan. Tidak juga harus di pahami semua orang. Karena,
bahagia itu, kita yang menciptakannya. Bukan mereka, bukan juga kita, tapi diri
mereka masing-masing. Dan semua itu bisa didapatkan ketika kita bisa menerima,
apa pun konteksnya. Ya, kita harus menerima apa pun yang ada. Cibiran, anggapan
positif, negatif, itu semua hanya sebuah tema, tapi esensinya. Kita bisa
menentukan. Apakah akan bermakna indah, atau bermakna perih.” ucapku setelah
sekian lama hanya diam. Dan aku, mulai berkata ketika tak ada lagi suara yang
diucapkannya.
“Dengarkan,
dengarkan semua yang bisa kau dengar. Tapi, tak lantas kau memasukkannya ke
dalam pikiran, terlebih hati. Ada kalanya kita hanya mendengar, sekali lintas
saja, selebihnya, itu hanya angin lalu. Tidak buruk untuk menjadi apatis,
sejenak. Terkadang itu perlu dilakukan, karena jika kita memasukkan semua
perkataan ke dalam hati, tentu perlu berhari-hari untuk mencernanya, jika tidak
bisa mencerna dan memahani, maka dia akan mengendap di dalam hati, kemudian
menghitam, legam. Hanya akan lahir kebencian. Lalu mereka, dia, aku dan kau,
tentu tidak harus memendam kebencian. Karena, ternyata merasa bahagia, itu jauh
lebih baik,” kuberikan senyum termanis, sisa senyum hari ini yang terkelupas
oleh letih.
Ia
menatapku. Tak mengerti maksudku. Aku tersenyum, dan berkata:”Kau tidak perlu
mengetahuinya sekarang, ini semua tentang apa yang kau bicarakan, tentang apa
yang kita rasakan. Karena pada dasarnya, kita akan segera mengerti setelah
melalui ini, tidak pada saat kita menghadapi ini. Dan bahagia itu, tidak bisa
selalu seiring sejalan, terkadang ia berjalan masing-masing, aku sendiri, kau
juga. Tapi, ada saatnya, kita akan tertawa bahagia bersama. Meski alurnya
berbeda, tapi, makna dari bahagia, itu akan selalu ada. Antara aku, kau dan
mereka.” ucapku pelan, sembari menggenggam tangan yang mulai terasa dingin.
Hujan
masih jatuh dari angkasa. Langit jelas semakin pekat, dan ketika kerinduan
berpadu dengan harapan serta keyakinan. Maka sepekat apa pun malam, meski tanpa
bintang dan cahaya rembulan, ia akan tetap berwarna. Indah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar