Angin
berhembus, pelan bercabang. Menyelinap diantara lintasan yang membentang. Lagu itu,
untuk kesekian kali terdengar merdu. Kesekian kalinya lagu itu di nyanyikan
oleh sentuhan lirih angin yang bercabang.
Dedaunan,
satu persatu jatuh ke tanah yang basah. Dedaunan yang berwarna kering, tak
kuasa bertahan diantara cabang dahan, bahkan selembut apapun angin membelainya
ia akan jatuh perlahan, hanya menunggu waktu. Melayang-layang sebelum terhempas
bebas menghantam tanah basah. Dedaunan itu gugur, tanpa ada yang bisa
menahannya .
Angin
berhembus pelan, menerbangkan debu-debu halus yang tertahan di tanah. Sesaat ia
melayang, sesaat ia berpindah tempat, sebelum hujan membasahinya, sebelum ia
mengendap lebih lama lagi, menjadi lumpur di dasar air. Bahkan debu yang
menjadi lumpur itu tidak bisa menyalahkan air yang sudah menenggelamkannya
begitu lama.
Kapan
waktunya keberanian mendatangi kita, mengatakan semua kebenaran yang tidak
seharusnya di pudarkan oleh lentik jemari nan mempesona, keindahan selintas
mata memandang.
Tak terasa
kegelapan malam jatuh, menuju dini hari yang dingin. Hanya sedikit cahaya
diantara pekatnya cakrawala, rembulan? Tak tampak menghiasi bentangan malam
yang panjang. Hanya lirih, berbalut hembusan angin yang bercabang. Tenang.
Menyalahkan
situasi/seseorang/kondisi ketika terjatuh bukanlah sebuah penyelesaian. Hanya akan
menimbulkan kegundahan diantara derita yang melanda. Bukan pula mencari
perlindungan berlandaskan belas kasihan, karena pada dasarnya kita tidak ingin
di kasihani, namun tentu mulut berbeda dengan hati yang berkata lirih. Kasihanilah
dirimu yang ingin dikasihani.
Terkadang
malam menjadi begitu terang, terkadang terasa terik, terkadang begitu syahdu,
terkadang terasa pilu. Begitulah malam mengartikan dirinya.
Dedaunan
yang berwarna hijau menyejukkan itu pada akhirnya akan mengering juga, satu
persatu berguguran, terhempas di tanah yang basah. Pilar-pilar bebatuan cadas
itu pada akhirnya akan menjadi butiran-butiran debu halus, yang akan terbang
sesaat sebelum mengendap di dasar air, entah apakah ia akan kembali menjadi
batu cadas nan perkasa.
Semuanya
terjadi karena hembusan angin, pelan bercabang. Namun tak satupun diantara
dedaunan dan batu itu menyalahkan sang angin yang bercabang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar