Malam
yang terang meski tanpa bintang. Sesekali kendaraan bermotor melintas, membelah
jalanan yang semakin sunyi. Kota ini tampak begitu lengang, berbeda dengan kota
dimanaku berdomisili .
Dari obrolan
pinggir jalan, bertemu dengan orang-orang baru. Misi awalnya jelas, menemui
sahabat lama, membuka koneksi untuk sekedar melanjutkan semangat yang sempat
kandas. Obrolan pinggir jalan, dengan segala rentetan pembicaraan. Berawal dari
mengenang masa lalu, menceritakan harapan di masa depan, mengenang kejadian
konyol beberapa tahun silam, hingga curahan hati mengalir seperti derasnya air
yang turun ke permukaan yang lebih rendah.
Sebentar
lagi tengah malam, obrolan semakin hangat. Di bumbui dengan celotehan ringan,
mentertawakan teman, mentertawakan diri sendiri. Sejenak melepaskan kepenatan,
cukup mujarab untuk melipur hati yang dilanda kegelisahan tak terkira.
Di tengah
hangatnya obrolan, muncul kakek-kakek, mungkin usianya diatas 70-an tahun,
tampak dari kulitnya yang keriput berkerut, rambut yang memutih halus, gigi
yang sudah tak lengkap jumlahnya, ditambah lagi dengan jalan yang membungkuk.
Awalnya
ku kira dia meminta-minta, seperti kebanyakan manula yang berkeliaran di malam
hari. Namun perkiraanku meleset. Masih ku ingat jelas tawa khasnya,
putus-putus. Dengan bahasa sunda yang tidak ku mengerti, kata temanku. Itu bahasa
sunda halus, terlebih ucapannya sudah tidak sejelas lelaki seusiaku.
Dengan
terampil dia memijat, meregangkan urat-urat yang kaku seperti kawat. Dengan celotehannya,
ia tampak bahagia dengan kondisinya. Seharusnya,
ia tidur malam ini. Dengan anak dan cucu-cucunya, mengingat usianya yang tidak
bisa di bilang muda. Namun, dia tidak meminta-minta seperti kebanyakan manula. Ia
menawarkan jasa meski tanpa di minta, tak di beripun kurasa tak aka nada protes
darinya, karena setelah ku Tanya ke kawan baruku, dia memang setiap malam
berkeliaran. Singgah sejenak, bercerita dan bercanda, mengenai wanita muda. Lalu
tertawa, kemudian beranjak. Selalu seperti itu.
Di pertengahan
malam, ia masih berjalan. Menjemput rezeki yang entah dimana di turunkan
untuknya. Sejenak aku termenung diantara canda yang dilontarkannya. Ada kesedihan
dan rasa malu yang bercampur menjadi satu.
Tak ada
keluhan yang keluar dari pembicaraannya, hanya ada canda dan tawa. Tak lupa
tawa khasnya yang sepatah-sepatah itu membuatku juga bisa tertawa.
Terbayang,
sering kali aku mengeluh kepada-Nya. Merutuki nasib yang tak segera membaik. Namun
dari lelaki berusia senja itu ku temukan makna yang sebenarnya mengenai hidup.
Hidup
itu begitu sederhana, mensyukuri apa yang telah di berikan kepada kita. Tanpa harus
selalu mengeluh di setiap sisa ujung sujud dalam rakaat shalat. Hanya tertawa,
seraya terus bergerak. Usia tak menghalanginya untuk tetap menjemput rezeki
yang di turunkan-Nya untuk kita.
Darinya
aku belajar malam ini. Darinya ku temukan arti kata sebuah perjuangan dan
segenggam kenikmatan tak terkira yang di anugerahkan kepada kita.
Tidak
perlu berkeluh kesah, tetap berusaha dan berdoa. Dan pada akhirnya kita tertawa
bersama, tanpa ada rasa duka. Terimakasih kek, pelajaran berharga kudapatkan malam
ini, darimu, untukku, untuk kita, untuk kami.
Pelajaran
dari obrolan pinggir jalan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar