Aku pernah tersesat diantara
belantara rimba, meraba setiap jalan yang akan di lewati. Sesekali tergelincir,
sesekali merasa gelisah, sesekali harus menarik nafas panjang, sesekali harus
terduduk. Serangkaian kejadian yang sebenarnya tidak ingin dilalui. Meski letih,
berjalan dengan kaki tertatih jalan itu mampu di lalui. Menemukan jalan keluar,
menemukan jalan untuk kembali pulang.
Masih terbayang dengan sangat
jelas waktu itu, ketika kabut mulai menutup, begitu pekat. Gelegar halilintar
terdengar mengerikan, mencengkram perasaan menjadi was-was dan gelisah, rasa
takut? Jangan di tanyakan lagi, perasaan itu begitu kuat menjalar di setiap
aliran darah.
Cahaya yang ku bawa, sedikitpun
tidak mampu menembus kabut yang begitu tebal. Sementara ku raba di sekelilingku
hanya ada tebing curam yang siap
melahap. Hanya cahaya dari halilintar yang mampu menembus ketebalan kabut. Memberikanku sedikit keberanian diantara rasa
takut, memberikan setitik harapan diantara keputusasaan.
Tersesat, adalah kata yang paling
tepat untuk mengambarkan kejadian itu. Akibat dari sebuah keputusan konyol dan
ambisius, memaksa melangkah menuju titik akhir pendakian. Sementara tidak
mengukur kemampuan diri, tidak mempertimbangkan kekuatan alam yang di luar
nalar.
Sebuah keputusan yang berakhir
fatal (pada akhirnya), karena ada belasan orang yang berdiri di belakangku,
semua langkah tergantung padaku. Sementara aku hanya bisa berharap sang Khalik
menuntun untuk kembali dengan selamat. Membawa sebagian besar orang tanpa
pengalaman yang mumpuni untuk melalui kejadian seperti ini. Sangat sulit,
sebuah tekanan besar.
Namun, dengan sedikit keberanian,
dengan sedikit harapan, dengan sedikit ketabahan semua masalah ada jalan
keluarnya. Meskipun tubuh sudah mulai kebal dengan sentuhan jemari, berkatapun
terdengar mendengung. Tapi semua itu
adalah harga yang harus di bayar untuk bisa kembali.
Beberapa tahun kemudian kejadian
itu merubah pola pikirku, merubah setiap tindakan yang ku lakukan. Setiap keputusan
yang di ambil harus di analisis terlebih dahulu, harus ada berbagai
pertimbangan dan sudut pandang.
Tersesat, memang harus seperti
itu. Tersesat bukanlah petaka, itu adalah bagian dari rencana yang maha kuasa
untuk kita bisa belajar, agar di gunakan di kemudian hari.
Teringat perbincangan beberapa waktu
lalu. Jika di suruh memilih, berjalan tanpa arah dan tersesat, atau berdiam
diri sembari menunggu waktu yang tepat untuk berjalan? Aku lebih memilih untuk
berjalan tanpa arah dan kemudian tersesat, karena dengan tersesat aku akan
menemukan jalan terbaik di kemudian hari, sebuah esensi dari ketersesatan, pada
akhirnya nanti jika bisa keluar dari masalah itu, semuanya akan menjadi sangat
baik.
Alasan kenapa tidak memilih
berdiam diri, menunggu waktu yang tepat untuk kembali melangkah. Permasalahannya
adalah, kita tidak tahu waktu yang tepat itu kapan. Bisa saja waktu yang tepat
itu adalah waktu dimana ajal sedang menjemput, dan saat itu baru tersadar bahwa
tubuh ini sudah tidak mampu untuk kembali memulainya, maka hanya sumpah serapah
dan penyesalan yang akan keluar dari mulut dan hati. Mengutuk nasib, kenapa
tidak melakukannya dari awal.
Permasalahannya sama, kita tidak
tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Maka lakukan sebisanya, sebaik
mungkin, walaupun pada akhirnya kita sadar bahwa semua itu salah. Kesalahan bisa
di perbaiki jika dilakukan seawal mungkin, dan di penghujung waktu semua
kesalahan itu akan terbayar dengan apa yang sudah kita lakukan. Semua perbaikan
dari setiap kesalahan adalah harga mutlak yang harus di bayar. Dan seperti
itulah seharusnya.
Sejauh apa kita bisa melangkah,
selama apa kita mampu bertahan, seberapa kuat kita untuk melawan dan seberapa
tangguh kita untuk tetap tabah? Pertanyaan yang tentunya hanya akan terjawab
jika kita bisa melaluinya.
Sejauh apapun kita melangkah,
pada akhirnya kita akan kembali. Kembali pulang, karena masih ada rumah, dimana
orang-orang yang menyayangi kita menunggu. Menanti kedatangan kita, tidak
perduli apakah wajah yang kita tampakkan adalah kesedihan, bahagia, bangga,
atau derita. Mereka, yang ada di rumah senantiasa akan menyambut dengan
senyuman, menyambut dengan pelukan hangat.
Selama apapun kita bertahan, jika
tidak melawan apa yang akan terjadi? Mungkinkah keadaan akan menyerah menyerang
kita? Akankah gelombang kesedihan itu berhenti menggempur pertahanan kita? Mungkinkah?
Kurasa tidak mungkin keadaan menyerah.
Maka pilihannya adalah, seberapa
ingin kita untuk tetap melangkah meskipun salah. Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi
di kemudian hari. Tuhan selalu punya rencana indah untuk kita, tergantung dari
kita menilainya seperti apa.
…….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar