Rabu, 15 Januari 2014

(Menurutku) Aku tidak egois



Tak pernah terfikirkan olehku untuk menjadi seperti ini. Awalnya, ku lihat hidup ini begitu sederhana, tanpa perlu memikirkan orang lain, hidup adalah bagaimana menjalaninya dengan sangat gembira. Tapi, entah kenapa, akhir-akhir ini aku tak bisa seperti itu. Aku tak bisa memikirkan hidupku sendiri, terlalu egois jika ku paksakan untuk tetap menjadi seperti yang ku inginkan. Tentu saja bisa ku maklumi jika kalian menghakimiku dengan berbagai presepsi. Namun, ketahuilah. Aku hidup tidak seorang diri, meski aku belum beristri, masih ada orang tua dan keluargaku yang tak bisa ku tinggalkan begitu saja, mencari ketenangan seorang diri, menjalani hidup sesederhana pikiran dan imajinasiku. Tanpa ku perjelas mungkin kalian sudah paham bukan? Ya, begitulah kondisinya.
Lalu, ku tatap mereka. Yang mentertawakanku mengenai mimpi-mimpiku, khayalan tentang negeri seberang. Sebagian dari mereka mengatakan, aku terlalu terobsesi dengan berbagai buku yang ku baca, otakku teracuni oleh khayalan-khayalan para novelis dan jurnalis. Mereka mentertawakanku, meski tak ku lihat ada raut tawa di wajah-wajahnya, namun dari kata-kata dan intonasinya, jelas dalam hati mereka menertawakan dan berdoa agar aku sadar dengan kehidupan yang nyata. Bukan maksudku untuk berburuk sangka kepada mereka tentunya.
Perjalananku diawali dengan meninggalkan kampung, mencoba melangkahkan kaki. Belum tahu tujuan pasti, belum tahu apakah masih bisa kembali. Hanya saja, aku masih yakin, di tempat baru nanti, akan segera ku temukan tujuan dari semua ini.
Lima tahun sudah terlewati, meski agak telat, namun bisa ku selesaikan studi. Menjadi sarjana, ya menjadi seorang sarjana tanpa kemampuan dan keahlian. Aku hanya punya keberanian untuk tetap berjuang, sedangkan ilmu yang ku pelajari selama ini, seolah menguap, lalu lenyap. Hanya sedikit yang bisa ku serap. Tak banyak yang ku dapat. Tapi, setidaknya aku masih memiliki keberanian untuk tetap melanjutkan mewujudkan impian yang tak di miliki oleh orang-orang di “kampungku”.
Tentu masih bisa ku banggakan kepada mereka tentang usahaku untuk meraih semua cita, cinta, asa, harapan dan impian ini, meski ku tahu, uang di saku orang kampungku dan seusiaku tentu lebih tebal dibandingkan denganku, mereka, para petani yang sukses, sedangkan aku, sarjana yang masih bergelut dengan kerasnya hidup. Tentu tak ada apa-apanya jika perbandingannya adalah materi. Meski ku katakana ribuan kali, bahwa kesuksesan tidak harus di ukur dengan gelimang harta dan wanita. Namun, apalah perduli mereka, mereka tidak akan pernah mengerti.

Bukan maksudku untuk menghakimi mereka dengan tulisan ini, bukan pula maksudku untuk membela diri, bersembunyi dengan tulisan, mengaburkan kenyataan. Tapi, ini tak lebih dari sebuah ungkapan dari pemikiran yang ingin keluar begitu saja, tak ingin berlama-lama aku menyimpannya, karena hal-hal baru tentu akan segera menyapaku, hal baru yang lebih menantang, hal baru yang tidak akan membuatku menjadi egois, dan hal baru yang sederhana. Karena hidup adalah bagaimana menjalaninya dengan sangat gembira, dengan cara mensyukuri pemberian Illahi Rabbi, Allah Azza Wa Jalla…
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML