Tak pernah terfikirkan
olehku untuk menjadi seperti ini. Awalnya, ku lihat hidup ini begitu sederhana,
tanpa perlu memikirkan orang lain, hidup adalah bagaimana menjalaninya dengan
sangat gembira. Tapi, entah kenapa, akhir-akhir ini aku tak bisa seperti itu. Aku
tak bisa memikirkan hidupku sendiri, terlalu egois jika ku paksakan untuk tetap
menjadi seperti yang ku inginkan. Tentu saja bisa ku maklumi jika kalian
menghakimiku dengan berbagai presepsi. Namun, ketahuilah. Aku hidup tidak
seorang diri, meski aku belum beristri, masih ada orang tua dan keluargaku yang
tak bisa ku tinggalkan begitu saja, mencari ketenangan seorang diri, menjalani
hidup sesederhana pikiran dan imajinasiku. Tanpa ku perjelas mungkin kalian
sudah paham bukan? Ya, begitulah kondisinya.
Lalu, ku tatap mereka. Yang
mentertawakanku mengenai mimpi-mimpiku, khayalan tentang negeri seberang. Sebagian
dari mereka mengatakan, aku terlalu terobsesi dengan berbagai buku yang ku
baca, otakku teracuni oleh khayalan-khayalan para novelis dan jurnalis. Mereka mentertawakanku,
meski tak ku lihat ada raut tawa di wajah-wajahnya, namun dari kata-kata dan
intonasinya, jelas dalam hati mereka menertawakan dan berdoa agar aku sadar
dengan kehidupan yang nyata. Bukan maksudku untuk berburuk sangka kepada mereka
tentunya.
Perjalananku diawali dengan meninggalkan
kampung, mencoba melangkahkan kaki. Belum tahu tujuan pasti, belum tahu apakah
masih bisa kembali. Hanya saja, aku masih yakin, di tempat baru nanti, akan
segera ku temukan tujuan dari semua ini.
Lima tahun sudah terlewati,
meski agak telat, namun bisa ku selesaikan studi. Menjadi sarjana, ya menjadi
seorang sarjana tanpa kemampuan dan keahlian. Aku hanya punya keberanian untuk
tetap berjuang, sedangkan ilmu yang ku pelajari selama ini, seolah menguap,
lalu lenyap. Hanya sedikit yang bisa ku serap. Tak banyak yang ku dapat. Tapi,
setidaknya aku masih memiliki keberanian untuk tetap melanjutkan mewujudkan
impian yang tak di miliki oleh orang-orang di “kampungku”.
Tentu masih bisa ku
banggakan kepada mereka tentang usahaku untuk meraih semua cita, cinta, asa,
harapan dan impian ini, meski ku tahu, uang di saku orang kampungku dan
seusiaku tentu lebih tebal dibandingkan denganku, mereka, para petani yang
sukses, sedangkan aku, sarjana yang masih bergelut dengan kerasnya hidup. Tentu
tak ada apa-apanya jika perbandingannya adalah materi. Meski ku katakana ribuan
kali, bahwa kesuksesan tidak harus di ukur dengan gelimang harta dan wanita. Namun,
apalah perduli mereka, mereka tidak akan pernah mengerti.
Bukan maksudku untuk
menghakimi mereka dengan tulisan ini, bukan pula maksudku untuk membela diri,
bersembunyi dengan tulisan, mengaburkan kenyataan. Tapi, ini tak lebih dari
sebuah ungkapan dari pemikiran yang ingin keluar begitu saja, tak ingin
berlama-lama aku menyimpannya, karena hal-hal baru tentu akan segera menyapaku,
hal baru yang lebih menantang, hal baru yang tidak akan membuatku menjadi
egois, dan hal baru yang sederhana. Karena hidup adalah bagaimana menjalaninya dengan sangat gembira, dengan cara mensyukuri pemberian Illahi Rabbi, Allah Azza Wa Jalla…