#Bagian 1
Ilustrasi: putriwidisaraswati.files.wordpress.com |
Senja
kembali dibungkus rinai hujan, sore itu, ketika semua kejadian bermula, dari
sesuatu yang tampak indah, menjadi awal mula yang bahkan tak pernah terpikirkan
untuk kembali ku rasakan, untuk kesekian kalinya, aku menikam sesuatu yang baru
saja tumbuh, belum sempat merekah. Ketika sang fajar menyiram sepotong harapan
tentang janji-janji indah hari esok, semuanya sirna ketika senja sempurna
tenggelam.
Tempat
itu akan selalu menjadi tempat yang indah untukku bisa mengenangnya, tempat
yang selalu tampak ceria. Entah, aku begitu menyukai tempat ini, sebuah
pelataran surau tua, tempat yang akan selalu menyenangkan, dan ketika seruan
adzan terdengar dari corong-corongnya, menjalar kedamainan menembus jiwa, dan
aku bahkan hilang kata-kata ketika bait pertama dari kalam Illahi dibacakan
sang imam, terdengar merdu sekali, menenangkan. Dan aku selalu akan mengenang
itu, sebuah kisah yang akan selalu indah.
Tapi,
entah bagaimana cerita itu, ketika malam menjelang datang, aku hanya bisa
menatap kosong hamparan jalanan yang ramai oleh derap langkah kaki-kaki manusia,
aku seperti terhempas ribuan mil, kembali diseret ke dalam sebuah penyesalan
terdalam dari sebuah perbuatan, aku, hanya bisa terdiam ketika dia berucap
lirih.
“Sepertinya,
aku akan mundur. Tak ada inginku untuk melanjutkan kisah ini. kisahku dengannya
terlalu putih untuk dicoret dengan tinta yang bernada khianat,” ujarnya, lirih
namun tegas. Aku bahkan bisa mendengarkannya di sela-sela suara lantunan Adzan
Isya.
Aku
terdiam. Hanya sepersekian detik aku mampu mencerna kalimat itu, bahkan sejak
dari awal kisah ini dituliskan, pasti akan kembali seperti ini. Aku terlalu
yakin, kisah ini akan berakhir dengan nada tawa, aku hanya tersenyum, satu persatu
terkaanku dibenarkan oleh waktu, aku, hanya seseorang yang selalu tampak bodoh,
akan selalu seperti itu.
Hei,
ini bukan kali pertama kau merasakan hal ini bukan, jadi sepertinya kau akan
terbiasa dengan suasana seperti ini, begitu ucapku dalam hati. Tapi, itu tidak
pernah dibenarkan, sesering apa pun kita merasakan sakit, kita tidak akan
pernah kebal dengan semua itu, akan selalu terasa sakit, meskipun sebenarnya
itu hanya akan menjadi sebuah parodi yang tampak biasa, tiada yang istimewa.
Hujan
kembali menyapa ketika senja mulai bercerita, kembali membungkus harapan
tentang sesuatu yang telah sirna, ada dua bagian yang tidak akan pernah
terpisahkan, dari semua itu, akan selalu sulit untuk di lalui, bahkan bagi
seorang ahli, itu tidak akan mudah seperti mengucapkan sebuah kalimat.
“Baiklah,
tidak akan pernah ada yang bisa melarangmu untuk melakukan itu. Kau tahu, kau
tidak akan pernah merasakan apa yang ku rasakan, tidak akan pernah. Ketika untuk
berulang kalinya ku tikam sesuatu yang enggan ku tebas, tapi sekarang, sirna. Kebas
hatiku dengan semua ini, mati rasa.” suaraku bergetar.
Ia
menatap sayu, lamat-lamat ku lihat wajah itu. sebuah garis kecewa jelas terbaca
dari tatapan mata itu, aku hanya bisa membacanya, merasakan apa yang
dirasakannya, mencoba menjelaskan semuanya dengan diam, dan aku sepertinya
lupa, jika dia adalah wanita keras kepala, pendiriannya terlalu keras untuk
ditebas dengan rangkaian kata. Ini misi mustahil, tidak akan pernah bisa
menemukan titik terang, harapan itu hanya akan menguap ketika mentari mulai
menampakkan diri sepanjang hari, dan ketika menguap, ia akan kembali tumpah ke
tanah, menghilangkan jejak-jejak kaki yang tercetak di atas debu tipis.
…
Untuk
kali pertama dia membalas genggaman jemariku, aku bahkan tidak bisa
menerjemahkan arti genggaman tangan itu. Untuk kesekian kalinya bisa ku sentuh
kepalanya, mengusapnya pelan, tapi kali ini ku lakukan lebih lama dari biasanya.
Dan untuk kesekian kali, ku tatap begitu dalam matanya, kembali mengguratkan
wajahnya di dalam ingatan, menyayat hati ketika ku tuliskan kembali ke dalam
aksara. Untuk kesekian kalinya, aku melukis wajah itu.
Aku
kembali berjalan di antara malam dan rinai hujan, hujan kembali membungkus
malam. Aku bahkan tidak peduli dengan semuanya, basah. Aku menikmati setiap
detik tetesan yang tumpah, meresapi pesan yang ingin disampaikan, tidak ada
kata yang terucap, hanya ada diam, dan hujan memberikan jawaban sempurna malam
ini. Dan lihat, hujan kembali menemaniku hingga fajar mulai menyingsing, dan
ketika ku buka jendela, bisa ku cium sisa aromanya, masih begitu segar
semuanya.
Pagi
ini seharusnya menjadi suasana yang sempurna untuk melukiskan ribuan warna yang
tercetak di cakrawala, dan hei, ini selalu istimewa bukan? Ya, akan selalu
istimewa, tak peduli apakah rasa yang di keluarkan seperti apa.
Ini
tentang Si Penggenggam Hujan yang kemudian melepaskan sebuah harapan ketika
kembali rinai hujan menyapa di kala senja, ada bagian yang tak akan pernah
tersingkap, hanya diam yang akan bisa menjelaskan semuanya, bahkan terkadang
hal ini tidak perlu dijelaskan, penjelasan akan selalu datang tepat waktu, dia
akan selalu menjawab pertanyaan.
Dan
sepagi ini, aku belum bisa meski hanya sejenak sejenak menutup mata, sebentar saja mengistirahatkan panca
indera yang mulai letih, ada sebait tentang harapan yang terkelupas, kemudian
hilang bersama dengan turunnya rinai hujan. Fiksi..