Jumat, 20 Maret 2015

Melepas Pelukan Hujan (Fiksi)

#Bagian 1

Ilustrasi: putriwidisaraswati.files.wordpress.com

Senja kembali dibungkus rinai hujan, sore itu, ketika semua kejadian bermula, dari sesuatu yang tampak indah, menjadi awal mula yang bahkan tak pernah terpikirkan untuk kembali ku rasakan, untuk kesekian kalinya, aku menikam sesuatu yang baru saja tumbuh, belum sempat merekah. Ketika sang fajar menyiram sepotong harapan tentang janji-janji indah hari esok, semuanya sirna ketika senja sempurna tenggelam.

Tempat itu akan selalu menjadi tempat yang indah untukku bisa mengenangnya, tempat yang selalu tampak ceria. Entah, aku begitu menyukai tempat ini, sebuah pelataran surau tua, tempat yang akan selalu menyenangkan, dan ketika seruan adzan terdengar dari corong-corongnya, menjalar kedamainan menembus jiwa, dan aku bahkan hilang kata-kata ketika bait pertama dari kalam Illahi dibacakan sang imam, terdengar merdu sekali, menenangkan. Dan aku selalu akan mengenang itu, sebuah kisah yang akan selalu indah.

Tapi, entah bagaimana cerita itu, ketika malam menjelang datang, aku hanya bisa menatap kosong hamparan jalanan yang ramai oleh derap langkah kaki-kaki manusia, aku seperti terhempas ribuan mil, kembali diseret ke dalam sebuah penyesalan terdalam dari sebuah perbuatan, aku, hanya bisa terdiam ketika dia berucap lirih.

“Sepertinya, aku akan mundur. Tak ada inginku untuk melanjutkan kisah ini. kisahku dengannya terlalu putih untuk dicoret dengan tinta yang bernada khianat,” ujarnya, lirih namun tegas. Aku bahkan bisa mendengarkannya di sela-sela suara lantunan Adzan Isya.

Aku terdiam. Hanya sepersekian detik aku mampu mencerna kalimat itu, bahkan sejak dari awal kisah ini dituliskan, pasti akan kembali seperti ini. Aku terlalu yakin, kisah ini akan berakhir dengan nada tawa, aku hanya tersenyum, satu persatu terkaanku dibenarkan oleh waktu, aku, hanya seseorang yang selalu tampak bodoh, akan selalu seperti itu.

Hei, ini bukan kali pertama kau merasakan hal ini bukan, jadi sepertinya kau akan terbiasa dengan suasana seperti ini, begitu ucapku dalam hati. Tapi, itu tidak pernah dibenarkan, sesering apa pun kita merasakan sakit, kita tidak akan pernah kebal dengan semua itu, akan selalu terasa sakit, meskipun sebenarnya itu hanya akan menjadi sebuah parodi yang tampak biasa, tiada yang istimewa.

Hujan kembali menyapa ketika senja mulai bercerita, kembali membungkus harapan tentang sesuatu yang telah sirna, ada dua bagian yang tidak akan pernah terpisahkan, dari semua itu, akan selalu sulit untuk di lalui, bahkan bagi seorang ahli, itu tidak akan mudah seperti mengucapkan sebuah kalimat.

“Baiklah, tidak akan pernah ada yang bisa melarangmu untuk melakukan itu. Kau tahu, kau tidak akan pernah merasakan apa yang ku rasakan, tidak akan pernah. Ketika untuk berulang kalinya ku tikam sesuatu yang enggan ku tebas, tapi sekarang, sirna. Kebas hatiku dengan semua ini, mati rasa.” suaraku bergetar.

Ia menatap sayu, lamat-lamat ku lihat wajah itu. sebuah garis kecewa jelas terbaca dari tatapan mata itu, aku hanya bisa membacanya, merasakan apa yang dirasakannya, mencoba menjelaskan semuanya dengan diam, dan aku sepertinya lupa, jika dia adalah wanita keras kepala, pendiriannya terlalu keras untuk ditebas dengan rangkaian kata. Ini misi mustahil, tidak akan pernah bisa menemukan titik terang, harapan itu hanya akan menguap ketika mentari mulai menampakkan diri sepanjang hari, dan ketika menguap, ia akan kembali tumpah ke tanah, menghilangkan jejak-jejak kaki yang tercetak di atas debu tipis.

Untuk kali pertama dia membalas genggaman jemariku, aku bahkan tidak bisa menerjemahkan arti genggaman tangan itu. Untuk kesekian kalinya bisa ku sentuh kepalanya, mengusapnya pelan, tapi kali ini ku lakukan lebih lama dari biasanya. Dan untuk kesekian kali, ku tatap begitu dalam matanya, kembali mengguratkan wajahnya di dalam ingatan, menyayat hati ketika ku tuliskan kembali ke dalam aksara. Untuk kesekian kalinya, aku melukis wajah itu.

Aku kembali berjalan di antara malam dan rinai hujan, hujan kembali membungkus malam. Aku bahkan tidak peduli dengan semuanya, basah. Aku menikmati setiap detik tetesan yang tumpah, meresapi pesan yang ingin disampaikan, tidak ada kata yang terucap, hanya ada diam, dan hujan memberikan jawaban sempurna malam ini. Dan lihat, hujan kembali menemaniku hingga fajar mulai menyingsing, dan ketika ku buka jendela, bisa ku cium sisa aromanya, masih begitu segar semuanya.

Pagi ini seharusnya menjadi suasana yang sempurna untuk melukiskan ribuan warna yang tercetak di cakrawala, dan hei, ini selalu istimewa bukan? Ya, akan selalu istimewa, tak peduli apakah rasa yang di keluarkan seperti apa.

Ini tentang Si Penggenggam Hujan yang kemudian melepaskan sebuah harapan ketika kembali rinai hujan menyapa di kala senja, ada bagian yang tak akan pernah tersingkap, hanya diam yang akan bisa menjelaskan semuanya, bahkan terkadang hal ini tidak perlu dijelaskan, penjelasan akan selalu datang tepat waktu, dia akan selalu menjawab pertanyaan.

Dan sepagi ini, aku belum bisa meski hanya sejenak sejenak menutup mata, sebentar saja mengistirahatkan panca indera yang mulai letih, ada sebait tentang harapan yang terkelupas, kemudian hilang bersama dengan turunnya rinai hujan. Fiksi..



Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML