#Ilusi
Biarkan semuanya
berjalan sesuai alurnya, biarkan semuanya menjadi seimbang. Bukankah air selalu
mengalir dari tempat yang lebih tinggi, menuju tempat yang lebih rendah? –
Kecuali dipompa dengan mesin – Jika, sebuah kata yang kemudian terlontar ketika
kita tidak yakin terhadap apa yang dijalani. Ini akan berbicara tentang siapa?
Kemarin, aku mungkin bercerita tentang para wanita itu. Tapi, malam ini,
sepertinya tak terbayang jika aku harus kembali menuliskan tentang mereka.
Ada kalanya kita
akan berbicara mengenai hal lain, bukankah jika kita bercerita tentang sesuatu
yang sama, kita akan mudah sekali merasa bosan? Mungkin aku akan menuliskan
tentang seseorang, entah siapa, ini hanya terbesit saja, selintas. Tapi, bisa
saja tentang diriku, atau – lagi – tentang mereka. Para tokoh yang selalu ku
hidupkan dalam rangkaian kata, ku sentuh dengan jemari lemah, menari di batas
cakrawala, bersandar di antara gelap dan terang.
Aku akan
berkisah tentang lembah-lembah yang membentang indah. Yang selalu tertutup
kabut dan sulit tertusuk jamahan mentari, lembab. Misteri, seperti seorang
wanita yang memakai cadar. Tertutup rapat, menyisakan mata dan sedikit alis
yang menggurat wajah. Tapi, dari guratan itu bisa terlihat keindahan di balik
cadar itu, ada sejuta pesona yang tersimpan, rahasia.
Hanya sebentar,
sejenak saat mentari mulai berdiri, beranjak dari tempat tak terlihat. Sebelah
timur bumi ini. Hanya senejak bisa terasa hangatnya, belum hilang rasa dingin
itu, kabut kembali menyapa, seperti enggan memperlihatkan kecantikan
lembah-lembah yang terperosok ke dalam, tertutup oleh tebing curam dan
pepohonan yang menjulang menjemput angkasa. Kembali terasa lembab, dingin.
Cadar itu hanya
terbuka sesaat, sepersekian menit. Bahkan, sesekali putaran jarum jam tak
memberi kesempatan kepada mentari untuk menyapa lembah-lembah itu. Aku kembali
terpekur, menahan dingin yang tak kunjung enyah. Kembali menyerang, dingin.
….
Aku tak
benar-benar dalam kondisi yang baik, tapi percayalah. Otakku masih berfungsi
seperti biasa. Masih bisa membedakan rasa dingin dan hangat, masih bisa melihat
ketika mata terbuka, masih bisa menghitung dengan rentangan jari dari kedua
bilah lengan yan hanya berbungkus tulang, tanpa daging. Masih bisa mengenali
suara tangis dan tawa, masih bisa merasakan indah dan kecewa. Aku tidak
benar-benar buruk. – Aku baik-baik saja –
…
Pagi-pagi
sekali, dia terjaga dari tidurnya. Terlalu pagi, mungkin baru beberapa saat
seluruh organisasi yang dikomandoi oleh otak berhenti melakukan tugasnya.
Sesaat, dia tersadar bahwa saat kumandang subuh pun belum berkumandang, ini
terlalu pagi. Sial, sedikitpun tak bisa dia kembali pejamkan mata, tak bisa
terlelap. Tidur.
Belum berakhir
penderitaan itu, otak kembali merespon setiap kejadian. Ia mulai berontak,
menimbulkan nyeri, yang berujung dengan pemberontakan dari bagian tervital
organ itu. Kepalanya berdenyut. Awalnya perlahan, mencoba bertahan dari rasa
yang dikeluarkan, tapi kembali berontak, menimbulkan rasa lebih nyeri, dua kali
lipat dari sebelumnya.
Mengumpat. Tak
berguna, karena neyeri itu tak jua reda. Mendengus kesal. Hanya itu yang bisa
dilakukan. Setidaknya dia tidak berteriak, membangunkan orang-orang yang
tertidur lelap, dengan selimut dan pelukan hangat dari isteri dan suaminya
masing-masing, atau pelukan dari seorang pelacur malam yang mencari atap
perlindungan malam ini. Hangat, penuh hasrat.
Dongeng itu,
terdengar perlahan. Tentang perjalanan panjang, petualangan membelah lautan,
menantang gelombang, bertahan dari hantaman badai, lalu bisa kembali mengarungi
samudera yang lebih buas, tanpa batas. Atau tentang perjalanan mendaki,
berjalan setapak demi setapak, menuju puncak. Ada ketegangan ketika berjalan di
batas kehidupan, meniti tangga kematian, berjarak haya beberapa centimeter. Tak gentar. Ia tetap tegar,
melangkah pelan.
Dongeng itu,
seperti kaset yang kembali diputar, diulang kembali, habis, diputar kembali,
habis, diputar lagi, berulang-ulang, berulang-ulang, hingga usang. Hingga
rusak, tapi masih terdengar, tersendat. Dan itu lebih memekakan telinga. Itu
lebih menyakitkan, dongeng dan harapan yang mulai rusak, tak ada cara untuk
memperbaikinya, pilihannya hanya dua, menyimpannya dalam kotak dan menguncinya
atau dibuang jauh-jauh. Miris.
Kepalanya masih
sakit, bertambah pening kepala ketika terdengar desahan manja seseorang, bukan.
Itu suara desahan sepasang kekasih, lelaki perempuan. Merintih pelan,
mendayu-dayu seperti bisikan angin yang menerobos lubang-lubang jendela tak
tertutup rapat. Rusak, berkarat.
Tapi lagi-lagi
itu salah, itu hanya imajinasi, - atau fantasi, bisa saja halusinasi - yang entah muncul dari mana. Sial, malam ini
semakin dingin. Perlahan-lahan menggigit, seperti birahi sepasang kekasih,
semakin lama semakin menjadi bergairah, angin bertiup dingin, semakin tak
terkendali, kencang dan bertambah dingin.
Angin seperti
bisikan birahi kepada siapa saja, tapi bukan padanya. Ia semakin tersiksa, tak
ada selimut yang bisa menghangatkan, kecuali pelukan seorang wanita. Terperanjat,
seperti tersengat ribuan voltase listrik yang mengalir sekali kejut. Ia
sepenuhnya tersadar. Pulih seketika. Dan itu tidak baik, tidak benar-benar
baik. Buruk!
Ia kembali
mengumpat, berkelebat cepat. Sebuah wajah teduh, sayu. Dengan guratan alis yang
menggambar wajah jelita itu, ditambah dengan senyum manis, bibir merah merekah,
tatapan tajam, seperti mentari pagi yang menghujam melalui bilahan rentangan
ranting-ranting di pekatnya hutan belantara.
Suaranya, merdu.
Seperti gesekan dedauan yang dibelai manja angin ketika senja menyapa. Teduh,
tanpa suara, senyap. Semua ingatan itu kembali menyapa dirinya, hanya sekilas,
tapi jelas. Ia kembali mendengus kesal, tak ada gunanya mengingat itu. Tapi,
otaknya seperti hanya bisa digunakan untuk memutar memori ini.
Masih dalam
rentangan waktu yang sama, masih dalam satu waktu. Malam masih bersolek dengan
pekat warna yang menggantung di sana. Menghitam, belum ada tanda-tanda mentari
akan kembali merentangkan cahaya berwarna keemasan itu. Belum ada kehangatan di
sela-sela malam yang semakin bergairah. Dengan siksaan kenangan. Dengan
kesendirian, beku. Menyedihkan.
…
Sementara aku,
kembali memikirkan. Siapa tokoh itu akan ku beri nama. Entah seperti apa akan
ku lukiskan wajahnya. Keras, berwajah tegas, dengan guratan-guratan yang
terlihat jelas di setiap sudut wajahnya. Atau dia aka ku gambarkan dengan
polesan indah yang tergores di setiap jengkal wajah itu, berparas lembut,
bermata teduh, dengan guratan halus yang tak terlihat penderitaan di sana.
Entahlah. Aku masih belum memikirkan itu, tapi secepat itu melintas di pikiran,
aku sudah menentukan akhirnya seperti apa. Akulah sang pencipta, akulah
dalangnya, akulah sutradaranya dan akulah penguasa dari setiap cerita ini.
Bandung, 24
Oktober 2014
21.26 WIB
- Menanti
seseorang -