Jumat, 24 Oktober 2014

Karakter Tanpa Nama

#Ilusi



Biarkan semuanya berjalan sesuai alurnya, biarkan semuanya menjadi seimbang. Bukankah air selalu mengalir dari tempat yang lebih tinggi, menuju tempat yang lebih rendah? – Kecuali dipompa dengan mesin – Jika, sebuah kata yang kemudian terlontar ketika kita tidak yakin terhadap apa yang dijalani. Ini akan berbicara tentang siapa? Kemarin, aku mungkin bercerita tentang para wanita itu. Tapi, malam ini, sepertinya tak terbayang jika aku harus kembali menuliskan tentang mereka.

Ada kalanya kita akan berbicara mengenai hal lain, bukankah jika kita bercerita tentang sesuatu yang sama, kita akan mudah sekali merasa bosan? Mungkin aku akan menuliskan tentang seseorang, entah siapa, ini hanya terbesit saja, selintas. Tapi, bisa saja tentang diriku, atau – lagi – tentang mereka. Para tokoh yang selalu ku hidupkan dalam rangkaian kata, ku sentuh dengan jemari lemah, menari di batas cakrawala, bersandar di antara gelap dan terang.

Aku akan berkisah tentang lembah-lembah yang membentang indah. Yang selalu tertutup kabut dan sulit tertusuk jamahan mentari, lembab. Misteri, seperti seorang wanita yang memakai cadar. Tertutup rapat, menyisakan mata dan sedikit alis yang menggurat wajah. Tapi, dari guratan itu bisa terlihat keindahan di balik cadar itu, ada sejuta pesona yang tersimpan, rahasia.

Hanya sebentar, sejenak saat mentari mulai berdiri, beranjak dari tempat tak terlihat. Sebelah timur bumi ini. Hanya senejak bisa terasa hangatnya, belum hilang rasa dingin itu, kabut kembali menyapa, seperti enggan memperlihatkan kecantikan lembah-lembah yang terperosok ke dalam, tertutup oleh tebing curam dan pepohonan yang menjulang menjemput angkasa. Kembali terasa lembab, dingin.

Cadar itu hanya terbuka sesaat, sepersekian menit. Bahkan, sesekali putaran jarum jam tak memberi kesempatan kepada mentari untuk menyapa lembah-lembah itu. Aku kembali terpekur, menahan dingin yang tak kunjung enyah. Kembali menyerang, dingin.

….

Aku tak benar-benar dalam kondisi yang baik, tapi percayalah. Otakku masih berfungsi seperti biasa. Masih bisa membedakan rasa dingin dan hangat, masih bisa melihat ketika mata terbuka, masih bisa menghitung dengan rentangan jari dari kedua bilah lengan yan hanya berbungkus tulang, tanpa daging. Masih bisa mengenali suara tangis dan tawa, masih bisa merasakan indah dan kecewa. Aku tidak benar-benar buruk. – Aku baik-baik saja –


Pagi-pagi sekali, dia terjaga dari tidurnya. Terlalu pagi, mungkin baru beberapa saat seluruh organisasi yang dikomandoi oleh otak berhenti melakukan tugasnya. Sesaat, dia tersadar bahwa saat kumandang subuh pun belum berkumandang, ini terlalu pagi. Sial, sedikitpun tak bisa dia kembali pejamkan mata, tak bisa terlelap. Tidur.

Belum berakhir penderitaan itu, otak kembali merespon setiap kejadian. Ia mulai berontak, menimbulkan nyeri, yang berujung dengan pemberontakan dari bagian tervital organ itu. Kepalanya berdenyut. Awalnya perlahan, mencoba bertahan dari rasa yang dikeluarkan, tapi kembali berontak, menimbulkan rasa lebih nyeri, dua kali lipat dari sebelumnya.

Mengumpat. Tak berguna, karena neyeri itu tak jua reda. Mendengus kesal. Hanya itu yang bisa dilakukan. Setidaknya dia tidak berteriak, membangunkan orang-orang yang tertidur lelap, dengan selimut dan pelukan hangat dari isteri dan suaminya masing-masing, atau pelukan dari seorang pelacur malam yang mencari atap perlindungan malam ini. Hangat, penuh hasrat.

Dongeng itu, terdengar perlahan. Tentang perjalanan panjang, petualangan membelah lautan, menantang gelombang, bertahan dari hantaman badai, lalu bisa kembali mengarungi samudera yang lebih buas, tanpa batas. Atau tentang perjalanan mendaki, berjalan setapak demi setapak, menuju puncak. Ada ketegangan ketika berjalan di batas kehidupan, meniti tangga kematian, berjarak haya beberapa centimeter. Tak gentar. Ia tetap tegar, melangkah pelan.

Dongeng itu, seperti kaset yang kembali diputar, diulang kembali, habis, diputar kembali, habis, diputar lagi, berulang-ulang, berulang-ulang, hingga usang. Hingga rusak, tapi masih terdengar, tersendat. Dan itu lebih memekakan telinga. Itu lebih menyakitkan, dongeng dan harapan yang mulai rusak, tak ada cara untuk memperbaikinya, pilihannya hanya dua, menyimpannya dalam kotak dan menguncinya atau dibuang jauh-jauh. Miris.

Kepalanya masih sakit, bertambah pening kepala ketika terdengar desahan manja seseorang, bukan. Itu suara desahan sepasang kekasih, lelaki perempuan. Merintih pelan, mendayu-dayu seperti bisikan angin yang menerobos lubang-lubang jendela tak tertutup rapat. Rusak, berkarat.

Tapi lagi-lagi itu salah, itu hanya imajinasi, - atau fantasi, bisa saja halusinasi -  yang entah muncul dari mana. Sial, malam ini semakin dingin. Perlahan-lahan menggigit, seperti birahi sepasang kekasih, semakin lama semakin menjadi bergairah, angin bertiup dingin, semakin tak terkendali, kencang dan bertambah dingin.

Angin seperti bisikan birahi kepada siapa saja, tapi bukan padanya. Ia semakin tersiksa, tak ada selimut yang bisa menghangatkan, kecuali pelukan seorang wanita. Terperanjat, seperti tersengat ribuan voltase listrik yang mengalir sekali kejut. Ia sepenuhnya tersadar. Pulih seketika. Dan itu tidak baik, tidak benar-benar baik. Buruk!

Ia kembali mengumpat, berkelebat cepat. Sebuah wajah teduh, sayu. Dengan guratan alis yang menggambar wajah jelita itu, ditambah dengan senyum manis, bibir merah merekah, tatapan tajam, seperti mentari pagi yang menghujam melalui bilahan rentangan ranting-ranting di pekatnya hutan belantara.

Suaranya, merdu. Seperti gesekan dedauan yang dibelai manja angin ketika senja menyapa. Teduh, tanpa suara, senyap. Semua ingatan itu kembali menyapa dirinya, hanya sekilas, tapi jelas. Ia kembali mendengus kesal, tak ada gunanya mengingat itu. Tapi, otaknya seperti hanya bisa digunakan untuk memutar memori ini.

Masih dalam rentangan waktu yang sama, masih dalam satu waktu. Malam masih bersolek dengan pekat warna yang menggantung di sana. Menghitam, belum ada tanda-tanda mentari akan kembali merentangkan cahaya berwarna keemasan itu. Belum ada kehangatan di sela-sela malam yang semakin bergairah. Dengan siksaan kenangan. Dengan kesendirian, beku. Menyedihkan.


Sementara aku, kembali memikirkan. Siapa tokoh itu akan ku beri nama. Entah seperti apa akan ku lukiskan wajahnya. Keras, berwajah tegas, dengan guratan-guratan yang terlihat jelas di setiap sudut wajahnya. Atau dia aka ku gambarkan dengan polesan indah yang tergores di setiap jengkal wajah itu, berparas lembut, bermata teduh, dengan guratan halus yang tak terlihat penderitaan di sana. Entahlah. Aku masih belum memikirkan itu, tapi secepat itu melintas di pikiran, aku sudah menentukan akhirnya seperti apa. Akulah sang pencipta, akulah dalangnya, akulah sutradaranya dan akulah penguasa dari setiap cerita ini.





Bandung, 24 Oktober 2014
21.26 WIB
- Menanti seseorang -
Read More




Kamis, 23 Oktober 2014

Ini Bagian yang Terlupakan, Tentang Senja

#Rekonstruksi



Ini akan berbeda dari sebelumnya. Kembali, aku harus memutar otak. Merekonstruksi bagian-bagian yang tak lagi kokoh, seperti mendayung perahu di arus yang tenang, tanpa angin. Benar-benar tenang, tak beriak.

Beberapa catatan usang kembali terbuka, jurnal itu kembali terbuka dengan sendirinya. Dan entah kenapa, ketika corong-corong surau itu mengumandangkan adzan maghrib – Tepat setelah matahari menghujam ke bagian barat – aku mulai menuliskan tentang ini.

Lampu-lampu mulai menyala, menghiasi pekat yang semakin tak terlihat. Namun, selarik cahaya itu semakin banyak, bertebaran. Seperti jutaan kunang-kunang yang membelah malam. Sejenak mataku terkoneksi dengan otak, lalu masuk ke dalam hati, kembali memutar memori. Tentangnya.

Angin berdesau kencang, fisikku mulai ambruk. Sepertinya berhari-hari tak tidur dan cuaca mempengaruhi semuanya. Kepala mulai sedikit pusing, bersin-bersin dan seperti biasa, lambungku berontak. Masalah klasik.

Aku ingin kembali bercerita tentang senja yang merona, ingin kembali sejenak mengenangnya. Di antara hawa dingin malam, tanpa rembulan. Hanya ada awan kelabu, berserabut warna yang akan bertambah pekat. Hitam.

Pikirku kembali beranjak, dari satu putaran waktu, ke putaran waktu berikutnya. Berunut, beralur mundur. Beberapa waktu lalu, entah kapan tepatnya, aku tak begitu mengingatnya. Ada percakapan yang – bisa jadi – hanya menjadi sebuah permulaan, basa-basi. Namun, di sepertiga malam, aku begitu menginginkan dia menemaniku, dalam dekapan untaian kata dan sedikit tutur sapa.

Ada bentangan warna yang ku tawarkan kepadanya, aku pernah berujar: "Kau tahu? Ketika halilintar menggurat malam yang pekat dengan cahaya putih menyilaukan itu, di sanalah terlihat keindahannya (meskipun kau bilang itu menyeramkan), bukankah keindahan itu bisa berwarna apa saja? Merah, hijau, biru, oranye, terang, menyala, redup, gelap. Pekat.

Bahkan dengan dentingan suara jutaan air yang tumpah dari cakrawala itu, bisa tenangkan kita, dalam dingin dan pekatnya malam yang hening. Kita akan terlelap. Tidur..

"Selamat malam, kita tahu, indah tak melulu bercerita tentang warna cerah, kita akan segera sepakat, bahwa di antara warna kelabu akan ada keindahan yang tertera di dalamnya. Percayalah, Tuhan selalu A-D-I-L!"

Ini tetang senja, bisa saja tentang pekatnya malam, dan berharap ada purnama menghiasi angkasa. Atau aku juga berharap tentang hujan, bisa saja. Ada dalam setiap kenangan yang kemudia tertera di dalam secarik kertas usang. Tapi itu tidak benar-benar usang. Aku masih belum tahu arah tulisan ini. Ini hanya ada di dalam benakku saja, tentang kenangan senja yang terluka. Tentang hujan yang tak kunjung menyapa, tentang semuanya.

Waktu itu, pernah ku katakan kepadanya. Bahwa dalam satu kisah akan ada banyak lakon di dalamnya, akan ada banyak nada dalam satu simphoni. Tentang dia yang memelukmu ketika malam menjelang, sehabis acara makan malam. Atau lebih tepatnya, kencan. Kau berujar itu hanya sebatas teman, itu hanya sekilas tentang cerita yang tak pernah kau ucapkan, tapi aku sungguh tahu alurnya. Meski tak benar-benar akurat, setidaknya tebakanku masih benar adanya. Meski kau sedikit mengelak, masa bodoh. Aku tak perduli.

Mungkin aku akan kembali bercerita, ada banyak kisah yang akan ku tuliskan tentang senja. Tapi sepertinya aku harus menunda, ada urusan yang lebih penting, dari apapun di dunia ini. Tak bisa di tunda lagi. Dan ku putuskan, akan ku sudahi sampai di sini, tentang ini. Entah kapan akan ku tuliskan lagi tentang cerita yang sama, karena ada bagian dari cerita lain yang belum ku selesaikan, hanya untuk mengingatkan, aku masih bisa merasakan hangatnya semburat warna jingga yang perlahan menghujam ke jantung bumi, tenggelam di arah barat. Dan pekat, pekat menghiasi sisa cerita selanjutnya. Tanpa cahaya, hanya ada gelap. Tanpa warna.

Hanya beberapa menit sejak ku putuskan untuk mengakhiri kisah ini, tapi sejenak kemudian jemari dan hati enggann berhenti. Dan aku masih belum tahu, apa yang akan dituliskan. Setidaknya, ada bagian percakapan yang masih bisa ku rekam, beberapa malam lalu.

Ini semua tentang semburat jingga yang tak ku jumpai beberapa waktu, karena aku lebih memilih bercengkrama dengan pekatnya malam tanpa warna, hanya ada dingin dan sepi. Sendiri. Beberapa kali hujan turun, namun secepat itu pula mentari menghilangkan bekas-bekasnya, secepat angin berhembus, tak terlihat.

Di penghujung hari, ketika malam merangkak pelan. Menelan cahaya menyala sore tadi. Tak ada gemintang, terlebih cahaya bulan. Kosong. Tapi, setidaknya aku bisa bercerita meski tanpa warna. Bukankah beberapa waktu lalu aku mengajakmu untuk menyepakati satu warna yang akan berujung indah, dengan makna melebihi warna-warna terang benderang? Kita akan segera mengerti bahwa semuanya akan berakhir indah, ini berbicara tentang kuasa-Nya, tentang kehendak-Nya, bukan tentang keinginan kita. Apa yang akan kita ingkari tentang kuasa dan kehendak-Nya? Bukakah terlalu lancang jika kita terus bertanya, tentang sesuatu yang pasti terbaik menurut-Nya untuk kita? Terlalu bodohkah kita? Terlalu bebalkah kita? Bodoh, jika kita terus merutuki keadaan yang ada. Tolol jika kita terus menginginkan semuanya, sesuai dengan kehendak kita.

Tentang senja, tentang hujan, tentang rembulan, tentang si pembawa pesan, tentang bintang bernama orion atau tentang sang pujaan yang tak juga datang beranama rintik senja, dan itu semua ada di dalam satu rangkaian cerita dari sang pencipta, akulah si pembuat cerita, dan aku akan membubuhkan semua cerita itu dengan apa yang ku inginkan. Tidak ada satupun yang bisa melawan, karena semua itu hanya fiksi. Sebatas cerita tanpa makna, tapi setidaknya akan ada satu paragraf pesan tentang semua tulisan ini. Dan aku akan kembali membawa cerita tentang senja yang merona, senja yang memeluk mesra, tentang semburat warna jingga yang menikam malam.
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML