Sabtu, 28 Juni 2014

Setitik Tanda Diantara Namanya


Awal itu akan datang dengan sendirinya, awal itu akan menyapa kita ketika kita tidak pernah berhenti untuk tetap berusaha menggapai apa yang di inginkan. Mencoba mendapatkan sesuatu yang lebih baik, tentu harus pula dilakukan dengan cara yang lebih baik dari sebelumnya. Jika kemarin ku katakana kepada gelombang, sekarang aku berbisik kepada sang angin, agar sampai di puncak tertinggi diantara pegunungan yang tinggi menjulang.

Terkadang harus menjadi karang, menahan setiap terjangan masalah yang melelahkan, mencoba berdamai dengan rasa takut, mencoba berspekulasi, karena semua ini hanyalah sebuah perjudian, dan memang betul semua ini juga hanya permainan, namun pada dasarnya setiap dari kita tidak ada yang mau di permainkan, karena memang kita bukanlah mainan yang jika mulai usang akan segera di gantikan. Namun, semua itu tergantung bagaimana kita mengambil posisi.

Kini, aku kembali bercengkrama dengan rasa dingin hawa pegunungan, plus dengan kebisingan dari setiap bisikan keinginan yang selalu mendera, berdetak seirama dengan degup jantung, mengalir di setiap pembuluh darah.  Aku kembali berambisi, aku kembali merangkai mimpi. Mencoba merajut asa dari sisa-sisa kemungkinan yang ada. Dari setiap kemungkinan itu akan selalu ada cara untuk mewujudkannya, dalam setiap fase hidup tentu tidak selalu monoton, akan selalu ada cerita menarik didalam setiap kisah yang hendak di tuliskan.

Kemarin, untuk pertama kalinya setelah kejadian yang begitu menyesakkan, aku bisa melihat teduhnya siraman hujan dimalam yang kelam. Aku bisa merasakan kesejukan yang kemudian seperti membekukan perasaan. Hingga aku berjalan diantara rintik hujan itu, terlalu singkat bagiku untuk menikmati perjalanan yang entah apakah kuinginkan, karena semuanya mengalir begitu saja. Dengan mudah aku bisa bercengkrama dengannya, melupakan setiap kejadian dimasa lalu, merangkai harapan di masa yang akan datang.

Memang, sedikitnya aku tidak begitu berharap hujan akan kembali mengisi cangkir kosong yang telah berkarat itu, selebihnya aku lebih menikmati siraman semburat jingga di atas sana. Sepertinya ia lebih mengerti tentang arti sebuah keindahan, namun sekali lagi ku jelaskan. Aku selalu menyukai hujan, seperti aku selalu menunggu senja dan rembulan ketika malam datang.

Semua ada kadarnya, dan ketika aku bisa berlari menembus kabut diatara malam yang pekat, aku menemukan setitik cahaya di belakang yang menunjukkan jalanku di depan. Aku bisa melangkah tenang ketika kegelapan malam membuat risauku berlipat-lipat dan semakin kuat dari sebelumnya, ya aku belum bisa berdamai dengan gelap.

Masih ku lihat betapa memang aku selalu terpesona dengan perangkap yang memiliki wajah sendu itu. Bahkan di dalam sujudku selalu ku sebutkan setitik tanda diantara namanya, meskipun hanya setitik, tapi setidaknya aku percaya, tanda baca itu akan selalu bisa memberikan makna.

Langkahku masih akan terus menyusuri jalan ini, jalan yang memang serba tidak pasti. Karena yang ku tahu kepastian itu hanya satu hal, mati. Dan sebelum catatan itu tertutup rapat diantara malam yang gelap, aku akan berjalan sembari menikmati indahnya semburat jingga di atas sana, menikmati pesona rembulan yang di dampingi bintang gemintang, atau berdiri di bawah siraman hujan. Aku akan menikmati setiap prosesnya, hingga nanti benar-benar ku temukan dimana kaki ini akan berhenti.

Awal ini memang bukanlah awal yang murni, karena sebelumnya aku sudah mengawali dengan langkah yang berbeda. Awal serupa yang akan terus terjadi dan akan terus dijalani, ketika anganku kembali mengajak berdansa tentang indahnya negeri yang belum ku tahu dimana letaknya, aku selalu mampu tertawa menatap ketidakpastian itu.

Sederhana saja, semua proses mamang harus dijalani. Mengeluh, sesekali mungkin bisa dilakukan. Namun, jika dilakukan berulang-ulang, itu hanya akan menimbulkan sebuah tekanan yang akan terus menekan dan lambat laun bukan mustahil ia akan merubuhkan jembatan yang kita bangun dari sisa-sisa perjuangan dan kepingan-kepingan rasa sakit.


Jika kau memutuskan untuk berhenti menatapnya, maka aku akan terus menatapnya, karena memang tatapan kita tidak akan selalu sama, namun seperti yang kau kira. Aku selalu memiliki firasat yang begitu kuat mengenai ketidakpastian ini. Satu persatu semuanya tergambar begitu jelas, hingga akhirnya suatu saat nanti kisahku ini akan ku jadikan dongeng sebagai pengantar tidurmu, seperti biasa.
Read More




Jumat, 27 Juni 2014

Isyarat Itu Berbicara Melalui Firasat



Masih bisa ku dengar suara yang sama meski dengan nada yang berbeda. Perlahan suasananya mencair, perlahan mengalir tenang. Seperti sapa yang dulu begitu akrab terdengar ketika pagi menjelang, aku seperti terjaga di tengah malam. Seperti lantunan lagu melayu yang mendayu-dayu, bergelombang, aliran cerita itu berjalan sesuai dengan yang ku perkirakan, meski lambat bergerak, namun semuanya seperti apa yang sudah di isyaratkan di awal kisah.
            Ada isyarat yang begitu jelas dan bisa ku tebak arahnya, masih bisa ku terka laju ceritanya. Masih saja kau minta aku menuliskan cerita tentangmu, kau selalu ingin menjadi bagian dari alur kisahnya. meski kau menatap rembulan dengan arah yang berlawanan denganku, namun sering kali ku katakana, rembulan yang kau lihat itu, masih saja sama dengan rembulan yang ku lihat. Dari sudut pandang manapun ia akan terlihat sama.
            Tanpa diminta, sebenarnya semua bagian dalam ceritaku adalah ceritamu, ada kisah yang ku samarkan, tidak harus mencolok terlihat karena aku ingin kau memahami terlebih dahulu. Segala sesuatu itu tidak bisa di mengerti secepat kilat menyambar, tidak selalu cepat bisa bergerak. karena dengan mengerti perlahan, maka akan banyak pelajaran yang bisa kau dapatkan.
            Ada bagian-bagian tertentu yang tidak harus di mengerti, namun bagian-bagian itu harus di pahami. Ada sesuatu yang tidak kau mengerti, padahal jelas bisa kau pahami. Semuanya mengarah pada sebuah tujuan, jika kau bercerita tidak tahu alur berikutnya, maka kau bisa membuat alur itu menjadi seperti yang kau inginkan. Kau bilang bimbang, tapi kau tetap menuju ke arahnya. Kau bilang takut, tapi justru kau mendekatinya, kau bilang tidak mampu, tapi kau tetap berusaha.
            Pernah ku torehkan banyak warna pada satu lukisan, pernah juga ku koyakkan buku catatan pada bagian yang ku suka, aku juga sesekali memberikan garis tebal pada sebuah tulisan. Ku tahu, kau pun pernah melakukan itu, karena tidak selamanya tulisan itu selalu indah untuk di baca.
            Sudah beberapa hari ini aku berada di tempat ini, perlahan semuanya menjadi begitu membosankan, namun pada saat-saat tertentu ada sesuatu yang kurindukan. Aku masih bisa terpesona dengan hal yang sama, dan aku masih menyukainya. Jika kau Tarik garis lurus pada kisahmu, maka akan kau temui aku berada tepat di sampingmu, tidak mendahului atau di belakangmu, karena aku ingin berjalan beriringan, sejajar. Agar sama kaki melangkah, agar bersama kita sampai di tujuan.
            Entah, sepertinya sulit sekali menghapus tinta yang tercoret di buku catatanku, sepertinya akan selalu terlihat ketika ku buka lembaran-lembaran berikutnya. Sajak-sajak yang kutulis tentang kedamaian itu seperti mengarah kepada satu titik, dimana aku bisa berdiri bersama menatap pesona, mereguk keindahan senja dan rembulan yang bersinar terang.

            
Read More




Selasa, 24 Juni 2014

Senja, Aku Membencimu


Waktu tanpa terasa berjalan begitu cepat, meniti langkah dalam setiap alur tangga yang tersusun turun. Menuju kedalam relung terdalam dari hati yang sepi, menyusuri setiap kelokan dan persimpangan yang terus selalu ada di depan. Aku hanya akan selalu menatap ke depan, bukan menatapmu. Begitu kau katakana kepadaku, seperti yang kau katakana, kepekaanku mulai hilang seiring mentari yang tenggelam.

Aku perlahan kembali menjauh, meninggalkan sejuta kesan tentang semburat jingga yang merona. Aku kembali di tikam oleh sebuah tindakan konyol yang selalu menuntunku kedalam sebuah prahara yang entah sepertinya tercipta tanpa sengaja, atau mungkin sengaja tidak kusadari keberadaannya, mengindahkan setiap isyarat yang jelas kau tuliskan kedalam kertas. Isyarat yang jelas kau tunjukkan kepadaku, kepada kita.

 Sesekali ku usap peluh yang menetes dari tubuh, kembali terpaku menatap jalan yang berliku. Sesekali ku lihat ke arahmu, sesekali ku lihat ke arahnya. Ada banyak cabang cerita yang ku tuliskan, ada berjuta kisah tentang pesona yang berbeda. Sesekali ku tebar benih, dan tidak kusadari bahwa benih itu tumbuh dengan harapan-harapan kosong tentang janji yang tidak pernah ku tepati. Aku semakin jauh melangkah meninggalkan harapan yang pernah kutanam. Meninggalkannya dengan luka yang menganga.

Dalam kisah masa silam, kita pernah melewatkan malam. Mengisi setiap kekosongan hati, bercanda diantara mega-mega yang menggulung seperti samudera di angkasa. Kerap kali ku berimajinasi dengan dirimu, berenang dan berdansa di dalam sebuah khayalan, kembali merasakan romansa tentang harapan di masa depan, lalu perlahan kau masuk begitu dalam tanpa bisa ku tahan, kau kembali terjebak diantara lubang yang kutinggalkan. Kosong.

Sering kali ku tuliskan kisah tentangmu, memberikan sejuta kata-kata penuh makna, meracuni pikiranmu dengan kata-kata kosong yang kurangkai, sesaat kau seperti ikan-ikan yang terjerat perangkap nelayan. Menggelepar tak berdaya, pasrah dengan nasib yang belum tentu baik pada akhirnya. Namun, disaat kau terjerat dalam sebuah perangkap, kuberikan air yang menghilangkan dahagamu tentang sebuah rasa, ku belai kau dengan pesona yang membuatmu terpana, lalu sekali lagi kau terperdaya oleh pesona semburat jingga yang merona.

Terik matahari membasahi bumi, hujan kembali membakar hati, angin yang pelan berhembus bercabang memporak-porandakan kepingan harapan, sementara ketika ku bercerita tentang rembulan kepada pesona yang berbeda. Sementara aku kembali meratapi kebodohanku, menyalahkan diri sendiri kau justru berkata sebaliknya, kau kembali mengingatkan tentang harapan-harapanku, impian-impianku, kau kembali mengatakan dengan sangat lugas, tanpa ada penekanan tentang sebuah kebencian yang seharusnya kau tanamkan pada pesona matahari yang akan menepi.

Bersahabatlah dengan senja, dia yang akan menuntun langkahmu pada seseorang yang akan menerimamu tanpa syarat, maafkan aku. Aku hanyalah mentari yang akan menghilang seiring gelap yang datang, lalu keindahanku sesasat akan digantikan dengan pesona rembulan yang bersinar terang, jika saja kau peka, tidak akan ada kata bermakna selamat tinggal pada semburat jingga senja yang mempesona. Seperti itu ujarmu dalam rasa sakit yang ku berikan.

Sering ku katakan, aku hanya pengagum senja, aku hanya mengagumi tanpa bisa memiliki, aku hanya bisa menikmati dari ratusan juta kilometer rentang jarak Antara matahari dan bumi, aku hanyalah seorang penghkhayal yang sedikitpun tak pantas untuk menyentuh keagungan sang rasa, pergilah sayangku, pergilah bersama mentari yang akan menepi, bergilah bersama malam yang kelam, disana akan kau temukan keindahan rembulan yang bersinar terang, rembulan yang bisa menenangkan, rembulan yang akan menjaga rahasia malam.

Usah kau hiraukan senja itu,  karena ia hanya pesona tanpa makna, pergilah. Tentu tidak ada yang bisa diharapkan dari sepotong kenangan yang akan segera membusuk, yang akan meracuni setiap detak dalam degup jantungmu.

Lalu sesaat kemudian kau menuliskan cerita tanpa sepatah kata, hanya sedikit kata yang tertulis diantara kenangan yang kemudian menghilang bersama pekatnya malam. Begitu tegas kau mengatakan, begitu jelas kau gambarkan, dan aku kembali hanya terdiam tanpa kata. Menatapmu dari kejauhan, menyaksikan kenangan yang akan segera menghilang. Lalu tanpa bisa ku tahan, perlahan kau katakan “Aku membencimu, senja”.
Read More




Prolog (Nada asmara)


Burung gereja itu, melayang-layang rendah, berpasangan. Berdansa dihari yang begitu terik, bersama dengan kicauan yang selalu keluar dari paruh mungilnya. Berdendang tanpa memperdulikan sekitar, diantara rerumputan yang mulai mengering, diantara pepohonan tanpa buah, diantara jajaran pegunungan yang menghadap ke lautan. 
Aku hanya bisa menyaksikan dengan iri, betapa damai hidupnya, betapa serasi terlihat, hidup bersahaja, sederhana di tengah hukum rimba yang menakutkan, hukum yang akan mengatakan, yang kuat akan kembali berjaya, yang lemah akan semakin terpuruk tak berdaya.
            Sementara itu pandanganku beralih pada lantai pendopo di depanku, kulihat koloni semut yang sedang mengerubungi sisa-sisa air kelapa yang sesaat sebelumnya menghilangkan dahaga, mencoba mengais rezeki dari sisa-sisa kecerobohan manusia. Sesuatu yang terbuang itu bisa dimanfaatkan oleh sekelompok binatang. Semuanya sudah di golongkan dengan semestinya, sesuai dengan porsinya.
            Bahkan binatangpun akan senantiasa bersyukur kepada sang pencipta, lalu apa gunanya aku sebagai makhluk yang di sempurnakan jika selalu mengeluh tanpa bersyukur sedikitpun? Dengan segala kemampuan dan anugerah yang diberikan sang penguasa jagat raya ini, aku bisa melakukan apa saja, mampu berjalan jutaaan kilometer dalam satu rangkaian perjalanan, mampu melayang di angkasa tanpa sayap, mampu mengarungi lautan tanpa harus mempunyai sirip, mampu merangkak diantara tebing vertical yang menjulang ratusan meter, dan aku bisa melakukan semua itu, dan jika saja sang pencipta tidak menganugerahkan akal dan fikiran tentu semua itu tidak akan pernah bisa dilakukan.
            Kemudian, lihatlah, bagaimana seorang manusia bisa menghancurkan dunia, dengan sekali hentakan menimbulkan huru-hara berkepanjangan, menciptakan perang dan merenggut banyak korban. Lalu seseorang juga bisa membawa kedamaian yang selalu di idamkan, tidak melulu dengan hunusan pedang. Dan semua itu bisa terjadi karena keinginan sang pencipta. agar kita, manusia belajar. Apakah kehancuran bisa membawa ketentraman, atau justru sebaliknya.
            Kita akan selalu diberikan pilihan sebelum melangkah. Kita akan selalu di benturkan dengan keiginan yang siap mencengkram. Dan kita akan selalu diberikan rasa yang saling berlawanan, agar seimbang. Apa lagi yang harus kita ingkari? Seseorang yang begitu bodoh mungkin akan segera menyalahkan Tuhannya ketika ia mendapatkan kenyataan, bahwa apa yang  di inginkan tidak selaras dengan yang di dapatkan. Lalu akan berkeluh kesah, meratap dalam tangis pilu, berteriak lantang dengan nada menantang.
            Lalu akan segara lupa jika pencapaian itu terlaksana dalam separuh lingaran bentangan waktu, mngatakan bahwa apa yang di dapatkan merupakan hasil jerih payah sendiri, tanpa campur tangan sang maha kuasa, lalu akan tertawa jumawa.
            Fikirku terusik akan seseuatu yang belum terjadi, mengkhawatirkan segala sesuatu yang telah diatur sedemikian rupa, berandai-andai dengan tatapan kosong, membayangkan bahwa di depan akan ada nada yang menyambut dengan lengkingan nada-nada bahagia. Atau mengkhawatirkan bahwa esok dan seterusnya hanya akan ada tangis pilu yang tidak pernah berakhir indah.
            Jika melihat, jangan pernah lupa untuk membaca, jika mendengar jangan pernah lupa untuk bisa merasa, jika bisa meraba jangan pernah lupa untuk selalu menggenggamnya. Menyaksikan fenomena alam, menikmati pertunjukan indah dari para pengisi bumi, merekam setiap kejadian, menajadikannya sebagai pembelajaran, kemudian mencoba untuk tetap konsisten dengan tujuan yang telah di rencanakan.
            Akan selalu ada waktu untuk mengucap syukur, tidak perlu iri dengan burung gereja yang terlihat serasi itu, karena pada suatu waktu mereka juga akan saling berkelahi demi sesuap makanan. Jangan pula merasa rendah diri ketika menyaksikan koloni semut yang bisa mengucap syukur meski yang di dapatkan hanya sisa-sisa dari kecerobohan kita.
            Tuhan memberikan kita akal dan pikiran, tentu kita harus bisa menilai dari setiap fenomena yang ditangkap mata, menggali setiap esensi dari kejadian yang di lalui, saling mengingatkan jika salah satu dari kita lupa, saling memikul ketika berat beban kehidupan terasa berat di pundak.
            Dan kita akan bersama-sama berdiri diantara anggunnya puncak-puncak pencapaian yang tetlah diraih, tertawa ketika berhasil mengarungi samudera, menangis haru ketika melalui masa-masa sulit dengan akhir yang membahagiakan. Dengan mengucap syukur bahwa semua itu terjadi karena kehendak-Nya. Bukankah semuanya menjadi sederhana jika kita bisa melaluinya.
            Tuhan tidak akan pernah tidur, Ia akan senantiasa melihat dan memberikan pelukan terhangat ketika kita mengingat-Nya. Ia akan selalu menjadi pelindung terhebat ketika kita menyadari keberadaan-Nya, dan kita akan selalu merasa bahagia jika selalu bisa mensyukuri apa yang didapatkan, anugerah seperti ini tidak akan bisa di beli, dengan harga berapapun.
            Sesederhana itulah kita akan bahagia, maka sesederhana itu pula kita akan merelakan setiap kehilangan, kembali merajut asa, kembali merangkai kata, kembali mencari dan tidak akan pernah berhenti, akan selalu menjadi makna terindah meski hanya lelah yang bisa dirasa saat itu, namun semuanya akan menjadi fase paling indah ketika kita menceritakannya di akhir kisah.
…………

            Duhai pemilik hati, adakah gerangan kini Kau menyiapkan secarik kertas yang di genggam seseorang untuk kembali ku tuliskan cerita indah dengannya, duhai sang pemilik jiwa, adakah Kau berikan kesempatan untukku bisa merasakan hangatnya pelukan sang pujaan yang kini menantiku di persimpangan.
            Duhai penggenggam hujan, berikanlah setetes kesegaran untukku agar bisa menyirami rasa yang akan tumbuh, dan jika sudah berbunga akan ku petik untuknya disana, akan ku berikan dengan segala rasa yang ku pelihara. Selaksa raja yang menghiasi istananya, akan ku bangun singgahsana untukku dan dirinya.
            Duhai pemilik mentari, berikanlah kehangatan ketika pagi dan pesona ketika malam menjelang, agar bisa ku berikan sedikit kehangatan rasa ini untuk menjaganya dari dinginnya malam yang mencengkram. Agar bisa ku peluk ia dengan rasa yang ku pelihara sejak hujan pertama membasahi bumi.
            Duhai rasa, sudikah kau menyambangi hati yang belum ku ketahui pemiliknya. Agar dia senantiasa menjaganya, untukku bisa memiliki rasa yang juga di jaganya. Aku akan senantiasa menanti waktu itu tiba, akan segera ku berikan jika sudah tiba waktunya. Jika Kau berkenan, maka jangan biarkan hati ini kembali mengeras, membatu, agar tak lelah dia menghaluskannya di kemudian.
            Duhai pesona, jangan kau biarkan aku dan dia terperdaya oleh keindahan semu yang kau tampakkan dihadapanku, jangan kau biarkan aku terlena oleh alunan melodi sementara yang terdengar merdu, padahal ku tahu bahwa itu hanya semu. Jangan kau biarkan aku kembali terjatuh kedalam lubang penuh dengan penyesalan.
            Duhai belahan jiwa yang kini entah dimana kau berada, percayalah. Suatu saat nanti kita akan berkata-kata dengan sangat mesra. Penuh dengan harmonisasi yang di selingi nada-nada asmara, aku akan bercerita tentang perjalananku, dan kaupun akan melakukan hal yang sama, dan diantara gelapnya malam yang dingin, kita akan saling berpelukan, mengcoba mengurai letih bersama, dalam balutan nada rasa yang akan selalu terdengar merdu, hingga kita terlelap, hingga kembali mentari kan menyapa melalui kehangatannya.

            
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML