Selasa, 06 Januari 2015

Pijar

#Lebih dari Ucapan Terima Kasih dan Harapan Tentang Cerita Hujan



Dia masih menunggu kalimat selanjutnya. Sementara aku, masih menikmati momen itu. Sudah ku katakan, aku selalu suka mentap wajah itu, wajah penasaran dan antusias, wajah ceria tanpa beban, dan wajah itu, mungkin perlu waktu lama untukku bisa kembali menemukan yang seperti itu.

Temaram cahaya rembulan perlahan menyingkap malam, membuka mendung yang menggulung sejak siang tadi. Alunan musik terdengar merdu, aku tertawa sesaat ketika sebuah lagu diputarkan di café ini, lamat-lamat terdengar perlahan, aku tahu lagu ini, ini lagu yang kita suka.

…If you'd accept surrender
I'll give up some more
Weren't you adored
I cannot be without you
Matter of fact
Ooo...
I'm on your back

If you walk out on me
I'm walking after you

Another heart cracked
In two
I'm on your back...

Mengalun merdu, aku tersenyum menatapnya. Lagu milik Foo Fighter, Walking After You itu masih mengalun perlanan, memecah keheningan, menyibak kenangan, mengeja kata demi kata waktu itu.

“Masih ingat?” tanyaku.

Ia mengangguk, tersenyum, manis. Aku suka. Mungkin aku tidak akan pernah mampu membencinya, karena sungguh, tak ada yang bisa membuatku benci terhadapnya, meski jelas aku tahu dia melakukan apa, sesuatu yang membuatku melangkah lebih lambat dari biasanya.

“Ayo, lagi. Aku masih mau dengar kata-katanya,” rengeknya manja.

Dia masih belum berubah. Masih suka mengintimidasi dengan cara seperti itu, cara yang membuatku tak bisa berbuat apa-apa, selain menuruti kehendaknya.

“Hey, kau tahu. Bahkan ketika cahaya temaran rembulan itu tak ada, kau bisa terangkan suasana, membuatnya cerah, kau tahu kenapa?” tanyaku. Ia menggeleng, sepertinya ia masih mencerna kata-kataku tadi.

“Karena, kau lebih dari cukup membuat jagat raya bercahaya. Tak perlu pijar lain, karena kau bisa menjadi pijar di antara gelap dan sepi. Mungkin, itu tidak akan bisa di artikan secara harfiah, karena gelap tetaplah gelap, dia akan terus seperti itu jika tanpa cahaya. Tapi kau tahu, bahwa satu pijar dari lentera itu bisa membuat seseorang menemukan jalan setelah tersesat? Kau seperti itu, bagiku.” jelasku.

Ia masih tak mengerti, tapi dari guratan wajahnya, ia suka, tersipu bahagia.

“Kamu, orang yang paling mengerti aku. Kamu orang yang selalu enggan marah meski jelas ku buat dirimu terluka. Oh iya, satu lagi, kamu adalah orang yang paling romantis yang pernah ku kenal,” akhirnya dia berbicara agak panjang dari sebelumnya.

“Entah, mungkin aku akan selalu menginginkan kamu terus menuliskan sebuah cerita, aku akan selalu menunggu itu, walapun nanti, kita tak akan pernah bersama lagi, dalam kisah itu.” jelasnya.

Aku hanya mengangguk, tak apa-apa, aku lebih dari suka bisa menuliskan semua ini untukmu, ucapku dalam hati. Tak bisa dipungkiri, bahwa fakta itu menjelaskan begitu gamblang, tentang semuanya, membuat yang semula semu, menjadi jelas terlihat, menyala, perlahan-lahan semuanya menjadi terbuka, tak perlu investigasi. Ini akan berjalan seperti seharusnya, akan menjadi bagian perjalanan hidup, cerita cinta, asmara, harapan, nostalgia, nestapa, ya apapun namanya, ini akan selalu menarik.
….

“Akan ku ceritakan sesuatu, tentang seseorang. Coba kau simak dengan baik. Aku, tak pernah paham, kenapa aku dan dia dipertemukan. Tapi satu hal, mungkin dengan semua keadaan ini, aku akan berterimakasih dengan semuanya, dengannya,” aku membuka percakapan.

Dia menyimak dengan seksama, sepertinya terkejut. Ya, wajar jika dia terkejut, karena biasanya dia yang selalu mengawali cerita, dia selalu bercerita, tentang apapun, dan kali ini aku memulai semuanya.

Ku benarkan letak kacamataku, tak ada yang salah. Tapi jelas, ini pertama kalinya buatku mengatakan seperti ini. Canggung. Dia antusias, menunggu.

“Aku selalu takut, dengan gelap, sendiri, sepi. Sekarang aku merasakannya, dia benar-benar membuat semuanya berbeda. Dia selalu ada, pagi, siang, sore, bahkan ketika matahari tenggelam, ketika waktu menunjukkan tengah malam, dia selalu ada. Kalaupun tidak ada, aku akan meminta dia untuk ada dan muncul. Dan kau tahu, dia selalu  berkenan ada,” kataku kemudian.

Masih mencoba menggurat kata, menyusunnya agar tak terlalu berantakan, jelas, aku tidak terbiasa mengatakan ini, tak terbiasa menuliskan cerita, berbeda dengannya. Dia masih menungguku melanjutkan kalimat, masih antusias seperti pertama ku utarakan maksudku tadi. Aku mencoba menguatkan hati, mencoba melanjutkan kata-kata yang sepertinya mulai tersendat.

Ku lanjutkan lagi:”Kau tahu, aku sempat berpikir dia itu hantu,” ia mendongak, menatapku. Tersenyum simpul.

“Hahaha, kalaupun dia hantu, mungkin aku tidak akan pernah takut, walaupun jelas ku katakan, aku selalu takut, bahkan hanya dengan gelap dan sepi. Sendiri. Dia selalu baik terhadapku, meskipun aku tak tahu apakah dia juga baik dengan orang lain,” sambungku.

Ia menatapku, tercengang. Ia jelas tahu apa yang dibicarakan, tapi dia tertahan enggan memotong pembicaraanku, karena mungkin dia tahu, aku selalu tak suka jika perkataanku dipotong. Tapi untuk kali ini, aku berharap dia memotong perkataanku, tapi ternyata tidak. Dia memilih menungguku, menanti dengan seksama.

“Terima kasih untuk kesediaannya menjadi teman atau bahkan sahabat. Sebenarnya, hanya itu yang ingin ku beritahu, mungkin kita tidak akan pernah tahu seperti apa akhirnya nanti. Tapi, sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan, biarkan semuanya terjadi begitu saja. Kita punya doa yang sama, berharap dengan kebahagiaan masing-masing, dan ku kira semua orang pun memiliki doa yang sama, berbahagia dengan jalannya masing-masing,” kataku, mencoba mengakhiri percakapan.

Tapi kemudian ku lanjutkan, karena tak ada tanda-tanda dia akan mengambil alih percakapan.

“Terima kasih, hey kamu. Iya kamu, untuk pagi yang cerah, malam yang ceria, dan mantera-mantera pengantar tidur. Aku suka itu. Nanti, kau bisa sampaikan ke orang itu, dia, si pembuat cerita, kau mengenalnya?” tanyaku kepadanya yang masih memperhatikanku.
Dia hanya tersenyum, tanpa sepatah kata sekalipun. Dan aku, sekali lagi hanya bisa menahan napas. Kesal, mungkin. Tapi aku cukup senang, akhirnya bisa mengatakan itu.

….
Matahari perlahan-lahan mulai naik ke atas, menampakkan kegarangannya hari ini. Ada setitik kehangatan ketika pagi menjalar berputar separuh waktu hari ini. Aku masih berusaha membuat suasana hatiku kembali seperti sedia kala, beberapa hari ini jelas tak tahu penyebabnya, aku sulit sekali mendapatkan suasana ceria seperti biasanya. Terima kasih untuknya, terima kasih untuk semuanya, untuk harapan dan cerita di saat senja menyapa, menceritakan kisah tentang rintik hujan.


Aku hanya butuh setitik pijar di saat malam yang gelap, hanya butuh menjaganya tetap menyala, bahkan ketika badai menghantam, memporak-porandakan semuanya, dan untuk saat ini, aku hanya akan menjaga itu tetap menyala. Percayalah, lebih dari ucapan terima kasih semua itu, itu lebih dari sekedar sapa di saat pagi menjelang, atau tentang harapan cerita-cerita tentang kita, untukmu, untuknya, dua harapan yang akan selalu berpijar terang.
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML