#Lebih dari
Ucapan Terima Kasih dan Harapan Tentang Cerita Hujan
Dia masih menunggu kalimat selanjutnya. Sementara aku,
masih menikmati momen itu. Sudah ku katakan, aku selalu suka mentap wajah itu,
wajah penasaran dan antusias, wajah ceria tanpa beban, dan wajah itu, mungkin
perlu waktu lama untukku bisa kembali menemukan yang seperti itu.
Temaram cahaya rembulan perlahan menyingkap malam,
membuka mendung yang menggulung sejak siang tadi. Alunan musik terdengar merdu,
aku tertawa sesaat ketika sebuah lagu diputarkan di café ini, lamat-lamat
terdengar perlahan, aku tahu lagu ini, ini lagu yang kita suka.
…If you'd accept surrender
I'll give up some more
Weren't you adored
I cannot be without you
Matter of fact
Ooo...
I'm on your back
If you walk out on me
I'm walking after you
Another heart cracked
In two
I'm on your back...
Mengalun merdu, aku tersenyum menatapnya. Lagu milik
Foo Fighter, Walking After You itu masih mengalun perlanan, memecah keheningan,
menyibak kenangan, mengeja kata demi kata waktu itu.
“Masih ingat?” tanyaku.
Ia mengangguk, tersenyum, manis. Aku suka. Mungkin
aku tidak akan pernah mampu membencinya, karena sungguh, tak ada yang bisa
membuatku benci terhadapnya, meski jelas aku tahu dia melakukan apa, sesuatu
yang membuatku melangkah lebih lambat dari biasanya.
“Ayo, lagi. Aku masih mau dengar kata-katanya,”
rengeknya manja.
Dia masih belum berubah. Masih suka mengintimidasi
dengan cara seperti itu, cara yang membuatku tak bisa berbuat apa-apa, selain
menuruti kehendaknya.
“Hey, kau tahu. Bahkan ketika cahaya temaran
rembulan itu tak ada, kau bisa terangkan suasana, membuatnya cerah, kau tahu
kenapa?” tanyaku. Ia menggeleng, sepertinya ia masih mencerna kata-kataku tadi.
“Karena, kau lebih dari cukup membuat jagat raya bercahaya.
Tak perlu pijar lain, karena kau bisa menjadi pijar di antara gelap dan sepi.
Mungkin, itu tidak akan bisa di artikan secara harfiah, karena gelap tetaplah
gelap, dia akan terus seperti itu jika tanpa cahaya. Tapi kau tahu, bahwa satu
pijar dari lentera itu bisa membuat seseorang menemukan jalan setelah tersesat?
Kau seperti itu, bagiku.” jelasku.
Ia masih tak mengerti, tapi dari guratan wajahnya,
ia suka, tersipu bahagia.
“Kamu, orang yang paling mengerti aku. Kamu orang
yang selalu enggan marah meski jelas ku buat dirimu terluka. Oh iya, satu lagi, kamu adalah
orang yang paling romantis yang pernah ku kenal,” akhirnya dia berbicara agak
panjang dari sebelumnya.
“Entah, mungkin aku akan selalu menginginkan kamu terus
menuliskan sebuah cerita, aku akan selalu menunggu itu, walapun nanti, kita tak
akan pernah bersama lagi, dalam kisah itu.” jelasnya.
Aku hanya mengangguk, tak apa-apa, aku lebih dari suka bisa menuliskan semua ini untukmu, ucapku dalam hati. Tak bisa dipungkiri, bahwa fakta itu menjelaskan begitu gamblang, tentang semuanya, membuat yang semula semu, menjadi jelas terlihat, menyala, perlahan-lahan semuanya menjadi terbuka, tak perlu investigasi. Ini akan berjalan seperti seharusnya, akan menjadi bagian perjalanan hidup, cerita cinta, asmara, harapan, nostalgia, nestapa, ya apapun namanya, ini akan selalu menarik.
….
“Akan ku ceritakan sesuatu, tentang seseorang. Coba
kau simak dengan baik. Aku, tak pernah paham, kenapa aku dan dia dipertemukan.
Tapi satu hal, mungkin dengan semua keadaan ini, aku akan berterimakasih dengan
semuanya, dengannya,” aku membuka percakapan.
Dia menyimak dengan seksama, sepertinya terkejut.
Ya, wajar jika dia terkejut, karena biasanya dia yang selalu mengawali cerita,
dia selalu bercerita, tentang apapun, dan kali ini aku memulai semuanya.
Ku benarkan letak kacamataku, tak ada yang salah. Tapi
jelas, ini pertama kalinya buatku mengatakan seperti ini. Canggung. Dia
antusias, menunggu.
“Aku selalu takut, dengan gelap, sendiri, sepi.
Sekarang aku merasakannya, dia benar-benar membuat semuanya berbeda. Dia selalu
ada, pagi, siang, sore, bahkan ketika matahari tenggelam, ketika waktu
menunjukkan tengah malam, dia selalu ada. Kalaupun tidak ada, aku akan meminta
dia untuk ada dan muncul. Dan kau tahu, dia selalu berkenan ada,” kataku kemudian.
Masih mencoba menggurat kata, menyusunnya agar tak
terlalu berantakan, jelas, aku tidak terbiasa mengatakan ini, tak terbiasa
menuliskan cerita, berbeda dengannya. Dia masih menungguku melanjutkan kalimat,
masih antusias seperti pertama ku utarakan maksudku tadi. Aku mencoba
menguatkan hati, mencoba melanjutkan kata-kata yang sepertinya mulai tersendat.
Ku lanjutkan lagi:”Kau tahu, aku sempat berpikir dia
itu hantu,” ia mendongak, menatapku. Tersenyum simpul.
“Hahaha, kalaupun dia hantu, mungkin aku tidak akan
pernah takut, walaupun jelas ku katakan, aku selalu takut, bahkan hanya dengan
gelap dan sepi. Sendiri. Dia selalu baik terhadapku, meskipun aku tak tahu
apakah dia juga baik dengan orang lain,” sambungku.
Ia menatapku, tercengang. Ia jelas tahu apa yang
dibicarakan, tapi dia tertahan enggan memotong pembicaraanku, karena mungkin
dia tahu, aku selalu tak suka jika perkataanku dipotong. Tapi untuk kali ini,
aku berharap dia memotong perkataanku, tapi ternyata tidak. Dia memilih
menungguku, menanti dengan seksama.
“Terima kasih untuk kesediaannya menjadi teman atau
bahkan sahabat. Sebenarnya, hanya itu yang ingin ku beritahu, mungkin kita
tidak akan pernah tahu seperti apa akhirnya nanti. Tapi, sudahlah, tidak usah
terlalu dipikirkan, biarkan semuanya terjadi begitu saja. Kita punya doa yang
sama, berharap dengan kebahagiaan masing-masing, dan ku kira semua orang pun
memiliki doa yang sama, berbahagia dengan jalannya masing-masing,” kataku,
mencoba mengakhiri percakapan.
Tapi kemudian ku lanjutkan, karena tak ada
tanda-tanda dia akan mengambil alih percakapan.
“Terima kasih, hey kamu. Iya kamu, untuk pagi yang
cerah, malam yang ceria, dan mantera-mantera pengantar tidur. Aku suka itu.
Nanti, kau bisa sampaikan ke orang itu, dia, si pembuat cerita, kau
mengenalnya?” tanyaku kepadanya yang masih memperhatikanku.
Dia hanya tersenyum, tanpa sepatah kata sekalipun.
Dan aku, sekali lagi hanya bisa menahan napas. Kesal, mungkin. Tapi aku cukup
senang, akhirnya bisa mengatakan itu.
….
Matahari perlahan-lahan mulai naik ke atas,
menampakkan kegarangannya hari ini. Ada setitik kehangatan ketika pagi menjalar
berputar separuh waktu hari ini. Aku masih berusaha membuat suasana hatiku
kembali seperti sedia kala, beberapa hari ini jelas tak tahu penyebabnya, aku
sulit sekali mendapatkan suasana ceria seperti biasanya. Terima kasih untuknya,
terima kasih untuk semuanya, untuk harapan dan cerita di saat senja menyapa,
menceritakan kisah tentang rintik hujan.
Aku hanya butuh setitik pijar di saat malam yang
gelap, hanya butuh menjaganya tetap menyala, bahkan ketika badai menghantam,
memporak-porandakan semuanya, dan untuk saat ini, aku hanya akan menjaga itu
tetap menyala. Percayalah, lebih dari ucapan terima kasih semua itu, itu lebih
dari sekedar sapa di saat pagi menjelang, atau tentang harapan cerita-cerita
tentang kita, untukmu, untuknya, dua harapan yang akan selalu berpijar terang.