Senin, 02 Februari 2015

Bahasa Diam

#Meyakinkan Kita

Ilustrasi: stat.ks.kidsklik.com


Lagi, seperti menekan tombol reset, semuanya terulang, sama persis. Sementara aku, kembali tertawa seperti waktu itu, meskipun jelas ada gurat kecewa tertera di lubuk hati, tapi keinginan dan perjuanganku terlalu lemah untuk melawan kehendak-Nya. Lagi-lagi, aku di ajarkan satu kata itu, rela. Ya, aku kembali di ajarkan tentang semuanya, ternyata tak mudah untuk mengucap rela, dan untuk yang kesekian kalinya, si pemilik hidup berikan pelajaran berharga.

Dua kejadian berantai menerjang bak gelombang, memeluk tubuh batuan karang di tepian pantai, hanya bisa teronggok diam, tak bisa melawan, setabah itu pula dia menerima terpaan hidup yang terus menggerus tak pernah berhenti walau dalam hitungan detik. Tapi, sekuat-kuatnya batu karang, ia akan terkikis juga, seteguh apa pun hatinya, ada saja sebait kata rasa mengubah suasana. Frame ini sama sekali tak ku suka, tapi ku bilang, aku miliki kisah luar biasa. Si pelukis waktu kembali menuliskan setiap kejadian tentang irama kehidupan.
….

Setelah hari ini, akan selalu ada tulisan yang bisa di baca, di mengerti untuk kemudian di pahami dan mungkin aku akan membuatnya bisa dicerna, bahkan dengan bahasa diam. Malam kemarin, aku baru saja kembali memahami tentang arti merindu, mencoba kembali mengingat detail tiap kejadian yang tersimpan di dalam satu kata itu. Seperti candu, satu kata itu bahkan bisa mengguratkan luka terdalam, aku, kembali menapaki sebuah jalan yang membentang, panjang.

“Harus menahan rindu berapa lama lagi dan harus menunggu hingga kapan hanya untuk sekedar bertemu, atau hanya sekedar saling menatap?” tanyanya suatu ketika.

Aku terdiam, tak ada bahasa yang bisa ku jelaskan padanya. Mataku nanar tajam menatap ke depan, pikiran melayang menembus cakrawala yang semakin pekat, kosong.

“Dan jika ia datang, apa yang bisa dilakukan selain merapal doa. Jika tidak ada pertemuan, apakah rindu akan terselesaikan?” ia melanjutkan. Ku coba untuk mencerna setiap kata yang bahkan tak bisa ku mengerti.

“Rindu, ia adalah anugerah. Usah resah terlebih gundah. Dia akan berkata dengan cara terhalus, tak harus terucap dengan kata atau tanya. Karena rindu bahkan bisa berbicara dengan caranya, cara terakhir yang sulit untuk di mengerti, diam.” kata ku kemudian, hanya itu jawaban yang ku miliki. Menunduk.

Sesaat, matanya berbinar. Ada harapan di sana, bahkan jika pun ia tak mengerti, dia akan tetap suka. Jawabanku diterjemahkan dengan rasa yang terus berkejolak di hatinya. Aku bahkan tak paham dengan apa yang ku ucapkan.

“Diam? Apa ketika rindu terus menggerus, dan kita hanya diam, apakah bisa semudah itu dijawab? Apa semuanya bisa selesai hanya dengan diam?” rentetan pertanyaan itu seperti menyeretku ke dalam jurang terjal, tanpa ada pegangan, aku terseret, jatuh. Dia benar, aku membenarkan sesuatu yang ku yakini salah. Munafik, aku menjadi seperti itu sekarang ini.

“Apa aku terlalu egois jika selalu menantikan pertemuan itu? “ tanyanya.

Aku menggeleng, mencoba memasukkan setiap pertanyaan itu ke dalam pikiran dan hatiku, yang sedari tadi menolak untuk memahami dan mengerti tentang percakapan ini. Jelas, ada sebaris kata yang entah apakah ingin lagi ku rasakan.

“Bahkan, kau harus mengerti tentang makna diam. Ya, diam. Hanya itu satu-satunya bahasa yang bisa dimengerti oleh hati. Dengan diam, kita akan mengerti tentang instrumen kehidupan,” jawabku sekenanya. Jawaban putus asa.

“Pertemuan, itu hanya akan selalu di akhiri dengan perpisahan. Penyesalan adalah pernyataan selanjutnya yang akan terlontar jika semua kata tak bisa menjawab itu. Egois, itu hanya bagian yang kemudian, secara perlahan akan menenggelamkan diri kita ke dalam jurang yang bernama penyesalan.” ku lanjutkan kataku.

Kembali, putaran waktu itu seperti membawaku ke masa dulu. Ketika tawa dan bahagia menjadi nada terindah untuk didendangkan, ketika semua derita bermakna pelajaran berharga. Tapi, kemudian ada satu hal yang bisa ku tarik garisnya, memintalnya menjadi lembaran-lembaran kisah, menjadikan semua kisah itu hanya menjadi bualan semata, ironis. Itu adalah satu kata yang bisa disimpulkan.

Ku katakana kepadanya, aku akan menjelaskan makna dari satu kata itu. Tapi kemudian ku sadari, bahwa hanya aku yang akan mengerti bahasa diam, hanya aku yang bisa mengerti arti kata yang diterjemahkan sebagai keputusasaan oleh sebagian orang. Orang yang tidak mengerti, bahwa dalam diam sekalipun ada selarik kejadian dan perbuatan yang melebihi  arti dari sekedar perjuangan dan pengorbanan semu.
….

Sore tadi, ketika selesai turun hujan.
Aku kembali terpekur. Meresapi kejadian ini. Sessaat sebelum matahari tergelincir di sebelah barat. Sebelum semuanya tenggelam, ku tuliskan harapan di sisa hari yang tinggal beberapa detik saja. Ku jabarkan ke dalam bahasa yang sulit diterjemahkan, akhirnya ketika bahasa diam tak bisa dimaknai oleh sebagian orang, aku berkata lantang. Ku teriakkan setiap kata itu, menuliskannya dengan huruf kapital besar-besar, agar terbaca, jika bisa aku ingin mereka mengeja dengan mata tertutup.

Lagi, harapan itu dikandaskan oleh waktu. Ketika kemapanan dan derajat pekerjaan di pandang sebagai tolak ukur jaminan kebahagiaan, aku adalah orang pertama yang akan menentangnya, menjadi garda terdepan untuk mengucapkan bahwa semua itu hanya penilaian yang tak beralasan. Dan aku akan menjadi orang paling terakhir jika memang benar bahwa uang dan jabatan adalah hal mutlak untuk menuliskan cerita indah dengan gurat tawa menyelingi di setiap waktunya.

Menanti mentari esok hari, kembali berdansa dengan harapan dan impian, dengan atau tanpa kata bahagia, aku akan terus berjalan, terus  mengukir kisah pada seseorang yang ada di dalam hati, cerita tentang si penunggu waktu mungkin memang akan berakhir, karena hanya waktu satu-satunya yang pasti. Kemudian, aku akan tetap menuliskan harapan kepada dia ‘ku’ tentang arti kata diam yang sesungguhnya, kepada si penyuka hujan yang terus menanti penggenggamnya hadir memeluk setiap harapan dan impian ‘gila’nya, tentang rapalan doa yang terajut dalam rangkaian mantra pelipur lara, di sini, aku akan memeluk hujan, berdansa dengannya, bercerita tentangnya, akan ku yakinkan bahwa setiap perjuangan akan selalu ada harga yang harus ditebus, akan selalu ada harapan, bahkan ketika semua kata tak bisa menjelaskannya.

Aku akan buat dia ‘ku’ meyakini apa yang ku yakini, aku akan menjelaskan kepadanya dengan bahasa yang kini hanya bisa ku mengerti seorang diri, bagaimanapun, dia ‘ku’ harus mengerti tentang semua ini. Bahwa akan selalu ada lukisan indah di langit, setiap waktu. Tak mengenal waktu, bahkan aku akan berusaha menikam waktu, sebelum waktu membunuhku.


Percayalah, bahwa kita akan selalu miliki harapan indah, cerita petualangan yang mengesankan, akan menjadi milik kita. Percayalah, bentangan bumi ini mengajarkan kita banyak hal, kita bukan hanya akan menceritakan ramah sapa dari bagian Asia, menapaki peradaban di birunya Eropa, berjalan diantara eksotisme bumi Afrika, atau kemudian berdansa dengan liukan tubuh si Latin di benua Amerika, ini akan menjadi kisah kita yang paling hebat. Percayai itu.
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML