Jumat, 02 Januari 2015

Gurat Tawa Dikala Senja Menyapa

#Kemarin



“Buatkan aku sebuah kata-kata. Aku ingin mendengarkannya.” ia meminta, matanya menatap ke depan, mengunci pandanganku. Sayu, ada kerinduan di sana, tapi jelas tak ada keberanian untuk mengatakannya. Aku cukup jelas bisa melihatnya, bertahun-tahun aku mempelajari tatapan mata itu. Ini tidak mungkin salah.

Aku tersenyum, kemudian menatapnya. Halus.

Ada sebuah relung jiwa yang menganga, teriris pelan, menyayat, tapi tak ada rasa sakit di sana. Hanya ada sebuah rasa yang kemudian memudar, tak jelas. Aku tak tahu ini pertanda apa, apakah ini adalah permintaan terakhirnya? Entahlah, aku enggan memikirkannya terlalu dalam. Toh ini akan terjadi juga. Cepat atau lambat, kata-kata itu akan terucap.

“Apa yang ingin kau dengarkan dariku? Bukankah terlalu sering aku bercerita kepadamu? Tidak bosankah kau selalu dengar apa yang ku katakan, bahkan aku terlalu banyak bicara akhir-akhir ini, bukankah begitu?” tanyaku.

Ia menggeleng. Sejurus matanya kembali mengunci pandanganku. Aku tertegun, bening matanya gambarkan wajahku di sana. Mata itu seolah memohon kepadaku.

Aku tersenyum, menatapnya, mencoba memberikan tatapan terbaik yang ku miliki, ini mungkin akan menjadi tatapan terakhirku untuknya, tatapan paling romantis yang pernah ku berikan untuknya. Mungkin.

“Baiklah jika kau memaksa, aku bisa apa? Kau selalu bisa memaksaku, dengan cara apapun. Bahkan, tanpa kau berkata, kau bisa mengintimidasiku begitu kuat,” aku menghela napas. Masih belum terpikirkan apa yang harus ku ucapkan.

Ia menunggu dengan tatapan antusias. Sial, bahkan konsentrasiku telah buyar demi melihat itu semua. Ini sudah dua tahun berlalu, dan aku masih belum bisa melepaskan tatapan mata itu. Sekali lagi, dia mengintimidasiku dengan caranya sendiri.

Aku mengambil napas, berat. Mengumpulkan semua memoriku tentang waktu itu, mencoba merangkai mozaik yang telah terberai, mencoba mengumpulkan kepingan puzzle yang berserakan, pikiranku kembali merangkainya menjadi sebuah kisah, tentang kita.
….

Malam di kota ini semakin dingin, padahal baru saja ku tinggalkan sejenak. Beberapa hari lamanya kakiku beranjak menjauhi semua ini, mencoba merajut kisah di tempat yang berbeda, Jakarta. Untuk beberapa kalinya ku injakkan kakiku di kota itu, kacaunya pikiranku kembali menyatu dengan kondisi semrawutnya ibu kota. Nyaring klakson meraung panjang, memekakan telinga, teriakan kondektur metro mini, pedagang asongan, senandung penyanyi jalanan, tak kalah ingin berpentas, sesekali pengemis itu menunjukkan aksinya, menegadahkan kedua tangan dengan tatapan kosong, berharap. Ah, bahkan di mata mereka masih ada harapan, bahkan mereka masih berharap kepada seseorang yang tidak dikenalnya, sementara aku tidak.  Tak ada harapan di mataku, terlebih di dalam hati. Kosong. Ironis.

Dan di sinilah aku sekarang berada, bersama hawa dingin dan rasa rindu tentang sesuatu yang tak ku ketahui wujudnya. Kembali aku tenggelam di dalam samudera bahasa, kembali menuliskan kata-kata ini, memadukan berbagai kosa kata, ini hari yang sibuk. Aku benar-benar lelah, hingga tak terasa mataku terpejam sesaat, hingga kumandang adzan magrib bangunkanku dari mimpi indah sejenak. Aku kembali terjaga, dan ketika aku belum siap, hawa dingin itu kembali memelukku, memutar memori itu.
“Semilir angin membawa kita kepada suasana ini, suasana yang tidak kita mengerti. Bercengkrama dengan cara kita masing-masing. Mencoba memahami hati, kembali merasakan apa yang pernah hilang,” sengaja ku potong kalimatku, lamat-lamat ku tatap wajahnya. Ia masih menunggu kalimatku berikutnya.

Dia masih menunggu kalimat berikutnya. Aku melihatnya, sungguh. Pelan-pelan ku goreskan tinta itu di ingatanku, mengguratkan gambar terakhir dari wajahnya. Mungkin aku tidak akan melihatnya lagi, mungkin. Tidak ada yang tahu.

“Hujan, berapa kali ku tuliskan kisah tentang hujan? Tak terhingga bukan? Bukan, itu bukan cerita tentang hujan, itu cerita tentangmu, tentangku. Tentang kita. Kau pernah melihat indahnya sunset di tepi pantai, indah bukan? Ku beritahu kau satu hal, kehadiranmu selalu dinantikan meski hanya sesaat, seperti itulah kau di mataku, selalu dinanti meski hanya sesaat. Kau tahu, aku bisa melangkah ratusan kilo meter, menjalani setapak demi setapak perjalanan yang entah sampai kapan berujung, dan kemudian pada suatu waktu sebelum malam menjelang, aku akan berhenti sejenak. Menatap berjam-jam mentari yang merona itu, dan begitulah kau di mataku, selalu indah meski hanya sesaat ku menatap,” kataku. Wajahnya merona, merah. Ia suka, aku bahagia.

Matanya semakin antusias, tak sabar menunggu kalimat berikutnya. Aku ingin menatapnya lebih lama lagi, ketika binar mata itu seperti berbicara, “Aku masih akan menunggu itu,”

“Kau lihat, bahkan sejenak ketika gelap itu hendak menelan mentari yang merona itu, kau tetap indah dengan kisah itu. Malam datang, menyapa hari yang akan berganti, gelap. Ini kisah lain dari pesonamu, bahkan ketika malam tak ada cahaya di atas sana, kau tetap indah dengan kisahmu. Gelap itu menggurat kenangan ketika sepi mulai merasuki hati, tapi kau tahu? Itu adalah bagian dari kisahmu, kisah yang bahkan akan selalu bisa membuatku tertawa bahagia,” aku tersenyum. Kembali senyumnya simpul tersungging di wajah itu, merona, sekali lagi. Dia tertawa, aku menyukainya.

Angin kembali membelai mesra, kata-kataku tercekat, sesaat aku sadar, ini adalah guratan kata yang mungkin akan kembali berserakan, akan kembali terberai, pecah, bahkan aku tak yakin akan kembali menyatu, itu hanya bagian yang akan terlupakan bukan? Ya, itu hanya akan menjadi kisah klise, antiklimaks.
…..

Pada bagian lain kisah ini, aku kembali merangkai asa yang entah telah terburai ke mana, ini akan menjadi sebuah kontradiksi. Ini akan menjadi impulsif, dramatis, melankolis, romantis sesekali, getir di dalamnya, sedikit cerita yang menggurat hati akan menambah suasana semakin menarik bukan, bahkan kalian akan segera menyukai kabar duka, menurutku, kabar buruk adalah kabar baik, setidaknya itulah yang ku tangkap dari semua fenomena yang di angkat media.

Hujan memang tidak menyapa hari ini, tapi jelas kabut menutup sebagian kota yang entah telah menggeliat sejak pukul berapa. Hingga siang menjelang, bahkan matahari enggan menampakkan kegarangannya hari ini, semakin dingin. Karena mendung menggantung di cakrawala, menggulung sebagian kisah kelam dan derita sebagian orang, bencana semakin menggeliat, alam menunjukkan keparkasaannya, banjir, longsor, bahkan hingga kecelakaan salah satu maskapai penerbangan menjadi sebuah informasi yang sangat nikmat untuk disantap.

Miris, negeri ini semakin gembira menonton pertunjukan itu, media berbondong-bondong mengangkat berita duka, menjadikan itu sebagai komoditi untuk mengeruk rupiah. Headline news, di mana-mana menayangkan berita yang sama, tak terhingga dalam hitungan detik berita itu mendapat ribuan klik dari para pembaca yang mengakses melalui website, mendapat rating tertinggi dari pemirsa layar kaca. Ada apa dengan negeri ini, atau lebih tepatnya, ada apa dengan kita, denganku, denganmu? Aku masih tak mengerti, mungkin akan lebih baik jika kita tidak mengerti itu.
…..


Aku, kamu. Hujan, senja, malam, mentari pagi selalu menggambarkan suasana tentang waktu itu. Ini akan menjadi bagian yang tidak akan terlupakan. Sementara itu, penggenggam hujan kembali bersendung riang, di antara rintik hujan dikala senja menyapa, malam menjadi kisah yang terus bercerita tentang semuanya, semilir angin akan selalu membisikkan untaian kata berirama mendayu. Aku, kamu, dia, mereka, menjadi sebuah rentetan cerita yang tak akan terputus, hanya waktu, satu-satunya yang pasti, selebihnya tidak ada.
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML