Kerinduanku tidak hanya
tertuju pada mendiang ayah, ada sebersit kerinduan kepada beberapa orang. Ya,
entah kenapa, malam itu aku begitu banyak merindukan orang. Mungkin pembahasannya
akan dipersempit, dan ku akui, mereka adalah wanita. Ya beberapa wanita yang ku
rindukan.
Pertama, ku beri tahu kau
tentang seorang wanita yang begitu luar biasa, aku mengenal seorang wanita,
dia adalah pengagum senja. Sama denganku, aku pun sama. Menjadi pengagum
semburat warna jingga di penghujung hari. Diantara batas siang dan malam, di
antara batas waktu, ada seberkas keindahan yang terpancar dari warna jingga di
atas sana.
Aku merindukannya, ya harus
ku akui itu.
Bertemu, jangan kau
tanyakan sesering apa aku bertemu dengannya, aku baru bertemu dengannya dua
kali. Dua kali dalam hidupku yang berharga. Singkat memang, tapi ku katakan
kepadamu, ia bisa memberikan banyak ketenangan dalam hidupku (tidak berlebihan).
Ya, waktu itu dan bahkan jika boleh ku katakan ia masih melakukan hal yang sama
hingga sekarang.
Dia pernah berkata,
bahwa aku menjadikannya tak lebih dari sekedar buku catatan. Yang bisa
menuliskan cerita apapun, bisa mengungkapkan rasa apapun, meluapkannya dalam
barisan kata-kata. Dan bodohnya, aku baru menyadari itu beberapa waktu lalu,
belum lama. Tahukah, waktu itu dia putuskan untuk menjauh dariku, aku bisa
menerimanya, tapi coba tebak. Aku hanya bisa bertahan dalam hitungan hari untuk
tidak kembali menghubunginya.
Aku kembali menyapanya,
memberikan berbaris-baris kata cinta, menggoda, dan entah kenapa dia
menerimanya. Mungkin kau akan segera paham, bahwa rasa seperti itu tak bisa
dijelaskan dengan kata-kata, karena itu semua tidak perlu penjelasan, itu hanya
bisa dirasakan, dan ketika kau merasakan itu, kau akan tahu penjelasannya
seperti apa.
Pernah suatu ketika,
kita berharap bisa menikmati senja bersama. Diantara irama deburan ombak di
pantai, menatap indahnya sunset, atau
kembali mendaki puncak-puncak itu, menikmati pesona negeri di atas awan.
Mencium aroma perapian, ya itu yang diinginkannya, pada hari di mana dia memutuskan
untuk tidak menghubungiku kembali.
Hingga detik ini, aku
masih bisa merasakan jika belum bisa benar-benar ‘menjauh’. Pernah ku katakan
dalam tulisan, jika ada seseorang yang mendekatimu saat ini, ada seseorang yang
begitu ingin mendapingimu, atau lebih tepatnya kau diinginkan seseorang untuk
mendampinginya, tapi entah kenapa kau menolaknya. Jika kau katakan masa lalu
seseorang itu begitu kelam, kau tidak akan tahu masa depan seseorang. Jadi sepertinya
kita tidak bisa menghakimi masa depan seseorang dengan melihat masa lalunya.
Kau punya kekuatan untuk merubah seseorang, kau punya kekuatan itu. Tapi kau
miliki kehidupanmu sendiri. Dan kau berhak untuk memutuskan apa yang menurutmu
baik.
Apakah kau sudah lupa,
masa laluku tidak lebih buruk dari lelaki itu, dan kau satu-satunya orang yang
tahu begitu detail tentangku. Kau tahu kenapa, karena kau adalah catatanku. Tak
ada seorang wanita di dunia ini yang mengetahui kisahku sedetail dirimu, bahkan
ibuku sekalipun.
Sejauh ini, belum ada
yang bisa menggantikan peranmu. Belum ada, dan mungkin hingga nanti waktunya
tiba, ‘dia’ tidak akan pernah bisa lebih tahu daripada dirimu.
Aku tidak akan bercerita
banyak tentang dirimu di sini, karena ada sebagian catatanku tentang fase ini,
di bagian selanjutnya. Kau pegang catatan tentangku, maka aku akan memberikan
catatan tentang kita. Dari satu kata akan banyak makna, akan ada banyak cerita,
dari satu kata akan tertulis puluhan paragraf, ratusan halaman hanya untuk
membahas catatan itu.
Begitulah mungkin aku
bercerita tentangnya, tak perlu panjang lebar. Karena mungkin akan kembali ku
ceritakan dia ‘Si Pengagum Senja’ dalam kisah yang berbeda. Kau tahu, aku tidak
bisa melupakan ‘Si Pengagum Senja’ ini. Kau bertanaya kenapa? Bukankah sudah ku
katakan, dia adalah catatanku, jurnalku. Jadi ketika ku buka lembaran baru dari
jurnalku yang baru, secara otomatis catatan tentangnya akan kembali terbuka. Aku
akan membacanya pelan-pelan, untuk ku selaraskan dengan kisah sesudahnya.
Kedua, aku juga merindukan
seseorang yang kini ku tahu, sedang berusaha menggapai impiannya. Ratusan kilo
meter dari tempatku berada. Jauh berada di bagian timur Indonesia. Ia
mengabdikan dirinya untuk bangsa ini, pergi jauh ke tempat terpencil di bagian
timur negara ini. Mencoba menanamkan asa kepada para generasi penerus bangsa di
batas terluar nusantara.
Jika kau belum tahu
bagaimana terpencilnya tempat itu, akan sedikit ku gambarkan. Listrik, adalah
barang langka di sana, dia pernah memberikan kabar, bahwa di sana hanya ada
gulita ketika malam menjelang, hingga ketika malam telah larut, yang terdengar
hanya suara debur ombak. Sesekali ia mengabarkan dirinya dengan sebuah foto yang
dipasang di halaman facebook miliknya.
Ku katakan kepadamu, dia
sangat suka orion, dia selalu menggambarkan dirinya (secara tidak langsung) sebagai
penjelmaan dari wujud orion (dia tidak pernah menyebutkan dirinya orion, aku
saja yang memberikan nama itu. Beberapa bulan yang lalu). Orion, tak banyak
yang ku tahu tentang itu, sedikit yang ku ketahui, itu adalah jajaran bintang yang
selalu menujukkan arah bagi para nelayan. Tak tahu, arah mana yang di tuju,
jika kau tahu, kau bisa beritahu aku.
Dan tebak, dia juga
pengagum senja, sama seperti orang pertama. Dan akupun juga sama. Dia menulis,
sama seperti si pengagum senja, ia selalu menuliskan cerita, tentangku. Jangan kau
tanya aku tahu dari mana, karena aku tipikal orang yang selalu ingin tahu atau
dalam bahasa anak muda sekarang biasa di sebut ‘kepo’. Aku bisa membaca, bahwa sebagian besar disetiap tulisannya
selalu membawa diriku, dalam makna kiasan yang berbeda tentunya, dan mungkin
hanya aku dan dia yang tahu siapa objek yang selalu dibicarakan.
Ku perjelas, dia adalah
wanita pertama yang menjadi bagian dari cerita ini. Dan ku sebut dia ‘Orion’.
Karena entah mengapa, setelah apa yang ku lakukan kepadanya, dia tidak pernah
bisa membenciku. Kau tahu, pernah suatu ketika selama dua hari aku tak makan,
jika kau pikir aku sakit. Maka kau salah, ku beritahu kau, aku tak punya uang!.
Waktu itu tak ada uang
di saku, bahkan logam recehan pun sudah tandas untuk membeli makan malam
kemarin. Dan dia, dia mengajakku untuk makan, dan jangan kau tanyakan siapa
yang bayar, tentu saja bukan aku. Waktu itu aku hanya seorang sarjana tanpa
pekerjaan, ya, boleh kau katakan, aku seorang pengangguran, Sarjana Ekonomi,
keren bukan? Tapi, untuk apa jadi sarjana jika tak bisa menghidupi diri
sendiri. Dan dia, dia sudah mendapatkan pekerjaan, bisa dikatakan dia lebih
mapan karena berpenghasilan.
Setelah menyelesaikan
studi di perguruan tinggi aku tak langsung bekerja. Bukan karena aku enggan,
tapi sepertinya perusahaan-perusahaan itu enggan menerimaku sebagai karyawannya,
katanya aku berpotensi, tapi belum saatnya untuk bergabung dengan perusahaan
itu, aku harus banyak belajar dan berusaha lagi. Dan baru ku ketahui bahwa itu
adalah cara penolakan secara halus kepada calon karyawan yang tidak
berkopenten. Dan aku termasuk dari sekian banyak sarjana yang tak dapat
pekerjaan itu. Tapi ku sebut aku tidak menganggur, aku sedang menikmati ‘liburan’.
Aku tahu dan percaya bahwa rezekiku sudah ditetapkan oleh-Nya, dan itu benar
adanya. Karena sesekali aku bisa menjual hasil karyaku, cukup untuk makan satu
minggu.
Sering ku dengar
potongan lirik dari maestro musisi Indonesia Iwan Fals, dia
mengatakan:”..Sarjana begini, banyaklah di negeri ini. Tiada bedanya dengan
roti,”
Benar tebakanmu, aku
tersindir dengan kalimat idolaku itu, tapi entah kenapa aku begitu lantang
menyanyikannya.
Biarlah jika kau katakan
aku tak punya malu. Untuk apa malu, malu hanya akan membuatku mati dan terbujur
kaku waktu itu. Maka, ku perjelas kepadamu, ku hapuskan kata ‘malu’ dari
kamusku. Itu kata pertama yang kucoret dari daftar hidupku, tentu tidak berlaku
kepada beberapa hal. Aku masih malu untuk bebuat dosa (dosa besar, menurutku)
ku harap kau bisa maklumi itu.
Oke, cukup tentang
Orion.
Ketiga. Baiklah, aku akan
memulai cerita tentang orang terakhir. Orang yang menjadi pemicu semua cerita
ini. jika ku katakan, dua orang sebelumnya selalu menyukai hal yang sama, maka
orang ketiga ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang ku
sukai.
Ku perjelas untukmu, dua
orang sebelumnya adalah pengagum senja, pengagum orion, pembaca novel, penulis
puisi (sama sepertiku), penulis cerita fiksi, pendaki gunung bahkan, maka orang
ketiga ini tidak pernah melakukan apa yang dilakukan olehku, atau dua orang
sebelumnya.
Membaca, jangan harap
dia suka. Jika ku sodorkan tumpukan novel maka dia akan memintaku untuk
menceritakan ulang, dengan gaya bahasa dan ringkasan cerita, itupun tidak akan berjalan
lama. Atau jika ku paksa dia, dia membuka satu buku dan membalikkan halaman
pertama, dan ketika ku palingkan wajahku sejenak, di halaman kedua dia sudah
tertidur.
Menulis, dia tidak
pernah bisa melakukannya. Maksudku dia tidak bisa merangkai kata-kata indah dan
mempesona, bukan berarti dia tidak bisa menulis dengan arti sebenarnya. Akan
menjadi aneh jika Sarjana Ekonomi dengan predikat Cumlaude tidak bisa menulis, akan jadi apa negara ini? Ya, bahkan
harus ku akui, dia menyelesaikan studinya lebih cepat dariku, aku membutuhkan
waktu ekstra satu tahun untuk menyelesaikan studi dan mulai menyusun skripsi,
sedangkan dia tepat waktu melakukannya. Atau lebih tepatnya, ia lulus tepat
waktu, berbeda denganku yang mencari kelulusan di waktu yang tepat. Sayangnya
setahun kemudian aku baru mendapatkan waktu yang tepat menurutku.
Mandiri, menurutku, dari
ia lebih manja daripada kedua wanita di atas. Sangat manja bahkan (menurut
versiku).
Senja, dia tidak
menyukainya melebihi aku dan dua wanita itu. Orion? Jangan harap dia tahu itu.
Dia tidak akan pernah tahu itu. Mungkin dia akan mengira bahwa itu adalah nama
makanan dari Jepang. Purnama, ya mungkin dia akan menyukainya, tapi tidak lebih
dari kami bertiga.
Ku buka rahasia ini
untukmu, aku meninggalkan orang pertama dan kedua demi wanita ini. Sadis
memang, bahkan ku katakan kepada orang pertama jika aku tak bisa melepaskannya
dan berpindah hati kepadanya, dan anehnya dia menerima itu. Dia tidak pernah
mengusik hubungan kami, selesai.
Rahasia kedua, aku
meninggalkan orang kedua demi wanita ini juga, aku meninggalkannya begitu saja,
tanpa alasan bahkan (dan baru ku ketahui belum lama ini bahwa dia tahu alasan
kenapa aku meninggalkannya).
Dua orang sebelumnya
belum pernah meminta sesuatu kepadaku, tapi wanita ini. Aku sulit menolak
permintaannya, secara persentase tak lebih dari 30 persen aku menolak
permintaannya. Jika kau katakan dia wanita matre
aku akan dengan tegas menolak pendapatmu.
Dia tidak seperti yang
kau pikirkan, maksudku, dia tidak pernah meminta barang-barang mewah, pakaian,
atau apapun. Yang dia minta daging dan eskrim, dan satu lagi yang paling
berharga menurutku. Dua wanita tadi tidak pernah bisa mengganggu waktuku,
mereka tidak pernah bisa menyita begitu banyak waktuku (waktu itu).
Ku beri tahu kau
beberapa hal, waktu itu aku adalah mantan ketua Mapala di kampusku, kau tentu
tahu bagimana pola anggota Mapala, jika tidak tahu maka akan sedikit ku
jelaskan. Ketika kau menjadi anggota Mapala, kau akan menyampingkan urusan
pribadi, kau akan bergelut dengan aktivitas yang bahkan sulit untuk kau nalar
dengan akal sehat.
Di kampusku, kami bisa
rapat hingga subuh menjelang, menyusun kurikulum dan silabus, menyusun strategi
untuk menjalankan roda organisasi, menyusun konsep ekspedisi, menyelenggarakan event berskala nasional, internasional
bahkan, belum lagi kau harus siap di mana pun berada. Militansi anggota Mapala
sangat kuat, kekeluargaan, toleransi, persahabatan, itu adalah doktrin yang
tidak bisa dilepaskan. Dan jika di suruh memilih, kami akan lebih banyak
menghabiskan waktu di dalam organisasi ini, bukan dengan para wanita itu. Tapi
dia, dia bisa menyita waktu itu, dia bisa melakukan apa yang tidak bisa
dilakukan kedua wanita sebelumnya.
(Itu penjelasanku tentang anggota Mapala. Jika belum jelas,
kau bisa cari referensi dari berbagai sumber. Ada banyak penjelasan tentang itu
semua).
Dia tidak bisa menulis,
tidak suka membaca novel, belum pernah merasakan tamparan alam, belum sempat
menyaksikan eloknya negeri di atas awan dan sunrise
di antara puncak-puncak yang tinggi menjulang.
Untungnya dia selalu
suka jika kutuliskan puisi untuknya. Dia akan selalu meminta, merengek,
memaksa, bahkan menjajahku, dia melakukan semua jurus andalan untuk memaksaku
menuliskan kata-kata indah tentangnya, dan aku seperti kerbau yang dicocok
hidungnya (jangan tertawakan aku tentang hal ini).
Kau bisa tebak
perasaanku bukan? Ya, aku suka itu, dan karena dia tak suka tentang senja,
rembulan, rintik hujan, savanna, dan orion. Ku tuliskan namanya dengan bahasa
yang ku sukai, tak perduli dia suka atau tidak, aku tidak perduli sama sekali.
‘Rintik Senja’ begitulah aku menyebutnya.
Semua kisah berjalan
dengan indah, tapi memang sebenarnya semuanya tidak ada yang benar-benar indah.
Ada realita yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, bahkan terkadang ia
akan menjadi begitu menyakitkan. Tapi itulah kenyataannya, ia mengajarkan
tentang kebenaran, meski menyakitkan, kenyataan berkata dengan sangat jujur.
…
24-09-2013, Tepat Setahun Lalu
Periode terberat dalam
fase ini muncul. Kau tahu, itu hari ulang tahunku. Dan jika kau tahu, aku
mendapatkan kado spesial darinya, wanita terakhir ini. Sangat spesial, bahkan,
ku beritahu kau tentang sesuatu. Dia memberikan kado yang tidak pernah
terlupakan. Jika kau percaya karma, maka inilah yang terjadi padaku.
Kau tanam kebaikan
sekecil biji sawi, maka kau akan menuianya seperti itu, tidak kurang tidak
lebih. Ya, ketika ku-tiga-kan dia, dia pergi meninggalkanku dengan men-dua-kan
aku, dengan perasaan luka, aku terima. Marah, ya tentu saja, manusiawi jika aku
merasa seperti itu, tapi kemudian aku tersadar, itu adalah buah yang ku tanam,
maka aku akan memakannya (dia tidak meninggalkanku, akupun sama, tidak pernah
meninggalkannya, dan seperti itulah cara kita mengakhiri kisah itu, ini adalah
akhir, tapi ini juga awal, dan inilah awal kisah selanjutnya, nanti akan ada
bagian selanjutnya).
Setahun lalu kejadian
itu, tapi kau tahu. Seperti yang ku perkirakan, dia kembali padaku. Tapi tidak
lama, ia kemudian menghilang. Meninggalkanku dengan sejuta tanya tentang rasa
yang tercipta. Marah? Tidak sama sekali, kali ini aku tidak bisa marah, karena
jelas ku ketahui dia berikan pelajaran berharga untukku.
Dan ku putuskan bahwa
aku akan menjalani fase ini sendiri, tak ada siapapun. Tak ada dia, dia, dia. Hanya
ada aku, impianku, tujuanku, ambisiku,
cita-citaku, harapanku. Belum ada namanya di dalamya (saat ini).
Bagian ini juga akan ku
akhiri lebih awal, karena aka nada lebih banyak lagi aku bercerita tentangnya,
pada bagian selanjutnya. Atau pada kisah yang berbeda. Ini hanya kilas balik
dari perjalanan rembulan yang bersinar terang, malam ini.
…
Rabu 10-09-2014, Pukul 11.19 Wib
Ku katakan kepadamu,
bulan bersinar terang. Aduhai, elok ketika mata memandang, terbesit kerinduan
tentang para wanita itu. Tentang mendiang ayahu, tentang muramnya ulang tahun
adikku, tentang kerinduanku kepada barisan pegunungan dan hangatnya perapian.
Kini waktuku lebih banyak habis di depan layar laptop.
Jemariku berpacu dengan
waktu, menuliskan ribuan kata secepat mungkin, memperbaharui berita, waktuku
benar-benar habis untuk menulis. Tapi tahukah kau, sesibuk-sibuknya aku dengan
pekerjaan ini, tentu ada sedikit ruang dan waktu yang sempat teralihkan kepada
ranah rasa. Tentang perasaan yang tak pernah berhenti bersenandung, ada
sebersit kerinduan tentang kehadiran seseorang.
Dan kini, aku sering
berbicara dengan seseorang, secara harfiah aku tidak langsung berbicara empat
mata. Kami hanya terhubung oleh koneksi internet dan sinyal provider. Aku berdiskusi dengannya,
lagi-lagi seorang wanita, tapi dia bukanlah seperti ketiga wanita di atas. Dia
adalah penghubungku dengan seseorang, ya dia ku sebut sebagai ‘Si Pembawa
Pesan’.
Dia sangat suka membaca,
sedikit ku baca karakternya. Dan sedikit akan kuceritakan kepadamu tentang ‘Si
Pembawa Pesan’ ini.
Dia, orang terbaik yang
menjaga perasaannya, puluhan tahun ia simpan rasa kepada seseorang, dan kau
tahu, hingga detik ini dia masih memiliki rasa itu, meski kemarin ku ketahui ia
mulai menikam hatinya, mematahkan tangkai rasa itu satu persatu, berharap akan
ada seseorang yang bisa tumbuhkan rasa yang telah kering itu.
Dan ku beritahu kepada
kalian, sekarang dia mulai membuka hatinya kepada seseorang, jika tebakanmu
orang itu adalah aku, kau salah besar kawan, tapi aku tak ingin membahas ‘dia’
yang diharapkannya. Biarkan itu mengalir, dan suatu saat akan ku ceritakan
kepadamu, itupun jika ia ingin berbagi
tentang kisahnya.
Pendiam, tidak ingin
berdebat, tipikal pendengar yang baik, pemberi solusi handal, tipikal wanita
sederhana, tapi dia punya karakter kuat. Bisa ku lihat dari alis yang
melengkung tajam, garis tegas, tak kenal kompromi, tapi dia tipikal seorang ibu
yang (InsyaAllah) hampir mendekati sempurna, kelak. Tulus, ya dia memiliki itu,
di usia yang masih begitu muda dia selalu mencoba untuk bersikap tulus terhadap
semua orang di sekelilingnya, setidaknya itu bisa terlihat dari sorot matanya,
teduh.
Egois, ya setiap orang
pasti memiliki sikap itu. Dan dia juga seorang manusia, sama seperti kita. Yang
memiliki perasaan itu, sesekali dia akan menjadi seorang yang sangat egois,
keras kepala, memaksakan kehendak, ya kehendaknya begitu kuat. Tapi sayang, itu
tidak diimbangi dengan keinginan kuat, terkadang dia akan mengaku kalah sebelum
perang, terkadang ia hanya akan mengalah, agar tak menyakiti seseorang.
Ini bukan tentang
menghakimi, tapi jika kau mengatakan bahwa aku menghakimi seseorang yang belum
ku kenal, aku bisa apa? Semua orang bebas berpendapat, tapi setidaknya hal yang
ku tuliskan di atas pernah ku tanyakan kepadanya, dan anehnya, hampir mendekati
sempurna kebenarannya.
‘Si Pembawa Pesan’ dia menjadi
penghubungku dengan ‘dia’. Semua itu mengalir begitu saja, ada banyak kesamaan
antara aku dan ‘Si Pembawa Pesan’. Kami, dua orang bodoh yang mengharapkan
sesuatu, tetapi sesuatu itu tidak pernah (mungkin) mengharapkan kami.
Pernah dia
berkata:”Jangan terlalu berharap.”
Tegas ku katakan
kepadanya, jika kita tidak punya harapan, lantas untuk apa kita hidup?
Terkadang harapan adalah hal terkuat yang bisa kita miliki. Harapan akan
memberikan kekuatan kepada kita untuk melakukan sesuatu, yang bahkan mendekati
mustahil. Harapan, kita harus punya itu. Ku katakan kepadanya. Jangan pernah
menikam harapan, terlebih membunuhnya, karena harapan adalah salah satu alasan
kenapa kita masih berada di sini, berjuang mendapatkan apa yang kita inginkan.
Rabu, 10-09-204, Pukul 11.59 Wib.
Sepertinya harus ku
cukupkan tulisan ini. Jariku sepertinya sudah mulai meminta untuk berhenti
menari, seharian ini yang ku lakukan hanya menuliskan ribuan kata. Entah,
mugkin jika semua kata yang ku tuliskan sejak siang menjelang, dan kemungkinan jika
di ukur panjangnya bisa puluhan kilometer (mungkin aku juga hanya mengada-ada. Atau
bisa saja jika ukuran font-nya 100pt).
Mataku sudah mulai perih, dan mungkin otakku juga sudah mulai lelah (padahal
sejak lama aku seperti sudah lupa meletakkan otakku di mana, dan kini bisa di
sebut aku lupa membawa otak itu di dalam kepala), sepertinya semua sistem tubuhku
mulai menuntut untuk menghentikan aktivitas ini.
Dan cukup sekian untuk ‘Si
Pembawa Pesan’ karena ada bagian lain dan sisi lain, secara khusus akan
kuceritakan kisah penantiannya.
….
Untukmu, ayah aku
merindukanmu. Mungkin hanya doa yang bisa ku berikan untukmu, tapi aku selalu
percaya doa anak shaleh itu akan didengarkan oleh Allah SWT, meskipun ku akui
aku belum benar-benar shaleh, tapi aku akan berusaha untuk melakukan itu.
Untukmu, adikku. Usiamu
semakin berkurang, gunakan sisa umurmu sebaik mungkin, belajarlah dari kami,
kakak-kakakmu, jika kau bisa melangkah lebih jauh dari apa yang ku lakukan,
maka lakukanlah. Ada banyak hal di luar sana, yang bisa membentukmu menjadi
lebih kuat dari saat ini, persiapkan dirimu untuk menghadapi kenyataan yang
tidak selalu selaras dengan inginmu.
Untukmu, ‘Si Pengagum
Senja’ ada banyak kata dan cerita tentang dirimu, meski kita hanya bertatap
muka beberapa kali saja, tapi kau sudah memberikan yang terbaik dari apa yang
kau miliki, terima kasih telah menjadi ‘Buku Catatanku’. Semoga kau dapatkan apa
yang kau inginkan, dan semoga kita bisa tertawa meski dalam langkah dan kisah
yang berbeda.
Untukmu, ‘Orion’
langkahmu sudah semakin jauh, impianmu satu persatu mulai kau taklukkan. Dari
ujung timur nusantara ini, mulailah kisahmu, berjalanlah sebagaimana mestinya.
Peliharalah keyakinanmu. Kau adalah salah satu yang terbaik dari kisah ini.
Selalu, jadilah orion itu, meski bukan untukku, ada orang lain yang bisa kau
tuntun untuk kembali pulang.
Untukmu, ‘Rintik Senja’.
Sisa harapanku masih ada di dalam dirimu. Terima kasih atas apa yang kau
berikan kepadaku. Terima kasih untuk semua kisah indah itu, ada banyak cerita
tentangmu. Semoga kau masih ingin membacanya. Fase bersamamu pernah menjadi
yang terindah. Tetaplah menjadi seperti itu, aku suka rengekan manja itu
menyapa di setiap pagiku. Aku merindukanmu.
Untukmu, ‘Si Pembawa
Pesan’. Terima kasih atas semua yang telah kau lakukan untukku, atas semua
diskusi yang kita lakukan, atas semua pelajaran yang kau berikan, terima kasih.
Walaupun hanya sebatas kata-kata semu, kau bisa menjadi teman terbaik ketika
hari-hariku benar-benar sepi. Percayalah, harapan itu bisa membawa kita kepada
fase selanjutnya yang lebih ‘gila’. Ada impian yang tak sempat kau wujudkan,
maka jangan pernah berhenti pada satu titik, kita akan mendapatkan ‘dia’
bersama-sama, tak perlu sama ceritanya, yang terpenting adalah tawa di akhir
cerita.
Bandung, Kamis 11-09-2014 Pukul 12.18 Wib