Sabtu, 13 September 2014

Bukan Kisahku, Tapi Kisahnya (Si Pembawa Pesan, Bagian 1)



Hampir tak ada yang tersisa, semuanya amblas (hilang). Entah kemana perginya semua itu. Entah kemana arahnya kini.
Malam ini. Masih di tempat yang sama. Pada ketinggian 750Mdpl, masih ada beberapa rekan yang beraktifitas, bermacam-macam. Tak perlu kuberitahu kalian, karena kurasa kalian pun tak ingin mengetahuinya. Masih juga terasa dingin, seperti kemarin. Masih di bulan September, masih juga berada di musim kemarau. Ketika siang, mentari kembali menyapa, tidak seperti biasanya yang selalu teduh.

Kali ini benar-benar terik. Tapi, angin yang berhembus masih terasa dingin. Cukup menghibur beberapa orang yang tersengat mentari siang tadi, termasuk aku.

Aku adalah salah seorang yang bersyukur angin masih mau berhembus pelan, terkadang kencang. Menerbangkan debu jalanan, menggoyangkan dahan, menerbangkan dedaunan yang terlihat mulai menua, jatuh ke tanah, dan sesaat kemudian akan terinjak-injak oleh berbagai roda. Mulai dari roda empat, tiga, dua, atau bahkan tak beroda. Dan jika daun yang menua itu bernyawa dan berwujud manusia, maka ia akan berdoa. Semoga injakan itu bisa membuatnya lepas dari semua dosa yang telah diperbuatnya.

Tapi apa daya, dia bukanlah manusia, ia hanya akan sesaat berada di sana dalam bentuk daun, setelah dua atau tiga hari, daun itu akan hancur, menjadi debu dan jika beruntung ia akan terbang melayang, jika tidak, ia akan mengendap dan kemudian disaat musim hujan ia akan mengalir ke selokan yang panjang membentang dari ujung barat hingga ke ujung timur, mengalir tak terhenti, menyusuri jalanan padat diperkotaan, kemudian menyusuri desa-desa, membaur bersama kotoran-kotoran yang berbau tak beradab, lalu bau itu akan menguap, menjadi polusi yang menggangu penciuman.

Tapi anehnya, sebusuk-busuknya aroma itu, manusia seperti tidak peduli. Ia hanya akan berlalu tanpa melakukan apa-apa. Jika ku gambarkan, aroma itu seperti aroma bau para pencuri berdasi, kita tahu ia melakukan aksi, tapi tanpa daya kita akan menganggapnya biasa. Ini bukan hujatan, ini hanya pendapat. Sah-sah saja bukan? Karena pemerintah memberikan kebebasan kepada warganya untuk berpendapat, dan aku akan menggunakan hakku. Cukup, tak usah diperpanjang lagi. Karena aku tak berkopenten membahasnya, terlalu rumit untukku, seseorang yang tidak terlalu pandai membahas hal itu. Dan jika aku melakukannya, sama saja aku seperti tong kosong nyaring bunyinya. Maka sebelum kalian menganggap aku seperti itu, aku akan mengakhirinya. Sekarang.

Menelisik dari kisah daun yang tak selalu beruntung, mungkin dikatakan aku bernasib sama. Daun di perkotaan itu tidak seberuntung dedaunan yang tumbuh dari pohon di tengah belantara rimba. Perbedaannya bagaikan langit dan bumi. Daun yang tumbuh di hutan, setelah jatuh ia akan menyuburkan tanah, memberikan kehidupan baru bagi biji-bijian yang akan segera menjadi tunas-tunas muda.

Sungguh, harusnya kita berbelas kasihan terhadap itu semua, kepada daun yang hidup diperkotaan, yang memberikan hawa segar dan kenikmatan untuk kita mendapatkan oksigen segar, bernafas tanpa harus membayar, berteduh ketika panas menerjang, berbicara ngalor ngidul dengan teman sejawat, tapi balasan yang manusia berikan tak sebanding dengan apa yang diberikan pohon dan dedaunan itu.

Pedapatku (lagi-lagi), manusia, terlalu egois, terlalu individualis akhir-akhir ini. Sepertinya mereka bisa hidup sendiri, bisa melakukannya sendiri, sepertinya mereka tidak membutuhkan orang lain. Jika tidak kenal, maka tak akan meyapa, jika tak butuh maka tak akan mendekat, jika tak punya uang, jangan harap mendapat perhatian. Sepertinya ukuran penghormatan dan rasa percaya itu dihitung dengan menggunakan tumpukan uang, Rupiah, Poudsterling, Euro, Dollar atau satuan mata uang lainnya di belahan dunia ini yang entah bernama apa, dan sepertinya aku tak perlu mengetahuinya. Percuma saja, karena satu mata uangpun sulit untuk ku dapatkan.

Perumpamaannya daun itu sepertinya cocok disematkan kepadaku. Aku tak ubahnya seperti dedaunan yang tumbuh dipekarangan perkantoran dan pinggir jalan. Terhempaskan oleh angin, jatuh, terinjak-injak, dan kemudian mengering. Hancur, tak berbentuk sama sekali, diterjang badai berbentuk cobaan, ujian, atau bisa dikatakan ini adalah azab, karma. Ya mungkin yang terakhir itu lebih masuk akal dan dapat diterima oleh sebagian orang, bahkan oleh diriku sendiri. Yang akan berbesar hati menerima semuanya. Tanpa harus melakukan perlawanan, tanpa harus memberikan argumen ilmiah penuh teori yang berbelit.

Tak perlu pengujian, karena akupun akan menerimanya, mencoba untuk menggunakan kata rela, ikhlas, lapang dada, atau semua istilah yang bisa dikatakan untuk menggantikan kata legowo.

Jika aku lahir di waktu dulu, aku akan mencipatakan peribahasa yang berbeda. Peribahasa ‘sudah jatuh tertimpa tangga’ adalah ungkapan yang menyatakan kesialan bertubi-tubi yang menghampiri. Mungkin sekarang tidak akan bisa digunakan lagi, karena yang lebih cocok adalah ‘sudah jatuh tertimpa tangga, terinjak-injak, dan kemudian dilemparkan ke tumpukan sampah yang sudah dikerubungi ratusan lalat berwarna hijau, lalu masuk ke dalam truk pengangkut yang sudah ada banyak sampah di sana, lalu dibawa menuju tempat pembuangan sampah akhir, sampai sana pun hanya akan ditumpuk dan kemudian membusuk, lagi-lagi menjadi hal yang tidak berguna, sampah’. Panjang memang, tapi itulah yang lebih pas untuk menggambarkan semuanya. Maka aku akan berkomentar, kurasa kau juga akan sepaham denganku. Satu kata itu, Mengenaskan!.

Aku, masih termenung. Melihat secarik kertas itu, meratapi nasib yang sepertinya enggan membaik. Apa yang bisa diharapkan dari semua nasib ini, jika nasi sudah menjadi bubur itu masih bisa enak. Tinggal ditambahkan sayuran, beberapa potong ayam, kecap, sambal dan telur maka akan menjadi bubur ayam spesial, walaupun akan tambah modal. Tapi itu sebanding dengan rasanya bukan? Nah ku beri tahu kepada kalian, yang menimpaku ini lebih buruk dari itu, nasi yang sudah menjadi bubur itu menjadi basi tak lama setelah hancur, ku rasa hewan pun enggan memakannya. Karena aku pun sudah bergidik melihatnya. Jijik.

Kau ingin tahu apa isi selembar kertas itu? Itu adalah Kartu Hasil Studi atau biasa disebut KHS. Aku tak mengerti dengan semua ini, semua nilai yang tertera di secarik kertas itu tak sebanding dengan apa yang ku bayangkan. Tak ada nilai ‘A’ di sana. Dan lebih sialnya, ada beberapa mata kuliah yang sudah ku ambil dua kali, dan tidak berhasil lulus, kau tahu, mata kuliah itu sudah ku ambil dua kali, dua tahun, dan aku harus menunggu satu semester lagi untuk mengulangnya. Sepertinya aku akan menjadi koboi kampus, yang banyak kasus seperti kata para musisi nyeleneh itu, Pemuda Harapan Bangsa.

Apa lagi yang bisa ku katakan, ini tahun kelima aku berada di tempat ini. Mungkin bagi anak teknik itu hal yang wajar, karena mereka terbiasa lulus ketika sudah melewati semester ketujuh. Tapi aku adalah mahasiswa ekonomi, yang katanya tidak lebih susah dari jurusan teknik. Tapi itu tak berlaku bagiku. Mungkin pada saat pembagian otak dulu, aku terlambat datang. Dan inilah akibatnya. Menjadi mahasiswa abadi tak lulus-lulus.

Ini seperti kabar duka bagiku, sepertinya aku membutuhkan belasungkawa. Kalian boleh memberikannya. Sekarang, aku akan menerimanya, dengan perasaan gembira. Percayalah, aku akan menyukainya ketika kalian mengatakannya kepadaku. Maka akan kuucapkan, terima kasih tak terhingga.
Bandung, 13 September 2014 pukul 05.25 WIB.
Tak perlu ku perjelas lagi, tak perlu kuceritakan lagi. Bagian ini aku tidak akan menceritakan kisahku yang selalu berbicara duka dan nestapa. Aku akan bercerita tentang dia, dia adalah seorang wanita. Usianya mungkin hanya terpaut lebih muda satu atau dua tahun denganku. Aku baru mengenalnya sekitar dua tahun silam, tak banyak yang kami bicarakan dulu, hanya saja akhir-akhir ini aku sering bercengkrama dengannya. Masih canggung, tapi ku tebak. Dan aku yakin, ini akan segera mencair.

Ya, akan kuceritakan. Dia adalah seseorang yang kuberi nama ‘Si Pembawa Pesan’. Tingginya mungkin 160-165 cm (bisa lebih bisa kurang, aku tak pernah mengukurnya), rambutnya mungkin hitam, ku katakan demikian karena aku tak pernah melihatnya, selama ini ia selalu menutupnya dengan balutan kerudung. Matanya, agak sipit, tapi bola matanya besar dan selalu berbinar, alisnya jarang-jarang tapi panjang, bibirnya tipis, agak berwarna merah, tapi tak terlalu merah, karena setahuku dia tak pernah menggunakan lipstick berwarna menyala, hidungnya mungil, wajahnya bersih, dan bisa ku pastikan jika dia malu, atau marah pasti warnanya akan bersemu merah.

Sepertinya dia pendiam. Tidak, dia tidak pendiam, dia hanya akan menjadi pendiam terhadap seseorang yang tidak dikenalnya. Dia akan berubah menjadi seseorang yang berbeda ketika mengenalnya. Periang. Mudah bergaul, suka membaca, dan dia pandai menyembunyikan perasaan, sama seperti kebanyakan wanita. Tapi dia tidak benar-benar pandai menyembunyikannya. Aku bisa mudah memancingnya untuk bercerita, dan itu adalah salah satu keahlianku. Jika dia pandai menyembunyikan perasaan, mungkin aku tidak akan bisa menceritakan ini.

Dan ini adalah awal dari semua cerita tentang si pembawa pesan..

Read More




Jumat, 12 September 2014

Ketika Purnama Bercerita di Awal September (Rekam Jejak, Bagian 2)



Kerinduanku tidak hanya tertuju pada mendiang ayah, ada sebersit kerinduan kepada beberapa orang. Ya, entah kenapa, malam itu aku begitu banyak merindukan orang. Mungkin pembahasannya akan dipersempit, dan ku akui, mereka adalah wanita. Ya beberapa wanita yang ku rindukan.

Pertama, ku beri tahu kau tentang seorang wanita yang begitu luar biasa, aku mengenal seorang wanita, dia adalah pengagum senja. Sama denganku, aku pun sama. Menjadi pengagum semburat warna jingga di penghujung hari. Diantara batas siang dan malam, di antara batas waktu, ada seberkas keindahan yang terpancar dari warna jingga di atas sana.

Aku merindukannya, ya harus ku akui itu.

Bertemu, jangan kau tanyakan sesering apa aku bertemu dengannya, aku baru bertemu dengannya dua kali. Dua kali dalam hidupku yang berharga. Singkat memang, tapi ku katakan kepadamu, ia bisa memberikan banyak ketenangan dalam hidupku (tidak berlebihan). Ya, waktu itu dan bahkan jika boleh ku katakan ia masih melakukan hal yang sama hingga sekarang.

Dia pernah berkata, bahwa aku menjadikannya tak lebih dari sekedar buku catatan. Yang bisa menuliskan cerita apapun, bisa mengungkapkan rasa apapun, meluapkannya dalam barisan kata-kata. Dan bodohnya, aku baru menyadari itu beberapa waktu lalu, belum lama. Tahukah, waktu itu dia putuskan untuk menjauh dariku, aku bisa menerimanya, tapi coba tebak. Aku hanya bisa bertahan dalam hitungan hari untuk tidak kembali menghubunginya.

Aku kembali menyapanya, memberikan berbaris-baris kata cinta, menggoda, dan entah kenapa dia menerimanya. Mungkin kau akan segera paham, bahwa rasa seperti itu tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, karena itu semua tidak perlu penjelasan, itu hanya bisa dirasakan, dan ketika kau merasakan itu, kau akan tahu penjelasannya seperti apa.

Pernah suatu ketika, kita berharap bisa menikmati senja bersama. Diantara irama deburan ombak di pantai, menatap indahnya sunset, atau kembali mendaki puncak-puncak itu, menikmati pesona negeri di atas awan. Mencium aroma perapian, ya itu yang diinginkannya, pada hari di mana dia memutuskan untuk tidak menghubungiku kembali.

Hingga detik ini, aku masih bisa merasakan jika belum bisa benar-benar ‘menjauh’. Pernah ku katakan dalam tulisan, jika ada seseorang yang mendekatimu saat ini, ada seseorang yang begitu ingin mendapingimu, atau lebih tepatnya kau diinginkan seseorang untuk mendampinginya, tapi entah kenapa kau menolaknya. Jika kau katakan masa lalu seseorang itu begitu kelam, kau tidak akan tahu masa depan seseorang. Jadi sepertinya kita tidak bisa menghakimi masa depan seseorang dengan melihat masa lalunya. Kau punya kekuatan untuk merubah seseorang, kau punya kekuatan itu. Tapi kau miliki kehidupanmu sendiri. Dan kau berhak untuk memutuskan apa yang menurutmu baik.

Apakah kau sudah lupa, masa laluku tidak lebih buruk dari lelaki itu, dan kau satu-satunya orang yang tahu begitu detail tentangku. Kau tahu kenapa, karena kau adalah catatanku. Tak ada seorang wanita di dunia ini yang mengetahui kisahku sedetail dirimu, bahkan ibuku sekalipun.

Sejauh ini, belum ada yang bisa menggantikan peranmu. Belum ada, dan mungkin hingga nanti waktunya tiba, ‘dia’ tidak akan pernah bisa lebih tahu daripada dirimu.

Aku tidak akan bercerita banyak tentang dirimu di sini, karena ada sebagian catatanku tentang fase ini, di bagian selanjutnya. Kau pegang catatan tentangku, maka aku akan memberikan catatan tentang kita. Dari satu kata akan banyak makna, akan ada banyak cerita, dari satu kata akan tertulis puluhan paragraf, ratusan halaman hanya untuk membahas catatan itu.

Begitulah mungkin aku bercerita tentangnya, tak perlu panjang lebar. Karena mungkin akan kembali ku ceritakan dia ‘Si Pengagum Senja’ dalam kisah yang berbeda. Kau tahu, aku tidak bisa melupakan ‘Si Pengagum Senja’ ini. Kau bertanaya kenapa? Bukankah sudah ku katakan, dia adalah catatanku, jurnalku. Jadi ketika ku buka lembaran baru dari jurnalku yang baru, secara otomatis catatan tentangnya akan kembali terbuka. Aku akan membacanya pelan-pelan, untuk ku selaraskan dengan kisah sesudahnya.

Kedua, aku juga merindukan seseorang yang kini ku tahu, sedang berusaha menggapai impiannya. Ratusan kilo meter dari tempatku berada. Jauh berada di bagian timur Indonesia. Ia mengabdikan dirinya untuk bangsa ini, pergi jauh ke tempat terpencil di bagian timur negara ini. Mencoba menanamkan asa kepada para generasi penerus bangsa di batas terluar nusantara.

Jika kau belum tahu bagaimana terpencilnya tempat itu, akan sedikit ku gambarkan. Listrik, adalah barang langka di sana, dia pernah memberikan kabar, bahwa di sana hanya ada gulita ketika malam menjelang, hingga ketika malam telah larut, yang terdengar hanya suara debur ombak. Sesekali ia mengabarkan dirinya dengan sebuah foto yang dipasang di halaman facebook miliknya.

Ku katakan kepadamu, dia sangat suka orion, dia selalu menggambarkan dirinya (secara tidak langsung) sebagai penjelmaan dari wujud orion (dia tidak pernah menyebutkan dirinya orion, aku saja yang memberikan nama itu. Beberapa bulan yang lalu). Orion, tak banyak yang ku tahu tentang itu, sedikit yang ku ketahui, itu adalah jajaran bintang yang selalu menujukkan arah bagi para nelayan. Tak tahu, arah mana yang di tuju, jika kau tahu, kau bisa beritahu aku.

Dan tebak, dia juga pengagum senja, sama seperti orang pertama. Dan akupun juga sama. Dia menulis, sama seperti si pengagum senja, ia selalu menuliskan cerita, tentangku. Jangan kau tanya aku tahu dari mana, karena aku tipikal orang yang selalu ingin tahu atau dalam bahasa anak muda sekarang biasa di sebut ‘kepo’. Aku bisa membaca, bahwa sebagian besar disetiap tulisannya selalu membawa diriku, dalam makna kiasan yang berbeda tentunya, dan mungkin hanya aku dan dia yang tahu siapa objek yang selalu dibicarakan.

Ku perjelas, dia adalah wanita pertama yang menjadi bagian dari cerita ini. Dan ku sebut dia ‘Orion’. Karena entah mengapa, setelah apa yang ku lakukan kepadanya, dia tidak pernah bisa membenciku. Kau tahu, pernah suatu ketika selama dua hari aku tak makan, jika kau pikir aku sakit. Maka kau salah, ku beritahu kau, aku tak punya uang!.

Waktu itu tak ada uang di saku, bahkan logam recehan pun sudah tandas untuk membeli makan malam kemarin. Dan dia, dia mengajakku untuk makan, dan jangan kau tanyakan siapa yang bayar, tentu saja bukan aku. Waktu itu aku hanya seorang sarjana tanpa pekerjaan, ya, boleh kau katakan, aku seorang pengangguran, Sarjana Ekonomi, keren bukan? Tapi, untuk apa jadi sarjana jika tak bisa menghidupi diri sendiri. Dan dia, dia sudah mendapatkan pekerjaan, bisa dikatakan dia lebih mapan karena berpenghasilan.

Setelah menyelesaikan studi di perguruan tinggi aku tak langsung bekerja. Bukan karena aku enggan, tapi sepertinya perusahaan-perusahaan itu enggan menerimaku sebagai karyawannya, katanya aku berpotensi, tapi belum saatnya untuk bergabung dengan perusahaan itu, aku harus banyak belajar dan berusaha lagi. Dan baru ku ketahui bahwa itu adalah cara penolakan secara halus kepada calon karyawan yang tidak berkopenten. Dan aku termasuk dari sekian banyak sarjana yang tak dapat pekerjaan itu. Tapi ku sebut aku tidak menganggur, aku sedang menikmati ‘liburan’. Aku tahu dan percaya bahwa rezekiku sudah ditetapkan oleh-Nya, dan itu benar adanya. Karena sesekali aku bisa menjual hasil karyaku, cukup untuk makan satu minggu.

Sering ku dengar potongan lirik dari maestro musisi Indonesia Iwan Fals, dia mengatakan:”..Sarjana begini, banyaklah di negeri ini. Tiada bedanya dengan roti,”
Benar tebakanmu, aku tersindir dengan kalimat idolaku itu, tapi entah kenapa aku begitu lantang menyanyikannya.

Biarlah jika kau katakan aku tak punya malu. Untuk apa malu, malu hanya akan membuatku mati dan terbujur kaku waktu itu. Maka, ku perjelas kepadamu, ku hapuskan kata ‘malu’ dari kamusku. Itu kata pertama yang kucoret dari daftar hidupku, tentu tidak berlaku kepada beberapa hal. Aku masih malu untuk bebuat dosa (dosa besar, menurutku) ku harap kau bisa maklumi itu.
Oke, cukup tentang Orion.

Ketiga. Baiklah, aku akan memulai cerita tentang orang terakhir. Orang yang menjadi pemicu semua cerita ini. jika ku katakan, dua orang sebelumnya selalu menyukai hal yang sama, maka orang ketiga ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang ku sukai.

Ku perjelas untukmu, dua orang sebelumnya adalah pengagum senja, pengagum orion, pembaca novel, penulis puisi (sama sepertiku), penulis cerita fiksi, pendaki gunung bahkan, maka orang ketiga ini tidak pernah melakukan apa yang dilakukan olehku, atau dua orang sebelumnya.

Membaca, jangan harap dia suka. Jika ku sodorkan tumpukan novel maka dia akan memintaku untuk menceritakan ulang, dengan gaya bahasa dan ringkasan cerita, itupun tidak akan berjalan lama. Atau jika ku paksa dia, dia membuka satu buku dan membalikkan halaman pertama, dan ketika ku palingkan wajahku sejenak, di halaman kedua dia sudah tertidur.

Menulis, dia tidak pernah bisa melakukannya. Maksudku dia tidak bisa merangkai kata-kata indah dan mempesona, bukan berarti dia tidak bisa menulis dengan arti sebenarnya. Akan menjadi aneh jika Sarjana Ekonomi dengan predikat Cumlaude tidak bisa menulis, akan jadi apa negara ini? Ya, bahkan harus ku akui, dia menyelesaikan studinya lebih cepat dariku, aku membutuhkan waktu ekstra satu tahun untuk menyelesaikan studi dan mulai menyusun skripsi, sedangkan dia tepat waktu melakukannya. Atau lebih tepatnya, ia lulus tepat waktu, berbeda denganku yang mencari kelulusan di waktu yang tepat. Sayangnya setahun kemudian aku baru mendapatkan waktu yang tepat menurutku.

Mandiri, menurutku, dari ia lebih manja daripada kedua wanita di atas. Sangat manja bahkan (menurut versiku).

Senja, dia tidak menyukainya melebihi aku dan dua wanita itu. Orion? Jangan harap dia tahu itu. Dia tidak akan pernah tahu itu. Mungkin dia akan mengira bahwa itu adalah nama makanan dari Jepang. Purnama, ya mungkin dia akan menyukainya, tapi tidak lebih dari kami bertiga.

Ku buka rahasia ini untukmu, aku meninggalkan orang pertama dan kedua demi wanita ini. Sadis memang, bahkan ku katakan kepada orang pertama jika aku tak bisa melepaskannya dan berpindah hati kepadanya, dan anehnya dia menerima itu. Dia tidak pernah mengusik hubungan kami, selesai.

Rahasia kedua, aku meninggalkan orang kedua demi wanita ini juga, aku meninggalkannya begitu saja, tanpa alasan bahkan (dan baru ku ketahui belum lama ini bahwa dia tahu alasan kenapa aku meninggalkannya).

Dua orang sebelumnya belum pernah meminta sesuatu kepadaku, tapi wanita ini. Aku sulit menolak permintaannya, secara persentase tak lebih dari 30 persen aku menolak permintaannya. Jika kau katakan dia wanita matre aku akan dengan tegas menolak pendapatmu.

Dia tidak seperti yang kau pikirkan, maksudku, dia tidak pernah meminta barang-barang mewah, pakaian, atau apapun. Yang dia minta daging dan eskrim, dan satu lagi yang paling berharga menurutku. Dua wanita tadi tidak pernah bisa mengganggu waktuku, mereka tidak pernah bisa menyita begitu banyak waktuku (waktu itu).

Ku beri tahu kau beberapa hal, waktu itu aku adalah mantan ketua Mapala di kampusku, kau tentu tahu bagimana pola anggota Mapala, jika tidak tahu maka akan sedikit ku jelaskan. Ketika kau menjadi anggota Mapala, kau akan menyampingkan urusan pribadi, kau akan bergelut dengan aktivitas yang bahkan sulit untuk kau nalar dengan akal sehat.

Di kampusku, kami bisa rapat hingga subuh menjelang, menyusun kurikulum dan silabus, menyusun strategi untuk menjalankan roda organisasi, menyusun konsep ekspedisi, menyelenggarakan event berskala nasional, internasional bahkan, belum lagi kau harus siap di mana pun berada. Militansi anggota Mapala sangat kuat, kekeluargaan, toleransi, persahabatan, itu adalah doktrin yang tidak bisa dilepaskan. Dan jika di suruh memilih, kami akan lebih banyak menghabiskan waktu di dalam organisasi ini, bukan dengan para wanita itu. Tapi dia, dia bisa menyita waktu itu, dia bisa melakukan apa yang tidak bisa dilakukan kedua wanita sebelumnya.

(Itu penjelasanku tentang anggota Mapala. Jika belum jelas, kau bisa cari referensi dari berbagai sumber. Ada banyak penjelasan tentang itu semua).

Dia tidak bisa menulis, tidak suka membaca novel, belum pernah merasakan tamparan alam, belum sempat menyaksikan eloknya negeri di atas awan dan sunrise di antara puncak-puncak yang tinggi menjulang.

Untungnya dia selalu suka jika kutuliskan puisi untuknya. Dia akan selalu meminta, merengek, memaksa, bahkan menjajahku, dia melakukan semua jurus andalan untuk memaksaku menuliskan kata-kata indah tentangnya, dan aku seperti kerbau yang dicocok hidungnya (jangan tertawakan aku tentang hal ini).

Kau bisa tebak perasaanku bukan? Ya, aku suka itu, dan karena dia tak suka tentang senja, rembulan, rintik hujan, savanna, dan orion. Ku tuliskan namanya dengan bahasa yang ku sukai, tak perduli dia suka atau tidak, aku tidak perduli sama sekali. ‘Rintik Senja’ begitulah aku menyebutnya.

Semua kisah berjalan dengan indah, tapi memang sebenarnya semuanya tidak ada yang benar-benar indah. Ada realita yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, bahkan terkadang ia akan menjadi begitu menyakitkan. Tapi itulah kenyataannya, ia mengajarkan tentang kebenaran, meski menyakitkan, kenyataan berkata dengan sangat jujur.
24-09-2013, Tepat Setahun Lalu
Periode terberat dalam fase ini muncul. Kau tahu, itu hari ulang tahunku. Dan jika kau tahu, aku mendapatkan kado spesial darinya, wanita terakhir ini. Sangat spesial, bahkan, ku beritahu kau tentang sesuatu. Dia memberikan kado yang tidak pernah terlupakan. Jika kau percaya karma, maka inilah yang terjadi padaku.

Kau tanam kebaikan sekecil biji sawi, maka kau akan menuianya seperti itu, tidak kurang tidak lebih. Ya, ketika ku-tiga-kan dia, dia pergi meninggalkanku dengan men-dua-kan aku, dengan perasaan luka, aku terima. Marah, ya tentu saja, manusiawi jika aku merasa seperti itu, tapi kemudian aku tersadar, itu adalah buah yang ku tanam, maka aku akan memakannya (dia tidak meninggalkanku, akupun sama, tidak pernah meninggalkannya, dan seperti itulah cara kita mengakhiri kisah itu, ini adalah akhir, tapi ini juga awal, dan inilah awal kisah selanjutnya, nanti akan ada bagian selanjutnya).

Setahun lalu kejadian itu, tapi kau tahu. Seperti yang ku perkirakan, dia kembali padaku. Tapi tidak lama, ia kemudian menghilang. Meninggalkanku dengan sejuta tanya tentang rasa yang tercipta. Marah? Tidak sama sekali, kali ini aku tidak bisa marah, karena jelas ku ketahui dia berikan pelajaran berharga untukku.

Dan ku putuskan bahwa aku akan menjalani fase ini sendiri, tak ada siapapun. Tak ada dia, dia, dia. Hanya  ada aku, impianku, tujuanku, ambisiku, cita-citaku, harapanku. Belum ada namanya di dalamya (saat ini).

Bagian ini juga akan ku akhiri lebih awal, karena aka nada lebih banyak lagi aku bercerita tentangnya, pada bagian selanjutnya. Atau pada kisah yang berbeda. Ini hanya kilas balik dari perjalanan rembulan yang bersinar terang, malam ini.

Rabu 10-09-2014, Pukul 11.19 Wib
Ku katakan kepadamu, bulan bersinar terang. Aduhai, elok ketika mata memandang, terbesit kerinduan tentang para wanita itu. Tentang mendiang ayahu, tentang muramnya ulang tahun adikku, tentang kerinduanku kepada barisan pegunungan dan hangatnya perapian. Kini waktuku lebih banyak habis di depan layar laptop.

Jemariku berpacu dengan waktu, menuliskan ribuan kata secepat mungkin, memperbaharui berita, waktuku benar-benar habis untuk menulis. Tapi tahukah kau, sesibuk-sibuknya aku dengan pekerjaan ini, tentu ada sedikit ruang dan waktu yang sempat teralihkan kepada ranah rasa. Tentang perasaan yang tak pernah berhenti bersenandung, ada sebersit kerinduan tentang kehadiran seseorang.

Dan kini, aku sering berbicara dengan seseorang, secara harfiah aku tidak langsung berbicara empat mata. Kami hanya terhubung oleh koneksi internet dan sinyal provider. Aku berdiskusi dengannya, lagi-lagi seorang wanita, tapi dia bukanlah seperti ketiga wanita di atas. Dia adalah penghubungku dengan seseorang, ya dia ku sebut sebagai ‘Si Pembawa Pesan’.

Dia sangat suka membaca, sedikit ku baca karakternya. Dan sedikit akan kuceritakan kepadamu tentang ‘Si Pembawa Pesan’ ini.

Dia, orang terbaik yang menjaga perasaannya, puluhan tahun ia simpan rasa kepada seseorang, dan kau tahu, hingga detik ini dia masih memiliki rasa itu, meski kemarin ku ketahui ia mulai menikam hatinya, mematahkan tangkai rasa itu satu persatu, berharap akan ada seseorang yang bisa tumbuhkan rasa yang telah kering itu.

Dan ku beritahu kepada kalian, sekarang dia mulai membuka hatinya kepada seseorang, jika tebakanmu orang itu adalah aku, kau salah besar kawan, tapi aku tak ingin membahas ‘dia’ yang diharapkannya. Biarkan itu mengalir, dan suatu saat akan ku ceritakan kepadamu, itupun jika ia  ingin berbagi tentang kisahnya.

Pendiam, tidak ingin berdebat, tipikal pendengar yang baik, pemberi solusi handal, tipikal wanita sederhana, tapi dia punya karakter kuat. Bisa ku lihat dari alis yang melengkung tajam, garis tegas, tak kenal kompromi, tapi dia tipikal seorang ibu yang (InsyaAllah) hampir mendekati sempurna, kelak. Tulus, ya dia memiliki itu, di usia yang masih begitu muda dia selalu mencoba untuk bersikap tulus terhadap semua orang di sekelilingnya, setidaknya itu bisa terlihat dari sorot matanya, teduh.

Egois, ya setiap orang pasti memiliki sikap itu. Dan dia juga seorang manusia, sama seperti kita. Yang memiliki perasaan itu, sesekali dia akan menjadi seorang yang sangat egois, keras kepala, memaksakan kehendak, ya kehendaknya begitu kuat. Tapi sayang, itu tidak diimbangi dengan keinginan kuat, terkadang dia akan mengaku kalah sebelum perang, terkadang ia hanya akan mengalah, agar tak menyakiti seseorang.

Ini bukan tentang menghakimi, tapi jika kau mengatakan bahwa aku menghakimi seseorang yang belum ku kenal, aku bisa apa? Semua orang bebas berpendapat, tapi setidaknya hal yang ku tuliskan di atas pernah ku tanyakan kepadanya, dan anehnya, hampir mendekati sempurna kebenarannya.

‘Si Pembawa Pesan’ dia menjadi penghubungku dengan ‘dia’. Semua itu mengalir begitu saja, ada banyak kesamaan antara aku dan ‘Si Pembawa Pesan’. Kami, dua orang bodoh yang mengharapkan sesuatu, tetapi sesuatu itu tidak pernah (mungkin) mengharapkan kami.
Pernah dia berkata:”Jangan terlalu berharap.”

Tegas ku katakan kepadanya, jika kita tidak punya harapan, lantas untuk apa kita hidup? Terkadang harapan adalah hal terkuat yang bisa kita miliki. Harapan akan memberikan kekuatan kepada kita untuk melakukan sesuatu, yang bahkan mendekati mustahil. Harapan, kita harus punya itu. Ku katakan kepadanya. Jangan pernah menikam harapan, terlebih membunuhnya, karena harapan adalah salah satu alasan kenapa kita masih berada di sini, berjuang mendapatkan apa yang kita inginkan.

Rabu, 10-09-204, Pukul 11.59 Wib.
Sepertinya harus ku cukupkan tulisan ini. Jariku sepertinya sudah mulai meminta untuk berhenti menari, seharian ini yang ku lakukan hanya menuliskan ribuan kata. Entah, mugkin jika semua kata yang ku tuliskan sejak siang menjelang, dan kemungkinan jika di ukur panjangnya bisa puluhan kilometer (mungkin aku juga hanya mengada-ada. Atau bisa saja jika ukuran font-nya 100pt). Mataku sudah mulai perih, dan mungkin otakku juga sudah mulai lelah (padahal sejak lama aku seperti sudah lupa meletakkan otakku di mana, dan kini bisa di sebut aku lupa membawa otak itu di dalam kepala), sepertinya semua sistem tubuhku mulai menuntut untuk menghentikan aktivitas ini.

Dan cukup sekian untuk ‘Si Pembawa Pesan’ karena ada bagian lain dan sisi lain, secara khusus akan kuceritakan kisah penantiannya.
….

Untukmu, ayah aku merindukanmu. Mungkin hanya doa yang bisa ku berikan untukmu, tapi aku selalu percaya doa anak shaleh itu akan didengarkan oleh Allah SWT, meskipun ku akui aku belum benar-benar shaleh, tapi aku akan berusaha untuk melakukan itu.

Untukmu, adikku. Usiamu semakin berkurang, gunakan sisa umurmu sebaik mungkin, belajarlah dari kami, kakak-kakakmu, jika kau bisa melangkah lebih jauh dari apa yang ku lakukan, maka lakukanlah. Ada banyak hal di luar sana, yang bisa membentukmu menjadi lebih kuat dari saat ini, persiapkan dirimu untuk menghadapi kenyataan yang tidak selalu selaras dengan inginmu.

Untukmu, ‘Si Pengagum Senja’ ada banyak kata dan cerita tentang dirimu, meski kita hanya bertatap muka beberapa kali saja, tapi kau sudah memberikan yang terbaik dari apa yang kau miliki, terima kasih telah menjadi ‘Buku Catatanku’. Semoga kau dapatkan apa yang kau inginkan, dan semoga kita bisa tertawa meski dalam langkah dan kisah yang berbeda.
Untukmu, ‘Orion’ langkahmu sudah semakin jauh, impianmu satu persatu mulai kau taklukkan. Dari ujung timur nusantara ini, mulailah kisahmu, berjalanlah sebagaimana mestinya. Peliharalah keyakinanmu. Kau adalah salah satu yang terbaik dari kisah ini. Selalu, jadilah orion itu, meski bukan untukku, ada orang lain yang bisa kau tuntun untuk kembali pulang.

Untukmu, ‘Rintik Senja’. Sisa harapanku masih ada di dalam dirimu. Terima kasih atas apa yang kau berikan kepadaku. Terima kasih untuk semua kisah indah itu, ada banyak cerita tentangmu. Semoga kau masih ingin membacanya. Fase bersamamu pernah menjadi yang terindah. Tetaplah menjadi seperti itu, aku suka rengekan manja itu menyapa di setiap pagiku. Aku merindukanmu.

Untukmu, ‘Si Pembawa Pesan’. Terima kasih atas semua yang telah kau lakukan untukku, atas semua diskusi yang kita lakukan, atas semua pelajaran yang kau berikan, terima kasih. Walaupun hanya sebatas kata-kata semu, kau bisa menjadi teman terbaik ketika hari-hariku benar-benar sepi. Percayalah, harapan itu bisa membawa kita kepada fase selanjutnya yang lebih ‘gila’. Ada impian yang tak sempat kau wujudkan, maka jangan pernah berhenti pada satu titik, kita akan mendapatkan ‘dia’ bersama-sama, tak perlu sama ceritanya, yang terpenting adalah tawa di akhir cerita.



Bandung, Kamis 11-09-2014 Pukul 12.18 Wib
Read More




Kamis, 11 September 2014

Ketika Purnama Bercerita di Awal September (Rekam Jejak, Bagian 1)




Bandung, Rabu, 10-09-2014, Pukul 09.15 Wib
Semua kenangan itu sepertinya kembali menyambangiku.

Berada di ketinggian kurang lebih 750Mdpl (meter di atas permukaan laut) cukup membuat tubuhku sedikit menggigil merasakan terpaan angin yang menjadi semakin dingin, padahal jam baru menunjukkan pukul 09.15 Wib. Terlebih ini sudah memasuki musim kemarau. Angin bertiup kencang, terlebih ketika malam. Suasananya  akan semakin dingin, menggigit.


Dari kemarin ku lihat purnama bersinar terang, teduh sekali. Ku rasa di semua tempat di nusantara ini, bisa melihat keanggunannya. Jika kau tak melihat keanggunannya tentu ku katakan, kau tak beruntung. Atau kau sudah mati rasa, tak bisa melihat keindahan goresan tangan Tuhanku, Tuhanmu juga.

Malam ini Dia menggoreskan keindahan melalui senyuman rembulan, melalui keagungan-Nya ia bercerita tentang keindahan yang disukai-Nya. Jika kau tak menyukai itu, aku tak bisa berkata. Dari makhluk golongan mana kau diciptakan.

Jika bisa ku berbicara dengan angin, tentu aku akan bercengkrama dengannya, membicarakan keindahan rembulan. Semburat warna jingga, bersemu kuning keemasan. Dari tempatku berada, tak ada awan berwarna kelabu yang menghalanginya, bulat sempurna. Indah..

Cukup lama ku nikmati pemandangan indahnya, lama ku tatap di atas sana.

Sejenak aku tak bergeming dengan keadaan sekitar, terlalu ramai memang, tapi bisa kurasakan keindahan itu mulai masuk ke dalam relung hati yang terasa semakin sepi. Namun, tak bisa dipungkiri, memang terkadang sunyi itu merdu sekali bukan? Jika kau pernah merasakan sendiri dan menikmati dalam setiap detik waktu yang bergulir, ada selaksa makna yang tak bisa kau jelaskan dengan barisan kata-kata. Ku rasa pujangga terbaik di penjuru dunia pun sulit untuk menggambarkannya, bahkan dengan kiasan kata yang begitu menggelora.

Sesekali ku perhatikan secarik kertas, yang sebagian telah terisi oleh barisan kata-kata, sebagian lagi di penuhi dengan coretan-coretan kasar.

Tiga Tahun Lalu, Tepat Tanggal 09-09-2012.
Kabar yang datang di waktu sepertiga malam itu seperti membekukan waktu, semuanya seperti berhenti, angin seperti berhenti berhembus, dedauan enggan bergoyang, dan gemercik suara sungai itu seperti membeku, jantungku pun sama, seperti berhenti berdetak. Kau tahu, seharusnya itu menjadi perayaan usia ke-12 adikku. Tak ada nyanyian selamat ulang tahun, tak ada ucapan selamat. Yang ada lagu sendu, ucapan belasungkawa, ratapan tangis para wanita, merintih pelan, terdengar menyayat hati. Dan itu akan selalu menjadi lagu sendu untuknya, karena ia akan selalu teringat, tanggal lahirnya adalah tanggal di mana ia ditinggalkan oleh orang yang dipanggil Ayah olehnya, olehku, oleh kami.

Waktu itu, aku berada jauh dari sana. Suatu tempat yang kusebut rumah. Waktu itu, aku begitu egois. Membiarkan dia terbaring lemah karena sakit yang menggerogoti tubuhnya, tumor itu tumbuh di jalur pernafasannya, menyebar dan kemudian mengakar di dalam otak, menggerogoti sisa usia yang tak lagi muda. Perlahan tubuh itu hanya berbalut kulit dan tulang, tak ada daging diantara tubuh yang mulai mengering itu. Hingga akhirnya dia harus meninggalkan kita semua. Aku hanya bisa mengutuki diriku sendiri, hingga saat ini. Bagaimana mungkin aku tega meninggalkan seseorang yang selalu menjagaku, terlebih ketika dia hendak berdiri pun tak mampu.

Jika kau tahu alasanku waktu itu tentu tak akan bisa di terima oleh siapapun. Bahkan diriku sendiri.

Ada ambisi di dalam diriku waktu itu, menaklukkan satu persatu impian yang ku pendam begitu lama. aku bermimpi untuk menaklukkan mimpi-mimpi itu, hingga aku benar-benar lupa, jika ada seseorang yang benar-benar membutuhkanku. Seharusnya ku jaga ia waktu itu, seharusnya aku selalu berada di dekatnya, mendampingi sisa-sisa usia yang seharusnya bisa ku pahami, tubuhnya tak akan mampu menahan terlalu lama rasa sakit itu, meski ku tahu kemauannya untuk hidup begitu besar.

Ya, kemauan untuknya  hidup begitu luar biasa. Bagaimana tidak, sebentar lagi anak perempuan kesayangannya akan melangsungkan pernikahan, seorang anak perempuan yang begitu di sayanginya, aku pun merasakan kebahagiaan itu, perempuan itu adalah kakakku. Ya, dia saudara tertua kami. Aku anak ketiga, ada satu lagi kakakku, laki-laki usianya hanya terpaut setahun denganku dan aku masih memiliki seorang adik lelaki, usianya terpaut Sembilan tahun. Dan ini adalah hari di mana ia di lahirkan, sekaligus hari di mana semuanya tampak suram, bagiku, baginya, bagi kami semua.

Dan lihatlah, kemarin adalah tepat perayaan ulang tahun ke-15 adikku, sekaligus tepat tiga tahun meninggalnya ayah kami.

Seperti yang ku katakan di awal, bahwa malam ini benar-benar indah. Jika itu adalah senyumannya, aku tidak akan pernah berhenti menatapnya, karena untuk yang terakhir kalinya aku tak bisa menatap wajahnya, aku hanya bisa tertunduk di gundukan tanah berwarna merah, basah.

Angin masih berdesau pelan, gemercik suara sungai itu (bukan, bukan sungai, kuralat perkataanku, itu adalah selokan yang beraroma tak tentu, berbagai macam bau ada di sana, kau bahkan bisa mencium aromanya dari jarak belasan meter) menjadi melodi tersendiri, dingin itu semakin menggigit, sunyi itu, semakin merdu terdengar.

Aku merindukanmu ayah, tapi bukan berarti ku tak rela dengan kepergianmu. Aku hanya ingin kau melihat, aku berbeda dari yang dulu. Tapi ku yakin kau bisa melihat dari tempatmu yang indah di sana. Salamku untukmu, ayah..
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML