Jumat, 30 Januari 2015

Sore Itu

#Bahagia Kita, Cukup Sederhana

Ilustrasi: www.kaffah.biz


Pada bagian mana  yang belum diketahui? Akan ku beritahu kau tentang sesuatu, atau bahkan mungkin kau juga sudah tahu tentang itu, tapi tak apalah, aku akan tetap mengatakannya. Begini, akan selalu ada pertanyaan dari setiap jawaban yang terlontar dari setiap kejadian. Dari balik semua ini, dari dalam diri sendiri atau bahkan dari orang lain, jawaban akan selalu dijawab dengan pertanyaan -lagi-.

Jadi apakah kau masih akan mempertanyakan jawaban yang telah diberikan? Akankah semua jawaban itu adalah bahan untuk kembali melontarkan pertanyaan yang akan kau ajukan? Entahlah, aku bahkan tak mengerti akan seperti apa semuanya, jika kembali kau berkata: “Aku tak tahu” mungkin sebenarnya kau tahu itu, atau kau hanya akan menutup semua jawaban yang ku yakini adalah “Iya, aku juga merasakan hal yang sama”.

Pada bagian ini, sengaja kenapa aku inginkan ada jarak diantara kebersamaan yang mengasyikkan, aku hanya ingin, aku dan kamu, atau bahkan mereka berpikir sejenak, tentang semuanya. Merenungkan apa yang sebenarnya terjadi, karena aku selalu yakin, bahwa ketiadaan itu akan dianggap ada jika semuanya benar-benar tidak ada, jadi ku sebut ini adalah simulasi untuk pengujian tentang semua ini. Dan apakah masih ada kata-kata ‘Aku tidak tahu”.
Sore itu, hujan mulai mereda. Ku katakan malam sebelumnya, bahwa  senja kali ini akan bersemu jingga. Merona di cakrawala, sebelah barat sana. Akan ada lukisan indah di langit, akan ada cerita tentang keindahan yang selalu ku katakana padanya. Dan keyakinan itu muncul begitu saja, benar, sore itu, menjelang petang datang, ketika tak ada harapan lagi bahwa akan ada mentari yang bersemu jingga di atas sana, langit terlukis indah, setelah sepanjang hari hujan memeluk bumi.

“Indah bukan? Sudah ku katakan, bahwa langit akan terlukis indah sore ini,” sebuah pesan singkat ku kirim padanya.

Tak lama kemudian ada pesan masuk, darinya.

“Iya, indah. Bahkan sudah lama aku tak melihat ini, mungkin aku sudah lupa. Kapan terakhir kalinya langit bersemu jingga setelah hujan,” balasnya. Aku tersenyum.

Aku, selalu percaya tentang harapan. Bahwa keyakinan itu patut di perjuangkan. Aku belajar banyak sore ini, bahkan ketika keputusasaan menjalar di dalam hati, harapan itu musnah, ketika seharian hujan mengguyur bumi, membasahi semuanya, tak ada jeda. Langit mengajarkan pelajaran, bahwa akan selalu ada kemungkinan dari setiap kejadian, dan keyakinan adalah salah satu alasan kenapa semua ini patut di perjuangkan.

Secangkir kopi, berteman tembakau terbaik negeri ini. Menjadi sahabat yang bahkan -ku tahu- ia akan membunuhku perlahan.  Pada sisa bagian malam ini, aku kembali merenungkan tentang makna perjuangan, harapan, cita-cita dan romansa.

“Kau masih tak yakin dengan semua ini?” tanyaku.

“Hmm.. Aku tak tahu. Bukankah kau sudah tahu jawabannya? Kenapa kau selalu tanyakan itu padaku?” lagi, pertanyaanku dijawab dengan pertanyaan.

Lagi, aku hanya tersenyum mendengarkan semua itu. Aku, bahkan seseorang yang tidak perlu mendengarkan jawaban itu, masih menanyakannya. Bukankah semua orang butuh penjelasan? Bukankah semua orang butuh pengakuan, tapi sedikit demi sedikit, aku mencoba untuk tidak memerlukan pengakuan itu, meski jelas mungkin tindakan itu hanya akan melahirkan sebuah kata ‘munafik’.
….

Malam merambat pelan, ketika aku membelah jalanan. Hawa masih terasa sangat dingin. Bandung bulan Januari selalu saja dingin, curah hujan periode ini meningkat pesat, warga kota ini tidak terlalu asing dengan hawa dingin, dan perlahan aku juga menyesuaikan semua ini. Mencoba memahami ini dengan hati, mengolah rasa dengan balutan keyakinan yang terus memudar. Aku, masih berharap, masih memeluk semua ini dengan keyakinan. Keyakinan yang bahkan mungkin mulai tergerus, memudar atau mungkin ada juga peluang akan hilang.

Malam itu, kembali pertemuan itu terulang kembali. Pada bagian ini, suasana sederhana itu menjadi sangat berarti bagiku. Tak ada hiasan lilin dan menu mewah di atas meja, hanya ada satu lembar papan panjang, kursi plastik dan teh tawar. Menu sederhana, dan ku beritahu satu hal, bahwa untuk merasakan indahnya romansa berbalut bahagia itu begitu sederhana.

“Jadi, selama tiga hari ini kita tidak akan bertutur sapa. Tak ada sms, telepon, chatting atau apa pun.” kataku, berikan senyum terbaik malam ini.

“Baiklah,” jawabnya singat, seraya mengangguk, membalas senyuman.

“Lantas, apa hukumannya jika salah satu dari kita melanggar kesepakatan itu?” tanyaku lagi.

“Hmm… Mungkin sebatang cokelat akan menjadi harga yang pantas untuk itu. Bagaimana?” tanyanya.

“Baiklah, tak masalah.” aku menyepakati itu, tanpa berpikir panjang.

Jangan dilihat dari sebatang cokelatnya, aku hanya ingin bertemu lagi. Sesederhana itu semuanya bisa membuat suasana menjadi riang gembira, akan ada tawa yang terlukis di wajah itu, dua orang yang masih akan tertawa dalam kesederhanaan.


Sore itu, hanya beberapa jam saja, tak lebih dari dua jam pertemuan itu, tapi begitu bermakna. Terlukis bahagia dengan balutan kesederhanaan, tanpa kemewahan. Tapi coba kau perhatikan lalu kemudian rasakan, bahwa ada tawa terlukis di dua wajah malam itu, mungkin akan banyak lagi tawa yang akan tercipta setelahnya, atau tak menutup kemungkinan akan ada derai air mata yang akan terlukis di dua wajah bahagia itu. Semuanya, masih akan menjadi bagian dari rencana-Nya, masih akan ada pertanyaan yang akan dijawab dengan pertanyaan.
Read More




Senin, 26 Januari 2015

Cerita Tentang Dia ‘Ku’

#Menggurat Kisah Diantara Pelukan Hujan



Sore itu, setelah kumandang adzan magrib membahana kota ini, ketika senja hanya menyisakan bias yang tak terlihat di ufuk barat, sementara itu barisan rintik hujan sekali lagi menyapa. Menaburkan tetesan air dari langit, menguat aroma tanah basah, membasuh bumi dengan jutaan berkah, aku kembali melanjutkan kisah tentang hujan.

Terlihat dari kejauhan, dia menunggu di depan tempat makanan cepat saji. Menggunakan setelan pakaian yang baru ku lihat, tampak serasi dengan apa yang dikenakan. Sementara aku, masih dengan gayaku, kemeja planel dan jeans belel, miris, hanya ini pakaian terbaikku. Menyapa ketika menyibak hujan yang masih setia membasahi malam yang terus merangkak.

Janji makan malam, sederhana. Malam ini tentu saja sama seperti kemarin bagi sebagian banyak orang, hujan masih saja menyapa kota ini, tak pernah berhenti sepanjang hari. Hawa dingin masih menjadi sahabat setia. Orang-orang terlalu akrab dengan suasana dingin dan basah kota ini, janji sederhana itu menjadi kepingan cerita yang luar biasa bagi seseorang. Lelaki itu, masih menggurat harapan dan angan yang sempat memudar, mencoba menggoreskan tinta di atas cakrawala, masih percaya akan satu kesempatan kecil dalam hidupnya, menemukan pelukis langit-nya.

Sementara ia melangkah menembus malam dan menyibak hujan, langkahnya mantap memecah keheningan, ada sebongkah harapan yang tersisa, tak sepenuhnya sirna karena kejadian beberapa waktu lalu.

Bagian ini, akan tampak biasa bagi sebagian orang, karena tentu saja semua orang pernah mengalaminya, dan akan menjadi klise jika kemudian dituangkan ke dalam kertas dan cerita seperti ini, tapi bagiku, setiap kisah tidak akan pernah usang, akan ada bagian menarik yang bisa ditelisik. Apa lagi jika bukan tentang harapan-harapan itu? Ya, harapan tentang mengecap sebuah indahnya rasa yang terus tergerus, mencoba menjalani semua fase kritis, menelan semuanya. Ini tetap menjadi sebuah kisah indah baginya, bagi sebagian orang, dan mungkin saja aku ambil bagian dalam cerita ini.

“Aku di seberang jalan,” sebuah pesan singkat masuk.

Aku melangkah pelan, menyapu pandangan. Masih tak terlihat, sekali lagi langkah ini memutari tempat ini. Sebagian orang berteduh di bawah pohon rindang, menanti angkutan umum. Sesaat mataku menangkap wanita bediri di depan gerai makanan cepat saji.

Mataku masih berusaha mengenali, meski hanya berjarak kurang dari 50 meter, tapi dengan pencahayaan terbatas dan hujan seperti ini, sulit bagiku untuk mengenali siapa pun.

Hujan, bikin bete,” ujarnya singkat. Aku berusaha tersenyum. Masih mencoba memilih kata pembuka untuk menyapa. Ini saat krusial, karena salah saja menentukan kalimat tanya, semuanya akan berakhir dengan tanda tanya.

Sayup-sayup terdengar suara musik di café sebelah, tampak band lokal sedang perform di pelataran teras. Hujan tak menyurutkan semangat sekumpulan pemuda itu membawakan lagu miliki Hoobastank, The Reason.

Entah, sepertinya semuanya menjadi resonansi, terhubung. Antara hujan, momen ini dan tentu saja lagu itu menambah suasana menjadi tak terduga, pas sekali dengan keadaan ini, ini bukan sebuah kebetulan.

..I'm not a perfect person
There's many things I wish I didn't do
But I continue learning
I never meant to do those things to you
And so I have to say before I go
That I just want you to know

I've found a reason for me
To change who I used to be
A reason to start over new
and the reason is you …

Tak perlu ku ungkapkan semuanya, sepertinya lagu itu sudah menjawab semuanya, mengantarkan kata pembuka untukku memulai percakapan. Masih  ku tatap wajahnya, kembali mengguratkan harapan di langit yang pekat, sesekali mencuri pandang kepadanya, terpana sesaat, kemudian mematrinya dalam ingatan. Dari tatapan mata hingga intuisi yang diciptakan oleh suasana hujan ketika petang menjelang.

“Jadi, mau makan apa?” tanyaku memecah keheningan.

“Terserah,” jawabnya singkat.

Aku tak terlalu pandai menjawab hal itu, meskipun itu bukan pertanyaan, tapi jelas dia butuh penjelasan. Akan ke mana dan bagaimana kelanjutan rencana ini. Sepersekian detik ku pacu otakku, menelusuri tiap sudut kota, hujan menyempitkan pilihan. Aku masih mencoba mengais jawaban itu. Mungkin otakku terlalu lelah untuk mencari jawaban sederhana itu, karena sepanjang hari ini telah terkuras.

“Mau jenis makanan seperti apa?” tanyaku.

Pengen sate,” sebuah jawaban ku dapat. Klik, otakku langsung mengunci koordinat tempat di mana akan ku tuju.

“Ada tempat makan favoritku, mau kita kesana?” tanyaku lagi. Jelas naluri bertanyaku tak hilang, bahkan aku menjadi seperti seorang wartawan yang memburu berita dari narasumbernya.

Dia tak suka ditanya, ku tahu itu pasti. Aku hanya memastikan pilihan itu tak salah.

“Terserah.” jawabnya singkat.

“Baiklah, sekarang kita berangkat?” tanyaku lagi. Dan lagi-lagi aku bertanya, matanya menatapku tajam, telat meralat, dia terlanjur tak suka ditanya.

Ada rumus yang mengatakan bahwa wanita tentu tak suka ditanya, tapi jelas mereka sangat ingin ditanya. Dan sialnya, aku bukan termasuk orang yang pandai menjawab pertanyaan ‘terserah’.

“Tapi masih hujan, tak apa?” tanyaku lagi, bodoh. Ia mendengus pelan. Aku terdiam. Sekali lagi, kebodohanku bertambah lima persen.

Ia hanya mengangguk, memberikan kunci scooter maticnya, tak berapa lama kami berjalan menembus malam, di bawah siraman gerimis yang ku paksa menjadi romantis. Kebodohanku bertambah lima persen, setelah baru beberapa meter berjalan gerimis semakin deras membasuh tubuh ini, tanpa jas hujan dan terjebak di perempatan jalan, masih ada satu menit lebih lampu merah itu menyala. Otakku kembali berputar, mencari cara mencairkan suasana yang sebenarnya romantis, tapi jika basah kuyup bukan romantis yang tercipta, tapi derita.

Dia menolak berhenti, memintaku melanjutkan perjalanan. Sial, kebodohanku bertambah lima persen, total baru saja 10 menit, kebodohanku telah meningkat pesat sebanyak 15 persen. Tempat makan itu tak ada di sana, dalam hati menyumpahi keadaan. Ini menjadi kontradiksi, sebuah pertanyaan kembali tertera di hati, jelas aku lupa di mana letak tempat makan itu, salah mengambil belokan jalan, dan itu menjadi petaka ketika rencana pertama gagal.

“Sepertinya si tukang sate ambil cuti,” kataku pelan. “Ada pilihan lain?” tanyaku lagi.

“Terserah, yang jelas aku lapar.” ku lihat ia nyengir dari kaca spion. Sepertinya gurauanku berhasil membuatnya tertawa, lagi.

Baiklah, kali ini kebodohanku kalah cepat dengan mengambil alih, ku putuskan untuk menepi, sebuah kedai yang tampak sepi, mungkin hujan membuat sebagian orang malas berjalan keluar.

Setelah berdiskusi, menentukan menu makan dan minum, makan malam berjalan seperti seharusnya. Tak ada yang spesial, hanya saja, aku semakin terlihat bodoh ketika minuman pesananku tak tersentuh, jeruk hangat itu memiliki rasa yang jelas tak bersahabat denganku. Dalam hati merutuk, semanis apa pun minuman itu, tentu masih aka nada rasa masam di dalamnya, dan lambungku sudah tak kuat dengan rasa tajam, lambung perantau yang hanya makan tepat waktu selama lima hari, 25 hari berikutnya Senin makan, Selasa puasa, Rabu ngutang, Kamis dibayar, Jumat ngutang lagi, Sabtu dan Minggu menunggu santunan dari rekan-rekan. Miris.

Makan malam selesai, tapi hujan belum usai. Masih ada rintik-rintik di sana, sudah terlalu larut. Ku putuskan untuk kembali.

Makan malam biasa, dengan banyak kebodohan tercipta. Tak berhasil menciptakan suasana yang berkesan, hanya beberapa bagian saja mungkin yang akan dikenangnya, tapi tidak bagiku, kebodohan itu ibarat menjadi berkah untukku. Karena kebodohan itu, aku bisa kembali mengajaknya berdansa dengan hujan dan hawa dingin, memecah keheningan malam kota ini, kota yang selalu romantis dengan hawa dingin, kota yang akan selalu menciptakan kenangan indah, untuk siapa pun.

Sementara itu, ketika malam merayap pelan, memecah keheningan, pertemuan itu ditutup dengan kisah favorit, kisah tentang jagung bakar dan sebotol minuman yang lupa dibayar. Menambah kekonyolan ini, kekonyolan itu menjadi bagian dari kisah romantis yang akan dianggap biasa saja bagi semua orang, tapi tidak bagiku. Ini akan selalu menjadi fase indah di sisa waktuku di kota ini, kota yang perlahan mungkin akan segera ku tinggalkan, dan sebelum itu benar-benar terjadi, aku akan melukis langit dengan rintik hujan dan dengan jemari yang menggenggam hujan, melukiskannya pada bagian kisah yang akan terus terbaca ketika hujan menyapa.


Malam semakin pekat, hawa dingin semakin menusuk. Baru saja ku tuliskan seuntai doa, berlirik mantra untuk mengantarkannya dalam mimpi yang lelap, akan selalu ada harapan, bahkan untuk sesuatu yang belum pasti. Tak perlu ragu, karena jelas ini akan terjadi seperti yang seharusnya, tentang dia ‘ku’ dan tentang pelukis langitku.


Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML