#Percayalah
Bandung,
pertengahan Desember 2014.
Sepanjang hari
kota ini seperti tak pernah berhenti mendapatkan berkah dari langit, jutaan
galon air tumpah. Beberapa daerah bahkan terendam, atau bahkan tanah mereka
berpijak tak lagi kuat menahan dorongan air yang mengalir, menimbun semuanya.
Lenyap, satu dua saudara menghilang, bahkan puluhan nyawa melayang, hanya ada
isak tangis dan ratapan, terdengar pilu di sela-sela malam tanpa bintang dan
cahaya rembulan.
Sebagian orang
menangis pilu, sebagian merapal butiran kata menjadi doa, dikirimkan kepada Sang
Pencipta, sebagian kecil termenung, meresapi suasana ini, sisanya terlelap,
menarik selimut nyaman. Mimpi indah.
…
Sudah ku
katakan, aku akan selalu suka jika hujan turun. Bukan hanya karena
romantismenya yang membuat mabuk kepayang, bukan hanya gemuruhnya terdengar
bagai melodi, bukan juga karena ia memberikan rasa nyaman dengan hawa dingin,
bukan hanya itu. Hujan selalu memiliki arti penting, sebuah siklus yang akan
selalu berputar, ini tentang makna yang ingin ku sampaikan, kepada diri sendiri
dan jika bisa dimengerti, untuknya juga.
Ini semakin
rumit bukan? Ya, ini semakin pelik. Satu persatu akan mulai terbuka, ini akan
menjadi sebuah kontradiksi, pertentangan yang akan selalu bertentangan, tak
akan pernah bersatu. Tapi, coba perhatikan. Magnet akan selalu memiliki dua
sisi kutub yang berbeda, bahkan jika kemudian sebatang magnet itu dibelah, maka
masih akan ada dua bagian yang berbeda, dan seperti itu seterusnya, hingga
bagian terkecil. Intinya, sisi yang berlawanan dan bertentangan itu akan selalu
ada, itu hukum pasti, tak bisa dielakkan.
Kita, dua bagian
dari satu cerita yang berbeda. Aku, si pembuat cerita, dan kau adalah lakonnya,
secara harfiah, tentu aku bisa membelokkan semuanya, dengan keinginannku, dan
kau, kau tak perlu protes seharusnya. Aku si pencipta, aku berkuasa atas alur
yang dibuat, tapi lagi-lagi, itu akan selalu berbenturan bukan? Ini akan
semakin rumit, aku, kamu dan mereka tidak akan mudah menerima ini tentunya.
Hampir tengah
malam.
Hujan yang turun
semakin deras, hawa dingin dari gunung di belakangku berhembus kencang, menerpa
semua yang ada.
….
“Tahun depan,
dia melamarku,” tiba-tiba dia berkata, lirih.
Aku menoleh
menatapnya, mencoba tersenyum. Ini kabar bahagia. Lamat-lamat ku tatap
wajahnya, sesaat ku lihat kedua matanya, yang selalu ku suka jika dia
mengenakan kaca mata.
“Kapan tepatnya?”
tanyaku, dengan intonasi perlahan. Mencoba menyamarkan getaran suara yang
terdengar getir.
“Belum pasti.
Kamu datang kan nanti ke acara pernikahannya?” ia bertanya. Tersenyum ke
arahku.
Aku tersenyum,
getir.
“Insya Allah.
Aku pasti datang”
Sejenak terdiam.
Beberapa saat aku masih mengendalikan diri, mencoba berdamai dengan hati. Sudah
ku katakan, hari ini pasti akan terjadi. Jelas sekali, kebiasaanku menerka
kejadian di masa yang akan datang selalu terjadi, percis. Ini seperti
perkiraanku beberapa waktu lalu, satu tahun ke belakang. Ini pasti akan
terjadi.
Aku tersenyum
menatap wajahnya, bisa jadi ini yang terakhir kalinya aku menatap mata indah
itu. Lamat-lamat ku perhatikan, ingin ku lukis di ingatan tatapan mata itu,
bibir itu, hidung, alis. Aku akan menggambarnya untuk yang terakhir kalinya.
Waktu itu
suasana cerah, ada beberapa bintang yang menemani rembulan yang duduk di
singgasananya, setengah lingkaran. Masih beberapa hari lagi purnama terlukis di
langit, dan aku sekarang akan melukis purnama itu, untuk yang terakhir kalinya,
sebelum dihapus oleh mentari pagi keesokan harinya.
“Kenapa kamu tak
pernah membeciku? Padalah tak terhitung ku lukai hatimu?” ia bertanya, sedikit
bergetar.
Aku hanya
tersenyum menatapnya, lalu mengalihkan pandanganku ke seberang jalan.
Bandung malam itu
begitu syahdu. Musik mengalun perlahan di dalam café ini, iramanya senada,
membuat betah siapa saja. Secangkir kopi dan beberapa kudapan bisa menambah
suasana menjadi romantis. Ku lihat di sebelahku, sepasang muda mudi tampak
asyik bercengkrama, usianya tak jauh berbeda denganku. Mungkin mahasiswa.
“Engga, aku ga
akan pernah bisa membencimu. Kau beritahu kau satu hal, pahami ini. Kau
memberiku banyak pelajaran. Makna dari rasa sakit itu adalah berkah, itu adalah
kenyataan. Darimu, aku belajar banyak hal. Kau menjadi guruku. Jadi tak wajar
seorang murid membenci gurunya,” jelasku.
Dia diam.
Meminum Chocolate Beverages yang masih setengah.
“Seharusnya kamu
benci aku, aku pantas mendapatkannya,”
Aku menggeleng,
ku acak-acak kepalanya, dia tidak pernah suka dengan itu. Dia melukiskan wajah
protes. Aku berhenti, sembari tertawa.
“Ayolah,
bersikaplah bijak. Untuk apa kamu selalu memikirkan hal itu? Itu sudah lama
sekali. Sekarang, kamu akan menjalani
fase baru, itu adalah sesuatu yang berbeda.” aku menatapnya.
“Begini, kamu
hanya boleh melakukan itu kepadaku. Cukup satu kali kau lakukan itu. Jaga baik-baik
hatimu, jaga baik-baik perasaan itu. Karena sekali saja kamu kehilangan rasa
itu. Bisa jadi kamu akan susah mendapatkannya lagi, ini akan menjadi rumit jika
kita buat rumit, tapi ini akan menjadi mudah jika kita menyederhanakannya.
Sederhananya, gunakan perasaan itu di waktu yang tepat, jangan pernah memicunya
terlalu banyak, jangan juga dibiarkan padam. Ingat itu.”
Masih ku lihat
wajahnya, masih ku coba menggurat bagian terakhir yang akan selalu ku ingat.
Mata itu, mata itu selalu sulit untuk digambarkan. Lalu otakku mulai merekam
suaranya, perlahan-lahan, hati-hati sekali, sepertinya tak ingin terlewatkan
setiap nada yang keluar darinya.
Dia mengangguk.
Aku tersenyum.
“Sudah malam,
mungkin kita pulang. Mungkin jika ini adalah dua tahun lalu, kita bisa
menghabiskan malam dengan duduk-duduk di depan gedung Sate, menikmati suasana
di gedung Merdeka, atau berkendara di jalanan Braga.” aku tersenyum menatapnya.
Tanpa berkata
dia beranjak, membereskan beberapa berkas yang berserakan di meja. Aku juga
sama, menutup jurnalku, setelah memastikan ada beberapa suasana yang bisa ku
terjemahkan dengan beberapa kata, mungkin bisa ku gunakan untuk menulis nanti.
Ia tampak anggun
dengan setelan blazer itu. Serasi dengan tas dan sepatunya. Dia memang berbeda
secara penampilan. Sementara aku, masih seperti dulu. Secara penampilan tak ada
yang berubah, pekerjaanku jelas tak memerlukan setelan perlente, selagi masih
bisa memproduksi kata, itu jauh lebih baik.
Suasana Bandung
yang romantis, lukisan terakhir wajahnya selesai di waktu yang tepat.
…
Sungguh, aku tak
pernah berani mengingkari janji itu. Janji yang kau tulis beberapa waktu lalu. Tapi,
seperti yang ku katakan tadi. Firasatku selalu berkata jujur, sejauh ini itu
terlihat luar biasa. Ku katakan dalam satu episode, bahwa di sana kita akan
saling menjauh, menjaga jarak, karena masalah ini. Aku terlalu khawatir tentang
itu, maka ku putuskan untuk memberitahukanmu tentang firasat yang kau tanyakan
tadi siang.
Sengaja ku putar
alurnya, agar tak terburu-buru. Aku berhasil membuat cerita hari ini berputar,
berpindah-pindah, hingga kau lupa tentang apa yang kau tanyakan, dari
pertanyaan sederhana yang kemudian mengarah kepada itu. Kau mungkin lupa, aku
seorang pengarang cerita.
Ku katakan
kepadamu, sahabatku. Hujan ini, akan selalu mengingatkanku dan mengingatkanmu
tentang kita. Kau lebih dari bayangan, kau jelas terlihat meski tak akan ku
sentuh, kau jelas menghidupkan hati, meski jelas aku tak menggunakannya lagi,
perlahan, sadar atau tidak, suka atau tidak, kau ajari aku untuk kembali
menggunakan rasa.
Hujan masih
menggantung di luar sana. Malam semakin pekat. Mungkin kau sudah terlelap. Dari
guratan halilintar di cakrawala, aku akan melukiskan itu dengan seksama.
Janjiku, aku akan selalu membunuh rasa itu, tak akan ku biarkan tumbuh, kawan.
Percayalah, aku akan menjaga itu, sama seperti yang kau inginkan. Pegang janji
seorang pengkhayal. Setidaknya, aku akan menghilang dari hadapanmu, jika memang
itu benar-benar tumbuh. Cerita kita terlalu indah, tak akan ku biarkan dinodai
oleh dusta bernama cinta itu, percayalah, janji kita lebih sakral dari janji
sepasang kekasih.
Kita, dua orang
bodoh yang sama-sama tak memahami arti sebuah rasa. Kita akan selamanya menjadi
dua orang tolol yang tidak akan pernah mengerti. Tapi, percayalah. Sebodoh-bodohnya
kita, kita tidak akan pernah saling berkhianat.