Senin, 22 Desember 2014

Janji Seorang Pengkhayal

#Percayalah



Bandung, pertengahan Desember 2014.
Sepanjang hari kota ini seperti tak pernah berhenti mendapatkan berkah dari langit, jutaan galon air tumpah. Beberapa daerah bahkan terendam, atau bahkan tanah mereka berpijak tak lagi kuat menahan dorongan air yang mengalir, menimbun semuanya. Lenyap, satu dua saudara menghilang, bahkan puluhan nyawa melayang, hanya ada isak tangis dan ratapan, terdengar pilu di sela-sela malam tanpa bintang dan cahaya rembulan.

Sebagian orang menangis pilu, sebagian merapal butiran kata menjadi doa, dikirimkan kepada Sang Pencipta, sebagian kecil termenung, meresapi suasana ini, sisanya terlelap, menarik selimut nyaman. Mimpi indah.

Sudah ku katakan, aku akan selalu suka jika hujan turun. Bukan hanya karena romantismenya yang membuat mabuk kepayang, bukan hanya gemuruhnya terdengar bagai melodi, bukan juga karena ia memberikan rasa nyaman dengan hawa dingin, bukan hanya itu. Hujan selalu memiliki arti penting, sebuah siklus yang akan selalu berputar, ini tentang makna yang ingin ku sampaikan, kepada diri sendiri dan jika bisa dimengerti, untuknya juga.

Ini semakin rumit bukan? Ya, ini semakin pelik. Satu persatu akan mulai terbuka, ini akan menjadi sebuah kontradiksi, pertentangan yang akan selalu bertentangan, tak akan pernah bersatu. Tapi, coba perhatikan. Magnet akan selalu memiliki dua sisi kutub yang berbeda, bahkan jika kemudian sebatang magnet itu dibelah, maka masih akan ada dua bagian yang berbeda, dan seperti itu seterusnya, hingga bagian terkecil. Intinya, sisi yang berlawanan dan bertentangan itu akan selalu ada, itu hukum pasti, tak bisa dielakkan.

Kita, dua bagian dari satu cerita yang berbeda. Aku, si pembuat cerita, dan kau adalah lakonnya, secara harfiah, tentu aku bisa membelokkan semuanya, dengan keinginannku, dan kau, kau tak perlu protes seharusnya. Aku si pencipta, aku berkuasa atas alur yang dibuat, tapi lagi-lagi, itu akan selalu berbenturan bukan? Ini akan semakin rumit, aku, kamu dan mereka tidak akan mudah menerima ini tentunya.

Hampir tengah malam.

Hujan yang turun semakin deras, hawa dingin dari gunung di belakangku berhembus kencang, menerpa semua yang ada.
….

“Tahun depan, dia melamarku,” tiba-tiba dia berkata, lirih.

Aku menoleh menatapnya, mencoba tersenyum. Ini kabar bahagia. Lamat-lamat ku tatap wajahnya, sesaat ku lihat kedua matanya, yang selalu ku suka jika dia mengenakan kaca mata.

“Kapan tepatnya?” tanyaku, dengan intonasi perlahan. Mencoba menyamarkan getaran suara yang terdengar getir.

“Belum pasti. Kamu datang kan nanti ke acara pernikahannya?” ia bertanya. Tersenyum ke arahku.
Aku tersenyum, getir.

“Insya Allah. Aku pasti datang”

Sejenak terdiam. Beberapa saat aku masih mengendalikan diri, mencoba berdamai dengan hati. Sudah ku katakan, hari ini pasti akan terjadi. Jelas sekali, kebiasaanku menerka kejadian di masa yang akan datang selalu terjadi, percis. Ini seperti perkiraanku beberapa waktu lalu, satu tahun ke belakang. Ini pasti akan terjadi.

Aku tersenyum menatap wajahnya, bisa jadi ini yang terakhir kalinya aku menatap mata indah itu. Lamat-lamat ku perhatikan, ingin ku lukis di ingatan tatapan mata itu, bibir itu, hidung, alis. Aku akan menggambarnya untuk yang terakhir kalinya.

Waktu itu suasana cerah, ada beberapa bintang yang menemani rembulan yang duduk di singgasananya, setengah lingkaran. Masih beberapa hari lagi purnama terlukis di langit, dan aku sekarang akan melukis purnama itu, untuk yang terakhir kalinya, sebelum dihapus oleh mentari pagi keesokan harinya.

“Kenapa kamu tak pernah membeciku? Padalah tak terhitung ku lukai hatimu?” ia bertanya, sedikit bergetar.

Aku hanya tersenyum menatapnya, lalu mengalihkan pandanganku ke seberang jalan.

Bandung malam itu begitu syahdu. Musik mengalun perlahan di dalam café ini, iramanya senada, membuat betah siapa saja. Secangkir kopi dan beberapa kudapan bisa menambah suasana menjadi romantis. Ku lihat di sebelahku, sepasang muda mudi tampak asyik bercengkrama, usianya tak jauh berbeda denganku. Mungkin mahasiswa.

“Engga, aku ga akan pernah bisa membencimu. Kau beritahu kau satu hal, pahami ini. Kau memberiku banyak pelajaran. Makna dari rasa sakit itu adalah berkah, itu adalah kenyataan. Darimu, aku belajar banyak hal. Kau menjadi guruku. Jadi tak wajar seorang murid membenci gurunya,” jelasku.

Dia diam. Meminum Chocolate Beverages yang masih setengah.

“Seharusnya kamu benci aku, aku pantas mendapatkannya,”

Aku menggeleng, ku acak-acak kepalanya, dia tidak pernah suka dengan itu. Dia melukiskan wajah protes. Aku berhenti, sembari tertawa.

“Ayolah, bersikaplah bijak. Untuk apa kamu selalu memikirkan hal itu? Itu sudah lama sekali.  Sekarang, kamu akan menjalani fase baru, itu adalah sesuatu yang berbeda.” aku menatapnya.

“Begini, kamu hanya boleh melakukan itu kepadaku. Cukup satu kali kau lakukan itu. Jaga baik-baik hatimu, jaga baik-baik perasaan itu. Karena sekali saja kamu kehilangan rasa itu. Bisa jadi kamu akan susah mendapatkannya lagi, ini akan menjadi rumit jika kita buat rumit, tapi ini akan menjadi mudah jika kita menyederhanakannya. Sederhananya, gunakan perasaan itu di waktu yang tepat, jangan pernah memicunya terlalu banyak, jangan juga dibiarkan padam. Ingat itu.”

Masih ku lihat wajahnya, masih ku coba menggurat bagian terakhir yang akan selalu ku ingat. Mata itu, mata itu selalu sulit untuk digambarkan. Lalu otakku mulai merekam suaranya, perlahan-lahan, hati-hati sekali, sepertinya tak ingin terlewatkan setiap nada yang keluar darinya.

Dia mengangguk. Aku tersenyum.

“Sudah malam, mungkin kita pulang. Mungkin jika ini adalah dua tahun lalu, kita bisa menghabiskan malam dengan duduk-duduk di depan gedung Sate, menikmati suasana di gedung Merdeka, atau berkendara di jalanan Braga.” aku tersenyum menatapnya.

Tanpa berkata dia beranjak, membereskan beberapa berkas yang berserakan di meja. Aku juga sama, menutup jurnalku, setelah memastikan ada beberapa suasana yang bisa ku terjemahkan dengan beberapa kata, mungkin bisa ku gunakan untuk menulis nanti.

Ia tampak anggun dengan setelan blazer itu. Serasi dengan tas dan sepatunya. Dia memang berbeda secara penampilan. Sementara aku, masih seperti dulu. Secara penampilan tak ada yang berubah, pekerjaanku jelas tak memerlukan setelan perlente, selagi masih bisa memproduksi kata, itu jauh lebih baik.

Suasana Bandung yang romantis, lukisan terakhir wajahnya selesai di waktu yang tepat.


Sungguh, aku tak pernah berani mengingkari janji itu. Janji yang kau tulis beberapa waktu lalu. Tapi, seperti yang ku katakan tadi. Firasatku selalu berkata jujur, sejauh ini itu terlihat luar biasa. Ku katakan dalam satu episode, bahwa di sana kita akan saling menjauh, menjaga jarak, karena masalah ini. Aku terlalu khawatir tentang itu, maka ku putuskan untuk memberitahukanmu tentang firasat yang kau tanyakan tadi siang.

Sengaja ku putar alurnya, agar tak terburu-buru. Aku berhasil membuat cerita hari ini berputar, berpindah-pindah, hingga kau lupa tentang apa yang kau tanyakan, dari pertanyaan sederhana yang kemudian mengarah kepada itu. Kau mungkin lupa, aku seorang pengarang cerita.

Ku katakan kepadamu, sahabatku. Hujan ini, akan selalu mengingatkanku dan mengingatkanmu tentang kita. Kau lebih dari bayangan, kau jelas terlihat meski tak akan ku sentuh, kau jelas menghidupkan hati, meski jelas aku tak menggunakannya lagi, perlahan, sadar atau tidak, suka atau tidak, kau ajari aku untuk kembali menggunakan rasa.

Hujan masih menggantung di luar sana. Malam semakin pekat. Mungkin kau sudah terlelap. Dari guratan halilintar di cakrawala, aku akan melukiskan itu dengan seksama. Janjiku, aku akan selalu membunuh rasa itu, tak akan ku biarkan tumbuh, kawan. Percayalah, aku akan menjaga itu, sama seperti yang kau inginkan. Pegang janji seorang pengkhayal. Setidaknya, aku akan menghilang dari hadapanmu, jika memang itu benar-benar tumbuh. Cerita kita terlalu indah, tak akan ku biarkan dinodai oleh dusta bernama cinta itu, percayalah, janji kita lebih sakral dari janji sepasang kekasih.


Kita, dua orang bodoh yang sama-sama tak memahami arti sebuah rasa. Kita akan selamanya menjadi dua orang tolol yang tidak akan pernah mengerti. Tapi, percayalah. Sebodoh-bodohnya kita, kita tidak akan pernah saling berkhianat.
Read More




Ornamen Hujan Tengah Malam

#Kontradiksi




Braga, setelah petang datang.

Sedikit kaku, aku hanya melemparkan senyum kecut ke arahnya, ku buat semanis mungkin. Aku berusaha maksimal. Jika saja bisa ku serap energi bumi, mungkin sudah ku serap semua energi bumi ini, hanya untuk melukiskan senyum terbaik di wajahku yang terlanjur berantakan. Huft, aku hanya bisa menghela napas di dalam hati.

“Kamu aja yang makan, aku ga laper!” tidak ketus memang, tapi tegas pernyataannya.

“Kenapa?” tanyaku singkat. Menelan ludah yang sepertinya tercekat di tenggorokan.

“Aku udah ga laper.” jawabannya masih dingin. Ia berada di atas angin, mengendalikan semuanya. Mengintimidasi dengan cara yang menakutkan.

Ia terlihat kecewa, aku pun sama. Tapi aku sekuat tenaga untuk mencari solusi, sepersekian detik, mencoba untuk menetralisirnya. Menguasai kedaan. Berhasil, ku belokkan arah pembicaraan, negosiasi. Setidaknya aku telah belajar untuk menjadi seorang negosiator di beberapa kesempatan. Ini tak jauh berbeda.

“Sama, aku juga tiba-tiba kenyang. Serius,” jelasku, masih mencoba menggurat senyum.

Dia diam, aku juga.

“Kita makan es krim. Mau?” kataku mencoba bernegosiasi.

Sesaat dia berfikir. Aku diam, harap-harap cemas. Tak ada jawabnya. Tapi anggukannya cukup sudah untuk menjelaskan semua pertanyaan yang tadinya samar, menjadi terang benderang. Sama seperti jalanan Braga malam itu, yang semakin terang dengan sorot lampu kedai, café dan sorot lampu kendaraan yang berlalu lalang.

Hujan lagi, hanya ada hawa dingin di luar sana. Hanya ada sepi memeluk malam yang kian pekat. Aku masih berada di sini, mencoba menggoreskan ratusan kata yang kemudian menjadi beberapa kalimat dan paragraf. Aquarium di sebelahku tak tampak lagi cerianya, hanya ada seperempat air yang tersisa, berwarna sedikit merah. Bukan, cokelat. Dulu silinder itu tampak hidup, dengan berbagai warna dari beberapa ikan kecil dan hijaunya tanaman. Lampu yang menyerap air tampak seperti siraman mentari pagi, menyejukkan mata ketika memandangnya, tapi faktanya, kini semua itu tak lebih dari sebuah silinder tak bernyawa, mati.

Senandung itu masih terdengar pelan, ribuan mantra terbang ke angkasa, menembus cakrawala, menyibak angkasa, menembus berlapis-lapis langit, dan jika mantra itu kuat, maka ia akan sampai di singgasana-Nya, dan kemudian berharap Tuhan akan menjawab itu dengan rahmat-Nya. Dengan sentuhan yang jelas bisa dirasakan, meski dengan guratan rasa sakit, tapi rasa sakit itu hanya akan terasa jika kita terlalu bodoh, tolol dan bebal. Karena, jelas Tuhan tak akan menyakiti hambanya.

Di kaki gunung Manglayang.

Suasana ini benar-benar indah. Pukul 11.24 WIB, hanya terdengar suara tetasan hujan, bertalu-talu menghantam atap rumah ini, bersenandung dengan irama detak jantung, bersinergi dengan tatapan mata, mejalar pelan, menembus qalbu, membawa kedamaian yang mungkin masih bisa dirasakan. Aku terpaku, terkesima dengan rintihan malam yang panjang. Bukan, itu bukan rintihan malam -meski malu ku katakan- hatiku yang merintih pilu malam ini.

Ini adalah bagian terindah dari sisa hari ini, hanya beberapa menit lagi hari akan berganti, ini bagian terpenting dari sebuah proses. Ini akan menjadi makna yang tak terhingga, ketika bisa ku terima rahmat yang diberikan-Nya.

Jendela itu ku buka, membiarkan angin masuk perlahan. Membelai ruangan ini, mengusap tubuhku yang sepertinya tampak mulai lelah, aku tergugu, masih menari jemariku, menuliskan kata-kata ini. Ini adalah keinginan dan harapan seseorang, penyuka hujan, pengagum mentari pagi dan kabut dingin, penikmat senja, perindu orion, dan seseorang yang lebih suka menyendiri dalam malam.

Selarik kilat tergores di angkasa, membuat terang semuanya. Hanya sesaat, sebelum gelegar halilintar membahana di atas sana. Sejenak mataku yang merekam kejadian itu terkesima, aku bisa suka itu. Tapi, lalu otakku berkata lain, ia mengajak jemariku kembali menuliskan beberapa kata lagi.
….

Beberapa waktu lalu, aku masih merindukan gelak tawa dan rengekan manja itu. Sekarang, tidak. Aku bisa kembali meniti hari. Menjelaskan satu persatu jawaban dari pertanyaan masa lalu, mencoba meluruskan nurani dan naluriku. Mencoba berinteraksi dengan sesuatu yang baru. Hanya satu sesuatu yang coba ku yakini, sungguh kenyataan itu akan selalu berbicara benar. Semua yang diberikan kepadaku, itulah yang terbaik, aku selalu percaya Tuhan maha bijaksana.
….

Masih di Braga.

Dua es krim itu menyatukan keadaan, menetralisir semuanya. Satu dua obrolan ringan mulai muncul. Sesaat ku lihat tatapan matanya, ada rona kecewa di sana. Tapi itu tak terjadi begitu lama, es krim itu meluluhkan hatinya, sejenak. Aku mencoba mencairkan kedaan dengan rentetan pertanyaan, pekerjaannya, pekerjaanku, masalah kantornya, masalah kantorku, masalahku dengan ‘dia’, dan masalahnya dengan ‘dia-nya’.

Hanya beberapa saat memang, tapi sungguh itu berharga.
….

Kaki gunung Manglayang, hari baru pukul 00.08 WIB.

Ku beritahu kau tentang satu hal, dia buat beberapa peraturan yang tanpa persetujuanku langsung disepakati olehnya, egois. Peraturan yang sebenarnya konyol, dan sepertinya dia serius dengan itu, meski jelas aku tak terlalu peduli dengan perjanjian itu, tapi aku selalu mengingatnya, detail. Aturannya, aku tidak boleh kangen dia, terlebih jika suka, aku tak boleh terlalu sering gombalin, apa lagi panggil dia dengan sebutan yang paling dia suka (yang ini jelas tak akan ku tuliskan), dan masih ada beberapa aturan lainnya.


Aku hanya bisa tersenyum, meski jelas, aku akan berusaha untuk mengikuti aturan main itu. Ku beri tahu kau akan satu hal, bahkan aku tak berani melukainya, bahkan dengan cara terhalus dan terindah sekalipun. Ada banyak alasan kenapa dia bisa menjadi salah satu tokoh karakter yang selalu ku tulis, ini bukan cerita tentang cinta sepasang kekasih, ini cerita tentang harapan dan impian, ini kisah tentang sesuatu yang terbuang, ini tentang puzzle dari kepingan yang tersingkirkan, ini adalah rangkaian nada dalam sebuah irama.
Read More




Minggu, 21 Desember 2014

Ornamen Kabut dan Hawa Dingin

#Karakter Itu Nyata




Pagi menyapa, kembali seperti beberapa hari yang lalu. Hawa dingin berkali lipat membungkus hari yang belum tampak mentari di batas cakrawala. Aku masih menatap layar 14 inci ini, masih mengkhayal seperti biasa, sepagi ini aku kembali menyapa sesuatu yang entah berwujud seperti apa, menanti mentari yang hangat menyapa, mungkin membutuhkan beberapa waktu lagi, mungkin aku akan kembali melewatkan momen paling romantis ketika gelap mulai hilang.

Aku hanya ingin mengingat semuanya, merekam di dalam memori yang tersisa di otak, kembali memutarnya jika mulai samar, kembali memutarnya jika gundah menyapa. Aku mulai bisa merasakan kenangan yang menyakitkan beberapa waktu silam, berubah menjadi kenangan terindah, tak ada setitik penyesalan di sana, meski ku akui ada sedikit gundah tergambar di relung terdalam sanubari ini.

….
Beberapa hari lalu, penat menguasai hati. beberapa hari ini yang ada hanya rasa lelah, entah muncul dari mana.  Aku akan kembali menceritakan hari-hari itu, hari-hari yang terus berlalu, tak pernah berhenti, begitu juga dengan kisah yang terus berganti, bergulir seperti bola salju, semakin membesar dan terus membesar.

Ada semburat senja yang mulai luntur keindahannya, ada juga tentang rintik hujan yang hanya menyisakan hawa dingin tanpa ketenangan di dalamnya. Atau sekarang aku lebih suka menatap kabut tipis di saat pagi menyapa, meski jelas terkadang aku merindukan saat-saat semburat warna jingga itu terlukis di langit ketika petang menjelang, atau sedikitnya aku masih bisa merasakan tenangnya hati ketika hujan turun, lagi.

Dia, menjadi bagian dari karakter yang ku ciptakan. Dan tak ada yang lebih membahagiakan jika karakter itu benar-benar hidup. Karakter dari setiap tokoh yang digambarkan itu benar-benar menyapa, tak pernah samar meski gelap mulai menyapa, tak pernah senyap meski sepi menemani, selalu hangat meski hujan memeluk bumi, selalu sejuk bahkan ketika garang mentari duduk di kepala, dan akan semakin syahdu ketika pagi berselimut kabut tipis, seperti beberapa hari ini.

Sejenak, terbesit untuk menyelesaikan tulisan itu, tapi entah kenapa. Tanpa daya aku hanya bisa menyerah begitu saja, membiarkan tumpukan kertas itu semakin menggunung, tanpa ada penyelesaian di dalamnya, tanpa ada kejelasan kisah itu. Entahlah, tapi inginku, cerita itu akan menjadi kado terindah di hari yang indah, untuknya.

Ketika ku pacu kendaraan tua ini, meliuk-liuk di padatnya kota kembang, seperti biasa. Dia terlalu tua jika harus dipacu sedemikian rupa, jelas sekali penyebabnya, hampir setahun lalu kuda besi Eropa ini mendapatkan sentuhan tangan mekanik. Ah, aku hanya bisa berharap, dia tak lantas pergi meninggalkanku, ketika ia berkata “Aku mulai bete”.

Jalanan Braga, pukul 18.45 WIB. Ramai tentu saja, kehidupan malam mulai menggeliat di sana. Lantas, mimpi buruk itu seperti menjadi nyata ketika pesan baru ku terima, handphone bergetar, satu pesan baru di terima. Ku lihat di layarnya, sesaat kemudian ku buka. Ada pesan di sana, enggan membaca, tapi jelas awalnya akan berbunyi apa. “Aku pulang!”

Tatapanku kosong, terdiam di bahu jalanan yang semakin ramai. Aku terdiam bagai tak bergerak, menatap layar itu, membaca pesan itu berulang-ulang, lagi, lagi dan lagi. Aku hanya bisa membalas: “Maaf, hati-hati di jalan.” sesalku.

Masih terdiam di sana, masih meratapi kebodohanku waktu itu, yang membiarkan semuanya berlalu, dan aku, di bawah rintik hujan yang mulai turun dari angkasa yang pekat, hanya diam. Beberapa menit berlalu, ku putuskan untuk mengelilingi seputaran pusat kota, naas, besi tua ini kehabisan bahan bakar. Ada pesan baru masuk: “Kamu di mana sekarang?” bunyi pesan itu, bergegas ku jawab. “Masih di Asia Afrika (Gedung Merdeka)” jawabku singkat, dan kemudian ku lanjutkan. “Maaf, sekali lagi maaf.” tak ada balasan, hanya sepi.

Ini untuk ketiga kalinya ku lalui jalanan Braga yang terus bertambah meriah, aku kembali terdiam. Ada pesan masuk.

“Di mana?”

“Masih di Braga, nanti kasih tau kalau udah sampe,” jawabku kembali. Masih bernada penyesalan dan permintaan maaf di sana.

“Ya udah, tunggu. Aku ke sana.” tegas jawabnya.

“Jangan, kamu jangan ke sini lagi,” aku tak bisa mencegahnya, aku kembali termenung di bahu jalan.

Hanya beberapa saat kemudian, dia tampak di belakang. Dengan wajah yang sungguh, aku tak berani menatapnya, aku terdiam sesaat. Jelas moodnya berantakan, sama juga sepertiku, hancur. Hawa dingin kembali menyeret udara, menerbangkan debu-debu di sekitar kami, pepohonan yang baru di tanam bergoyang, mengikuti irama angin yang berhmbus bercabang.

Hanya beberapa saat setelah rencana pertama gagal, ku putuskan untuk menggantinya dengan rencana berikutnya. Untungnya, aku terbiasa dengan second plan, kembali meraut suasana, mencoba melukis keadaan, mengubah warna pekat dengan terang benderang, orange, jingga. Dan hanya beberapa saat kemudian, semuanya telah kembali seperti sedia kala, seperti semula. Meski nanti ada hal yang membuatku tertawa dan tampak bodoh, menjadi sangat bodoh dan tolol, dan aku baru tahu beberapa hari kemudian. Kesegaran es krim dan suasana Braga mencairkan keadaan malam itu..


Masih belum tampak matahari di sini, masih dingin membungkus hari, ku putuskan untuk mengakhiri cerita ini, masih belum selesai..
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML