Rabu, 27 Mei 2015

Menikam Malam #4

#Kepingan Baru Puzzle yang Hilang
Ilustrasi:uniqpost.com


Kenangan bersamanya, hanya itu satu-satunya harta yang ku punya. Hanya itu satu-satunya yang ingin ku ingat. Aku hanya ingin mengingat wajahnya, aku hanya ingin mengingat dia, selama setiap detik di sisa waktu hidupku. Bahkan aku tak peduli, jika semuanya akan berakhir lebih tragis seperti di awal cerita, aku bahkan tidak peduli melanjutkan dan menata kehidupan yang telah porak-poranda, berserakan bagai kepingan puzzle yang tidak mungkin bisa tersusun, karena terlalu banyak kepingan yang hilang.

Melanjutkan hidup dengan normal? Aku bahkan tak tahu, apakah masih bisa melakukannya sekarang, setelah semuanya yang telah berlalu. Aku bahkan tak percaya terhadap siapa pun, yang ku percaya hanya satu, bahwa sebelum matahari tenggelam akan terlihat setitik kehangatan dan keindahan di sana, akan ada gelap malam yang terukir di cakrawala, akan ada matahari pagi yang hangat muncul di sebelah timur, bahwa terang akan selalu diliputi kegelapan, dan aku tak tahu akan ku hias dengan apa kegelapan itu. Aku tidak tertarik untuk menghias malamku dengan kerlip cahaya. Aku hanya ingin gelap, tetap pekat.

Kejadian malam kemarin masih saja terbayang di pelupuk mata, aku masih mengingatnya begitu lekat. Wanita itu, mengingatkanku kepada Ana-ku, mengingatkan betapa dia menderita pada saat itu, mengigat wajah wanita itu, seperti menyibak luka yang telah tertutup. Masih ku ingat, orang-orang itu tanpa nurani hanya mendengarkan nalurinya, naluri binatang.

“Bos, kita apakan mereka?” tanya salah seorang anak buah Romi, mereka berlima masih menunggu komando.

“Terserah kalian. Urusanku sudah selesai. Pastikan bajingan ini menderita. Terserah kalian akan apakan wanita itu. Buat dia tak bisa melupakan malam ini, buat mereka menderita sebelum menghilang dari dunia.” ia tersenyum picik, menatapku dan menatap Ana.

Bukk!! Keras hantaman tinjunya menerjang ulu hatiku.

“Ini salam perpisahan dariku, sahabatku. Hahahaha!”

Tawanya menggema memecah keheningan malam. Ia berlalu, keluar ruangan ini. sementara aku hendak melawan, tiga kacung Romi telah beraksi, memberikan bogem mentahnya ke tubuhku. Badanku, remuk redam, aku sudah tak bisa melihat dengan jelas di sekitarku. Tapi masih bisa ku dengar teriakan Ana, mencoba mengentikan mereka.

“Berhenti! Jangan! Aku mohon, jangan lagi pukul dia, aku mohon,” suaranya bergetar pilu.

“Hahaaha, diam kau!” plakk! Salah seorang tanpa belas kasihan menampar Ana.

“Nanti tunggu giliranmu cantik. Hahaha. Sekarang, kau lihat dulu suamimu ini, lihat bagaimana dia tak bisa melakukan apa-apa. Akan kita buat dia lebih menderita di ujung hidupnya,”

Ana tersungkur, aku tak bisa berbuat apa-apa. Suaraku parau, mereka benar-benar berhasil membuatku tak berdaya.  Jangankan melawan, hanya sekedar berteriak, tenagaku habis terkuras. Menahan sakit yang menjalar di tubuhku.

Hangat darah yang mengucur di pelipis masih bisa ku rasakan, pandanganku kabur, tapi masih bisa ku lihat sekitar. Pemukul baseball yang menghantam wajahku tadi benar-benar membuatku kehilangan setengah kesadaran.

“Ya, Rabb.. Jangan kau biarkan hambamu ini teraniaya. Jika Kau masih memberikan hidup kepadaku, biarkan hamba melakukan tugas sebagai seorang suami, menjaga kehormatan istrinya. Dan jika Kau menentukan untuk mengambilku, biarkan aku menghadap-Mu dengan cara yang baik. Jangan Kau biarkan hamba-Mu ini menghadap dengan menyimpan dendam di hati. Hanya kepada-Mu hamba meminta pertolongan, hidupku adalah milik-Mu, maka Kau berhak menentukan apa yang kau inginkan.” Ucapku lirih dalam hati.

Sebuah doa dari hamba yang teraniaya, dan akan benar-benar terjadi. Tidak sekarang, tapi kejadian ini merupakan titik balik dari kejadian di masa yang akan datang. Aku hanya bisa terbaring di lantai, napasku tersengal, satu-satu. Aku benar-benar tak berdaya, dan semakin perih ketika melihat para bintang itu mendekat Ana dengan tatapan buas. Aku benar-benar tidak bisa melihat kejadian itu. Aku hanya bisa menangis, melihat mereka mengagahi belahan jiwaku. Sengaja mereka membiarkanku sadar, melihat semua itu. Mereka benar-benar menjalankan instruksi majikannya, mereka benar-benar membuatku menderita.

Aku masih bisa melihat bagaimana Ana memberikan perlawanan, tapi sekuat-kuatnya seorang wanita tidak akan mampu menghadapi lima lelaki yang pikirannya telah menyerupai dajjal. Tanpa ampun, mereka memukul dan menjambak rambutnya, menyeret dan memukul bagai bintang. Dan sebelum hilang kesadaranya, mereka berhasil merenggut kehormatan istriku, mengoyak hatiku. Aku hanya bisa menangis melihatnya, tak bisa berbuat apa-apa. Amarahku bahkan tak bisa membuatku bangkit. Dan semuanya benar-benar cepat berlalu. Tak lagi ku dengar suara Ana, hanya ada gelap. Dan semuanya hilang.

Senja masih tergurat indah di atas sana. Mencoba berdansa dengan cakrawala di akhir waktunya. Sementara itu, burung-burung itu berkicau pelan, ada yang terbang berkelompok, membuat formasi hurup V, menyibak cakrawala dengan kepakan sayap-sayap mungil itu. Anda saja, hidup ini seperti yang dituliskan di cerita-cerita fiksi. Begitu tenang, indah. Dengan balutan romansa cinta yang menghipnotis, dengan lantuan dawai indah menghiasi tiap detak jantung yang memompa darah. Tapi, cerita-cerita itu, tak ubahnya hanya khayalan semu, tak akan pernah terjadi di dunia nyata ini. Jika pun ada, aku tak akan bisa merasakannya lagi.

Ku habiskan sisa hari ini dengan berjalan menyusuri kota ini, kota yang baru ku huni beberapa tahun lamanya. Kota yang selalu dianggap sebagai sepotong surga yang jatuh ke bumi, atau ada yang mengatakan, Tuhan sedang tersenyum ketika menciptakan tempat ini. Jika keadaan berbeda, tentu aku bisa membenarkan kata-kata itu, tapi sekarang, tidak. Aku bahkan hanya bisa merasakan rasa sakit, tanpa bahagia, tanpa ada yang tersisa di jiwa.

Sejak tiga tahun lalu, ketika terkapar di tepi jalan tol. Aku melanjutkan hidup tanpa arah, pagi itu ketika fajar menyingsing di ufuk timur ku lanjutkan hidup sebagai seorang yang teraniaya. Sempat ku kembali mencari Ana, tapi tak ada harapan. Menghilang tanpa jejak. Duniaku seperti runtuh ketika ku dengar kabar jika dia telah tiada.

“Apakah ada informasi tentang Nayla Anastasya pak?”

“Sebentar. Anda siapa, dan ada kaitan apa dengannya?”

“Saya kerabat jauhnya pak, sudah tiga bulan ini saya tidak mendengarkan kabar tentang dia. Apakah babak tahu? Saya sudah datang ke rumahnya, tetapi rumah itu sudah bukan miliknya lagi. Penunggu barunya pun tidak tahu kemana mereka pergi.”

“Tunggu, saya carikan dulu datanya,”

“Nayla Anastasya, istri pengusaha bernama Ryan Wijaya. Betul?” tanya polisi itu.

“Benar pak, apakah ada informasi tentang mereka, apa yang terjadi?” tanyaku tak sabar. Jantungku berdetak kencang.

“Ia ditemukan tewas mengenaskan. Diperkosa sebelum dibunuh. Rumahnya berantakan, dan dari olah kejadian tempat perkara, kami menyimpulkan terjadi perampokan di rumah itu. sementara suaminya, tidak ditemukan hingga kini. Masih belum ada tanda-tanda tentang dia. Kemungkinan dia juga dibunuh, tetapi dibawa ke tempat lain. Kami masih melacak jejaknya,”

“Perampokan?” aku mendesis, menahan amarah, menahan air di mata yang telah tergenang.

“Iya, rumahnya berantakan, beberapa barang-barang hilang. Brankas di rumah itu telah dibobol, bersama dengan dua mobil mewah yang juga ikut raib.”

“Lantas, apakah perampoknya sudah ditemukan?”

“Ya, sudah. Tapi tiga diantara mereka tewas, pada saat penangkapan. Mereka mengadakan perlawanan. Mereka berjumlah lima orang, satu diantaranya mendekam dalam tahanan, dan satunya berhasil meloloskan diri.” jawab polisi tersebut.

Aku benar-benar lemas mendengarkan kabar tersebut. Si bajingan itu benar-benar berhasil memanipulasi kejadian. Sampai sekarang kebejatannya tak terendus oleh pihak berwajib.

“Maaf, nama Anda tadi siapa, Romi?” tanya polisi tersebut.

“Benar pak.” jawabku tergagap.

“Nama Anda sama dengan rekan si pengusaha malang itu,”

Aku terhenyak demi mendengar kabar tersebut. Berarti dia sempat berhubungan dengan pihak kepolisian.

“Pak Romi, juga berperan aktif dalam penangkapan perampok tersebut. Dia turut membatu kami dalam penangkapan mereka. Bahkan, dia yang memberikan informasi tentang keberadaan perampok tersebut. Dua minggu setelah kejadian kami berhasil menggrebek sarang komplotan perampok yang telah masuk ke daftar buruan kami. Dan itu berkat informasi dari beliau. Mungkin Anda kenal beliau. Dan hingga kini, dia masih sering berhubungan dengan kami, mencari informasi keberadaan penguasaha tersebut. Dia meminta kami mengusut kasus ini hingga tuntas dan beliau meminta kami segera menemukannya.?”

“Tidak, saya tidak mengenalnya.” aku hanya menggeleng. Menahan amarah yang terbakar. Dia benar-benar seorang biadab. Setelah apa yang dilakukannya, dia berlagak seperti pahlawan. Dan tentu saja dia ingin tahu keberadaanku, dia akan menghabisiku jika tahu aku masih hidup. Aku benar-benar geram.

“Baiklah, apakah ada yang bisa dibantu?”

“Tidak pak, terima kasih informasinya.” polisi tersebut mengangguk, mempersilakanku pergi.

Dari kantor polisi aku langsung menuju kantorku, bukan. Bukan lagi kantorku, tetapi bekas kantorku. Ku perhatiakan dari kejauhan, lima orang keamanan berada di depan gerbang, tampak ketat dijaga oleh security, juga ada dua polisi yang sedang berjaga di sana. Dia benar-benar meningkatkan kewaspadaannya.

Aku tak bisa mendekat. Semua orang itu baru, dan tidak ada satu pun anak buahku yang tersisa. Aku tidak bisa mendekat. Aku harus waspada. Tidak bisa sembrono menghadapi ini, aku perlu sebuah rencana. Ya, rencana untuk membalas kekejiannya, aku akan membalas semua itu, dengan cara yang tak akan bisa dilupakannya, aku akan merenggut semuanya darinya, aku ingin merasakan seperti apa rasanya kehilangan. Tapi tidak sekarang, aku harus segera menjauh. Jika tidak, semuanya akan sia-sia, amarahku hanya akan mengacaukan semuanya.

Tapi, aku justru terjerembab di sini. Terdampar di kota ini. Setelah dari kantor Romi, langkahku tak tentu arah. Rasa putus asa itu bahkan mampu melupakan amarah dan dendam. Langkah kakiku akhirnya menuntunku untuk berada di tempat ini. Terkunci di sini, nasibku berakhir menjadi seorang berandal dan pemabuk.

Dua tahun lalu, setelah kejadian yang memilukan itu. Ketika aku berjalan tak tentu arah, membiarkan langkah kaki membawa tanpa tujuan, dunia ini semakin kelam usai kejadian selanjutnya yang mampu mengubah hidupku. Kejadian di mana untuk kedua kalinya aku harus berjumpa dengan amarah. Ketika malam berada di titik tergelap, aku melihat tiga orang menghajar seorang lelaki yang sudah tidak berdaya. Darah membasuh wajahnya, luka cabikan benda tajam menganga dari tubuhnya. Kakiku tergerak begitu saja ketika melihat kejadian itu. Dan ketika salah seorang hendak memukulkan batu  bata ke wajah lelaki yang telah terkapar itu, secepat kilat aku menyambar sebuah pipa yang berada di sampingku.

Buk!! Sekuat tenaga ku pukulkan pipa itu di kepala bagian belakang lelaki itu, tak menunggu lama dia terkapar. Sementara dua orang rekannya yang terkejut melihat rekannya ambruk langsung berbalik arah kepadaku. Satu orang memegang belati, sementara satu orang lagi menggunakan tangan kosong. Bersiap menghadapiku. Aku masih ingat pelajaran beladiri pencak silat semasa kuliah dulu, beberapa jurus masih bisa kugunakan. Aku tak akan mundur, aku telah masuk ke arena laga, pantang bagiku mundur.

Tanpa basa-basi kedua orang itu menyerangku membabi buta, bergantian melancarkan tinju dan terjangan. Aku masih bisa berkelit, tapi satu hujaman belati itu berhasil menggores lenganku, mengoyak kaos yang ku kenakan. Tapi satu tinju ke arah rahang mampu membuatnya ambruk, sementara tendangan memutarku berhasil mengenai ulu hati satu orang lainnya. Mereka terkapar, aku kalap. Semuanya gelap, tinjuku bergantian mengajar orang-orang itu, wajahnya sudah tak berbentuk. Berada di tingkat khusus satu dalam perguran silatku, cukup merubuhkan orang-orang itu dengan mudah. Meski telah lama tak ku gunakan, beberapa jurus dan olah napas masih bisa kukuasai dengan baik.

Amarahku terbakar, kejadian malam itu benar-benar menguasai kelapa. Batu-bata yang tergeletak di sebelahku tadi ku ambil, tanpa pikir panjang, ku hantamkan sekuat tenaga ke wajah salah seorang dari mereka. Dia hanya mengerang sebelum berhenti bergerak. Sementara mataku tajam melihat satu orang lainnya, ia mundur ke belakang, dengan posisi duduk. Menyeret tubuhnya yang tak lagi kuat berdiri, tapi sebelum bata yang ku genggam mendarat di wajahnya lelaki yang dikeroyok tadi bangkit dan sekuat tenaga menghantamkan kayu ke kepalanya.

Brak!! Ia mendengus puas. Sementara yang dipukul langsung tergeletak. Bersimbah darah yang mengucur dari kepalanya. Aku hanya menatap kejadian itu, mengatur napas yang tersengal. Mencoba kembali mengembalikan nalar yang telah dikuasi amarah.

“Siapa kau?”


Aku hanya diam. Lelaki itu tak lama juga ikut ambruk. Luka di tubuhnya telah membuat dia tak mampu berdiri dengan sempurna. Malam ini rangkaian cerita ini akan menyusun kembali puzzle yang berserakan. Mengganti kepingan yang hilang, menjadi satu rangkaian baru yang akan benar-benar berbeda dengan cerita yang ada sebelumnya. Ketika malam menikam dengan kejadian yang tak pernah terbayangkan, aku dihadapkan kepada situasi yang benar-benar rumit, dan tidak akan pernah ku mengerti mengapa menjadi seperti ini. Doa malam itu akan terjawab dengan rangkaian kejadian dalam waktu yang entah kapan berakhir.
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML