Seperti
pagi yang indah, cerah bersinar ketika sisa-sisa kebekuan masih terasa
disekujur tubuh. Menyeka kebekuan dengan secercah kehangatan. Sementara mentari
makin meninggi, namun sinarnya tak sampai mengenai bumi. Terlalu tebal awan
menutupi cakrawala, hingga sore sampai pada waktunya kini. Seperti sabda alam
yang mengintari lewat lukisan yang terpampang jelas dihadapan, aku hanya bisa
menatap dan menyaksikan dengan seksama, menjadi seseorang yang berusaha untuk mengerti
tentang hakikat mencari.
Seperti
kataku, kepekaanku lambat laun mulai menurun. Sepertinya dunia ini mempunyai
sekat-sekat yang tebal, hingga tak bisa kurasakan getaran dalam setiap detak
yang bergetar direlung hati ini. aku menjadi seperti tidak perduli dengan semua
yang terjadi, tapi sesungguhnya aku sungguh ingin mengerti.
Seperti
halnya, aku sering memandang indahnya mentari yang hendak menepi, aku selalu
bercerita tentang indahnya menyaksikan senja diantara butiran pasir di pantai, memeluk
gelombang, menari bersama burung-burung camar. Aku selalu mengajak fantasiku
melewati antara garis batas yang menjulang tinggi, seperti tanpa tepi, aku
kembali berkisah tentang hati yang lelah.
Seperti
biasa, aku sungguh tak merasa ada yang spesial. Seperti biasa, rutinitasku akhir-akhir
ini hanya menulis dan menulis, membaca dan membaca. Hanya itu yang dilakukan, hanya itu yang ku
kerjakan, menatap dunia melalui layar 14 inc, bersenda gurau melalui layanan
chatting di media social, semuanya semu. Semuanya tampak seperti panggung
sandiwara yang entah kapan berakhirnya.
Hingga pada
hari ini, dimana aku baru mengetahui bahwa ada hari spesial diantara pengagum
senja, meskipun sebenarnya aku memang tidak pernah merasa spesial ditanggal
dimana aku dilahirkan, namun setidaknya ada sedikit ungkapan pengingat untuk
waktu yang kian menggerus sisa-sisa tubuh yang semakin renta.
Setidaknya
jika tak bisa kuberikan harapan yang lebih baik, ada kata dalam rapalan mantra
doa yang kupanjatkan kepada-Nya, agar bisa tersenyum ketika menatap semburat
indahnya warna jingga di ufuk barat. Menjelajah dengan batas yang tidak
dimengerti, melangkah hingga kaki melepuh, kembali menatapi sisa-sisa
perjalanan yang entah kapan akan berakhir.
Berharap
dengan segenap jiwa raga, bahwa kau akan bisa melalui sisa jalan yang
terbentang panjang, berliku penuh rintangan, luas terhampar gersang terasa
mencekik tenggorokan, agar kau bisa melalui semua itu dengan ikhlas, hanya
dengan langkah yang ikhlas semua jalan bisa dilalui dengan kisah indah pada
akhir paragraf.
Dalam diamku
menatap cahaya jingga yang belum juga tampak, aku masih berharap ia akan
menyapaku, menyapamu dan mengucapkan selamat untukmu, atau sekedar mengingatkan
tentang sisa usia kita. aku berjalan, dank au harus berlari, semetara aku
menikmati kau harus tetap mencari, karena jelas sekali jingganya senja
mengisyaratkan tentang sesuatu yang entah kapan kita bisa seirama bersama.
Tentu ada
kerinduan bersama, ketika bisa menikmati secangkir teh bersama-sama, kemudian
berdiskusi tentang sebuah lagu, atau kemudian bercengkrama sembari menatap
ikan-ikan yang berenang diantara tabung silinder memanjang itu, dimana aku bisa
menatap berlama-lama, sementara kau hanya akan menggumam tanpa kata.
Hmm,,
semoga saja, ketika senja mengingatkan tentang usia kita, kita akan kembali
tersadar, bahwa hanya sementara kita bisa tertawa, hanya sesaat lagi kita bisa
menikmati hari yang akan segera menepi, karena semuanya akan menjadi sesuatu
yang nyata. Saranku, seharusnya kau bisa bahagia dengan siapapun, tak ada seorangpun
yang layak untuk menghalangi kita untuk mendapatkan bahagia. Selamat untukmu
duhai pengagum senja..
Bandung, 07 Juli 2014
17.00 WIB
Selamat untukmu,
Semburat makna yang dilapis
warna jingga