Senin, 07 Juli 2014

Untukmu Duhai Pengagum Senja


Seperti pagi yang indah, cerah bersinar ketika sisa-sisa kebekuan masih terasa disekujur tubuh. Menyeka kebekuan dengan secercah kehangatan. Sementara mentari makin meninggi, namun sinarnya tak sampai mengenai bumi. Terlalu tebal awan menutupi cakrawala, hingga sore sampai pada waktunya kini. Seperti sabda alam yang mengintari lewat lukisan yang terpampang jelas dihadapan, aku hanya bisa menatap dan menyaksikan dengan seksama, menjadi seseorang yang berusaha untuk mengerti tentang hakikat mencari.

Seperti kataku, kepekaanku lambat laun mulai menurun. Sepertinya dunia ini mempunyai sekat-sekat yang tebal, hingga tak bisa kurasakan getaran dalam setiap detak yang bergetar direlung hati ini. aku menjadi seperti tidak perduli dengan semua yang terjadi, tapi sesungguhnya aku sungguh ingin mengerti.

Seperti halnya, aku sering memandang indahnya mentari yang hendak menepi, aku selalu bercerita tentang indahnya menyaksikan senja diantara butiran pasir di pantai, memeluk gelombang, menari bersama burung-burung camar. Aku selalu mengajak fantasiku melewati antara garis batas yang menjulang tinggi, seperti tanpa tepi, aku kembali berkisah tentang hati yang lelah.

Seperti biasa, aku sungguh tak merasa ada yang spesial. Seperti biasa, rutinitasku akhir-akhir ini hanya menulis dan menulis, membaca dan membaca.  Hanya itu yang dilakukan, hanya itu yang ku kerjakan, menatap dunia melalui layar 14 inc, bersenda gurau melalui layanan chatting di media social, semuanya semu. Semuanya tampak seperti panggung sandiwara yang entah kapan berakhirnya.

Hingga pada hari ini, dimana aku baru mengetahui bahwa ada hari spesial diantara pengagum senja, meskipun sebenarnya aku memang tidak pernah merasa spesial ditanggal dimana aku dilahirkan, namun setidaknya ada sedikit ungkapan pengingat untuk waktu yang kian menggerus sisa-sisa tubuh yang semakin renta.

Setidaknya jika tak bisa kuberikan harapan yang lebih baik, ada kata dalam rapalan mantra doa yang kupanjatkan kepada-Nya, agar bisa tersenyum ketika menatap semburat indahnya warna jingga di ufuk barat. Menjelajah dengan batas yang tidak dimengerti, melangkah hingga kaki melepuh, kembali menatapi sisa-sisa perjalanan yang entah kapan akan berakhir.

Berharap dengan segenap jiwa raga, bahwa kau akan bisa melalui sisa jalan yang terbentang panjang, berliku penuh rintangan, luas terhampar gersang terasa mencekik tenggorokan, agar kau bisa melalui semua itu dengan ikhlas, hanya dengan langkah yang ikhlas semua jalan bisa dilalui dengan kisah indah pada akhir paragraf.

Dalam diamku menatap cahaya jingga yang belum juga tampak, aku masih berharap ia akan menyapaku, menyapamu dan mengucapkan selamat untukmu, atau sekedar mengingatkan tentang sisa usia kita. aku berjalan, dank au harus berlari, semetara aku menikmati kau harus tetap mencari, karena jelas sekali jingganya senja mengisyaratkan tentang sesuatu yang entah kapan kita bisa seirama bersama.

Tentu ada kerinduan bersama, ketika bisa menikmati secangkir teh bersama-sama, kemudian berdiskusi tentang sebuah lagu, atau kemudian bercengkrama sembari menatap ikan-ikan yang berenang diantara tabung silinder memanjang itu, dimana aku bisa menatap berlama-lama, sementara kau hanya akan menggumam tanpa kata.

Hmm,, semoga saja, ketika senja mengingatkan tentang usia kita, kita akan kembali tersadar, bahwa hanya sementara kita bisa tertawa, hanya sesaat lagi kita bisa menikmati hari yang akan segera menepi, karena semuanya akan menjadi sesuatu yang nyata. Saranku, seharusnya kau bisa bahagia dengan siapapun, tak ada seorangpun yang layak untuk menghalangi kita untuk mendapatkan bahagia. Selamat untukmu duhai pengagum senja..




Bandung, 07 Juli 2014
17.00 WIB
Selamat untukmu,

Semburat makna yang dilapis warna jingga
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML