Rabu, 05 November 2014

Karakter Tanpa Nama

#Hening


Hening..
Aku segera terjaga, ketika malam masih memeluk sebagian orang dalam dekapan pekatnya yang romantis. Suasana, ya seperti ku katakan di beberapa bagian malam sebelumnya, suasana di waktu sepertiga malam memang selalu menangkan.

Sebagian orang merapal jutaan mantra kepada Sang Pencipta, memohon dan mengadu, terkadang berseandung syahdu, dalam balutan rintihan yang terkadang menohok jantung. Merangkai serpihan harapan, menjadi gumpalan berwujud tekad. Lihat, harapan itu terlihat semakin nyata!

Keraguan, hanya akan menjadikan semuanya tampak sirna seketika. Itulah yang dirasakannya, saat ini. Guratan wajahnya gambarkan kenangan yang perih, mengiris ingatannya setiap detik dari waktu yang berputar. Perlahan ia bangkit, menatap malam yang pekat, lalu bertanya kepada Sang Penguasa yang lama tak disapa. Adilkah?!

Hanya itu yang terucap dari bibirnya, lirih. Getir.

Lelaki itu berjalan pelan, menembus gelapnya malam. Melawan rasa dingin, berjalan di antara hening dan sepi. Pekatnya malam kota ini tentu masih akan ada cahaya di sana, ada beberapa titik terang yang akan terlihat, tapi tidak di hatinya. Masygul.

Tak banyak kenangan indah yang bisa diingatnya, tak banyak keindahan yang bisa dirasakannya. Hanya ada sejuta sesal dan kenangan pahit yang merongrong isi otaknya, perlahan menyebar dan masuk ke dalam hati, mengaburkan dan membunuh perasaan lembutnya, berpengaruh terhadap semuanya. Ia tak lagi ramah seperti dulu, tak lagi bijak seperti dulu, tak ada lagi tawa ceria mengembang di wajah yang menenangkan itu. Semuanya mati. Beku, hanya ada dingin yang tergurat di wajahnya.

Kota ini tak benar-benar sepi. Ketika jaket lusuh itu didekapnya, menahan terpaan angin yang kencang menghantam apapun yang dilaluinya, sebagian wanita yang melintas di depannya justeru mengenakan pakian minim, serba minim. Rok di atas lutut dengan balutan baju yang tak sempurna menutup tubuh mulus itu, terbuka di mana-mana. Sepertinya angin malam menghangatkannya.

Ia hanya mendengus, menatap sebentar dan kemudian mengalihkan pandangan. Menatap barisan tegel di jalanan itu, berjejer rapih. Tersusun indah. Ia sejenak berpikir, seandainya hidup ini seperti batu bata itu, tersusun tanpa perlawanan, diinjak sekalipun mereka tak akan berontak, dan ketika usia menggerogoti kekuatannya, ia akan hancur dan melebur, menjadi debu, terbang ke angkasa dan menghhilang bersama udara. Jika bisa memilih, dia akan menjadi seperti batu itu. Tanpa perlawanan dan tanpa logika, yang terpenting, tanpa perasaan.

Ia masih berjalan, mencoba mengais sisa-sia harapan. Ah, dia baru ingat. Tak akan ada harapan, tak akan ada lagi tawa riang dan gembira yang bisa di rasakannya, semuanya sudah sirna, pun kepercayaannya terhadap Penguasa Jagat Raya. Ia meleburkan dirinya dalam jurang penyesalan, dalam, pekat. Tanpa cahaya.
Suasana pagi ini terlihat indah, matahari pagi mengintip di antara tembok-tembok yang menjulang tinggi. Tentu tidak seindah jika melihat lukisan matahari terbit dari puncak-puncak tertinggi di pulau ini. Menatap sejajar, dengan awan seputih kapas mengambang di bawah sana, terbentang seperti gelomban di samudera luas.

Aku bisa menikmati lembut jemari pagi mengelus harapanku, menjamah hati, sejuk. Ada nada manja yang kembali menyapa di ujung sana, bisikan kata-kata seperti sedia kala. Ada setitik kehangatan menjalar pelan, menembus sekat-sekat yang ku buat, mulai menumbuhkan tunas-tunas dari benih harapan yang terbunuh.

Ketika sapa si mata biru kembali hadir di antara malam yang pekat, menjelajah hingga padang gersang dengan peradaban ribuan tahun silam, gemercik air mengalir pelan, syahdu terdengar menembus keheningan hutan, kicau burung yang bertengger di ranting-ranting pepohonan, hijau, lebat. Aku kembali menyapa harapan itu, kembali menumbuhkan asa tentang impian yang sempat sirna, ingin menjelajah separuh waktu yang tersisa dari genggaman sang waktu.

Kemarin, ku dapati kabar dari si pembawa pesan, tentang wanita pujaan. Ya, tentu aku bisa menangkap aroma itu kembali hadir menyapaku, membelai hati yang mulai membeku. Si pembawa pesan berikan pelajaran ketika pagi mulai menyapa, begitu juga ketika petang menjelang, menggambarkan keindahan dari jutaan rasa yang tercipta, untuknya, Rintik Senja.

Sepagi ini, ketika matahari mulai meninggi, sekarang ia lebih tinggi dari gedung-gedung itu. Meninggi seperti angan dan harapanku, tentang negeri-negeri yang jauh. Kembali, kata jauh menyapaku, kembali ia mengingatkanku, perjalanan ini masih akan berlanjut, masih akan menuliskan tentang langkah-langkah yang mulai lelah.

Menyambangi negeri impian, di mana saat ini, bentangan alam dan keindahan Nusantara telah mengingatkanku, bahwa negeri ini lebih elok dibandingkan arti kata jauh itu sendiri. Tapi, tentu aku tak ingin keindahan ini membenamkanku. Ada berjuta keindahan di luar sana, dengan balutan rasa sakit dan derita, itu jauh lebih indah dibandingan dengan eloknya negeri ini. Aku, di sini, membawa harapan dan impian yang sempat terkubur, akan ku bawa semua ini, melangkah, menjauh.

Ketika si pembawa pesan menjelma menjadi ‘Si Pengingat Kehidupan’ aku akan kembali menyapa pagi dengan memeluk harapan tentang indahnya pelangi di antara pesona Rintik Senja..

Inilah awal dari awal yang tak akan pernah berakhir..




Pagi yang cerah
Bandung, 05 November 2014
06.53 WIB


Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML