Sabtu, 23 Mei 2015

Menikam Malam #3

#Secangkir Kenangan Manis di Sore yang Romantis
Ilustrasi: http://4.bp.blogspot.com

Terik menyengat, membakar sisa harapan, lantas menguap. Menghilang entah kemana. Rasa kantuk mulai menyergapku, di bawah pohon rindang ini, semuanya begitu menenangkan. Entah, sudah berapa lama tak ku injakkan kaki di pelataran rumah itu. Bangunan dengan tembok tinggi, berjejer mobil di dalam garasi. Lagi pula, tak ada gunanya aku ke sana. Itu bukan milikku lagi, kini, sesuatu yang ku sebut rumah, telah benar-benar hilang dan tak ada alasan buatku untuk pulang, karena aku tak tahu kemana harus melangkah, menentukan tujuan.

Teduh tatapannya, renyah tawa itu mencairkan suasana. Suasana yang selalu ku suka. Ia menatap penuh perasaan, aku selalu suka membelai rambut itu, menatap kedua mata itu, begitu lekat. Mengecup bibirnya, aku selalu suka. Ahh, bayangan itu, setidaknya selalu berkelebat terlintas di pikiranku, sesaat menghiburku. Sudah tiga tahun semua itu berlalu, sejak aku menyuntingnya, menjadikannya bagian dalam hidupku. Aku baru saja mereguk bahagiaku dengannya, seorang wanita yang ku perjuangkan dengan nada lantang, wanita yang membuatku tertawa, aku sempat merasakan bahagia dengannya.

Tapi, kejadian itu. Kejadian itu benar-benar membuat semuanya sirna. Bajingan itu, benar-benar menghancurkan semuanya. Entah apa pasalnya, seorang yang dianggap sahabat itu, dengan lantang merenggut semua yang dimilikinya.

“Rom! Apa yang kau lakukan?!”

“Yang ku lakukan? Menghancurkanmu!”

“Bangsat! Lepaskan!”

“Diam!” lelaki yang dipanggil Romi itu menggebrak meja.

“Kau, tanda tangani ini. Cepat!”

Ku tatap nanar tumpukan kertas itu. Sebuah surat perjanjian hibah saham perusahaan. Aku menggeleng, lalu bisa menebak apa maksud Romi. Belakangan ini dia telah melakukan berbagai cara, namun gagal. Dari mulai cara terhalus dan sekarang dengan cara kekerasan. Sementara dua orang yang memegangiku mendorong paksa.

“Kenapa, kau enggan menandatangani surat itu, baiklah. Sepertinya kau butuh dorongan untuk melakukannya,” tatapan matanya sinis, penuh dengan kelicikan.

“Bawa wanita jalang itu ke sini!”  ia memberikan komando ke salah satu anak buahnya.

Ana dibawa ke ruangan ini, dengan mulut tersumpal kain, kedua tangannya tak luput dari sasaran. Pipinya bersemu biru, sepertinya dia melakukan perlawanan. Amarahku memuncak, napas menderu, tak pernah ku biarkan orang lain menjamahnya.

“Bagaimana sekarang? Kau masih enggan melakukan apa yang ku minta. Jika kau menolak, bisa kau pastikan, seumur hidupmu akan menanggung derita dan sesal. Kau bahkan tidak bisa menjaga wanita yang telah menyerahkan semuanya kepadamu. Aku bahkan tak yakin kau mampu berteriak melihat semua ini,” Romi menyentuh pipi Ana, merabanya dengan tatapan picik, lalu menarik paksa penyumpal mulutnya.

Tanpa ku duga, Ana meludahi Romi, tepat di wajahnya. Tatapannya garang, penuh kebencian. Aku belum pernah melihat kemarahan seperti itu sebelumnya.

“Dasar jalang!”

Plak! Romi menapar wajah Ana, tak terima mendapatkan penghinaan itu.

“Rom!  Sekali lagi kau sentuh dia..”

“Apa, kau mau melawanku? Heh?”

Buk!! Seketika tinjunya menghantam perutku. Aku ambruk, berlutut di depannya. Menahan nyeri di ulu hati.

“Sialan kau Rom!” desisku.

“Jangan banyak bicara kau, cepat. Tandatangani berkas itu, atau sesuatu yang tidak kau inginkan akan terjadi. Sesuatu yang sangat kau benci. Hahahaha”

Romi melemparkan berkas itu ke hadapanku. Tanpa berdaya, aku melakukan yang dia minta. Perusahaan itu, adalah sesuatu yang ku rintis dengannya. Entah kenapa, dia melakukan ini. Padahal dia adalah sahabatku, sejak di Universitas dulu, dia jelas tahu bagaimana susahnya aku merintis usaha ini dari awal, di awali dengan berjualan cermin di pinggir-pinggir jalan, menjajakannya ke rumah-rumah. Hingga akhirnya setelah berperih-perih, aku berhasil membuka kios, tidak hanya cermin yang dijual, semua jenis kaca ku jual di kios itu. Sampai akhirnya aku bertemu seorang pengusaha, dia memberikan kepercayaan kepadaku menjadi pemasok kaca di gedung yang akan dibangunnya.

Hingga saat ini, setelah delapan tahun aku bergelut di bisnis ini, memiliki pabrik di tiga kota, dan beberapa cabang perusahaan yang bergerak di bidang properti, akan segera sirna. Semua aset yang ku miliki akan lenyap ketika ku tandatangani berkas itu. Di tangan seseorang yang ku sebut sahabat.

Sesaat ku lihat Ana yang berada tepat di depanku. Matanya berkaca-kaca. Sungguh, aku tidak bisa kehilangan dia disakiti, bahkan hanya dijamah orang lain, aku tak akan rela. Harta ini, bisa ku cari, tetapi tidak akan ku temui Ana lain di luar sana.

“Cepat! Apa lagi yang kau tunggu?”

Gemetar tanganku menandatangani berkas itu.

“Ya Tuhan, jika harta ini bukan milikku, maka buat aku rela melepaskannya, biarkan itu semua jadi ladang ibadah untukku. Tapi jika itu adalah hakku, maka berikan pengertian kepadaku, jika semua itu akan kembali padaku. Jangan Kau buat aku ragu tentang keputusanmu, jangan Kau buat bimbang hatiku tentang semua ini,” gumamku dalam hati.

Kasar Romi mengambil berkas itu dari tanganku. Dengan wajah penuh kemenangan, dia tersenyum sinis. Hatiku hanya bisa mengumpat. Tak bisa berbuat banyak lagi. Aku tidak akan mempertaruhkan keselamatan Ana. Aku tidak akan pernah membuatnya dalam bahaya, itu adalah janjiku, janji ketika aku hendak menyuntingnya. Tetapi, kini aku telah gagal menepati janji itu.

Buk!! Sekali terjang kakinya telak mengenai rahangku, darah mengucur dari mulutku. Kesadaranku perlahan memudar, padangan kabur. Sekuat tenaga ku coba untuk tetap sadar.

“Kau tahu, dari dulu aku tidak bisa menerima ini. Kau tentu ingat, bagaimana aku bekerja keras ketika kita masih menjadi kawan sebangku. Kau tentu juga tahu, aku selalu lebih pintar darimu. Aku lulus dengan predikat terbaik, sedangkan kau. Kau tidak sama sekali, kau bahkan tidak berhasil menyelesaikan studimu. Kau selalu lebih populer dariku, padahal akulah yang terpintar. Lalu, kau merebut dia dariku. Wanita yang ku sayangi. Kau merebut semuanya dariku. Sekarang, kau akan menerima akibat dari perbuatan keji itu.”

“Hajar dia, tapi jangan kalian buat mati. Biarkan dia sekarat. Wanita itu, terserah kalian!” Romi berikan instruksi kepada kelima anak buahnya.

Tanpa basa-basi, ketiga anak buah Romi menghajarku, ketika tubuhku remuk redam. Aku masih bisa melihat Ana berteriak di depanku, matanya bercucuran air mata melihatku tersiksa. Tapi, keadaan yang lebih pedih terjadi. Bukan terjadi kepadaku, tetapi kepada dia, kepada Ana-ku.

Aku terjaga, tepat ketika suara muadzin kumandangkan adzan. Mungkin pukul empat sore sekarang. matahari mulai condong ke barat. Sebentar lagi hari akan menepi, menyajikan pemandangan yang selalu kami sukai, ya, aku dan Ana-ku, selalu suka menatap senja yang merona, atau menikmati secangkir teh ketika hujan menyapa. Bercengkrama dengan belaian hawa dingin.


Sekuat tenaga aku menepis semua kenanagan itu. Kenangan yang kemudian menjadi sangat menyakitkan. Tiga tahun lalu, setelah ku putuskan untuk meninggalkan semua kenangan di kota itu, kakiku melangkah tak tentu arah, dan terdampar di sini. Bertahan dengan sisa kenangan yang terus berkecamuk. Berakhir tragis di kota yang selalu romantis. 
Read More




Kamis, 21 Mei 2015

Menikam Malam #2

#Wanita Pesolek
Ilustrasi: cdn.metrotvnews.com


Pukul 01.43 dini hari, tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Napasnya masih tersengal. Kejadian itu begitu cepat berlalu. Semuanya masih ada di depan mata, sangat nyata. Tangannya masih bergetar hebat, sementara keringat dingin terus mengucur. Masih bisa terlihat dengan jelas, bagaimana si botak yang mencoba menjamahku tadi rubuh seketika, setelah pecahan botol itu merobek perutnya, sementara dua lainnya juga terkapar tak berdaya. Lantas, siapa orang itu, kenapa dia membantuku, kenapa dia menolongku. Lalu, kenapa dia juga begitu dingin, kenapa dia begitu kasar. Siapa dia, sama seperti ketiga lelaki itu, preman atau anggota geng, atau dia hanya sekedar lewat, tapi dia menenggak minuman keras. Ahh, semua pertanyaan itu berkecamuk di benaknya, masih belum ada titik terang dari semua tanya itu.

Malam merangkak pelan, di dalam taksi Rey masih terpekur. Menggigil ketakutan, sementara sang sopir fokus memegang kemudi. Jalanan lengang, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas, suasana kota ini memang begitu syahdu, terlebih ketika malam menjelang atau ketika tak terlalu banyak aktifitas.

“Mau kemana neng kita?”

Aku tersentak, menepuk jidat. Sial, aku lupa belum memberikan alamat jelas akan kemana tujuanku.

“Ke Burangrang pak,” jawabku.

Dalam hati Rey hanya bisa merutuki nasibnya malam ini. Entah mimpi apa semalam, hanya satu, hari ini benar-benar kacau. Rentetan masalah terus mendera bak gelombang pasang, terus menerjang, bahkan hampir saja merobohkannya. Pagi-pagi sekali dia harus mencari cara, bagaimana untuk bisa mencari uang pinjaman, kira-kira selepas subuh, ia mendapatkan telepon dari kampung, adiknya masuk rumah sakit karena typus, dengan kata lain, orang tuanya butuh uang segera. Persediaan uangnya habis sudah, pekerjaannya yang hanya sebabai pelayan sebuah café habis, bulan ini dia telah mengirimkan uangnya ke rumah sebanyak dua kali, dan ini kali ketiga ibunya berikan kabar yang mengusiknya.

Sempat terlintas untuk meminjam uang, tapi kepada siapa. Ke tempat ia bekerja, hal yang tidak mungkin, dia terlalu sering melakukan kas bon. Dan kali ini benar-benar mendesak, Ari, adiknya telah demam tinggi lebih dari dua hari, segala macam obat tradisional telah diberikan, tapi kondisi itu tidak membaik, dan terpaksa harus mendapatkan rawat intensif di rumah sakit.

Sempat kembali terlintas di pikirannya untuk menerima tawaran Kikan yang diterimanya sore tadi, ia kembali membuka pesan singkat yang membuatnya tersentak. Tapi kali ini, tawaran itu benar-benar membuatnya bimbang.

“Rey, temanku minta ketemuan sama kamu, kalo mau kamu datang malam nanti jam 10 di Andalusia café.” Kikan mengirimkan  pesan tersebut.

Sebuah ajakan yang tidak bisa langsung ku iya-kan. Beberapa hari lalu, aku menceritakan masalah finansial ini kepadanya. Dia memberikan pinjaman uang yang ku butuhkan, sekaligus memberikan solusi untukku. Ada alasan penting, kenapa Kikan menjadi tujuanku ketika keadaan finansial mendesak, sebab dari segi ekonomi, dia jelas lebih mapan dariku. Padahal, dia satu tempat kerja denganku, dan dia selalu bisa memiliki uang lebih. Sempat ku tanyakan hal itu kepadanya, tapi ia hanya tersenyum sembari berkata.

“Nanti aku bakal cerita, kalo kamu benar-benar butuh bantuanku, sekarang, kamu tidak harus tau,” aku hanya mengangguk. Tidak banyak kata, karena hingga saat ini dia adalah satu-satunya sahabat terbaikku.

Dan dua hari lalu, saat ku ceritakan masalah ini kepadaku dia mengungkap sebuah rahasia yang tetap bungkam. Rahasia yang membuatku hanya bisa termenung, tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Ketika fajar tenggelam, hatiku berkecamuk kelam. Sebuah pertanyaan yang tidak gampang untuk ku tuntaskan, sebuah tanya yang ingin selalu ku tanyakan, tapi, aku masih belum tahu, kepada siapa pertanyaan ini akan ku berikan.

“Kamu pikir, hanya menjadi pelayan café, aku bisa menghidupi diriku. Kamu lihat, pakaian ini, tempat tinggal ini, sepatu, tas dan semua yang ku punya, tentu tidak bisa didapatkan dengan bekerja sebagai pelayan café. Tapi aku bisa mendapatkan semua itu, dengan melayani mereka. Orang-orang berduit itu,”

“Ya, mungkin kau akan segera merasa jijik denganku. Tapi, kamu tau, semua itu adalah harga yang pantas didapatkan. Orang-orang seperti kita ini, sulit untuk bisa hanya sekedar berjalan. Kerja banting tulang, mengeluarkan yang terbaik, tapi kamu lihat kan? Cucuran keringat kita hanya dibayar dengan uang yang bahkan tidak cukup untuk makan sebulan,”

“Kerja di kantoran, untuk orang desa seperti kita, sulit. Terlebih sekarang persaingan dunia kerja seperti itu. kamu tahu, berapa banyak sarjana di sana yang berakhir hanya duduk-duduk saja sehabis kuliah, sementara kita yang mengandalkan ijazah SMA, apa yang bisa kita lakukan? Tidak ada Rey!”

Mata Kikan berkaca-kaca. Jelas dia tidak menikmati apa yang dilakukannya saat ini. Aku hanya bisa memeluknya. Tak ada sepatah kata yang bisa terlontar dari bibirku.

“Kamu tahu Rey, awalnya ku lakukan itu karena butuh biaya. Kau tahu, seperti saat ini, sama seperti yang kamu alami. Orang tuaku terlilit hutang, Bapakku, terlilit hutang oleh rentenir, dan tanah miliki mereka telah habis terjual. Dan harapan satu-satunya, hanya aku. Mereka memberikan kabar kepadaku, jika hutang tersebut tidak segera dilunasi, Bapak akan dipenjara. Aku tak mau melihat keluargaku seperti itu. biarkan aku berkorban lebih. Mereka telah melakukan banyak hal untukku. Dan sekarang, giliranku berkorban untuk mereka.”

“Kamu tahu Rey, kondisi itu tidak semakin membaik. Setelah ku bayar hutang itu. Bapak tiba-tiba sakit, entah bagaiamana caranya mereka tahu pekerjaanku ini. Bapak tidak menerima itu, akibatnya dia kena serangan jantung. Dan tak lama kemudaian, ia harus meninggalkan kami. Meninggalkan ibu dan dua adikku yang masih sekolah. Dan sekarang, hanya aku satu-satunya tulang punggung keluarga ini, pekerjaan ibu yang hanya buruh tani, tak cukup untuk membiayai sekolah kedua adikku. Aku tidak ingin kedua adikku mengalami nasib yang sama denganku, terjerambab di jurang kenistaan ini. Sekuat tenaga, aku akan menyekolahkan mereka, kini mereka telah masuk universitas, sebentar lagi salah satu dari mereka akan mendapatkan gelar sarjana. Besar harapanku untuk mereka,”

Aku hanya bisa diam. Sungguh, tak pernah terbersit di pikiranku, tentang sahabat baikku ini. Aku hanya bisa diam seribu bahasa.

“Kamu tidak harus mengikuti jejakku Rey, aku tahu kamu perempuan baik. Kamu bisa melalui semua ini tanpa harus melumuri tubuhmu dengan dengus sejuta lelaki,” ungkapnya lirih.

Kikan menyodorkan amplop kepadaku, aku hanya menatapnya.

“Ini, mungkin bisa meringankan bebanmu, uang ini memang dari hasil nista. Tapi aku tulus memberikannya untukmu.”

Aku hanya menggeleng, menolak bantuannya.

“Kenapa? Bukankah kamu butuh ini. untuk berobat adikmu Rey.”

“Maaf, aku tidak bisa. Maafkan aku, kamu lebih membutuhkannya dariku. Aku baik-baik saja, aku bisa melalui ini. semoga,” ucapku lirih.

“Baiklah, keputusanmu. Aku tidak bisa memaksa.”

Aku hanya mengangguk pelan. Sementara itu, langit di atas sana tampak tersenyum. Indah, lukisan Illahi tampak begitu anggun. Dengan lembayung memeluk senja yang mempesona. Aku terpaku sesaat, menikmati sebagian hari yang mulai tenggelam. Sementara hatiku, sungguh tak bisa merasakan kedamaian kota yang tersenyum di batas waktunya.

Malam merambat pelan, rinai hujan menyisakan hawa dingin. Menusuk tulang, pesona mentari memang telah tenggelam di batas cakrawala. Tapi, kota ini, selalu menyajikan pesona yang berbeda. Akan selalu tampak cantik, tak perlu bersolek. Dan aku, masih terpaku di depan cermin. Menatap wajahku yang baru saja selesai dipoles dengan make-up, membayangkan wajahku dijamah oleh orang lain, aku bergidik. Tak sanggup membayangkannya. Tapi tekadku sudah bulat, tadi aku membalas pesan singkat kepada Kikan. Bahwa aku akan menemuinya di café yang telah ditentukan olehnya. Tekadku, bahkan mengalahkan rasa jijikku terhadap semua ini.

Pukul 08.00, aku harus segera bergegas. Hujan tidak akan menyurutkan geliat kota ini. Tentu jalanan akan semakin padat, ditambah ini adalah weekend, akan banyak pelancong yang datang ke kota ini. Hatiku diliputi perasaan gamang luar biasa, hatiku tidak bisa menerima ini, tapi jelas keadaan benar-benar membuatku harus melupakan ego dan mungkin harga diri. Tapi, sejak tadi aku berada di tempat ini, masih berusaha menimbang apa yang ku lakukan, dan akhirnya ku putuskan untuk mengirim pesan singkat kepada Kikan.

“Kikan, maaf. Aku tidak bisa.” tulisku singkat.

Tidak menuggu lama, teleponku berdering. Nada panggilannya meraung-raung, berpadu dengan bisingnya gejolak hatiku. Ku putuskan untuk menolak panggilan itu. Telah tiga kali, Kikan memanggil ulang, aku benar-benar tidak bisa menerima ajakan itu. Hatiku menolak tegas. Tapi, sekelebat bayangan adik dan keluargaku di rumah, sesaat mendatangiku. Terbayang wajah adikku yang saat ini tergolek lemas karena sakit, terbayang wajah ibu yang cemas menunggu. Maaf, bu, aku tidak bisa melakukan ini. batinku lirih.

Ku matikan teleponku, ku putuskan untuk berjalan melewati malam. Dan sial, ketika lamunanku mengintimidasi logikaku, aku telah berada di tempat ini, tempat yang sepi. Sementara kini, di depanku telah berdiri tiga orang laki-laki. Dari tampangnya, mereka bukanlah kiyai atau ustadz. Bau alcohol menyengat, sementara itu lelaki yang berkepala plontos dipenuhi dengan tato, sementara dua lainnya bisa ku simpulkan, mereka juga bukan orang baik-baik.

Mereka mungkin juga berpikiran sama denganku. Tubuhku dibalut dengan pakaian yang bahkan sulit untukku bernapas. Rok di atas lutut dengan pakaian agak terbuka, memperlihatkan leher jejang dan rambut panjangku. Belum lagi goresan make-up di wajah dan parfum menyengat, mereka segera bisa menyimpulkan jenis wanita seperti apa aku ini, terlebih aku berjalan seorang diri di tengah malam. Aku benar-benar dalam kondisi yang sulit untuk dibayangkan. Keluar dari kadang buaya, aku justru memberikan tubuhku ke segerombolan serigala.

Aku hanya bergidik, takut membayangkan apa yang akan terjadi. Tapi rasa takut itu mulai sirna sedikit ketika datang seorang pria yang menyela ketiga serigala ini. Tapi, perasaan lega itu hanya sesaat. Karena pria itu berjalan sempoyongan, menggenggam botol minuman keras, menyongsong kami.

Aku telah meminta kepada mereka, untuk mengambil apa pun yang ku miliki, dan membiarkan aku pergi. Tapi, ruapanya mereka menginginkan lebih, mereka menginginkan lebih dari sekedar barang-barang yang ku bawa. Mereka menginginkan tubuh molekku. Aku tertegun, benar-benar tak bisa membayangkan hal ini.

Tapi sebelum semuanya ku mengerti, kejadian itu cepat berlalu. Ketiga orang tersebut tumbang, dengan darah mengucur dari kepala dan perut mereka, sementara satu orang lagi terkapar dengan lelehan darah yang keluar dari mulutnya. Dan kini, hanya tersisa dia seorang, lelaki yang tadi berjalan sempoyongan, kini tak ada lagi botol minuman yang tergenggam di tangan. Karena telah pecah di kepala orang itu, sementara sisa pecahannya masuk ke dalam perut si plontos.

Tampang pria itu jelas tak bersabahat. Dari kata-katanya sangat kasar. Sementara itu, penampilannya tak lebih dari sekedar pemabuk. Rambut gondrong tergerai, jambang tak terawat dengan bau alcohol yang juga menyengat. Tapi, dia masih tampak bingung. Entah karena apa, dia melihat tangannya yang tadi memegang botol. Mungkin menyesal karena minuman itu telah berhamburan di jalanan.

Belum mendapat penjelasan, pria itu menyentak dengan kasar, menyuruhku segera bergegas meninggalkannya. Dan tanpa pikir panjang, aku bergegas, hanya saja tak sempat ku ucapkan terima kasih kepadanya.


Pikiranku masih melayang bebas di awang-awang. Sementara aroma hujan masih menyisakan sebuah tanya. Aku terpekur, nyaris saja terjerumus ke jurang itu. Tapi, aku belum benar-benar terlepas dari kondisi itu. Entah sampai kapan aku bisa bertahan. Pertanyaan ini, apakah bisa akan terjawab dengan satu kata. Dan malam benar-benar menikam keadaan, benar-benar menyayat perasaan. 
Read More




Rabu, 20 Mei 2015

Menikam Malam #1

#Hanya Satu Kata untuk Menjawab Tanya
Ilustrasi:nadyneharts.files.wordpress.com

“Yaa Rabb, jika kau berikan kesempatan itu padaku, sungguh sebenarnya aku tidak benar-benar yakin bisa melaluinya tanpa berbuat salah sedikit pun. Aku akan banyak melakukan banyak sekali kesalahan, atau mungkin aku akan tersesat, terjerembab ke dalam jurang itu. Tapi, sungguh, keinginanku untuk mendapatkannya, mendapatkan kesempatan untuk kembali ke jalan-Mu, melebihi kemampuanku sendiri,”

“Maka, jangan Kau uji aku dengan sesuatu yang sebenarnya tidak mampu ku tanggung. Ajari aku untuk menerima semua keputusan-Mu, jangan pernah kau berikan kesempatan kepada hati ini untuk mempertanyakan setiap keputusan yang Kau berikan untukku,”

“Biarkan aku paham, bahwa Kau hanya akan memberikan apa yang ku butuhkan, bukan tentang apa yang ku inginkan. Biarkan aku mengerti, jika sesuatu yang ku anggap baik, belum tentu baik menurut-Mu. Sungguh, Kau tidak akan membiarkanku hidup tanpa mendapatkan ujian.” dinginnya udara pagi ini mengiringi setiap tarikan napas dalam setiap detik, sesak paru-paruku.

Otakku sepertinya sudah rusak, entah untuk keberapa kalinya aku berani mempertanyakan keputusan Penciptaku, sungguh, aku bahkan merasa ini seperti tumpukan masalah yang kian menggunung. Jika benar ini adalah ujian, kenapa aku bahkan tidak pernah lulus melaluinya.

Berulang kali aku terjerembab ke dalam nistanya bujuk rayu iblis yang menjelma menjadi hawa nafsu. Sementara pagi menyapa dengan suara merdu para muadzin yang memanggil manusia untuk bercengkrama dengan Tuhannya, terdengar dari setiap corong suaru tempat ini, tanganku masih mencengkram dosa. Menggenggamnya begitu erat, bahkan hatiku yang bergetar mendengar seruan itu tak mampu berbuat banyak, hanya bisa menunduk, sementara kakiku, masih terpaku di tempat ini.

Duduk diantara cawan yang berisikan air iblis, menggenggam lintingan daun setan, mereguk nikmatnya dosa dalam balutan semu, bagai fatamorgana di luasnya gurun, semuanya tampak indah, nikmat sesaat yang hanya menjurus pada satu lubang yang mengaga, lebih dalam dan lebih pekat. Meneguk setiap tetes dosa dalam rintihan nada yang menyayat hati, melengkapi setiap detik waktu, tanpa ada kebaikan yang terdapat di dalamnya.

Matahari makin tinggi, hanya beberapa saat, jagat yang pekat, dipenuhi dengan rahmat. Bahkan sang penguasa alam semesta ini masih memberikan rahmatnya kepadaku yang basah oleh nista. Sementara ku lihat di seberang jalan itu, tampak dua bocah mungil meringkuk di ketiak ibunya, menahan tusukan sisa hawa dingin subuh yang syahdu, lalu masih ada juga tusukan sinis mata beberapa insan yang lalu lalang di depannya, dengan pakaian rapih perlente dan wangi parfum imitasi.

Aku, bahkan lebih jijik lagi melihat fenomena itu, aku memang hina dilumuri dosa, tapi setidaknya, masih ada keinginanku untuk memberikan sebagian nasi yang ku beli, entah apakah itu dihitung menjadi sebuah kebaikan atau tidak. Aku hanya ingin orang yang paling dekat denganku tidak merasa lapar ketika aku kekenyangan. Hanya itu yang ku pedulikan, masalah itu sebuah kebaikan atau tidak, itu bukan urusanku.

Ketika mata pagi benar-benar terbuka, semakin ramai orang berlalu-lalang. Aku selalu menikmati pagi di kota ini, meski sesaat, karena sepanjang siang aku akan terlelap, di mana saja, kota ini masih menyisakan banyak pohon rindang dan nyaman taman. Semuanya adalah alas yang nyaman untuk mengusir kantuk. Satu lagi, aku selalu suka menanti sesosok wanita itu, wanita yang beberapa hari lalu menjerit ketika segerombolan preman dadakan mencoba merenggut paksa tas di tangannya.
....

“Jangan, saya mohon. Jangan apa-apakan saya. Kalian ambil saja semuanya, tapi biarkan saya pergi,” lamat-lamat terdengar suara perempuan memohon, bergetar suaranya menyibak malam. Menggangu ritualku malam ini, meneggak anggur.

“Hahaha.. Kenapa kau menangis cantik?? Heh, kau bahkan lebih cantik ketika menangis,” salah seorang laki-laki berusaha menjamah wajah perempuan itu. Aku masih berada di tempatku, tidak terlalu jauh, hanya beberapa meter.

Reflek, lengan wanita itu menepis tangan lelaki botak penuh tato itu. Merasa dihina, si botak tak terima. Sejurus mataku menangkap bahwa tangan lelaki itu akan menampar wajah wanita berambut panjang itu. Tak jelas mukanya, temaram cahaya lampu itu tak mampu menyingkap pekatnya malam.

“Cukup! Kau ambil yang kau mau, lalu kau pergi dari sana.” sejenak ayunan tangan si botak terhenti, menoleh ke arah sumber suara, bersama dengan dua kawannya, juga serempak menoleh. Tentu dia tidak memperhatikan sebelumnya bahwa ada orang di sekitar sana.

“Heh, mau apa kau? Mau jadi pahlawan?!” sergah salah seorang pria yang sedikit lebih gempal. Perutnya buncit, tentu orang itu terlalu banyak makan daripada bergerak.

“Kubilang, ambil yang kalian mau. Lalu pergi dari sini! Aku muak mendengarkan tangis wanita itu, atau jika kalian tidak segera pergi, aku akan paksa kalian,” aku berdiri, menggenggam erat botol minuman yang baru setengah ku tenggak, melangkah mendekat.

Merasa ada bahaya mendekat, ketika lelaki itu siaga. Menyeringai ke arahku, tentu saja mereka menjadi berani, tiga lawan satu. Tidak sebanding. Tapi, jangan ragukan aku jika tidak berhasil mengusir curut-curut pengecut itu. Mereka yang hanya berani terhadap seseorang yang lebih lemah, tak jauh berbeda dengan para biadab yang merenggut apa yang ku miliki sebelumnya, sesuatu yang sangat berharga.
“Kalau kami tidak tidak pergi kau mau apa? Mau..”

Prang! Tanpa basa-basi botol yang ku genggam ku hempaskan ke kepala si botak, suaranya terpotong ketika sekuat tenaga ku pukulkan ke kepalanya. Ia terhuyung ke samping, sejenak keseimbangannya hilang, sementara kepalanya mengucur darah segar bercampur bau alcohol yang menyengat.

Sisa pecahan dari leher botol yang masih ku genggam erat, segera ku hujamkan ke perut lelaki buncit yang terlalu banyak bicara, membungkam mulutnya, hanya terdengar lenguhan kecil ketika sisa pecahan botol itu menusuk perut yang dipenuhi lemak. Sementara lelaki satunya, yang badannya lebih kerempeng dariku, tak lama mengalami nasib serupa. Tak terlalu sulit bagiku untuk merobohkannya, telak tinjuku mengenai rahangnya.

Aku nyaris terjerembab, tapi keseimbanganku masih terjaga. Tiang telepon di sebelahku menopang badanku yang mulai goyah. Sementara wanita itu hanya menutup mulut, suaranya tercekat di tenggorokan, melihat tiga lelaki yang tadi mengganggunya tersungkur di sekitarnya.

Ku tatap wajahnya, pucat pasi. Mungkin rasa takutnya kini berkali-kali lipat lebih dahsyat dari beberapa menit lalu. Gemetar tubuhnya, matanya nanar menatapku gentar.

“Kalian terlalu banyak bicara. Dasar amatir!” suaraku membentak mereka bertiga. Sementara sejurus kemudian, ku tatap wanita itu. Masih gemetar menatapku.

“Kenapa kau belum juga pergi? Belum pernah melihat orang berkelahi? Heh?!” ucapku ketus.

Tanpa menungguku kembali berkata, wanita itu bergegas, mengambil tas yang tergeletak tak jauh darinya, melangkah perlahan menjauh dariku, sebelum berlari, ia menatapku. Mata sayu yang menggambarkan banyak rasa di dalamnya. Ku kibaskan tanganku, pertanda menyuruhnya cepat pergi dari tempat itu. Menahan kata yang hendak terlontar dari mulutnya.

Sementara wanita itu berlalu, mencegat taksi dan kemudian menghilang di tikungan jalan. Aku bergegas pergi, meninggalkan ketiga orang yang masih terkapar. Sementara malam berlalu, aku merutuki kebodohanku, bukan karena apa-apa. Minuman di botol itu, adalah yang terakhir, sementara tak ada lagi sisa uang di saku celanaku, malam ini aku hanya akan tidur, tanpa ritual hingga subuh menjelang. Sial!

Mataku terbuka, ketika ku lihat sepasang kaki berdiri tegak di depanku. Dan ketika mataku tertuju ke arah wajahnya, ia sedikit mundur. Seorang wanita, aku tak mengenalnya.

“Ini, terima kasih buat kemarin,” katanya pelan, takut-takut memberikan bungkusan di tangannya.

“Hah, siapa kau?!” jawabku menyentak, masih berusaha mencerna keadaan. Belum lama mataku terpejam usai menyelesaikan ritual, dan kini ada orang yang mengganggu, jika bukan wanita, mungkin makianku akan terlontar dari mulutku, plus tinju jika ia benar-benar mengganggu. Tapi karena yang berdiri di depanku adalah wanita, aku mengurungkan niatku. Aku tak pernah berkelahi dengan wanita, dan itu masalah prinsip, tak perlu ada tanya di sana.

Tanpa berkata, ia meletakkan bungkusan di tangannya. Dan tanpa sempat ku berkata, dia telah berlalu.

“Hei, aku bukan pengemis! Lebih baik kau berikan kepada orang yang ada di sana,” ujarku sembari menunjuk beberapa gelandangan yang bersimpuh di pelataran.

Wanita itu tidak peduli, tetap melangkah. Menjauh. Aku mengumpat dalam hati. Berani-beraninya wanita itu menganggapku seperti pengemis. Aku bahkan tidak pernah meminta-minta. Kedua tanganku masih mampu untuk menghasilkan uang apa lagi hanya sekedar untuk makan.

“Hei!” aku berdiri, berusaha mencegahnya, tapi ia keburu hilang di tikungan itu. Aku hanya menggerutu dalam hati. Sembari berjalan, ku berikan kepada gelandangan yang berada di sudut jalan. Dua bocah yang berada dekat di kaki ibunya. Mereka senang tak kepalang, menerima suguhan di pagi hari ini.


Kejadian itu cepat berlalu, dan beberapa kali, bahkan lebih sering wanita itu memberikan  bungkusan setiap pagi. Dan beberapa hari ini, hal itu benar-benar mengusikku. Aku ingin tahu, apa yang sebenarnya diinginkannya. Dan ketika malam beranjak pelan, saat rintik-rintik hujan menyapa malam yang masih belia, ku tahu apa maksudnya, ketika aku dan wanita itu berteduh di pelataran toko ini. Hanya sedikit ucapnya, kemudian menyibak hujan yang masih menggerus sisa hangat sapa senja yang bersolek di ufuk barat.
Read More




Selasa, 19 Mei 2015

Ketika Mata Sang Fajar Menyingkap Tanya

#Kapan
Ilustrasi: 3.bp.blogspot.com

Mata sang fajar sebentar lagi terbuka, menyapa dunia dengan cahayanya, hangat. Menyibak pelan selimut kabut yang memeluk cakrawala, menembus diantara dedaunan, sementara semilir angin mengajak burung-burung tuk berdansa, bersenandung menyapa hari, bercengkrama dengan embun pagi, menyibak sisa kenangan yang hendak terbuang, terbungkam ribuan kata yang tersusun rapih.

Sementara aku masih terjaga dengan kejadian malam tadi, ketika tak ada rembulan dan bintang yang bermunculan di angkasa, hanya ada gelap yang menyelimuti hari. Sementara sendu cahaya lampu dari jalanan, menambah syahdu ketika petang beranjak dari peraduan, semakin sunyi ketika pekat benar-benar menikam waktu.

“Kapan waktu itu akan tiba?” suaranya memecah keheningan.

Sejurus mataku bertatap dengan matanya, mencoba menggali jawaban dari tanya yang akan melahirkan pertanyaan baru.

“Kapan, apakah akan seindah yang kita kira? Apakah akan semudah seperti yang kita inginkan? Apakah semuanya bisa terjadi seperti yang kita khayalkan?”

“Kapan?” gumamku perlahan, mencoba meyakinkan tentang tanya yang di ucapkan.
“Iya, kapan?”

“Entahlah, biarkan waktu yang akan berkata kepada kita, biarkan dia berbicara dengan caranya, biarkan kenyataan membimbing kita, biarkan seperti itu adanya. Tak perlu kita bertanya-tanya, tak perlu kita menerka-nerka, biarkan dia seperti matahari, yang terus berputar. Bahkan matahari tak pernah bertanya, kenapa dia terus melakukan hal yang sama setiap waktu, dia diperintahkan seperti itu, dan itulah yang dilakukannya, dan kita, kita harus seperti itu. menjalani semua ini, tanpa harus bertanya kapan waktu itu akan tiba,”

“Aku tak mengerti,” jawabnya, menatapku. Tajam.

“Kau bahkan tak perlu tahu tentang hal itu, kau bahkan tidak harus mengerti saat ini, tidak sekarang,” jawabku.

“Terkadang kita memang perlu penjelasan, karena memang fitrah kita, akan selalu minta penjelasan, meski sudah jelas hal itu tergambar dari setiap kejadian, tetapi, kita tidak akan pernah berhenti meminta penjelasan. Tapi, terkadang kita tidak harus mencari penjelasan, atau bahkan memintanya, karena itu akan menajdi jelas seiring waktu berjalan perlahan. Tidak sekarang, tapi nanti. Bersabar, hanya itu yang perlu kita lakukan,”

Ia tersenyum menatapku. Aku sangat suka senyum itu. Aku sangat suka guratan alis di wajah itu, aku selalu suka.

Percakapan singkat itu begitu menohokku, menghujam, pertanyaan tentang ‘kapan’ adalah pertanyaan yang lebih dari sekedar apa pun. Karena hal itu menjelaskan tentang waktu, waktu yang bahkan aku sendiri tidak akan pernah tahu, apakah akan bisa melihat mentari esok hari. Pertanyaan ‘kapan’, aku selalu tak bisa menjawabnya.

Temaran lampu jalanan masih menghiasi kota yang habis bersolek. Di jantung kota, kerumuman orang-orang tidak pernah berhenti berlalu lalang, mengabadikan momen dengan rekan, dan sang pujaan. Momen yang sungguh, aku bisa menangkap rona bahagia di sana, sementara aku, dingin melalui lautan tawa manusia, kembali bertanya-tanya, tentang pertanyaan yang tak ingin ku jawab.

Dan ketika sepertiga malam, otakku mulai protes. Keterlaluan, pikiranku kacau, sulit untukku bisa fokus. Sementara malam terus merangkak, tak ku pedulikan hawa dingin yang dibawa semilir angin, jemariku masih menari, merangkai kata, menjadi bagian-bagian yang terhubungkan. Aku masih terpaku di layar 14 inci, menjelajah daya nalarku, menekan imajinasi.

Aku masih belum mengerti tentang tanya yang entah kapan akan terjawab. Jika kau khawatir, aku pun sama. Jika kau takut, aku juga. Ya, terlebih bayang-bayang tentang kegagalan akan selalu ada,  melintas di kepala, menyapa pelan, mengusap imaji, mencoba mengintimidasi. Dan aku pernah menyerah dengan keadaan seperti itu beberapa waktu lalu, dan sekarang, tak akan ku biarkan dia kembali mengintimidasiku, mengintimidasi kita.

Sementara jingga mulai terlihat di atas cakrawala, rasa kantuk mulai menyergap pelan. Akan ku arungi syahdu pagi ini dengan sedikit mimpi, akan ku basuh dengan keyakinan sang fajar. Setidaknya, mataku sudah mulai merasakan kantuk, sepagi ini, ketika sebagian orang beranjak dari ranjang, aku terkapar di jalan, jalan yang entah akan menuju kemana. Aku, kamu, hanya dua orang bodoh yang berusaha untuk tidak saling menyakiti. Dan setidaknya, dua orang bodoh ini tidak akan saling mengkhinati. Janji seorang pengkhayal masih bisa kau pegang, untuk saat ini, dan mudah-mudahan hingga nanti..


Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML