Rembulan kembali bersinar
terang, cahaya melingkar sempurna, bintang gemintang berjajar diantara angkasa
yang kelam, tersenyum menyapa diantara kelembutan sang malam, sementara itu
gemuruh suara gelombang memecah keheningan, semilir angin berhembus kencang.
Aku, kembali menatap biru yang luas. Kembali merasakan belaian angin yang
menjadi dingin, merasakan kembali harmoni yang menyatu dengan hati, kembali
bersenandung dengan suara deburan ombak, kembali menyapa mentari yang menepi.
Kembali merasakan hangat belaian jingga sang senja.
Perjalanan ini membawaku pada sebuah tempat yang selalu
ramah menyapa, rasa gundah dan gelisah bukanlah perkara yang harus selalu
membuat langkah goyah. Tidakkah gelombang itu akan selalu menyambangi sang
pasir? kembali menderu, kembali berseru. Berirama. Seperti ajakan untuk kembali
berpacu, berlari menjauh dari masa silam, namun begitu dekat dengan masa depan.
Aku selalu bisa menadapatkan ketenganan, meski dengan cara yang berbeda.
Masa
itu begitu jauh membawa langkahku berpijak, menjauh kembali bergeser dari
tempat dimana semua kenangan itu begitu hidup. Hidup di dalam setiap detak
jantung dan helaan nafas. Begitu hangat seperti ketika senja kembali menyapa
diantara birunya cakrawala, seperti luasnya samudera yang mengharu biru,
seperti sapa sang camar dikala petang menjelang. Seperti semilir angin yang
selalu berhembus, membelai tubuh yang mulai lelah.
Kerlipan
perahu nelayan terlihat bagai bintang yang mengapung di lautan, sesaat
terlihat, sesaat menghilang, timbul tenggelam diantara gelombang yang
menggulung. Aku ingin bercerita pada senja, meski hanya sesaat ia menyapa. Aku
ingin berbicara denganmu melalui semilir angin meski tidak kau dengar, namun ku
yakin angin akan membisikkan berjuta Bahasa yang bisa dimengerti oleh hati.
Bukankah
kita berpijak di bumi yang sama, menatap angksa yang sama, merasakan hangatnya
senja yang sama, menikmati keheningan malam yang sama. Dan kita masih akan
terus bersama-sama meski dalam Bahasa harfiah tidak sedang bersama. Detak
jantung ini akan terus berirama sama, hanya mungkin sesekali saja berdetak
lebih cepat dari sebelumnya, atau melambat dari semestinya.
Pada
suatu malam, ketika keheningan dipecahkah oleh suara gelombang, aku mencoba
untuk melangkah diantara gelap yang semakin pekat. Meraba setiap jalan yang
tidak terlihat, berjalan menembus kegelapan, berjalan pelan kearah cahaya,
berjalan pelan kearah yang sama, denganmu. Tidak ku hiraukan duri-duri dan
bebatuan tajam itu menggores telapak kakiku, karena masih bisa ku gunakan untuk
tetap berjalan meski perih tertahan. Sedetikpun tidak ku hiraukan terpaan angin
yang semakin dingin, merobek pori-pori kulitku, menembus dan menusuk hingga ke
tulang, membuat ngilu sekujur tubuh. Aku tetap melangkah meski menggigil menahan
dingin.
Khayalku
menuntun kearah semak belukar, uraian masalah yang tidak pernah benar-benar
terurai. Sesekali membelit dan menjerat langkah, menahan laju langkah yang
tidak bisa berlari, goresan ialalang terkadang membuat kulitku terasa perih.
Namun, goresan luka di tubuh itu mengajarkan aku bahwa setiap masalah tentu
akan meninggalkan bekas.
Pada
malam-malam selanjutnya, aku masih akan berkisah tentang indahnya tepi pantai,
bersenda gurau dengan gelombang, melihat camar bercumbu diantara hempasan
gelombang yang menggulung karang. Menyaksikan kepiting berjalan miring,
bergerak cepat, lalu menghilang dengan gelombang yang menyambut perlahan.
Akan
kembali ku tuliskan berbagai aksara yang diterjemahkan dalam Bahasa gelombang,
akan ku bacakan kembali kisah-kisah yang tidak bisa kau mengerti dengan Bahasa
nuranimu, akan ku perjelas dengan bait-bait puisi yang sengaja kutuliskan agar
kau tak kesepian ketika malam menjelang.
Akan
kembali ku ingatkan kau tentang malam yang panjang, malam yang selalu kita
lalui bersama, menghabiskan cerita dibawah cahaya rembulan, sembari ku genggam
jemarimu, sembari ku cium aroma tubuhmu, agar selalu bisa kuingat dan kurasakan
ketika jemarimu perlahan terlepas, atau aroma tubuhmu mulai menghilang di bawa
oleh hembusan angin, aku akan mengingatnya sekarang untuk hari yang akan
datang.
Jika
masih bisa kau rasa, jemariku masih bisa menggenggam erat jemarimu. Atau kau
masih bisa dengarkan setiap detak jantungku ketika tubuhku memeluk erat
tubuhmu, dan kau masih akan mendengarkan detak yang sama pada setiap detak
jantungmu. Kuingat kau sekarang untuk dihari yang akan datang, agar serasi
dengan harmoni, agar selaras dengan simphoni, agar sama dengan naluri, agar
senada dengan nurani.