Tampilkan postingan dengan label inspirasi & motivasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label inspirasi & motivasi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 19 Mei 2015

Ketika Mata Sang Fajar Menyingkap Tanya

#Kapan
Ilustrasi: 3.bp.blogspot.com

Mata sang fajar sebentar lagi terbuka, menyapa dunia dengan cahayanya, hangat. Menyibak pelan selimut kabut yang memeluk cakrawala, menembus diantara dedaunan, sementara semilir angin mengajak burung-burung tuk berdansa, bersenandung menyapa hari, bercengkrama dengan embun pagi, menyibak sisa kenangan yang hendak terbuang, terbungkam ribuan kata yang tersusun rapih.

Sementara aku masih terjaga dengan kejadian malam tadi, ketika tak ada rembulan dan bintang yang bermunculan di angkasa, hanya ada gelap yang menyelimuti hari. Sementara sendu cahaya lampu dari jalanan, menambah syahdu ketika petang beranjak dari peraduan, semakin sunyi ketika pekat benar-benar menikam waktu.

“Kapan waktu itu akan tiba?” suaranya memecah keheningan.

Sejurus mataku bertatap dengan matanya, mencoba menggali jawaban dari tanya yang akan melahirkan pertanyaan baru.

“Kapan, apakah akan seindah yang kita kira? Apakah akan semudah seperti yang kita inginkan? Apakah semuanya bisa terjadi seperti yang kita khayalkan?”

“Kapan?” gumamku perlahan, mencoba meyakinkan tentang tanya yang di ucapkan.
“Iya, kapan?”

“Entahlah, biarkan waktu yang akan berkata kepada kita, biarkan dia berbicara dengan caranya, biarkan kenyataan membimbing kita, biarkan seperti itu adanya. Tak perlu kita bertanya-tanya, tak perlu kita menerka-nerka, biarkan dia seperti matahari, yang terus berputar. Bahkan matahari tak pernah bertanya, kenapa dia terus melakukan hal yang sama setiap waktu, dia diperintahkan seperti itu, dan itulah yang dilakukannya, dan kita, kita harus seperti itu. menjalani semua ini, tanpa harus bertanya kapan waktu itu akan tiba,”

“Aku tak mengerti,” jawabnya, menatapku. Tajam.

“Kau bahkan tak perlu tahu tentang hal itu, kau bahkan tidak harus mengerti saat ini, tidak sekarang,” jawabku.

“Terkadang kita memang perlu penjelasan, karena memang fitrah kita, akan selalu minta penjelasan, meski sudah jelas hal itu tergambar dari setiap kejadian, tetapi, kita tidak akan pernah berhenti meminta penjelasan. Tapi, terkadang kita tidak harus mencari penjelasan, atau bahkan memintanya, karena itu akan menajdi jelas seiring waktu berjalan perlahan. Tidak sekarang, tapi nanti. Bersabar, hanya itu yang perlu kita lakukan,”

Ia tersenyum menatapku. Aku sangat suka senyum itu. Aku sangat suka guratan alis di wajah itu, aku selalu suka.

Percakapan singkat itu begitu menohokku, menghujam, pertanyaan tentang ‘kapan’ adalah pertanyaan yang lebih dari sekedar apa pun. Karena hal itu menjelaskan tentang waktu, waktu yang bahkan aku sendiri tidak akan pernah tahu, apakah akan bisa melihat mentari esok hari. Pertanyaan ‘kapan’, aku selalu tak bisa menjawabnya.

Temaran lampu jalanan masih menghiasi kota yang habis bersolek. Di jantung kota, kerumuman orang-orang tidak pernah berhenti berlalu lalang, mengabadikan momen dengan rekan, dan sang pujaan. Momen yang sungguh, aku bisa menangkap rona bahagia di sana, sementara aku, dingin melalui lautan tawa manusia, kembali bertanya-tanya, tentang pertanyaan yang tak ingin ku jawab.

Dan ketika sepertiga malam, otakku mulai protes. Keterlaluan, pikiranku kacau, sulit untukku bisa fokus. Sementara malam terus merangkak, tak ku pedulikan hawa dingin yang dibawa semilir angin, jemariku masih menari, merangkai kata, menjadi bagian-bagian yang terhubungkan. Aku masih terpaku di layar 14 inci, menjelajah daya nalarku, menekan imajinasi.

Aku masih belum mengerti tentang tanya yang entah kapan akan terjawab. Jika kau khawatir, aku pun sama. Jika kau takut, aku juga. Ya, terlebih bayang-bayang tentang kegagalan akan selalu ada,  melintas di kepala, menyapa pelan, mengusap imaji, mencoba mengintimidasi. Dan aku pernah menyerah dengan keadaan seperti itu beberapa waktu lalu, dan sekarang, tak akan ku biarkan dia kembali mengintimidasiku, mengintimidasi kita.

Sementara jingga mulai terlihat di atas cakrawala, rasa kantuk mulai menyergap pelan. Akan ku arungi syahdu pagi ini dengan sedikit mimpi, akan ku basuh dengan keyakinan sang fajar. Setidaknya, mataku sudah mulai merasakan kantuk, sepagi ini, ketika sebagian orang beranjak dari ranjang, aku terkapar di jalan, jalan yang entah akan menuju kemana. Aku, kamu, hanya dua orang bodoh yang berusaha untuk tidak saling menyakiti. Dan setidaknya, dua orang bodoh ini tidak akan saling mengkhinati. Janji seorang pengkhayal masih bisa kau pegang, untuk saat ini, dan mudah-mudahan hingga nanti..


Read More




Sabtu, 02 Mei 2015

[Hanya] Dengarkan..

Ilustrasi: farm8.static.flickr.com/

Tidak ada bunga atau bingkisan menarik nan romantis lainnya yang akan ku berikan, bukan juga tentang janji-janji manis atau tentang muluknya harapan nan menawan di masa depan, bukan, tentu bukan itu. Kenapa, kau tahu sebabnya? Ya, bagiku, hal-hal itu mungkin tidak bisa ku penuhi, karena awalnya aku pernah berjanji –meski tak pernah benar-benar terucap- tapi selangkah pun, tak ada yang mendekati. Maka, ku putusakan, untuk tidak sama sekali melakukannya lagi.

Sekarang, hanya ada gambaran realita yang membetang luas, realita penuh dengan nestapa dan derita. Jangan berpikir bahwa tidak akan ada bahagia di sana, tentu ada. Tapi, akan ku jelaskan, semua kebahagiaan di dalam novel itu tentu tidak akan semua bisa didapatkan, ya, tidak akan mudah. Akan selalu ada ranting yang akan menghadang jalan, akan ada terjal jalan yang akan ditempuh, akan ada curam yang menganga di bawah sana, sesekali tergelincir, sesekali tersungkur, tidak akan selalu bisa berlari, bahkan, ku katakan bahwa tak jarang kita akan merangkak nantinya.
….

Setelah seharian ini mendung merundung angkasa, akhirnya hujan turun juga, ketika pekat merangkak perlahan, rinai hujan kembali menyapa sisa hari yang diselimuti lelah, malam yang dipeluk rindu, malam yang dibungkus dengan harapan, malam yang diselingi dengan senandung lara atau bahkan ratapan penuh tanda tanya. Ya, berjuta kisah kembali tertuang di dalam setiap detik putaran jam sepanjang hari ini. Kemudian, untaian doa –atau mungkin juga- ratapan, sumpah serapah terbang ke angkasa, tertuju kepada yang dituju, entah siapa, mungkin Tuhannya, mungkin juga tak bertujuan. Ah, terlalu banyak kemungkinan bukan?

Matanya, aku masih lekat menatap. Perhatikan tiap lekuk wajahnya, mencoba mengukir kembali guratan-guratan yang terlukis di sana. Mengukirnya perlahan di dalam ingatan. Senyumnya, hmm.. Kemudian pandanganku kembali ke sepasang bola mata bening itu, ku lihat, tatapan yang terkadang begitu manja, atau mendengarkan suara yang selalu terdengar sama.  Aku selalu menyukai hal-hal serupa. Tidak akan pernah bosan, semoga. Tapi, tidak malam ini.

“Aku hanya tidak suka, bagaimana mereka menilaimu,” ucapnya lirih. Bergetar, penuh emosi yang meradang.

“Aku tidak suka, mereka bahkan belum mengenalmu, lantas, kenapa dengan mudahnya mereka menganggapmu seperti itu? Kenapa? Tak bisakah mereka membiarkanku menentukan pilihan sejenak, tak bisakah aku sekarang menikmati asa yang mulai tertera di sanubari? Tak bisakah..” suaranya tercekat kemudian.

Ku tatap bola mata itu, berair. Ada genangan di kelopak mata bening itu. Aku tersenyum. Mencoba menghiburnya, dengan genggaman tangan dan tatapan penuh keyakinan. Dengan sekali anggukan. Tak ada kata yang ingin ku ucapkan. Dia sudah lebih dari mengerti apa maksudku, dari sentuhan dan tatapan yang ku berikan. Tak perlu lisanku berucap, tak perlu panjang kalimatku menenangkannya, ini lebih dari cukup.

Setengah jam kemudian, dia masih meracau, mengutarakan kekecewaannya. Masih menuangkan gundahnya kepadaku, masih bercerita tentang topik yang sama. Dan sekali pun, tak pernah aku memotong perkataannya, tidak ada juga kata yang ku ucapkan untuk menanggapi itu. Ya, dia tidak perlu balasan, dia hanya perlu didengarkan, dan malam ini, aku akan menjadi pendengar yang baik. Setelah sekian lama, aku menjadi pendongeng ulung. Kali ini, ceritaku akan ku simpan, lain kali aku akan kembali berkisah, tentang apa pun yang dia inginkan. Ya, aku akan kembali bercerita, tapi tidak malam ini.

“Hei, lihat. Kau lihat orang-orang itu. tertawa lepas. Bahkan satu sama lain mungkin tidak saling kenal –benar-benar kenal-. Tapi, lihatlah. Mereka bisa tertawa bersama bukan? Ada banyak hal yang mungkin tidak mereka tahu dari orang di sebelahnya. Lihat, yang satu sedang menggenggam jemari pasangannya, sementara yang lainnya sibuk tertawa, entah menertawakan apa. Lalu lihat itu, bahkan semua orang melepaskan semua beban di saat sebagian lainnya merasa kelaparan,” ucapku, sambil menunjuk salah satu orang yang bersimpuh di depan etalase toko itu, dari tampilannya, terlihat seperti seorang tunawisma.

“Lalu, lihat mereka,” ku tunjuk segerombolan anak-anak yang berdiri di seberang jalan. Tampak bercanda riang, pakaiannya lusuh, rambutnya kusut, wajahnya penuh dengan debu.

“Lihat, mereka juga tertawa begitu lepas. Sama seperti orang itu,” ku tunjuk sepasang muda-mudi yang dipeluk asmara, serta segerombolan remaja yang sibuk dengan gadget di tangan, tampak asyik berfoto ria.

“Lihat, bahagia itu tak perlu alasan. Tidak juga harus di pahami semua orang. Karena, bahagia itu, kita yang menciptakannya. Bukan mereka, bukan juga kita, tapi diri mereka masing-masing. Dan semua itu bisa didapatkan ketika kita bisa menerima, apa pun konteksnya. Ya, kita harus menerima apa pun yang ada. Cibiran, anggapan positif, negatif, itu semua hanya sebuah tema, tapi esensinya. Kita bisa menentukan. Apakah akan bermakna indah, atau bermakna perih.” ucapku setelah sekian lama hanya diam. Dan aku, mulai berkata ketika tak ada lagi suara yang diucapkannya.

“Dengarkan, dengarkan semua yang bisa kau dengar. Tapi, tak lantas kau memasukkannya ke dalam pikiran, terlebih hati. Ada kalanya kita hanya mendengar, sekali lintas saja, selebihnya, itu hanya angin lalu. Tidak buruk untuk menjadi apatis, sejenak. Terkadang itu perlu dilakukan, karena jika kita memasukkan semua perkataan ke dalam hati, tentu perlu berhari-hari untuk mencernanya, jika tidak bisa mencerna dan memahani, maka dia akan mengendap di dalam hati, kemudian menghitam, legam. Hanya akan lahir kebencian. Lalu mereka, dia, aku dan kau, tentu tidak harus memendam kebencian. Karena, ternyata merasa bahagia, itu jauh lebih baik,” kuberikan senyum termanis, sisa senyum hari ini yang terkelupas oleh letih.

Ia menatapku. Tak mengerti maksudku. Aku tersenyum, dan berkata:”Kau tidak perlu mengetahuinya sekarang, ini semua tentang apa yang kau bicarakan, tentang apa yang kita rasakan. Karena pada dasarnya, kita akan segera mengerti setelah melalui ini, tidak pada saat kita menghadapi ini. Dan bahagia itu, tidak bisa selalu seiring sejalan, terkadang ia berjalan masing-masing, aku sendiri, kau juga. Tapi, ada saatnya, kita akan tertawa bahagia bersama. Meski alurnya berbeda, tapi, makna dari bahagia, itu akan selalu ada. Antara aku, kau dan mereka.” ucapku pelan, sembari menggenggam tangan yang mulai terasa dingin.

Hujan masih jatuh dari angkasa. Langit jelas semakin pekat, dan ketika kerinduan berpadu dengan harapan serta keyakinan. Maka sepekat apa pun malam, meski tanpa bintang dan cahaya rembulan, ia akan tetap berwarna. Indah..


Read More




Kamis, 30 April 2015

Nikmat Secangkir Espresso dan Rasa Pahit

#Harapan

ilustrasi: vanillafairystory.blogspot.com

Menjelang fajar, udara di kota ini terasa begitu sejuk, semilir angin membelai pelan dedaunan yang tumbuh di sepanjang jalan ini. Ruas jalan masih tampak lengang, namun geliat kota ini mulai terlihat, bahkan sebelum terdengar lantunan suara merdu adzan. Atau mungkin mereka baru saja pulang, ah, wajar saja, karena memang geliat kota ini tidak pernah padam. Akan selalu ada kehidupan dalam putaran waktu selama 24 jam sehari penuh.

Ku ceritakan kepadamu, jika aku semakin suka dengan suasana ketika fajar menyapa, terlebih ketika terlihat awan menggantung di cakrawala, diselimuti kabut tipis yang –hei-, itu sangat romantis. Atau kemarin sore, bukankah ada pelangi melingkar di atas sana, ketika warna jingga di ufuk barat berpadu dengan warna lembayung di sebelah timur, begitu menenangkan bukan?

Aroma secangkir espresso menyeruak penciuman, membuka mata yang mulai berat menahan kantuk, tengah malam, ketika sebagian orang terlelap menarik selimut, meringkuk nyaman dalam hangatnya selimut hidup. Ahh, kau lihat, bahkan ada bagian yang terlewat dari mereka yang tertidur nyaman, ditemani oleh mimpi-mimpi indah, dan aku, masih berada di depan layar 14 inci ini, masih merajut sisa harapan yang dipandang tak lebih dari sekedar angin lalu.

Beberapa waktu lalu, ada bagian yang kau singkap, tentang tabir di masa lalu. Kau buka lembaran demi lembaran kisahku, kau cari tahu tentang diriku di waktu itu, dan bisa dipastikan, kau akan menemukan banyak rahasia yang sungguh, kau tak akan pernah menyukai itu.

Dari latar belakang yang kelam, aku berjalan menuju ke arah jalan terang, jalan yang disinari oleh harapan. Tentang masa depan, ya masa depan. Kau tengok ke belakang, kisahku, tentu berliku. Atau mungking kau akan segera sadar, jika aku, tidak sebaik yang terlihat –sekarang- tapi, percayalah, aku sungguh ingin berjalan di antara masa keemasan, menggenggam harapan yang sempat terlepaskan.

Aku tentu masih ingat, ketika suatu petang kau berujar tentang harapan yang kau sandarkan kepadaku, atau cerita tentang ketidaksukaan orang-orang terdekatmu tentangku, aku, hanya tersenyum sembari berujar pelan.

“Sayang, ini hanya permulaan, tentang jalan panjang yang berliku. Masih akan ada banyak halangan di depan, bukan melulu soal perasaan. Tetapi, juga tentang ujian, untuk kita bisa mengucap kata rela,” ujarku.

Kau menatap sayu, aku bisa menangkap rona harapan di mata itu, dan begitu ku genggam jemarimu, ada kekuatan yang kemudian mampu ku terjemahkan ke dalam kalimat-kalimat ini. Percayalah, akan tiba waktunya, ketika semua orang melihat kita, dengan tawa bangga menghiasi wajahnya, bukan tawa yang meremehkan atau menggunjing, tidak sekarang, tapi nanti. Percayalah.

Kita berbincang banyak hal, tentang sesuatu yang tidak penting. Tapi, ku lihat, ku rasakan, terkadang, untuk menjadikan momen itu penting, tidak melulu membutuhkan suasana yang spesial, karena, kita akan selalu menjadikan hari-hari itu lebih istimewa.

Hari telah berganti, sementara aku, masih terpaku di sini. Menanti sapa pertama mentari pagi ini, seperti halnya aku, yang akan selalu menanti genggaman harapan yang kian erat memelukku. Secangkir kopi ini masih tersisa beberapa teguk lagi, masih bisa ku rasakan setiap teguk rasa pahitnya. Kita pernah mendengar ungkapan tentang esensi kopi, “Senikmat-nikmatnya kopi, tentu masih menyisakan rasa pahit di antara rasa yang istimewa” lantas kita percayai hal itu, dan seindah-indahnya hidup, tentu akan ada beberapa tetes rasa pahit yang dirasakan.

Dan ku berikan nasihat kepadamu, kepada kita, kepada diriku sendiri, bahwa semua hal itu akan selalu bisa dimaknai, tak peduli tentang rasa yang diteguk, karena sungguh, kita semua tentu menginginkan perbaikan di dalam diri ini. Masa lalu seseorang bisa kelam, tapi, siapa yang tahu masa depan seseorang?


Kita hanya perlu bijak menyikapi hal ini. Tentang harapan si penggenggam hujan, tentang impian si pelukis langit, tentang semua hal. Ini mungkin hanya sebuah langkah kecil, tetapi, untuk bergerak, kita tidak perlu berlari, ya, kita hanya perlu beranjak berdiri dan melangkah, sekecil apa pun langkah itu, akan sangat berarti, lima jengkah dari tempat semula, itu tetap sebuah langkah. Antara aku, kamu, dan pengagum ‘kita’..
Read More




Rabu, 25 Februari 2015

Aku, Si Pengkhayal Tanpa Masa Depan

#Bukan Tentang Pengakuan


Ilustrasi:1.bp.blogspot.com

Akhir-akhir ini, cuaca begitu ceria ketika malam menjelang, atau lebih tepatnya, saat pekat benar-benar membungkus waktu. Di cakrawala sana, terlihat begitu tenang, dengan beberapa pijar bintang yang bersinar, meredup, tapi ada sebagian yang terang, serta ditambah sentuhan manis dari bulan yang berbentuk sabit.

Ahh,, kau tahu, bahkan aku sepertinya telah lupa bagaimana rasanya nestapa. Karena bagiku sama, rasa itu sepertinya terlalu lama menemaniku, hingga lupa bagaimana ku ungkapkan rasa yang sebagian orang akan bergidik jika kembali merasakannya. Tapi aku, aku bahkan tak peduli tentang bagaimana rasanya derita menyabotase hatiku.

Lebih dari seminggu lalu, kota ini, tak lagi selalu di guyur hujan. Menyisakan roman indah ketika senja menyapa, ada cakrawala biru menyapa di atas sana ketika subuh berlalu, saat mentari mulai menampakkan diri. Indah memang, terlebih kadang-kadang ada sebaris kabut yang menutupi anggunnya barisan pegunungan yang terbentang membentuk sebuah cincin, melingkar seperti memagari kota ini, akan selalu indah bukan?

Beberapa tahun lalu, sepertinya tawa tak akan lepas dari wajah-wajah mereka, ketika ku ungkapkan harapan dan impianku, tentang cita-cita yang direfleksikan ke dalam sebuah kata-kata, akan ada nada berirama ‘merendahkan’ atau bisa ku sebut itu adalah doa, doa yang disampaikan dengan cara mereka, dan aku pun juga kadang-kadang tertawa, menertawakan semua itu. Karena kau tahu? Bahkan aku juga merasakan, jika impianku itu terlalu muluk, atau bahkan adalah sesuatu yang mustahil. Melukis langit! Itu impianku.

Jangankan melukis langit, menggapai mentari pun kau tak akan bisa, dari seseorang yang dianggap tidak memiliki masa depan, terlalu banyak berkhayal, dan jika bolah ku curahkan sedikit rasa kecewa ini karena di rendahkan, aku akan selalu mengingatnya, akan selalu ku ingat, untuk menjadi penyemangat, dan suatu saat, aku akan benar-benar memberi warna pada angkasa itu. Ya, aku bisa melukis langit, dengan jemariku.

Aku, seperti dihempaskan begitu dalam ketika ada banyak nada merendahkan. “Mimpimu terlalu tinggi kawan, tak usahlah kau terlalu muluk-muluk, melangkah saja kau susah, bagaimana kau bisa menjelajah sebagian bumi ini, hidup itu harus dilakoni dengan realitas, lihat! Buka matamu, lalu kau camkan dalam hati, kemudian, kau patri dengan paku baja, agar tak lepas dari otak pengkhayalmu itu, bahwa hidup ini sudah begitu keras, jangan bebani dengan sesuatu yang tak pasti!”

Atau di suatu malam, ketika aku bertandang ke kediaman seseorang. Ya, seorang wanita tentunya. Ketika itu, dia bertanya tentang pekerjaan. “Apa pekerjaanmu nak?” tanya wanita separuh abad itu. Aku tertunduk, tak bisa ku tawarkan pekerjaan yang bisa ku jadikan jaminan untuk bisa menjaga buah hatinya. Kata-kataku hilang, bak ditelan bumi.

“Penulis.” jawabku lirih.

Ku tahu, dari pekerjaan itu, tak ada jaminan harta di dalamnya, karena sempat ku utarakan dengan bangga tentang pekerjaanku, dan jawab mereka pada waktu itu. “Semoga lekas dapat pekerjaan yang lebih baik!”

Dan seperti apa yang ku duga, wanita separuh abad itu juga memberikan jawaban serupa. Aku tertunduk. Bahkan, aku hanya memiliki setelah pakaian yang sama, selalu itu yang ku kenakan setiap kali bertandang, itu adalah satu setelan pakaian terbaikku, dan hanya itu. Wajar jika orang-orang menatapku dengan tatapan nelangsa, pemuda tak memiliki masa depan. Suram.

Benar saja, beberapa bulan kemudian, ternyata bahkan aku merasa seperti dihempaskan (lagi) ketika ada seseorang yang datang kepadanya, dengan label ‘eksekutif muda’, setelan perlente, gelar dari perguruan tinggi ternama, mapan, bergelimang harta, dan si penulis –yang bahkan baru bisa mengeja kata ini- harus benar-benar belajar mengeja kata ‘rela’ untuk melepaskan sebagian impian yang pernah dirajut.

Sekali lagi, aku si pengkhayal yang memiliki cita-cita melukis langit, entah, apakah semua orang masih akan menilai sama, tapi aku bahkan tak memikirkan penilaian orang tentangku sekarang. Dianggap pengangguran, tak miliki penghasilan, hidup tak miliki rumah. Aku bahkan mulai tak mempedulikan itu.

Ada nasihat dari seorang teman, sahabat atau kakak. Dia berujar suatu ketika. “Kita ini, anak perantau. Pantang menerima pujian. Jika kau berharap dipuji, matilah kau! Kita ini, anak perantau, harus berdiri dengan kritikan orang lain, harus kuat dengan badai terpahit di tanah orang. Berdiri tegak dengan caci maki, pantang bagi kita untuk berpuas diri dengan pujian!”
……

Ku beri tahu kau, kalian, tentangku sekarang, aku seorang pengkhayal yang mencoba menuliskan bait tentang harapan melalui rapalan doa dan usaha, akan terus melangkah, akan tetap berjalan meski susah, dan satu persatu, ketika si pemuda tak miliki masa depan ini bahkan bisa berlari kencang, melebihi desiran angin dan desau suara peluru, tak perlu kau, kalian memberi pengakuan terhadapku, karena, aku sungguh tak butuh pengakuan. “Berproses” ujar salah satu ‘mentor-ku’ dan aku, akan menikmati setiap proses itu.

-Berjalan itu hanya sekedar melangkah, tak perlu tegap, tak perlu cepat. Hanya sekedar melangkah, dan kau akan temukan jawaban dari semua pertanyaan itu, sekalipun dengan diam-
Read More




Senin, 26 Januari 2015

Cerita Tentang Dia ‘Ku’

#Menggurat Kisah Diantara Pelukan Hujan



Sore itu, setelah kumandang adzan magrib membahana kota ini, ketika senja hanya menyisakan bias yang tak terlihat di ufuk barat, sementara itu barisan rintik hujan sekali lagi menyapa. Menaburkan tetesan air dari langit, menguat aroma tanah basah, membasuh bumi dengan jutaan berkah, aku kembali melanjutkan kisah tentang hujan.

Terlihat dari kejauhan, dia menunggu di depan tempat makanan cepat saji. Menggunakan setelan pakaian yang baru ku lihat, tampak serasi dengan apa yang dikenakan. Sementara aku, masih dengan gayaku, kemeja planel dan jeans belel, miris, hanya ini pakaian terbaikku. Menyapa ketika menyibak hujan yang masih setia membasahi malam yang terus merangkak.

Janji makan malam, sederhana. Malam ini tentu saja sama seperti kemarin bagi sebagian banyak orang, hujan masih saja menyapa kota ini, tak pernah berhenti sepanjang hari. Hawa dingin masih menjadi sahabat setia. Orang-orang terlalu akrab dengan suasana dingin dan basah kota ini, janji sederhana itu menjadi kepingan cerita yang luar biasa bagi seseorang. Lelaki itu, masih menggurat harapan dan angan yang sempat memudar, mencoba menggoreskan tinta di atas cakrawala, masih percaya akan satu kesempatan kecil dalam hidupnya, menemukan pelukis langit-nya.

Sementara ia melangkah menembus malam dan menyibak hujan, langkahnya mantap memecah keheningan, ada sebongkah harapan yang tersisa, tak sepenuhnya sirna karena kejadian beberapa waktu lalu.

Bagian ini, akan tampak biasa bagi sebagian orang, karena tentu saja semua orang pernah mengalaminya, dan akan menjadi klise jika kemudian dituangkan ke dalam kertas dan cerita seperti ini, tapi bagiku, setiap kisah tidak akan pernah usang, akan ada bagian menarik yang bisa ditelisik. Apa lagi jika bukan tentang harapan-harapan itu? Ya, harapan tentang mengecap sebuah indahnya rasa yang terus tergerus, mencoba menjalani semua fase kritis, menelan semuanya. Ini tetap menjadi sebuah kisah indah baginya, bagi sebagian orang, dan mungkin saja aku ambil bagian dalam cerita ini.

“Aku di seberang jalan,” sebuah pesan singkat masuk.

Aku melangkah pelan, menyapu pandangan. Masih tak terlihat, sekali lagi langkah ini memutari tempat ini. Sebagian orang berteduh di bawah pohon rindang, menanti angkutan umum. Sesaat mataku menangkap wanita bediri di depan gerai makanan cepat saji.

Mataku masih berusaha mengenali, meski hanya berjarak kurang dari 50 meter, tapi dengan pencahayaan terbatas dan hujan seperti ini, sulit bagiku untuk mengenali siapa pun.

Hujan, bikin bete,” ujarnya singkat. Aku berusaha tersenyum. Masih mencoba memilih kata pembuka untuk menyapa. Ini saat krusial, karena salah saja menentukan kalimat tanya, semuanya akan berakhir dengan tanda tanya.

Sayup-sayup terdengar suara musik di café sebelah, tampak band lokal sedang perform di pelataran teras. Hujan tak menyurutkan semangat sekumpulan pemuda itu membawakan lagu miliki Hoobastank, The Reason.

Entah, sepertinya semuanya menjadi resonansi, terhubung. Antara hujan, momen ini dan tentu saja lagu itu menambah suasana menjadi tak terduga, pas sekali dengan keadaan ini, ini bukan sebuah kebetulan.

..I'm not a perfect person
There's many things I wish I didn't do
But I continue learning
I never meant to do those things to you
And so I have to say before I go
That I just want you to know

I've found a reason for me
To change who I used to be
A reason to start over new
and the reason is you …

Tak perlu ku ungkapkan semuanya, sepertinya lagu itu sudah menjawab semuanya, mengantarkan kata pembuka untukku memulai percakapan. Masih  ku tatap wajahnya, kembali mengguratkan harapan di langit yang pekat, sesekali mencuri pandang kepadanya, terpana sesaat, kemudian mematrinya dalam ingatan. Dari tatapan mata hingga intuisi yang diciptakan oleh suasana hujan ketika petang menjelang.

“Jadi, mau makan apa?” tanyaku memecah keheningan.

“Terserah,” jawabnya singkat.

Aku tak terlalu pandai menjawab hal itu, meskipun itu bukan pertanyaan, tapi jelas dia butuh penjelasan. Akan ke mana dan bagaimana kelanjutan rencana ini. Sepersekian detik ku pacu otakku, menelusuri tiap sudut kota, hujan menyempitkan pilihan. Aku masih mencoba mengais jawaban itu. Mungkin otakku terlalu lelah untuk mencari jawaban sederhana itu, karena sepanjang hari ini telah terkuras.

“Mau jenis makanan seperti apa?” tanyaku.

Pengen sate,” sebuah jawaban ku dapat. Klik, otakku langsung mengunci koordinat tempat di mana akan ku tuju.

“Ada tempat makan favoritku, mau kita kesana?” tanyaku lagi. Jelas naluri bertanyaku tak hilang, bahkan aku menjadi seperti seorang wartawan yang memburu berita dari narasumbernya.

Dia tak suka ditanya, ku tahu itu pasti. Aku hanya memastikan pilihan itu tak salah.

“Terserah.” jawabnya singkat.

“Baiklah, sekarang kita berangkat?” tanyaku lagi. Dan lagi-lagi aku bertanya, matanya menatapku tajam, telat meralat, dia terlanjur tak suka ditanya.

Ada rumus yang mengatakan bahwa wanita tentu tak suka ditanya, tapi jelas mereka sangat ingin ditanya. Dan sialnya, aku bukan termasuk orang yang pandai menjawab pertanyaan ‘terserah’.

“Tapi masih hujan, tak apa?” tanyaku lagi, bodoh. Ia mendengus pelan. Aku terdiam. Sekali lagi, kebodohanku bertambah lima persen.

Ia hanya mengangguk, memberikan kunci scooter maticnya, tak berapa lama kami berjalan menembus malam, di bawah siraman gerimis yang ku paksa menjadi romantis. Kebodohanku bertambah lima persen, setelah baru beberapa meter berjalan gerimis semakin deras membasuh tubuh ini, tanpa jas hujan dan terjebak di perempatan jalan, masih ada satu menit lebih lampu merah itu menyala. Otakku kembali berputar, mencari cara mencairkan suasana yang sebenarnya romantis, tapi jika basah kuyup bukan romantis yang tercipta, tapi derita.

Dia menolak berhenti, memintaku melanjutkan perjalanan. Sial, kebodohanku bertambah lima persen, total baru saja 10 menit, kebodohanku telah meningkat pesat sebanyak 15 persen. Tempat makan itu tak ada di sana, dalam hati menyumpahi keadaan. Ini menjadi kontradiksi, sebuah pertanyaan kembali tertera di hati, jelas aku lupa di mana letak tempat makan itu, salah mengambil belokan jalan, dan itu menjadi petaka ketika rencana pertama gagal.

“Sepertinya si tukang sate ambil cuti,” kataku pelan. “Ada pilihan lain?” tanyaku lagi.

“Terserah, yang jelas aku lapar.” ku lihat ia nyengir dari kaca spion. Sepertinya gurauanku berhasil membuatnya tertawa, lagi.

Baiklah, kali ini kebodohanku kalah cepat dengan mengambil alih, ku putuskan untuk menepi, sebuah kedai yang tampak sepi, mungkin hujan membuat sebagian orang malas berjalan keluar.

Setelah berdiskusi, menentukan menu makan dan minum, makan malam berjalan seperti seharusnya. Tak ada yang spesial, hanya saja, aku semakin terlihat bodoh ketika minuman pesananku tak tersentuh, jeruk hangat itu memiliki rasa yang jelas tak bersahabat denganku. Dalam hati merutuk, semanis apa pun minuman itu, tentu masih aka nada rasa masam di dalamnya, dan lambungku sudah tak kuat dengan rasa tajam, lambung perantau yang hanya makan tepat waktu selama lima hari, 25 hari berikutnya Senin makan, Selasa puasa, Rabu ngutang, Kamis dibayar, Jumat ngutang lagi, Sabtu dan Minggu menunggu santunan dari rekan-rekan. Miris.

Makan malam selesai, tapi hujan belum usai. Masih ada rintik-rintik di sana, sudah terlalu larut. Ku putuskan untuk kembali.

Makan malam biasa, dengan banyak kebodohan tercipta. Tak berhasil menciptakan suasana yang berkesan, hanya beberapa bagian saja mungkin yang akan dikenangnya, tapi tidak bagiku, kebodohan itu ibarat menjadi berkah untukku. Karena kebodohan itu, aku bisa kembali mengajaknya berdansa dengan hujan dan hawa dingin, memecah keheningan malam kota ini, kota yang selalu romantis dengan hawa dingin, kota yang akan selalu menciptakan kenangan indah, untuk siapa pun.

Sementara itu, ketika malam merayap pelan, memecah keheningan, pertemuan itu ditutup dengan kisah favorit, kisah tentang jagung bakar dan sebotol minuman yang lupa dibayar. Menambah kekonyolan ini, kekonyolan itu menjadi bagian dari kisah romantis yang akan dianggap biasa saja bagi semua orang, tapi tidak bagiku. Ini akan selalu menjadi fase indah di sisa waktuku di kota ini, kota yang perlahan mungkin akan segera ku tinggalkan, dan sebelum itu benar-benar terjadi, aku akan melukis langit dengan rintik hujan dan dengan jemari yang menggenggam hujan, melukiskannya pada bagian kisah yang akan terus terbaca ketika hujan menyapa.


Malam semakin pekat, hawa dingin semakin menusuk. Baru saja ku tuliskan seuntai doa, berlirik mantra untuk mengantarkannya dalam mimpi yang lelap, akan selalu ada harapan, bahkan untuk sesuatu yang belum pasti. Tak perlu ragu, karena jelas ini akan terjadi seperti yang seharusnya, tentang dia ‘ku’ dan tentang pelukis langitku.


Read More




Senin, 22 Desember 2014

Janji Seorang Pengkhayal

#Percayalah



Bandung, pertengahan Desember 2014.
Sepanjang hari kota ini seperti tak pernah berhenti mendapatkan berkah dari langit, jutaan galon air tumpah. Beberapa daerah bahkan terendam, atau bahkan tanah mereka berpijak tak lagi kuat menahan dorongan air yang mengalir, menimbun semuanya. Lenyap, satu dua saudara menghilang, bahkan puluhan nyawa melayang, hanya ada isak tangis dan ratapan, terdengar pilu di sela-sela malam tanpa bintang dan cahaya rembulan.

Sebagian orang menangis pilu, sebagian merapal butiran kata menjadi doa, dikirimkan kepada Sang Pencipta, sebagian kecil termenung, meresapi suasana ini, sisanya terlelap, menarik selimut nyaman. Mimpi indah.

Sudah ku katakan, aku akan selalu suka jika hujan turun. Bukan hanya karena romantismenya yang membuat mabuk kepayang, bukan hanya gemuruhnya terdengar bagai melodi, bukan juga karena ia memberikan rasa nyaman dengan hawa dingin, bukan hanya itu. Hujan selalu memiliki arti penting, sebuah siklus yang akan selalu berputar, ini tentang makna yang ingin ku sampaikan, kepada diri sendiri dan jika bisa dimengerti, untuknya juga.

Ini semakin rumit bukan? Ya, ini semakin pelik. Satu persatu akan mulai terbuka, ini akan menjadi sebuah kontradiksi, pertentangan yang akan selalu bertentangan, tak akan pernah bersatu. Tapi, coba perhatikan. Magnet akan selalu memiliki dua sisi kutub yang berbeda, bahkan jika kemudian sebatang magnet itu dibelah, maka masih akan ada dua bagian yang berbeda, dan seperti itu seterusnya, hingga bagian terkecil. Intinya, sisi yang berlawanan dan bertentangan itu akan selalu ada, itu hukum pasti, tak bisa dielakkan.

Kita, dua bagian dari satu cerita yang berbeda. Aku, si pembuat cerita, dan kau adalah lakonnya, secara harfiah, tentu aku bisa membelokkan semuanya, dengan keinginannku, dan kau, kau tak perlu protes seharusnya. Aku si pencipta, aku berkuasa atas alur yang dibuat, tapi lagi-lagi, itu akan selalu berbenturan bukan? Ini akan semakin rumit, aku, kamu dan mereka tidak akan mudah menerima ini tentunya.

Hampir tengah malam.

Hujan yang turun semakin deras, hawa dingin dari gunung di belakangku berhembus kencang, menerpa semua yang ada.
….

“Tahun depan, dia melamarku,” tiba-tiba dia berkata, lirih.

Aku menoleh menatapnya, mencoba tersenyum. Ini kabar bahagia. Lamat-lamat ku tatap wajahnya, sesaat ku lihat kedua matanya, yang selalu ku suka jika dia mengenakan kaca mata.

“Kapan tepatnya?” tanyaku, dengan intonasi perlahan. Mencoba menyamarkan getaran suara yang terdengar getir.

“Belum pasti. Kamu datang kan nanti ke acara pernikahannya?” ia bertanya. Tersenyum ke arahku.
Aku tersenyum, getir.

“Insya Allah. Aku pasti datang”

Sejenak terdiam. Beberapa saat aku masih mengendalikan diri, mencoba berdamai dengan hati. Sudah ku katakan, hari ini pasti akan terjadi. Jelas sekali, kebiasaanku menerka kejadian di masa yang akan datang selalu terjadi, percis. Ini seperti perkiraanku beberapa waktu lalu, satu tahun ke belakang. Ini pasti akan terjadi.

Aku tersenyum menatap wajahnya, bisa jadi ini yang terakhir kalinya aku menatap mata indah itu. Lamat-lamat ku perhatikan, ingin ku lukis di ingatan tatapan mata itu, bibir itu, hidung, alis. Aku akan menggambarnya untuk yang terakhir kalinya.

Waktu itu suasana cerah, ada beberapa bintang yang menemani rembulan yang duduk di singgasananya, setengah lingkaran. Masih beberapa hari lagi purnama terlukis di langit, dan aku sekarang akan melukis purnama itu, untuk yang terakhir kalinya, sebelum dihapus oleh mentari pagi keesokan harinya.

“Kenapa kamu tak pernah membeciku? Padalah tak terhitung ku lukai hatimu?” ia bertanya, sedikit bergetar.

Aku hanya tersenyum menatapnya, lalu mengalihkan pandanganku ke seberang jalan.

Bandung malam itu begitu syahdu. Musik mengalun perlahan di dalam café ini, iramanya senada, membuat betah siapa saja. Secangkir kopi dan beberapa kudapan bisa menambah suasana menjadi romantis. Ku lihat di sebelahku, sepasang muda mudi tampak asyik bercengkrama, usianya tak jauh berbeda denganku. Mungkin mahasiswa.

“Engga, aku ga akan pernah bisa membencimu. Kau beritahu kau satu hal, pahami ini. Kau memberiku banyak pelajaran. Makna dari rasa sakit itu adalah berkah, itu adalah kenyataan. Darimu, aku belajar banyak hal. Kau menjadi guruku. Jadi tak wajar seorang murid membenci gurunya,” jelasku.

Dia diam. Meminum Chocolate Beverages yang masih setengah.

“Seharusnya kamu benci aku, aku pantas mendapatkannya,”

Aku menggeleng, ku acak-acak kepalanya, dia tidak pernah suka dengan itu. Dia melukiskan wajah protes. Aku berhenti, sembari tertawa.

“Ayolah, bersikaplah bijak. Untuk apa kamu selalu memikirkan hal itu? Itu sudah lama sekali.  Sekarang, kamu akan menjalani fase baru, itu adalah sesuatu yang berbeda.” aku menatapnya.

“Begini, kamu hanya boleh melakukan itu kepadaku. Cukup satu kali kau lakukan itu. Jaga baik-baik hatimu, jaga baik-baik perasaan itu. Karena sekali saja kamu kehilangan rasa itu. Bisa jadi kamu akan susah mendapatkannya lagi, ini akan menjadi rumit jika kita buat rumit, tapi ini akan menjadi mudah jika kita menyederhanakannya. Sederhananya, gunakan perasaan itu di waktu yang tepat, jangan pernah memicunya terlalu banyak, jangan juga dibiarkan padam. Ingat itu.”

Masih ku lihat wajahnya, masih ku coba menggurat bagian terakhir yang akan selalu ku ingat. Mata itu, mata itu selalu sulit untuk digambarkan. Lalu otakku mulai merekam suaranya, perlahan-lahan, hati-hati sekali, sepertinya tak ingin terlewatkan setiap nada yang keluar darinya.

Dia mengangguk. Aku tersenyum.

“Sudah malam, mungkin kita pulang. Mungkin jika ini adalah dua tahun lalu, kita bisa menghabiskan malam dengan duduk-duduk di depan gedung Sate, menikmati suasana di gedung Merdeka, atau berkendara di jalanan Braga.” aku tersenyum menatapnya.

Tanpa berkata dia beranjak, membereskan beberapa berkas yang berserakan di meja. Aku juga sama, menutup jurnalku, setelah memastikan ada beberapa suasana yang bisa ku terjemahkan dengan beberapa kata, mungkin bisa ku gunakan untuk menulis nanti.

Ia tampak anggun dengan setelan blazer itu. Serasi dengan tas dan sepatunya. Dia memang berbeda secara penampilan. Sementara aku, masih seperti dulu. Secara penampilan tak ada yang berubah, pekerjaanku jelas tak memerlukan setelan perlente, selagi masih bisa memproduksi kata, itu jauh lebih baik.

Suasana Bandung yang romantis, lukisan terakhir wajahnya selesai di waktu yang tepat.


Sungguh, aku tak pernah berani mengingkari janji itu. Janji yang kau tulis beberapa waktu lalu. Tapi, seperti yang ku katakan tadi. Firasatku selalu berkata jujur, sejauh ini itu terlihat luar biasa. Ku katakan dalam satu episode, bahwa di sana kita akan saling menjauh, menjaga jarak, karena masalah ini. Aku terlalu khawatir tentang itu, maka ku putuskan untuk memberitahukanmu tentang firasat yang kau tanyakan tadi siang.

Sengaja ku putar alurnya, agar tak terburu-buru. Aku berhasil membuat cerita hari ini berputar, berpindah-pindah, hingga kau lupa tentang apa yang kau tanyakan, dari pertanyaan sederhana yang kemudian mengarah kepada itu. Kau mungkin lupa, aku seorang pengarang cerita.

Ku katakan kepadamu, sahabatku. Hujan ini, akan selalu mengingatkanku dan mengingatkanmu tentang kita. Kau lebih dari bayangan, kau jelas terlihat meski tak akan ku sentuh, kau jelas menghidupkan hati, meski jelas aku tak menggunakannya lagi, perlahan, sadar atau tidak, suka atau tidak, kau ajari aku untuk kembali menggunakan rasa.

Hujan masih menggantung di luar sana. Malam semakin pekat. Mungkin kau sudah terlelap. Dari guratan halilintar di cakrawala, aku akan melukiskan itu dengan seksama. Janjiku, aku akan selalu membunuh rasa itu, tak akan ku biarkan tumbuh, kawan. Percayalah, aku akan menjaga itu, sama seperti yang kau inginkan. Pegang janji seorang pengkhayal. Setidaknya, aku akan menghilang dari hadapanmu, jika memang itu benar-benar tumbuh. Cerita kita terlalu indah, tak akan ku biarkan dinodai oleh dusta bernama cinta itu, percayalah, janji kita lebih sakral dari janji sepasang kekasih.


Kita, dua orang bodoh yang sama-sama tak memahami arti sebuah rasa. Kita akan selamanya menjadi dua orang tolol yang tidak akan pernah mengerti. Tapi, percayalah. Sebodoh-bodohnya kita, kita tidak akan pernah saling berkhianat.
Read More




Minggu, 21 Desember 2014

Ornamen Kabut dan Hawa Dingin

#Karakter Itu Nyata




Pagi menyapa, kembali seperti beberapa hari yang lalu. Hawa dingin berkali lipat membungkus hari yang belum tampak mentari di batas cakrawala. Aku masih menatap layar 14 inci ini, masih mengkhayal seperti biasa, sepagi ini aku kembali menyapa sesuatu yang entah berwujud seperti apa, menanti mentari yang hangat menyapa, mungkin membutuhkan beberapa waktu lagi, mungkin aku akan kembali melewatkan momen paling romantis ketika gelap mulai hilang.

Aku hanya ingin mengingat semuanya, merekam di dalam memori yang tersisa di otak, kembali memutarnya jika mulai samar, kembali memutarnya jika gundah menyapa. Aku mulai bisa merasakan kenangan yang menyakitkan beberapa waktu silam, berubah menjadi kenangan terindah, tak ada setitik penyesalan di sana, meski ku akui ada sedikit gundah tergambar di relung terdalam sanubari ini.

….
Beberapa hari lalu, penat menguasai hati. beberapa hari ini yang ada hanya rasa lelah, entah muncul dari mana.  Aku akan kembali menceritakan hari-hari itu, hari-hari yang terus berlalu, tak pernah berhenti, begitu juga dengan kisah yang terus berganti, bergulir seperti bola salju, semakin membesar dan terus membesar.

Ada semburat senja yang mulai luntur keindahannya, ada juga tentang rintik hujan yang hanya menyisakan hawa dingin tanpa ketenangan di dalamnya. Atau sekarang aku lebih suka menatap kabut tipis di saat pagi menyapa, meski jelas terkadang aku merindukan saat-saat semburat warna jingga itu terlukis di langit ketika petang menjelang, atau sedikitnya aku masih bisa merasakan tenangnya hati ketika hujan turun, lagi.

Dia, menjadi bagian dari karakter yang ku ciptakan. Dan tak ada yang lebih membahagiakan jika karakter itu benar-benar hidup. Karakter dari setiap tokoh yang digambarkan itu benar-benar menyapa, tak pernah samar meski gelap mulai menyapa, tak pernah senyap meski sepi menemani, selalu hangat meski hujan memeluk bumi, selalu sejuk bahkan ketika garang mentari duduk di kepala, dan akan semakin syahdu ketika pagi berselimut kabut tipis, seperti beberapa hari ini.

Sejenak, terbesit untuk menyelesaikan tulisan itu, tapi entah kenapa. Tanpa daya aku hanya bisa menyerah begitu saja, membiarkan tumpukan kertas itu semakin menggunung, tanpa ada penyelesaian di dalamnya, tanpa ada kejelasan kisah itu. Entahlah, tapi inginku, cerita itu akan menjadi kado terindah di hari yang indah, untuknya.

Ketika ku pacu kendaraan tua ini, meliuk-liuk di padatnya kota kembang, seperti biasa. Dia terlalu tua jika harus dipacu sedemikian rupa, jelas sekali penyebabnya, hampir setahun lalu kuda besi Eropa ini mendapatkan sentuhan tangan mekanik. Ah, aku hanya bisa berharap, dia tak lantas pergi meninggalkanku, ketika ia berkata “Aku mulai bete”.

Jalanan Braga, pukul 18.45 WIB. Ramai tentu saja, kehidupan malam mulai menggeliat di sana. Lantas, mimpi buruk itu seperti menjadi nyata ketika pesan baru ku terima, handphone bergetar, satu pesan baru di terima. Ku lihat di layarnya, sesaat kemudian ku buka. Ada pesan di sana, enggan membaca, tapi jelas awalnya akan berbunyi apa. “Aku pulang!”

Tatapanku kosong, terdiam di bahu jalanan yang semakin ramai. Aku terdiam bagai tak bergerak, menatap layar itu, membaca pesan itu berulang-ulang, lagi, lagi dan lagi. Aku hanya bisa membalas: “Maaf, hati-hati di jalan.” sesalku.

Masih terdiam di sana, masih meratapi kebodohanku waktu itu, yang membiarkan semuanya berlalu, dan aku, di bawah rintik hujan yang mulai turun dari angkasa yang pekat, hanya diam. Beberapa menit berlalu, ku putuskan untuk mengelilingi seputaran pusat kota, naas, besi tua ini kehabisan bahan bakar. Ada pesan baru masuk: “Kamu di mana sekarang?” bunyi pesan itu, bergegas ku jawab. “Masih di Asia Afrika (Gedung Merdeka)” jawabku singkat, dan kemudian ku lanjutkan. “Maaf, sekali lagi maaf.” tak ada balasan, hanya sepi.

Ini untuk ketiga kalinya ku lalui jalanan Braga yang terus bertambah meriah, aku kembali terdiam. Ada pesan masuk.

“Di mana?”

“Masih di Braga, nanti kasih tau kalau udah sampe,” jawabku kembali. Masih bernada penyesalan dan permintaan maaf di sana.

“Ya udah, tunggu. Aku ke sana.” tegas jawabnya.

“Jangan, kamu jangan ke sini lagi,” aku tak bisa mencegahnya, aku kembali termenung di bahu jalan.

Hanya beberapa saat kemudian, dia tampak di belakang. Dengan wajah yang sungguh, aku tak berani menatapnya, aku terdiam sesaat. Jelas moodnya berantakan, sama juga sepertiku, hancur. Hawa dingin kembali menyeret udara, menerbangkan debu-debu di sekitar kami, pepohonan yang baru di tanam bergoyang, mengikuti irama angin yang berhmbus bercabang.

Hanya beberapa saat setelah rencana pertama gagal, ku putuskan untuk menggantinya dengan rencana berikutnya. Untungnya, aku terbiasa dengan second plan, kembali meraut suasana, mencoba melukis keadaan, mengubah warna pekat dengan terang benderang, orange, jingga. Dan hanya beberapa saat kemudian, semuanya telah kembali seperti sedia kala, seperti semula. Meski nanti ada hal yang membuatku tertawa dan tampak bodoh, menjadi sangat bodoh dan tolol, dan aku baru tahu beberapa hari kemudian. Kesegaran es krim dan suasana Braga mencairkan keadaan malam itu..


Masih belum tampak matahari di sini, masih dingin membungkus hari, ku putuskan untuk mengakhiri cerita ini, masih belum selesai..
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML