Sabtu, 02 Mei 2015

[Hanya] Dengarkan..

Ilustrasi: farm8.static.flickr.com/

Tidak ada bunga atau bingkisan menarik nan romantis lainnya yang akan ku berikan, bukan juga tentang janji-janji manis atau tentang muluknya harapan nan menawan di masa depan, bukan, tentu bukan itu. Kenapa, kau tahu sebabnya? Ya, bagiku, hal-hal itu mungkin tidak bisa ku penuhi, karena awalnya aku pernah berjanji –meski tak pernah benar-benar terucap- tapi selangkah pun, tak ada yang mendekati. Maka, ku putusakan, untuk tidak sama sekali melakukannya lagi.

Sekarang, hanya ada gambaran realita yang membetang luas, realita penuh dengan nestapa dan derita. Jangan berpikir bahwa tidak akan ada bahagia di sana, tentu ada. Tapi, akan ku jelaskan, semua kebahagiaan di dalam novel itu tentu tidak akan semua bisa didapatkan, ya, tidak akan mudah. Akan selalu ada ranting yang akan menghadang jalan, akan ada terjal jalan yang akan ditempuh, akan ada curam yang menganga di bawah sana, sesekali tergelincir, sesekali tersungkur, tidak akan selalu bisa berlari, bahkan, ku katakan bahwa tak jarang kita akan merangkak nantinya.
….

Setelah seharian ini mendung merundung angkasa, akhirnya hujan turun juga, ketika pekat merangkak perlahan, rinai hujan kembali menyapa sisa hari yang diselimuti lelah, malam yang dipeluk rindu, malam yang dibungkus dengan harapan, malam yang diselingi dengan senandung lara atau bahkan ratapan penuh tanda tanya. Ya, berjuta kisah kembali tertuang di dalam setiap detik putaran jam sepanjang hari ini. Kemudian, untaian doa –atau mungkin juga- ratapan, sumpah serapah terbang ke angkasa, tertuju kepada yang dituju, entah siapa, mungkin Tuhannya, mungkin juga tak bertujuan. Ah, terlalu banyak kemungkinan bukan?

Matanya, aku masih lekat menatap. Perhatikan tiap lekuk wajahnya, mencoba mengukir kembali guratan-guratan yang terlukis di sana. Mengukirnya perlahan di dalam ingatan. Senyumnya, hmm.. Kemudian pandanganku kembali ke sepasang bola mata bening itu, ku lihat, tatapan yang terkadang begitu manja, atau mendengarkan suara yang selalu terdengar sama.  Aku selalu menyukai hal-hal serupa. Tidak akan pernah bosan, semoga. Tapi, tidak malam ini.

“Aku hanya tidak suka, bagaimana mereka menilaimu,” ucapnya lirih. Bergetar, penuh emosi yang meradang.

“Aku tidak suka, mereka bahkan belum mengenalmu, lantas, kenapa dengan mudahnya mereka menganggapmu seperti itu? Kenapa? Tak bisakah mereka membiarkanku menentukan pilihan sejenak, tak bisakah aku sekarang menikmati asa yang mulai tertera di sanubari? Tak bisakah..” suaranya tercekat kemudian.

Ku tatap bola mata itu, berair. Ada genangan di kelopak mata bening itu. Aku tersenyum. Mencoba menghiburnya, dengan genggaman tangan dan tatapan penuh keyakinan. Dengan sekali anggukan. Tak ada kata yang ingin ku ucapkan. Dia sudah lebih dari mengerti apa maksudku, dari sentuhan dan tatapan yang ku berikan. Tak perlu lisanku berucap, tak perlu panjang kalimatku menenangkannya, ini lebih dari cukup.

Setengah jam kemudian, dia masih meracau, mengutarakan kekecewaannya. Masih menuangkan gundahnya kepadaku, masih bercerita tentang topik yang sama. Dan sekali pun, tak pernah aku memotong perkataannya, tidak ada juga kata yang ku ucapkan untuk menanggapi itu. Ya, dia tidak perlu balasan, dia hanya perlu didengarkan, dan malam ini, aku akan menjadi pendengar yang baik. Setelah sekian lama, aku menjadi pendongeng ulung. Kali ini, ceritaku akan ku simpan, lain kali aku akan kembali berkisah, tentang apa pun yang dia inginkan. Ya, aku akan kembali bercerita, tapi tidak malam ini.

“Hei, lihat. Kau lihat orang-orang itu. tertawa lepas. Bahkan satu sama lain mungkin tidak saling kenal –benar-benar kenal-. Tapi, lihatlah. Mereka bisa tertawa bersama bukan? Ada banyak hal yang mungkin tidak mereka tahu dari orang di sebelahnya. Lihat, yang satu sedang menggenggam jemari pasangannya, sementara yang lainnya sibuk tertawa, entah menertawakan apa. Lalu lihat itu, bahkan semua orang melepaskan semua beban di saat sebagian lainnya merasa kelaparan,” ucapku, sambil menunjuk salah satu orang yang bersimpuh di depan etalase toko itu, dari tampilannya, terlihat seperti seorang tunawisma.

“Lalu, lihat mereka,” ku tunjuk segerombolan anak-anak yang berdiri di seberang jalan. Tampak bercanda riang, pakaiannya lusuh, rambutnya kusut, wajahnya penuh dengan debu.

“Lihat, mereka juga tertawa begitu lepas. Sama seperti orang itu,” ku tunjuk sepasang muda-mudi yang dipeluk asmara, serta segerombolan remaja yang sibuk dengan gadget di tangan, tampak asyik berfoto ria.

“Lihat, bahagia itu tak perlu alasan. Tidak juga harus di pahami semua orang. Karena, bahagia itu, kita yang menciptakannya. Bukan mereka, bukan juga kita, tapi diri mereka masing-masing. Dan semua itu bisa didapatkan ketika kita bisa menerima, apa pun konteksnya. Ya, kita harus menerima apa pun yang ada. Cibiran, anggapan positif, negatif, itu semua hanya sebuah tema, tapi esensinya. Kita bisa menentukan. Apakah akan bermakna indah, atau bermakna perih.” ucapku setelah sekian lama hanya diam. Dan aku, mulai berkata ketika tak ada lagi suara yang diucapkannya.

“Dengarkan, dengarkan semua yang bisa kau dengar. Tapi, tak lantas kau memasukkannya ke dalam pikiran, terlebih hati. Ada kalanya kita hanya mendengar, sekali lintas saja, selebihnya, itu hanya angin lalu. Tidak buruk untuk menjadi apatis, sejenak. Terkadang itu perlu dilakukan, karena jika kita memasukkan semua perkataan ke dalam hati, tentu perlu berhari-hari untuk mencernanya, jika tidak bisa mencerna dan memahani, maka dia akan mengendap di dalam hati, kemudian menghitam, legam. Hanya akan lahir kebencian. Lalu mereka, dia, aku dan kau, tentu tidak harus memendam kebencian. Karena, ternyata merasa bahagia, itu jauh lebih baik,” kuberikan senyum termanis, sisa senyum hari ini yang terkelupas oleh letih.

Ia menatapku. Tak mengerti maksudku. Aku tersenyum, dan berkata:”Kau tidak perlu mengetahuinya sekarang, ini semua tentang apa yang kau bicarakan, tentang apa yang kita rasakan. Karena pada dasarnya, kita akan segera mengerti setelah melalui ini, tidak pada saat kita menghadapi ini. Dan bahagia itu, tidak bisa selalu seiring sejalan, terkadang ia berjalan masing-masing, aku sendiri, kau juga. Tapi, ada saatnya, kita akan tertawa bahagia bersama. Meski alurnya berbeda, tapi, makna dari bahagia, itu akan selalu ada. Antara aku, kau dan mereka.” ucapku pelan, sembari menggenggam tangan yang mulai terasa dingin.

Hujan masih jatuh dari angkasa. Langit jelas semakin pekat, dan ketika kerinduan berpadu dengan harapan serta keyakinan. Maka sepekat apa pun malam, meski tanpa bintang dan cahaya rembulan, ia akan tetap berwarna. Indah..





Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML