Sabtu, 15 November 2014

Karakter Tanpa Nama

#Bayang


Masih mendung. Awan kelabu masih menggantung di angkasa, tanpa setitik warna biru yang tergores di sana. Hawa dingin menyergap perlahan. Sudah siang, mentari tak kunjung menyapa lagi, tapi pagi hanya sesaat ia muncul, menggurat angksa dengan secercah kemegahan, tunjukkan kedigdayaan sebagai penguasa angkasa.

Ia masih menatap tanpa bahasa, tanpa lisan berucap. Berusaha mencerna dari setiap kejadian yang tertera dalam barisan kenyataan, ini adalah nyata yang harus dihadapinya. Tanpa kompromi, ya kenyataan itu menamparnya begitu kuat, hingga lunglai tak berdaya, lemas. Teronggok bagai sampah yang basah, mengeluarkan aroma busuk, dan kemudian hancur karena panas sengatan matahari dan terpaan hujan yang mendera.

Ada bagian yang terbuang, ada bagian yang hilang, ada juga bagian yang ditemukan, berserakan, terpecah belah, tercabik, benar-benar hilang dari hadapan, menguap disengat zaman yang sekali lagi terlanjur menjadi begitu kejam, ketika kelembutan hati tak bisa dijaga, ia hanya akan membuatnya menjadi sangat buruk, merubahnya dari sosok yang berbeda dari sebelumnya. Kenyataan mengajarkan akan rasa sakit. Perih.

Tergores pelan, menyusuri antara batas-batas yang tersekat di antara cabikan malam yang menyayat hati, ada selaksa tawa yang tercekat di antara kerongkongan, tertahan menjadi sesak.

Kepalanya berdenyut kembali, merasakan sakit yang entah bertambah hingga berapa kali lipat, yang dia rasakan hanya rasa sakit. Baru bangun beberapa waktu lalu, sebelumnya ia masih bisa merasa senang, karena hujan di pagi hari memeluknya pelan, terlelap ketika barisan hujan itu kembali menyapa suasana pagi. Jika sekarang adalah tiga tahun lalu, dia tidak akan melewatkan suasana semanis ini. Tapi itu dulu, kini tak ada lagi yang bisa dirasakan selain dingin.

Jemarinya mencoba meredakan rasa sakit itu, memijit-mijit pelan berharap rasa itu berkurang, namun semakin dipijit, itu semakin sakit. Jika otaknya tidak berfungsi mungkin dia telah membenturkan kepalanya di tembok itu, tembok yang terlihat semakin usang. Udara pengap dari kamar yang tak pernah terkena matahari itu semakin membuatnya tersiksa.
Lihat, wajahnya memerah, mungkin karena malu, atau bahkan bisa jadi itu adalah ungkapan dari rasa yang tidak bisa diucapkannya, bahagia. Dia begitu suka membuat wajah wanita itu memerah, ia begitu suka ketika wanita itu merengek manja, atau bahkan mencubit pelan, Dia juga suka membuat wanita itu kesal karena sering mengacak-acak kelapanya.

“Hujan, bukankah kita selalu suka saat-saat seperti ini?” dia bergumam pelan, matanya nanar tak berkedip melihat jutaan galon air yang tumpah ke bumi.
Wanita di sebelahnya tak menjawab, terlalu asyik dengan laptop di depannya. Jemarinya lentik mengeja satu-satu huruf di keyboard dengan kedua telunjuknya. Sesekali tersenyum, serasi manis dengan suasana pagi ini, bulu matanya lentik, alisnya juga sama.

“Hey, lagi apa? Sibuk Banget?” dia kembali memegang kepalanya, mengacak-acak rambut panjangnya.

Wanita itu menghentikan aktivitasnya. Seperti biasa, ketika kesal bibirnya akan maju beberapa centi, kemudian menatap garang. Mencoba teriak, meluapkan kekesalan karena merasa terganggu. Lebih mirip dengan induk singa yang merasa anaknya dalam ancaman.

Sebelum teriakannya menggemparkan tetangga, ia bergerak cepat. Membekam mulutnya, mencoba berdamai. Wanita itu berontak, jelas tenaganya begitu kuat karena tak pernah digunakan, sedangkan aktivitas sehari-harinya hanya makan dan makan.

Setelah berhasil lepas dari cengkraman tangan lelaki itu, si wanita berteriak, keras. Lagi, ia gagal mencegah itu terjadi.

“Kaakkk!! Kenapa si ganggu?! Bisa gak diem?” dia mengancam, sambil mengacungkan kepalan tangannya.

“Iya iya, maaf. Janji, gak akan ganggu lagi, piss.” wanita itu mendengus sebal, tapi sesaat tersenyum setelah melihat layar laptop.

“Dasar, wanita!” ucapnya ketus, nyaris tak terdengar. Namun ternyata si wanita mendengar itu cukup jelas. Matanya mendelik ke arahnya, masih dengan tatapan mengancam. Ia hanya nyengir kuda, lalu diam.

Di luar, hujan masih turun dengan deras. Suasana yang indah. Ia mengambil jurnal di dekatnya, menggoreskan tinta di dalam barisan kertas kosong. Beberapa larik tentang hujan kembali tercipta, hujan dan semua suasana indah.
            …

Kemarin, ketika malam mulai menjelang, tatapan mata penguasa cakrawala tak terlihat sejak pertama kali seharusnya dia menampakkan diri. Hujan rintik-rintik masih saja turun. Ku putuskan untuk hanya sekedar jalan, menemui salah seorang sahabat. Menembus hujan, mengindahkan rasa dingin yang menggigit, menyusuri sisi jalan yang sempat hening sesaat.

Sekedar makan malam, bercerita tentang sesuatu yang ringan. Sesekali tertawa, terkadang begitu keras, sesekali hening, berkonsentrasi dengan makanan. Sudah lama memang suasana makan malam seperti ini tak ku rasakan. Sementara waktu terus berputar, membelah bilangan waktu dalam perjalanan satu hari ini. Sedikit masalah pekerjaan bisa terurai malam tadi, sedikit bisa kembali mengendurkan syaraf dan meluruskan harapan tentang seseorang, yang jika ku boleh berkata jujur, ku tunggu kabarnya malam tadi.

Hanya beberapa menit, tak sampai satu jam. Tapi memang tak butuh waktu lama untuk merasa bahagia bukan? Namun, sendiri dan sepi, itu lama baru bisa beranjak menghilang. Kembali setelah meresapi belaian angin yang menjadi dingin, aku kembali diingatkan akan kehadiran seseorang. Dan jika dia tahu dan bisa merasakannya, tentu seumur hidupnya enggan untuk merasakan hal seperti ini.


Terima kasih untukmu, si penunggu waktu (ini adalah nama terbanyak yang ku berikan kepada seseorang), dan untuk dia, sebaris catatan dalam anggunnya rintik hujan..
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML