Kembali, hati membimbing langkah
yang mulai goyah, menuntun kembali jemari untuk menari, untuk menterjemahkan
sesuatu yang tidak bisa di jelaskan dengan sekedar tatapan mata, atau ungkapan
kata. Jemari ini menterjemahkan setiap makna yang tidak bisa langsung di
terjemahkan kedalam bahasa isyarat, mencoba menggambarkan dengan lugas, dengan
gaya bahasa agar bisa di baca, agar bisa di terka, agar bisa di mengerti, agar
bisa di pahami.
Sisa-sisa
kehangatan itu masih bisa dirasakan oleh tubuh yang mulai melemah, perjalanan
ini sangat melelahkan. Hingga peluh menetes membasahi tanah yang berdebu,
hingga nafas terus memburu, hingga waktu enggan sejenak berhenti menunggu, dan
pada waktu itu aku tidak bisa hanya menunggu dan diam. Diantara dedaunan gugur
itu, ranting yang perlahan kering akan selalu mengharapkan dedaunan hijau itu
kembali tumbuh diantara rantingnya yang rapuh.
Seperti
udara, seperti sebuah untaian rangkaian kata yang di bingkai dengan rasa. Seperti
sabda mentari ketika pagi, seperti irama yang selalu terdengar diantara
daun-daun gugur. Seperti menggema diantara ruang hampa, tanpa suara. Hanya
terasa desiran angin membelai pelan. Hanya bisa dirasa tanpa bisa di raba. Dan rasa
tidaklah harus di raba, ia bisa diraskan meski kasat mata, ia bisa menjelma
dengan wujud yang berbeda.
Kenyataan
ini menyeret begitu kuat, hingga ketika kaki tidak mampu berjalan beriringan ia
akan meninggalkan begitu saja. Tanpa menoleh kebelakang, tanpa memberi
kesempatan hanya untuk sekedar mengambil nafas yang tersengal diantara
bentangan jarak yang semakin menjauh.
Doktrin
tentang rasa lelah memang terkadang mendikte langkah, terkadang menyakitkan,
terkadang begitu menyenangkan. Lingkarannya akan terus bergerak, akan terus
berputar. Dan seperti itulah keadaan terkadang akan begitu kuat mempengaruhi
dalam setiap pengambilan keputusan.
Berbicaralah
semaunya, berteriaklah sekuatnya, berlarilah sekencangnya, menangislah hingga
air mata kering, semua itu hanya akan menjadi sebuah hukum sebab akibat,
menjadi sebuah keharusan yang dijalankan, seperti simphoni tentang kehidupan,
semuanya akan mengalun perlahan, sesuai dengan lagu yang di nyanyikan. Bukankah
keindahan itu yang di inginkan setiap orang? Namun terkadang semuanya hanya
akan menjadi kisah semu tak berujung diantara gersangnya sebuah kenangan masa
silam,.
Akan
selalu ada batas, batas dimana kita harus berhenti, batas dimana kita harus
memulai kembali. Semuanya di kotak-kotakkan kedalam sebuah ruang. Ruang yang
terkadang hampa, ruang yang terkadang begitu gaduh, tidak selamanya ruang itu
tanpa suara. Bahkan angin akan selalu membisikkan tentang senandung merdu yang
entah bernyanyi tentang apa. Hanya jiwa-jiwa yang benar-benar tenang yang bisa
mendengarkan bisikan nurani.
Kembali, jemari ini bersingkronisasi dengan
hati. Kembali menari diantara sebuah isyarat tanpa kata. Menorehkan kata-kata
indah tentang simphoni, tentang khayalan masa depan. Dengan kemampuan langkah
yang sudah terukur, seharusnya kita tetap berjalan stabil, tetap melangkah
meski lelah. Karena tujuannya sudah terpetakan.