Minggu, 08 Juni 2014

Kembali, jemari ini bersingkronisasi dengan hati



Kembali, hati membimbing langkah yang mulai goyah, menuntun kembali jemari untuk menari, untuk menterjemahkan sesuatu yang tidak bisa di jelaskan dengan sekedar tatapan mata, atau ungkapan kata. Jemari ini menterjemahkan setiap makna yang tidak bisa langsung di terjemahkan kedalam bahasa isyarat, mencoba menggambarkan dengan lugas, dengan gaya bahasa agar bisa di baca, agar bisa di terka, agar bisa di mengerti, agar bisa di pahami.
            Sisa-sisa kehangatan itu masih bisa dirasakan oleh tubuh yang mulai melemah, perjalanan ini sangat melelahkan. Hingga peluh menetes membasahi tanah yang berdebu, hingga nafas terus memburu, hingga waktu enggan sejenak berhenti menunggu, dan pada waktu itu aku tidak bisa hanya menunggu dan diam. Diantara dedaunan gugur itu, ranting yang perlahan kering akan selalu mengharapkan dedaunan hijau itu kembali tumbuh diantara rantingnya yang rapuh.
            Seperti udara, seperti sebuah untaian rangkaian kata yang di bingkai dengan rasa. Seperti sabda mentari ketika pagi, seperti irama yang selalu terdengar diantara daun-daun gugur. Seperti menggema diantara ruang hampa, tanpa suara. Hanya terasa desiran angin membelai pelan. Hanya bisa dirasa tanpa bisa di raba. Dan rasa tidaklah harus di raba, ia bisa diraskan meski kasat mata, ia bisa menjelma dengan wujud yang berbeda.
            Kenyataan ini menyeret begitu kuat, hingga ketika kaki tidak mampu berjalan beriringan ia akan meninggalkan begitu saja. Tanpa menoleh kebelakang, tanpa memberi kesempatan hanya untuk sekedar mengambil nafas yang tersengal diantara bentangan jarak yang semakin menjauh.
            Doktrin tentang rasa lelah memang terkadang mendikte langkah, terkadang menyakitkan, terkadang begitu menyenangkan. Lingkarannya akan terus bergerak, akan terus berputar. Dan seperti itulah keadaan terkadang akan begitu kuat mempengaruhi dalam setiap pengambilan keputusan.
            Berbicaralah semaunya, berteriaklah sekuatnya, berlarilah sekencangnya, menangislah hingga air mata kering, semua itu hanya akan menjadi sebuah hukum sebab akibat, menjadi sebuah keharusan yang dijalankan, seperti simphoni tentang kehidupan, semuanya akan mengalun perlahan, sesuai dengan lagu yang di nyanyikan. Bukankah keindahan itu yang di inginkan setiap orang? Namun terkadang semuanya hanya akan menjadi kisah semu tak berujung diantara gersangnya sebuah kenangan masa silam,.
            Akan selalu ada batas, batas dimana kita harus berhenti, batas dimana kita harus memulai kembali. Semuanya di kotak-kotakkan kedalam sebuah ruang. Ruang yang terkadang hampa, ruang yang terkadang begitu gaduh, tidak selamanya ruang itu tanpa suara. Bahkan angin akan selalu membisikkan tentang senandung merdu yang entah bernyanyi tentang apa. Hanya jiwa-jiwa yang benar-benar tenang yang bisa mendengarkan bisikan nurani.

             Kembali, jemari ini bersingkronisasi dengan hati. Kembali menari diantara sebuah isyarat tanpa kata. Menorehkan kata-kata indah tentang simphoni, tentang khayalan masa depan. Dengan kemampuan langkah yang sudah terukur, seharusnya kita tetap berjalan stabil, tetap melangkah meski lelah. Karena tujuannya sudah terpetakan. 
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML