Hari ini,
seperti biasa. Aku baru terjaga setelah lewat pukul delapan. Padahal telah ku
set alarm pada pukul 05.15wib, ku pasang juga ke kabel sound system. Biar suaranya
agak bergetar, entah kenapa ia berlalu begitu saja. memang, sebelum tidur
sempat ku lirik jam di arlojiku, waktu menunjukkan pukul 03.12 wib. Bukan alasan
tentunya untukku tidak bisa bangun sepagi yang di harapkan, temat ini praktis
mendukungku untuk tetap terlelap, kamar yang gelap, udara dingin yang siap
menusuk-nusuk ketika subuh menjelang, dan cahaya matahari yang tak menembus
dinding kontras membuatku terlena.
Penyesalan
itu muncul ketika aku baru tersadar dan melihat arloji, lalu bergegas mengintip
kearah luar. Matahari sudah meninggi, dan lewatlah moment secangkir teh di pagi
yang sejuk, padahal semalaman hujan turun begitu lama, dan ku perkirakan pagi
ini akan tampak indah dengan hiasan kabut tipis hasil dari uap sisa hujan
semalam, dan segelas teh manis dan lagu sendu tentu akan mampu membangun
suasana yang begitu indah, namun apa daya, semuanya terlewatkan begitu saja.
Kicauan
burung yang tersekat diantara sangkar-sangkar indah itu masih setia menemani
hari-hariku, entah mereka berkicau karena gembira atau berkicau karena merana,
karena dapat dipastikan sisa hidupnya akan tetap berada di salam sangkar itu. Lagi-lagi
tak bisa kupastikan apa yang mereka rasakan, karena kicauannya terlalu indah
dan merdu. Untuk kesekian kalinya aku hanya bisa menikmati parade sisa mentari
pagi yang kian meninggi.
Sementara
itu, tak lama berselang suara-suara khotbah dari corong-corong pengeras suara
di tiap mushola dan masjid itu terdengar saling bersahutan, setelah terdengar
suara adzan yang berantai seperti tak pernah putus, saling menyapa dan
memanggil manusia untuk sekedar mengingat-Nya, melaksanakan kewajiban, shalat
jumat.
Diluar
tampak remang, cahaya mentari tak terasa begitu terik, karena mendung
menggulung diantara cakrawala. Dan semakin lama, berbondong-bondong para lelaki
mulai memasuki masjid itu, dengan baju koko dan sarung serta peci melingkar
diatas kepala, tak lupa sajadah yang tersangkut di bahu. Wajah-wajah segar dan
semangat itu tampak antusias melakasanakan kewajibannya.
Ibadah
itu berjalan khidmat, selesai setelah imam mengucapkan salam, satu persatu
jamaah mulai melangkah keluar masjid, sementara sebagian ada yang melanjutkan
dzikir dan shalat sunnah. Sementara itu, langit masih saja tampak temaram,
rintik hujan mulai turun perlahan.
Hujan
semakin deras mengguyur bumi, aku menikmati semua itu bersama sang pesona yang
datang sedari pagi, bahkan ketika aku mulai terlelap lagi, ia mulai berceloteh
ria sembari bertutur kata manja. ahh,, begitu rindu aku akan suasana seperti
ini. Hanya saja, mungkin terasa berbeda. Karena waktu berjalan maju, mengubah
semua pola dan memerjelas sketsa. Menjadi guratan-guratan kasar yang mulai
terlihar diantara dua mata. Begitu lelahkah aku? Tentu saja terlalu singkat
jika ku simpulkan seperti itu, masih kan ada banyak rasa lelah dan gelisah yang
akan menghadang langkahku, yang bisa dilakukan hanya tetap melangkah, dan
berusaha, sembari berdoa.
Pagi dengan
ornament kabut dan hawa sejuk akan selalu ku nanti dengan hidangan segelas teh
hangat, untuk cerita di pagi-pagi yang akan datang.