Sabtu, 17 Mei 2014

Seperti Langkah yang Ikhlas


Sering kali aku harus kembali terjatuh dan tersungkur, kembali harus merasakan nyeri diantara ujung-ujung kaki yang menekan ujung sepatu ketika berjalan turun. Telapak kaki seperti ingin terkelupas, menahan panas karena gesekan kaus kaki yang mengeras, karena di paksa terus berjalan. Senyaman apapun alas kaki yang di gunakan, kaki akan tetap terkelupas ketika digunakan untuk berjalan menempuh perjalanan jauh dan panjang. Tentu melelahkan, karena tujuannya pun belum tampak, dan rasa nyeri itu akan datang, cepat atau lambat. Hanya masalah waktu.

Pernah suatu kali aku berjalan di indahnya pantai, berjalan ratusan kilometer, menyeberang derasnya arus muara dan menahan terjangan gelombang yang tiba-tiba pasang. Berjalan diantara cadasnya karang yang terhampar seperti savanna, berenang diantara gelombang yang sepertinya enggan diajak untuk berjabat tangan. Belum lagi bagaimana mata harus berjuang menahan silaunya pantulan cahaya matahari yang tidak sengaja di pantulkan oleh pasir yang seperti berkilau berlian, begitu menyilaukan.

Perjalanan panjang yang harus di lalui untuk mendapatkan tujuan, untuk mendapatkan dan meraih impian. Telapak kaki ini belum pernah melakukan perjalanan panjang seperti saat ini sebelumnya, wajar jika harus mengeras dan kemudian mengelupas. Menyisakan nyeri yang belum pernah terbayangkan rasanya sebelumnya, belum lagi bagaimana jika luka itu terkena asinnya air laut. Maka, bisa dipastikan perih dan nyerinya bisa berlipat ganda.

Memang itu adalah awal yang sulit, dan memang itu adalah awal yang sakit. harus di awali dengan sebuah rasa, maka yang akan mengakhiri juga adalah sebuah rasa.

Perjalanan berikutnya pun, tidak kalah beratnya. Tidak kalah sulitnya. Namun sepertinya kaki ini sudah mampu belajar dan beraklimatisasi dengan baik. Segera mampu menyesuaikan diri dengan sangat cepat, dan apapun bentuk medannya, kemampuan untuk beraklimatisasi akan sangat menentukan langkah selanjutnya.

Kini, perjalanan sejauh apapun bisa ku tempuh. Meski terkadang sakit, tapi telapak kakiku ini sudah begitu keras, mampu meredam panasnya jalanan. Dan aku bisa menikmati setiap langkah dalam perjalanan ini, menikmati setiap rasa yang tercipta, menikmati pesona yang terasa, menikmati semua yang tampak di depan mata, menikmati semua yang bisa di rasakan oleh getaran nurani.


Setiap langkah kaki yang berjalan menyusuri jalan ini akan mengajarkan kita tentang arti sebuah ketabahan, ketenangan, ketangguhan, kesabaran, keikhlasan. Seperti langkah yang ikhlas, perlahan menyusuri setapak demi setapak kenyataan, menerima setiap keadaan, dan belajar untuk tetap tegak berdiri diantara rasa nyeri, melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Perjalanan ini akan menjadi indah.
Read More




Kamis, 15 Mei 2014

Diantara Hembusan Angin dan Hawa Dingin





Gumpalan awan itu menghitam, sebentar lagi mungkin akan turun hujan. Aromanya mulai tercium ketika angin perlahan menghembus, membawa kabar gembira. Kesejukan sebuah kehidupan di turunkan dari langit.

Jalanan begitu hening ketika aku melintas, seperti biasa. Mencari sebuah ketenangan dari lelahnya perjalanan yang entah kapan akan berakhir. Roda ini harus di putar kembali, tidak boleh terhenti di satu titik. Keseimbangan ini harus berputar kembali, melalui porosnya.

Udara di kaki gunung memang begitu segar, sesekali menghembuskan udara yang menjadi dingin. Kabut turun pelan-pelan, memenuhi lembahan, menemani pepohonan yang membisu.
Setengah lingkaran, membentang di cakrawala.

Pelangi selalu indah, darimanapun sudut pandangnya. Ia akan tetap terlihat berwarna. Meskipun ia hanya pantulan cahaya, hanya tampak oleh mata, tidak bisa di rasakan. Tetapi ia bisa menenangkan. Begitulah warna bercerita, begitulah warna menyentuh, begitulah warna berbagi kisah. Begitulah warna mempesona.

Namun adakah makna lain dari sebentuk lingkaran penuh warna itu? Pelangi, selalu setia menunggu hujan reda. Ia hanya akan terlihat ketika suasana begitu berbeda, diantara hujan dan bentangan sinar mentari. Diantara cakrawala dan mega-mega, diantara hembusan angin dan hawa dingin.

Ya, warna itu tidak muncul secara tiba-tiba. Akan ada sebuah awal mula dari sebuah kejadian yang begitu indah. Ada sebuah proses yang terangkai dalam sebuah bingkai, potret yang terekam oleh alam.

Awalilah semuanya dengan makna, maka akhirnyapun akan bermakna. Tidak perlu menjadi sempurna, karena sesuatu yang sempurna itu hanya akan terjadi ketika kita bisa memaknainya. Semuanya akan menjadi sempurna ketika kita bisa menjadikannya seperti itu.

Diantara hembusan angin dan hawa dingin, semuanya berawal. Diantara hembusan angin dan hawa dingin, semuanya akan berakhir.


Read More




Selasa, 13 Mei 2014

Senandung Itu, Bernada Penyesalan



illahi lastu lilfirdausi ahla, walaa aqwa 'ala naari jahiimi
Fahabi taubatan waghfir dzunubi, fainaka ghafirudz- dzanbil 'adzimi...
-potongan lirik senandung Abu Nawas-

Alunan lirik bernada doa itu mengalun perlahan, sebuah pengakuan akan dosa-dosa yang telah di perbuat. Mengiris hati, menggetarkan nurani. Senandung itu seperti menghempaskanku kedalam sebuah jurang penyesalan. Aku luluh dalam sepersekian menit, persedianku lemas. Tak berdaya di hadapan-Nya.


Entah mengapa, pagi ini aku menjadi begitu relegius. Setiap hentakan nada dalam nadiku seperti mengingatkan akan semua kesalahan dan dosa yang telah ku lakukan. aku diam, hanya diam. Selebihnya, hanya ratapan penyesalan yang terucap dari dalam hati. Tanpa ada kata yang bisa ku ucapkan, tak ada tawa menghiasi di sela nafas yang tersengal, hanya terasa sesak.
......

Cantik. Begitulah ketika aku sering menyapanya. Berada diantara senyum yang menggoda. Melihat lirik mata penuh manja, terdengar merdu suaranya menyapa. Begitulah aku mengenalnya.

Hentakan detak jantung seperti berpacu dengan waktu. Mencoba saling mengalahkan, mencoba saling mendahului. Hingga akhirnya, perasaan kagum itu berubah dengan rasa yang begitu dalam. Untuk kesekian kalinya aku merasakan ketenangan ini.

Ada ketegangan yang menyeruak ketika sorot matanya tajam mencengkram nalarku. Mengusik nuraniku, menggetarkan seluruh tubuhku. Dan untuk kesekian kalinya pula aku terlena dengan buaian fatamorgana bias sisa cahaya. Hanya bayang, hanya sekelebat melintas di hadapan, lalu menghilang diantara persimpangan jalan.

Puluhan jemari itu bisa ku rasakan lembutnya dalam satu kali sentuhan. Serpihan kata-kata indah itu bisa kugunakan untuk mendapatkan hatinya, menggenggamnya kedalam satu kepalan tangan. Merangkulnya dalam satu kali pelukan, dan dalam satu hentakan pula semuanya bisa terlepas. Jemari-jemari lembut itu tak lagi tergenggam dalam satu kepalan tangan, hilang.

Namun, makna dari semua ini bukanlah tentang sebuah penaklukan. bukan pula menggenggam jemari-jemari lentik itu dalam satu genggaman, satu pelukan, satu waktu. Ini mengenai nurani yang berkata, mendikte setiap langkah. Menguasai setiap detak dalam detik waktu yang berputar.

''Tuhan, Jika dosaku semakin membesar, sungguh aku tahu ampunanmu jauh lebih besar. Jika hanya orang-orang baik yang berseru kepada-Mu, lantas kepada siapa seorang pendosa harus mengadu?” (Abu Nawas)
………..
… Dzunubi mitslu a'daadir- rimali, fahabli taubatan ya Dzal Jalaali,
Wa 'umri naqishu fi kulli yaumi, wa dzanbi zaaidun kaifa -htimali
Ilahi 'abdukal 'aashi ataak, muqirran bi dzunubi wa qad di'aaka
fain taghfir fa anta lidzaka ahlun, wain tadrud faman narju siwaaka

(Dosa-dosaku seperti butiran pasir di pantai,
maka anugerahilah hamba taubat, wahai Yang Memiliki Keagungan
Dan umur hamba berkurang setiap hari,
sementara dosa-dosa hamba selalu bertambah, apalah dayaku
Ya ALLAH .. hamba-Mu penuh maksiat, datang kepada-Mu bersimpuh memohon ampunan,
Jika Engkau ampuni memang Engkau adalah Pemilik Ampunan,
Tetapi jika Engkau tolak maka kepada siapa lagi aku berharap? )
-senandung Abu Nawas-


Read More




Senin, 12 Mei 2014

Bila Waktu Telah Memanggil



Tidak akan ada yang tersisa selain kenangan. Tidak akan ada kata-kata indah yang akan terucap lagi, tidak akan ada lagi berbait-bait puisi yang tertuang di dalam lembaran kertas. Tidak akan ada lagi suara derap langkah kaki yang menyusuri jalan setapak berbatu, terjal. Tidak akan ada lagi yang bisa dilakukan.

Aku ingin sekali bercerita tentang indahnya rembulan, berbaring diantara rerumputan. Menatap langsung menghadap angkasa. Semilir angin bisikkan kerinduan, lembut menyentuh kulit, mengusap jemari, membelai hati. Seperti bisikan kata yang terucap dari bibirmu, menyentuh perasaan, mendekap kerinduan, semerdu ucapan kata sayang. Lalu aku terbuai, terlena dalam alunan simphoni nada mesra indahnya sebuah rasa.

Aku ingin sekali berkisah tentang hari-hari yang begitu melelahkan. Hari-hari dimana yang ada hanyalah sebuah perjalanan penuh dengan petualangan. Tempat-tempat yang selalu membuatku terkesima, orang-orang yang selalu tersenyum dan menyapa ramah. Tentang sebuah pengorbanan, tentang sebuah persahabatan dan tentang indahnya cerita tentang cinta.

Aku juga ingin sekali bercerita tentang sebuah peyesalan. Yang baru bisa kurasakan setelah melaluinya, menyisakan rasa sakit, takut dan keraguan. Tapi ingin ku ceritakan juga tentang arti dari sebuah penyesalan itu. Penyesalan itu mengajarkanku untuk tetap berdiri menghadapi kenyataan yang tidak selalu merdu, semerdu lantunan kalam Illahi.

Tapi, sepertinya semuanya hanya akan menjadi kenangan, bagimu, bagi kita. Hanya akan menjadi kisah usang di lembaran kertas yang memdar warnanya.

Selanjutnya tak akan ada lagi kisah tentang kita, tentang mereka. Hanya ada aku dan aku. Fase ini hanya akan kulalui sendiri. Apa yang ku tanam itulah yang akan ku petik, dan semuanya akan sebanding dengan apa yang kulakukan sebelumnya. Hanya ada aku dan pemilikku, hanya akan ada aku yang terbaring sendiri di kegelapan, diselimuti hawa dingin. Hanya ada lima pertanyaan yang akan ditanyakan kepadaku, dan pertanyaan itu bukan tentang kita.


Dan ketika waktu benar-benar memanggil, yang tersisa hanya sebuah kenangan. Kenangan itu akan bercerita tentang aku, tentang kita. 
Read More




Mentari Itu, Hanya Sekilas Menyapa



Entah,  mungkin memang seperti itu maunya. Mentari yang tenggelam itu seperti hanya menyapa dalam setengah putaran hari saja. sejenak menghangatkan penuh dengan kasih ketika pertama kali muncul dan menyapa, sejenak membakar ketika mencapai pada pertengahan hari, dan sejenak mempesona penuh dengan cinta dan pesona ketika hendak tenggelam. Dan akan pergi begitu
saja, menimbulkan sejuta tanya tentang pesona yang tak lagi muncul ketika gelap menjelang.

Ia tak berbicara, sedikit kata yang keluarpun hanya sebatas sapa. Tak mengeluarkan makna, tak tahu arah dan tujuannya, hanya sekedar  intonasi tanpa nada.

Tegukan air itu begitu manis hingga masih terasa di ruas dalam leher meski tetes terakhir itu sudah sepenuhnya masuk kedalam lambung. Manisnya masih tersisa diantara ujun lidah dan bibir yang basah.

Bukankah kita selalu menyukai sesuatu yang manis dari pada sesuatu yang pahit? Namun, jika terlalu manispun sepertinya enggan untuk merasakannya, namun menjadi sebaliknya. Sesuatu yang begitu pahit itu akan tetap kita telan begitu saja, jika di dalam pahitnya ternyata bisa menyembuhkan. Bukankah seperti itu? Sesuatu yang manis belum tentu baik, begitu juga dengan sesuatu yang begitu pahit bukan berarti buruk.

Seperti nyanyian para gembala di padang pasir, selalu bergerak menggiring ternak, terkadang harus menempuh perjalanan panjang dan melelahkan. Bertahan diantara panasnya matahari yang menyengat, lalu bertahan diantara dinginnya malam yang menggigit. Begitu dilakukan tanpa henti, berharap ternaknya akan tumbuh, beranak pinak, mengeluarkan susu yang berlimpah atau mencari ridho Allah dengan mengorbankannya di hari raya. Sebuah harga yang harus dibayar untuk mendapatkan ridho Illahi.

Mentari itu, hanya sekilas menyapa. Lalu pergi tanpa kata. Menyisakan hangat yang sesaat, tenggelam diantara dinginnya malam. Dan matahari hanya akan menyapa, tak akan berlama-lama ia berdiam diri. Karena ia tahu porsinya, karena ia sadar akan keberadaannya jika terlalu lama berada diantara waktu. Dan ia akan kembali menyapa, seperti hari-hari sebelumnya..


Dan akan tetap sama…
Read More




Minggu, 11 Mei 2014

Siluet, Latar Indah yang Mempesona




Siluet itu, terlihat indah meski objek yang di tangkap oleh jepretan kamera/mata hanya gelap. Ada latar indah di belakangnya. Ada pesona dan keindahan dibalik kegelapan yang terlihat. Sejenak kaki berdiri menikmati pertunjukan alam, menari bersama indahnya kenangan masa lalu. Menikmati secangkir teh manis diantara semburat wajah mentari yang menjingga.

Tersenyum, diantara rimbunnya dedaunan pekarangan rumah. Sehijau masa depan yang penuh dengan asa. Sesegar embun pagi diantara kicauan merdu burung-burung liar yang terbang bebas. Hinggap dari satu pohon ke pohon berikutnya. Mencari kehidupan diantara kehidupan.

Siluet itu berkata sangat jelas, mengisyaratkan pesan dari sekedar keindahan. Sama seperti ketika menatap langsung matahari, maka setelahnya hanya ada gelap yang mampu di rekam oleh kedua mata. Tak ada warna cerita diantaranya. Hanya gelap, dan tak terlihat.

Bukankah hidup ini juga hanya sebuah perjalanan singkat. Seperti burung-burung liar itu, hinggap dari satu pohon ke pohon berikutnya. Mencari kehidupan diantara kehidupan? Bukankah hidup ini seperi siluet, yang hanya tampak indah latarnya? Semua orang tentu bisa mengartikan kehidupan ini seperti imajinasinya. Seperti kata hatinya, seperti pandangannya.

Seseorang dalam kisahku berujar “hidup ini bukan hanya untuk merasakan sakit”. Lalu kisah berikutnya berkata “terimakasih karena telah memberikan rasa sakit ini, karena aku bisa merelakan sebuah kehilangan”. Atau pada bagian kisah lainnya yang sebenarnya tidak berkata dengan lisan, namun langsung memberikan sebuah kenyataan yang harus ku mengerti tentang maknanya sendiri.

Lalu, aku merangkainya menjadi sebuah kisah yang penuh warna. Pada bagian tertentu aku menyukainya, namun ada bagian tertentu yang tidak ingin ku ingat sama sekali. Namun, jusrtu pada bagian yang tidak ingin ku ingat itulah aku menemukan berbagai makna dari sekedar “hidup ini hanya sebatas berteduh diantara gersangnya padang pasir”.

Tidak perlu melupakan masa lalu, tidak pula harus terus terpaku dengan masa itu. Yang di perlukan hanya sebuah keyakinan. Karena selain itu semua, kita tidak mempunyai apa-apa. Karena dari masa lalu kita ada di masa ini dan masa depan (mungkin).

Terakhir kali ku lihat semburat cahaya itu menyilaukan mata, hanya ada kegelapan yang tersisa. Namun, aku masih bisa melihat, merasakan, menyetuh dan mencium harumnya masa depan. Masih ada pesona diantara gelapnya malam yang panjang, masih akan ada rasa itu di kemudian hari.

Keputusasaan ini adalah merupakan kenangan terindah untuk masa depan yang entah dimana ujungnya. Mencampakkan, di campakkan, merendahkan, di rendahkan, menertawakan, di tertawakan, adalah bagian dari ceritanya.


Siluet,  latar indah yang mempesona…
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML