#Bagian 1
Mentari kembali
menyapa.
Kesadaranku masih
belum benar-benar pulih ketika mentari mulai meninggi, sinar hangatnya mulai
memeluk semesta. Keheningan yang sedari subuh terjaga, kini mulai terlihat
ramai seketika.
Terdengar kicau
burung kacamata mencicit perlahan, bercengkrama berpasang-pasangan, hinggap
dari satu dahan ke dahan berikutnya, menggoyang-goyangkan dedaunan yang
terlihat hijau. Bulir sisa embun yang mencair perlahan menetes, kilauannya terlihat
seperti berlian ketika tertampar sinar mentari pagi. Udaranya masih terasa
begitu segar, suasananya masih begitu asri, jika dilihat dari sini.
Sementara di tempat
yang tidak begitu jauh, ada beberapa kupu-kupu berwarna dominan hitam dengan
corak kuning dan biru muda hinggap dari satu tangkai bunga rumput ke bunga
lainnya, begitu juga dengan kumbang yang masih asyik hinggap dari satu tangkai bunga ke tangkai bunga lainnya, dan jika mendekat, kita akan mendengar suara
dengung dari sayapnya. Mereka sedang mengerjakan proses pembenihan alami, yang agak sulit ku
mengerti, tetepi itulah harmoni. Mengalir perlahan, mengalun tenang, memberikan
makna tentang keserasian dan keseimbangan.
Sepetak tanah halaman
belakang tempat ini, menjadi satu-satunya pemandangan alami. Menjadi
satu-satunya pemandangan yang berbeda. Masih ada ilalang, rumput liar, binatang
melata dan berbagai serangga yang menggantungkan hidupnya dari sepetak tanah
yang tak terpakai. Terkepung oleh tingginya gedung dan rapatnya perumahan warga
kampung. Sepetak tanah ini juga menjadi lahan bermain bagi sebagian orang, dan
aku adalah salah satu orang yang menggunakan sepetak tanah kosong tak terpakai
ini menjadi tempat bermain.
Baru satu jam lalu
aku memejamkan mata, mencoba berdamai dengan warna gelap malam. Mencoba
merasakan pelukan dingin yang menenangkan di antara warna pekatnya. Tapi,
seperti hari-hari yang lalu di tempat ini, atau lebih tepatnya rutinitas yang
ku lakukan beberapa tahun lalu bersama rekan dan sahabat. Sebuah ritual yang wajib dilakukan untuk menyambut mentari dan mahasiswi.
Dan kami pun mulai beraksi, tebar pesona ala anak Mapala yang punya segunung pesona, saatnya melebarkan sayap!. Tapi sayang, kebanyakan dari kami masih saja tetap sendiri, jomblo dari bayi, dan itu takdir yang harus disyukuri. Alhamdulillah ya Rabb, setidaknya hamba-hambamu ini masih bisa menyaksikan keindahan ciptaanmu dari seberang sini, meski harus dibatasi jendela dan gedung tinggi. Mengenaskan!
Lalu, kami akan berjejer rapih, membuka baju dan membelakangi jendela kelas, dengan rambut yang menjuntai panjang sepinggang. Sekilas dari kejauhan, kami terlihat cantik, terlebih rambut ikalku yang jika panjang tampak menggemaskan (kata sebagian orang).
Dan kini aku merasa rindu saat-saat itu. Maka ku putuskan sejenak untuk menikmati belaian lembut angin gunung dan pelukan hangat mentari pagi, hanya saja kini rambutku tak sepanjang waktu itu.
Dan kami pun mulai beraksi, tebar pesona ala anak Mapala yang punya segunung pesona, saatnya melebarkan sayap!. Tapi sayang, kebanyakan dari kami masih saja tetap sendiri, jomblo dari bayi, dan itu takdir yang harus disyukuri. Alhamdulillah ya Rabb, setidaknya hamba-hambamu ini masih bisa menyaksikan keindahan ciptaanmu dari seberang sini, meski harus dibatasi jendela dan gedung tinggi. Mengenaskan!
Lalu, kami akan berjejer rapih, membuka baju dan membelakangi jendela kelas, dengan rambut yang menjuntai panjang sepinggang. Sekilas dari kejauhan, kami terlihat cantik, terlebih rambut ikalku yang jika panjang tampak menggemaskan (kata sebagian orang).
Dan kini aku merasa rindu saat-saat itu. Maka ku putuskan sejenak untuk menikmati belaian lembut angin gunung dan pelukan hangat mentari pagi, hanya saja kini rambutku tak sepanjang waktu itu.
Sementara hangatnya
mentari pagi mulai pulihkan kesadaranku, aku mencoba menghubungkan kisah menjadi
sebuah cerita yang bisa dibaca. Mencoba meracik dengan berbagai gaya bahasa,
alur yang berbeda, mencoba membuatnya menjadi indah. Ku tarik kejadian dari
kemarin menjadi satu garis yang akan ku tuangkan ke dalam sebuah cerita.
Mungkin akan ku buat fiksi, atau mungkin juga akan ku rangkai dengan
realitanya. Bagiku, baik fiksi atau nyata tak jauh berbeda, keduanya tetap
indah, setidaknya aku masih bisa menggunakan keduanya di dalam setiap kisah
yang ku tulis.
Beberapa hari yang
lalu, penantianku terjawab dengan begitu indah. Tak ada yang lebih indah selain
mendapatkan apa yang diinginkan bukan? Meski terkadang apa yang diinginkan
belum tentu baik, tapi setidaknya itu bisa menjadi pelipur rasa rindu yang menggebu, dan dengan itu aku bisa menghibur diri, melalui coretan-coreatan di layar monitor ini dengan menggunakan berbagai
kosa kata dan gaya bahasa.
Aku hampir lupa
dengan rengekan manja itu, aku hampir lupa dengan cerita indah yang sempat
tersambung menjadi sebuah alur nyata dalam bagian hidup di dunia. Tapi, aku tak
pernah lupa untuk selalu menuliskan kata-kata yang ku anggap indah itu, pada
setiap pesan yang ku tinggalkan melalui email atau pesan di jejaring sosial. Masa
bodoh tentang jawaban, tapi ku tahu, dia membacanya. Dan aku begitu yakin dia
akan menyukainya.
Sesaat anganku
kembali mencoba menggali sisa-sisa memori yang sempat teralihkan oleh
rutinitas, sejengkal demi sejengkal aku memasuki kenangan itu, mengais dari sisa-sisa
puing yang sempat berserakan beberapa waktu lalu, mencoba kembali mencari-cari
bagian yang hilang, dan berusaha menyusun kembali rangkaian rantai kenangan
itu, mencoba membangun jembatan dari masa sekarang ke masa lalu melalui
ingatan.
Masih ada senyum itu
menyapa, masih ada rengekan manja itu menggoda, masih ada rasa hangat peluknya
ketika senja menyapa, masih terasa kuat jemarinya mencengkram ketika hujan
mulai turun. Dan semua itu kembali ku temukan dalam tumpukan kenangan masa
silam, yang perlahan mulai kembali jelas terlihat, kembali jelas teringat.
Aku akan bercerita
tentangnya, dia akan selalu menjadi wanitaku, setidaknya untuk saat ini, karena
aku tak tahu di kemudian hari apakah kisah dan rasanya masih sama, lalu
harapanku menyeruak ke luar, menembus sisa-sisa kabut yang masih memeluk
pegunungan di depanku, tipis, syahdu, mempesona, indah. Dan aku berharap akan
selalu seperti itu untuk kisah-kisah selanjutnya, tentang kekagumanku dengan
pesona jingga warna senja yang menggoda, serta damainya rintik hujan yang
menyapa diantara hawa dingin. Ku ceritakan tentang dia, Rintik Senja.
Sekilas ku gambarkan
tentang rupanya. Ia memiliki alis yang begitu menawan, aku selalu suka menyentuhnya,
membelainya, itu hanya ku lakukan ketika ia tidur. Sebab, ia akan langsung
memajukan bibirnya sampai lima centimeter jika ku lakukan ketika ia sedang
sadar, pertanda protes karena ia tidak suka itu. Dan ia akan berteriak:"Kakakkk!! Udah!." dan seperti kataku, bibirnya bisa dikepang jika sudah seperti itu.
Bibirnya agak sedikit
tebal, jika kau pernah lihat aktris Hollywood yang memerankan peran penting dalam setiap filmnya, dan menjadi idola bagi kaum pria. Nah ku katakan kepadamu, ya aktris itu Angelia Jolie. Ku katakan dia miliki bibir sepertinya, sexy kataku, tapi dia selalu menganggap itu hal yang aneh. Tapi benar,
aku suka itu, terlebih hidungnya yang mungil dan mancung, aku lebih suka lagi.
Tatapan matanya, aku agak sedikit bergidik jika melihatnya. Tak pernah mampu
menatapnya lebih dari lima detik, ia memiliki tatapan mata yang tajam, menggoda
bahkan, ia bisa membutakan mata setiap lelaki, oleh karena itu aku enggan
menatapnya berlama-lama.
Namun, terkadang dari tatapannya, ada seberkas
semburat kepedihan di antara sorotan mata bahagia dan cerianya. Ada kelembutan seorang wanita di balik semua itu,
tatapan tajam itu hanyalah sebuah kamuflase untuk menutupi sesuatu yang tidak
ingin terlihat, tetapi aku selalu bisa melihat dari sisi yang berbeda mengenai
itu.
Ini semua bukan tentang fisik. Cantik, semua wanita ku rasa cantik, dan itu benar adanya, dan dia adalah salah satu wanita yang bisa memikatku, tidak hanya dengan parasnya. Ada banyak hal yang bisa membuatku tertarik dengannya, dan kebanyakan adalah semua perbedaan itu.
Ini semua bukan tentang fisik. Cantik, semua wanita ku rasa cantik, dan itu benar adanya, dan dia adalah salah satu wanita yang bisa memikatku, tidak hanya dengan parasnya. Ada banyak hal yang bisa membuatku tertarik dengannya, dan kebanyakan adalah semua perbedaan itu.
Jika berbicara usia, mungkin usia kita hanya terpaut
satu tahun, tingginya mungkin 155cm, aku selalu suka ketika ia kenakan
kerudung itu, ia terlihat lebih anggun dari siapapun (kecuali ibu dan kakak
perempuanku). Dia aneh, terkadang melakukan hal-hal konyol, tanpa sebab ia akan
teriak-teriak seperti orang kesurupan, atau dia akan melakukan salto, jungkir
balik tanpa sebab. Dan aku hanya bisa menatapnya tak mengerti, bengong.
Ia selalu energik,
gaya berjalannya seperti lelaki, mungkin itu menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan, dia dulu begitu
terobsesi ingin menjadi seorang tentara seperti mendiang ayahnya, dan akhirnya dia melakukan aktivitas selayaknya tentara, jogging, push up, pull up, de-el-el, dan sepertinya dia gagal
setelah melakukan serangkaian tes yang melelahkan. Ku tebak, ia gagal karena
kurang tinggi!. Atau karena giginya kurang rapih? Ah, entahlah, dan aku bersyukur dia tidak menjadi tentara, karena jika ia tentara tentu aku tak akan pernah bertemu dengannya.
Dan terkadang aku
hanya bisa tertawa melihat tingkah polahnya, dia terkadang ikut bernyanyi dan
menari mengikuti iklan di televisi, atau dia mungkin sesekali dan (mungkin) sering nyanyi lagu dangdut koplo yang terkadang tidak jelas lirik dan maksud
yang ingin di sampaikan oleh si penyanyi dan pengarang lagu itu, dan untuk kesekian kalinya, aku masih menggeleng tak mengerti.
Selera musiknya
begitu berbeda denganku, aku tergolong jenis manusia yang menyukai semua jenis musik,
mulai dari rock, classic, blues, jazz, pop, reagge, musik instrument, dan
dangdut sekalipun ku lahap. Tapi, kita masih belum menemukan frekuensi yang sama
mengenai itu, meski ku akui, terkadang dia menjadi suka dan ingin memutar
lagu-lagu yang ku pilih itu, tapi tetap saja, dominasi dia terlalu kuat mengenai hal tersebut.
Dan ku beritahu
seseuatu, dia akan langsung mengernyitkan dahi ketika ku putar lagu-lagu itu,
dia bilang: "Kakk, aku gak ngerti, ganti yah?" pintanya dengan nada manja, tapi sepertinya dia lebih sering menggunakan gaya bahasa mengancam. Terlebih jika yang ku putar adalah lagu barat, dia kemudian akan protes dan
langsung mengganti dengan musik kesukaannya, dulu dia sering memutar lagi grup
band lokal, yang entah nama band-nya, aku tak terlalu paham.
Membaca, dia kurang
tertarik akan hal itu. Dia hanya akan membaca dan menjadi suka ketika ku
tuliskan cerita tentangnya, hanya itu yang ia sukai mengenai membaca, dan aku
akan selalu melakukan untuknya. Ada banyak hal yang berbeda dari aku dan wanitaku
ini, tapi aku menyukainya, perbedaan itu yang membuatku begitu membutuhkannya,
setidaknya hingga saat ini aku masih membutuhkan kehadirannya, menginspirasi
dari setiap tulisan yang ku buat.
Dan ku rasa akhir-akhir ini
ia merasa cemburu (mungkin), karena aku menuliskan kisah yang bukan tentangnya, dan ia menuntut untuk dibuatkan cerita saingan si pembawa pesan yang sempat ku tuliskan dari inspirasi dari seorang sahabat baru, begitu konyol. Bahkan, beberapa waktu lalu aku
menyusun naskah sekitar 150 halaman, di mana 90 persen cerita itu
menceritakannya, dan ia tidak sadar akan hal itu. Ya Rabb, berilah ketegaran untuk hambamu yang lemah ini.
Dan sekarang, aku
akan memulai menuliskan tentangnya, ia yang selalu menjadi bahan tulisanku,
kembali menjadi tokoh utama dalam setiap lembar jurnal baru ini, dan inilah
kisah untuknya, ini cerita tentang wanitaku..
....