Kamis, 09 Oktober 2014

Selarik Kisah Tentang Hujan (Aku dan Wanitaku, Rintik Senja)

#Berai Terangkai





Entah, berapa banyak sajak yang tercipta atas namanya. Mungkin ada ratusan, mungkin juga ribuan. Aku tak pernah menghitungnya. Sejak waktu itu, pernah beberapa kali aku berkisah tentang itu. Memberikan sentuhan dengan melodi terindah, sentuhan terlembut, berhembus pelan. Berjajar rapih, sesekali berserakan, sesekali berguguran, sesekali basah, sesekali luluh, sesekali berai, sesekali terkulai, sesekali berteriak, lantang, panjang, keras, membahana. Menggema.

Tapi, aku harus kembali mengunyah rasa pahit itu. Aku harus menelan semuanya, pada saat itu juga. Harus tandas, tak berbekas.

Tapi, apa dayaku? Aku sama seperti kalian, terkadang bisa begitu kuat, terkadang begitu superior, terkadang begitu ambisius, terkadang marah, terkadang terpesona, pernah jatuh cinta, pernah merasakan cinta, pernah merasa bahagia. Tapi apakah aku pernah terluka? Apa aku pernah kecewa? Apa aku pernah merasa nestapa? Apa aku pernah putus asa? Apa aku pernah… Entahlah, semua itu pernah ku rasakan juga, seperti yang ku katakan. Aku menelan semua itu, dalam satu waktu. Hingga rasa pahitnya enggan menghilang.

Ada selarik kata, tertulis dalam aksara seirama dengan lembayung senja. Ada kata-kata tanpa makna menghiasi diantara lirik dan barisan kata itu. Tadi, bulan itu tertutup bumi. Gerhana. Lamat-lamat terdengar takbir dari corong-corong masjid dan mushola, dan baru ku sadari setelah bertanya ada apa gerangan.

Aku seperti tak pernah bosan untuk kembali bercerita dalam balutan romansa, menari-nari bersama indahnya kenangan, kembali merangkak dalam rasa kepedihan, tersungkur dalam kesenjangan antara keinginan dan kenyataan, merobek kisah kelam, lalu menuliskannya kembali, lalu merobeknya lagi, kemudian ku lakukan berulang-ulang. Klise.
“Apa kabarmu?” tanyaku malam itu, ketika ku jemput kau di pinggir jalan. Dengan ransel dan balutan jilbab, aku lupa warnanya. Tapi masih ku ingat, itu tampak serasi.

Tersenyum, kemudian kau jawab:”Baik.” aku balas senyumanmu, ku buat lebih manis, berusaha mati-matian. Menahan rindu yang selalu menggebu.

Ini adalah pertama kalinya untukku, kembali bertatap muka setelah kau torehkan luka. Luka yang masih menganga, terasa sakit jika terbuka. Tapi, ku coba untuk tidak merasakannya. Rela.

“Sudah lama?” tanyaku memecah keheningan. Suasana masih ramai, suasana khas terminal. Terminal terbesar kedua di kota ini, baru saja terdengar suara adzan isya, jadi ku perkirakan waktu menunjukkan pukul tujuh malam, lebih beberapa menit.

“Lumayan.” jawabnya singkat, terlihat malu-malu menatapku.

Aku tak kalah gemetar, mencoba bersikap biasa. Mencoba berdamai dengan hati, mencoba menenangkan diri. Tapi tetap saja, jantungku berdebar lima kali lebih cepat dari biasanya. Ku berikan isyarat kepadanya, agar membonceng besi tua tungganganku. Vespa tahun 1965, lebih tua dari usiaku. Ekstotik, menawan. Semox namanya.

“Kita ke mana? Langsung pulang, atau mau makan?” tanyaku, berusaha mencairkan kebekuan.

“Terserah kakak.” jawabnya singkat. Ia masih sama, tak suka ditanya, tak suka diberikan pilihan.

“Kita makan dulu kalau begitu. Mau makan apa?” tanyaku. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan. Karena, lagi-lagi aku yang akan menentukan.

“Hmm,, makan daging sepertinya enak.” jawabnya dengan tawa itu, tawa yang sekian lama menghantuiku. Sudah ku tebak, makanan jenis itu akan menjadi jenis makanan pertama yang dipilihnya.

Segera ku pilih tempat makan favoritku. Ku hentikan laju scooter tua ini di depan sebuah kedai yang menyediakan berbagai makanan khas jawa. Dari daftar menu tertera berbagai jenis olahan daging.

“ Di sini aja, mau?” tanyaku

“Boleh. tapi sepertinya penuh.” ia menunjuk ke dalam, sementara aku masih berusaha memarkirkan kendaraan yang susah menyelinap di sela-sela kendaraan roda dua yang lebih ramping. Aku melihat ke dalam, penuh ternyata.

“Hmm, apa kita cari tempat makan yang lain?” jawabku menawarkan. Ia melirik ke arloji di tangan kanannya.

“Sepertinya kita pulang, sudah malam. Lagipula aku tadi janji sama mama, langsung pulang.” jawabnya, berusaha menolak ajakanku sehalus mungkin agar tak membuatku kecewa.

“Oke, kita pulang.” jawabku dengan senyum.

“Yuk, naik.” ia bergegas membonceng di belakang. Tak berapa lama, kembali kami berjalan diantara lalu lintas malam yang masih ramai.

Bandung terasa sangat dingin, terminal Cicaheum. Pukul tujuh lebih, genangan air masih terlihat di beberapa sudut jalan. Baru saja hujan reda. Aku suka suasananya.

Vespa tua, berjalan pelan. Menembus hawa dingin, memecah keramaian, menyibak lalu lalang kendaraan, sesekali klakson terdengar dari pengguna jalan. Aku tak peduli. Masih ku nikmati malam ini, masih ku nikmati dingin ini. Aku terlalu senang untuk merasakan dingin yang menggigit.

Jelas, ini bukanlah kali pertama kami berjumpa. Dia, dulu wanitaku. Kini, entahlah. Setidaknya aku masih bisa berharap tentangnya. Ya, aku masih begitu menyayanginya. Tak peduli seberapa perih luka yang digoreskannya, tak peduli seberapa pahit kenyataan yang dituangkan ke dalam perasaan. Hatiku terlalu jujur jika harus membencinya.

Masih ramai, tak ada keheningan. Bahkan hatiku juga terdengar gaduh. Tak jelas apa iramanya. Tapi, terlalu berisik untuk bisa dijamah dengan perasaan. Ada selintas bahagia dan luka yang bercampur menjadi satu. Tapi, ku putuskan, aku bisa kembali merasakan dingin dan dari ujung kaki, melalui pori-pori jari, merambat pelan ke antara kaki, pelan menjalar ke tubuh, kemudian menyebar ke kepala, dicerna, kemudian hati bisa merasakan itu, perlahan.

Sekilas ku tatap matanya, aku masih belum bisa menilainya, karena aku tak tahan berlama-lama menatap bagian itu. Terlalu dahsyat, menghujam. Pelan-pelan, mampu hilangkan kosa kata dalam rangkaian prosa yang telah ku kumpulkan dari tumpukan novel yang ku baca. Aksaranya menjadi kabur, abstrak.

Malam beranjak pelan, sengaja ku buat pelan laju si besi tua ini. Ingin lebih lama menghabiskan waktu dengannya, meski pertemuan ini mungkin terlihat canggung. Tapi, aku bisa kembali merasakan, tak akan lama ini mencair, mungkin lima menit, satu jam, satu hari, satu bulan, satu tahun, entah. Satu hal yang selalu ku yakini, ini akan membaik.
Beberapa bulan lalu, kejadiannya terjadi begitu saja. Ketika malam beranjak pelan, langit menghitam pekat, lebih gelap dari apapun. Untuk kesekian kali, aku harus merasakan keheningan menjadi lebih dari sekedar sepi. Ketika malam tercabik melalui kenangan terperih, rintihan dari sebuah hati yang terlihat begitu kuat itu akhirnya luluh.

Sunyi ini begitu mencekam, semangatku berantakan, porak-poranda. Berserakan, tercabik menjadi bagian-bagian kecil tak terlihat. Luruh, hancur.

Aku tak terlalu kuat ketika berhadapan dengan hal yang berhubungan dengan rasa. Ini bukan tentang berjalan diantara tebing curam, lebih dari sekedar mendaki gunung. Lebih dari sekedar mengarungi jeram dan memanjat tebing, ini lebih pekat daripada berjalan menyusuri goa, ini lebih panjang daripada berjalan menyusuri garis pantai di bagian selatan bumi nusantara. Ini lebih panas dari sekedar siang musim kemarau, ini lebih kering daripada suhu di gurun gersang, ini lebih dingin daripada suhu di bagian kutub bumi.

Aku takluk di hadapan sebuah rasa, aku tak begitu menyukainya. Percayalah, bertahun-tahun belakangan ini, aku ditempa dengan situasi yang tak begitu indah. Serangkaian kehilangan silih berganti menyambangiku. Rasa kehilangan yang menyebabkan kepada sebuah penyesalah, dan kali ini, ketika ku katakan dalam hati tenang janji itu, aku enggan untuk kesekian kalinya kehilangan.

Tapi apa daya, Jemari Tuhan terlalu kuat untuk di lawan. Tak berdaya, hanya bisa mencoba belajar menerima. Rela.

Pernah ku dengar sebuah ungkapan dari salah seorang sahabat nabiku. “Jika aku berdoa dan Allah mengabulkannya, maka aku akan bahagia. Tapi jika aku berdoa dan Allah tak mengabulkannya, maka aku lebih gembira. Karena yang pertama adalah keinginanku, sedangkan yang kedua adalah keinginan-Nya” sepertinya ungkapan sahabat nabiku itu terlalu berat untuk segera ku maknai, batasku belum mencapai ke arah itu. Keinginanku lebih kuat daripada memaknai kehendak-nya. Aku kembali terkulai, lemas. Nelangsa.

Butuh lebih dari satu pekan untuk mengembalikan semuanya, lebih dari sebulan untukku memahami situasinya, dan beranjak satu semester untukku bisa benar-benar mengerti apa yang terjadi, sampai akhirnya kata rela itu tercipta, tapi masih ada rasa yang tersisa. Masih ada harapan yang menyala, hingga akhirnya kini aku menjadi si pembuat cerita. Menjadi pengkhayal yang selalu dipenuhi dengan fiksi, aku adalah pelaku, aku adalah penulis dan aku adalah sutradaranya. Aku si pengendali kisah.
….

Jemariku, perlahan bergerak mengikuti bisikan hati. Perlahan, mencari jemarinya yang memegang erat kemeja andalanku. Planel kotak-kotak warna biru. Masih terasa dingin, tapi terasa bisa menghangatkan suasana. Kembali, romansa itu mengalir pelan. Memasuki setiap celah dari hati yang sempat terluka, menyembuhkan kegetiran yang berujung duka. Malam hari, di penghujung bulan Juni, hujan turun sejak sore, Rintik Senja kembali bercerita. Dan inilah awalnya..
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML