#Berai Terangkai
Entah, berapa
banyak sajak yang tercipta atas namanya. Mungkin ada ratusan, mungkin juga
ribuan. Aku tak pernah menghitungnya. Sejak waktu itu, pernah beberapa kali aku
berkisah tentang itu. Memberikan sentuhan dengan melodi terindah, sentuhan
terlembut, berhembus pelan. Berjajar rapih, sesekali berserakan, sesekali
berguguran, sesekali basah, sesekali luluh, sesekali berai, sesekali terkulai,
sesekali berteriak, lantang, panjang, keras, membahana. Menggema.
Tapi, aku harus
kembali mengunyah rasa pahit itu. Aku harus menelan semuanya, pada saat itu
juga. Harus tandas, tak berbekas.
Tapi, apa
dayaku? Aku sama seperti kalian, terkadang bisa begitu kuat, terkadang begitu
superior, terkadang begitu ambisius, terkadang marah, terkadang terpesona,
pernah jatuh cinta, pernah merasakan cinta, pernah merasa bahagia. Tapi apakah
aku pernah terluka? Apa aku pernah kecewa? Apa aku pernah merasa nestapa? Apa
aku pernah putus asa? Apa aku pernah… Entahlah, semua itu pernah ku rasakan
juga, seperti yang ku katakan. Aku menelan semua itu, dalam satu waktu. Hingga
rasa pahitnya enggan menghilang.
Ada selarik
kata, tertulis dalam aksara seirama dengan lembayung senja. Ada kata-kata tanpa
makna menghiasi diantara lirik dan barisan kata itu. Tadi, bulan itu tertutup
bumi. Gerhana. Lamat-lamat terdengar takbir dari corong-corong masjid dan
mushola, dan baru ku sadari setelah bertanya ada apa gerangan.
Aku seperti tak
pernah bosan untuk kembali bercerita dalam balutan romansa, menari-nari bersama
indahnya kenangan, kembali merangkak dalam rasa kepedihan, tersungkur dalam
kesenjangan antara keinginan dan kenyataan, merobek kisah kelam, lalu
menuliskannya kembali, lalu merobeknya lagi, kemudian ku lakukan berulang-ulang.
Klise.
…
“Apa kabarmu?”
tanyaku malam itu, ketika ku jemput kau di pinggir jalan. Dengan ransel dan
balutan jilbab, aku lupa warnanya. Tapi masih ku ingat, itu tampak serasi.
Tersenyum,
kemudian kau jawab:”Baik.” aku balas senyumanmu, ku buat lebih manis, berusaha
mati-matian. Menahan rindu yang selalu menggebu.
Ini adalah
pertama kalinya untukku, kembali bertatap muka setelah kau torehkan luka. Luka
yang masih menganga, terasa sakit jika terbuka. Tapi, ku coba untuk tidak
merasakannya. Rela.
“Sudah lama?”
tanyaku memecah keheningan. Suasana masih ramai, suasana khas terminal.
Terminal terbesar kedua di kota ini, baru saja terdengar suara adzan isya, jadi
ku perkirakan waktu menunjukkan pukul tujuh malam, lebih beberapa menit.
“Lumayan.”
jawabnya singkat, terlihat malu-malu menatapku.
Aku tak kalah
gemetar, mencoba bersikap biasa. Mencoba berdamai dengan hati, mencoba
menenangkan diri. Tapi tetap saja, jantungku berdebar lima kali lebih cepat
dari biasanya. Ku berikan isyarat kepadanya, agar membonceng besi tua
tungganganku. Vespa tahun 1965, lebih tua dari usiaku. Ekstotik, menawan. Semox
namanya.
“Kita ke mana?
Langsung pulang, atau mau makan?” tanyaku, berusaha mencairkan kebekuan.
“Terserah kakak.”
jawabnya singkat. Ia masih sama, tak suka ditanya, tak suka diberikan pilihan.
“Kita makan dulu
kalau begitu. Mau makan apa?” tanyaku. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak
perlu ditanyakan. Karena, lagi-lagi aku yang akan menentukan.
“Hmm,, makan
daging sepertinya enak.” jawabnya dengan tawa itu, tawa yang sekian lama
menghantuiku. Sudah ku tebak, makanan jenis itu akan menjadi jenis makanan
pertama yang dipilihnya.
Segera ku pilih
tempat makan favoritku. Ku hentikan laju scooter tua ini di depan sebuah kedai
yang menyediakan berbagai makanan khas jawa. Dari daftar menu tertera berbagai
jenis olahan daging.
“ Di sini aja,
mau?” tanyaku
“Boleh. tapi sepertinya
penuh.” ia menunjuk ke dalam, sementara aku masih berusaha memarkirkan
kendaraan yang susah menyelinap di sela-sela kendaraan roda dua yang lebih
ramping. Aku melihat ke dalam, penuh ternyata.
“Hmm, apa kita
cari tempat makan yang lain?” jawabku menawarkan. Ia melirik ke arloji di
tangan kanannya.
“Sepertinya kita
pulang, sudah malam. Lagipula aku tadi janji sama mama, langsung pulang.”
jawabnya, berusaha menolak ajakanku sehalus mungkin agar tak membuatku kecewa.
“Oke, kita
pulang.” jawabku dengan senyum.
“Yuk, naik.” ia
bergegas membonceng di belakang. Tak berapa lama, kembali kami berjalan
diantara lalu lintas malam yang masih ramai.
Bandung terasa
sangat dingin, terminal Cicaheum. Pukul tujuh lebih, genangan air masih
terlihat di beberapa sudut jalan. Baru saja hujan reda. Aku suka suasananya.
Vespa tua, berjalan
pelan. Menembus hawa dingin, memecah keramaian, menyibak lalu lalang kendaraan,
sesekali klakson terdengar dari pengguna jalan. Aku tak peduli. Masih ku
nikmati malam ini, masih ku nikmati dingin ini. Aku terlalu senang untuk
merasakan dingin yang menggigit.
Jelas, ini
bukanlah kali pertama kami berjumpa. Dia, dulu wanitaku. Kini, entahlah.
Setidaknya aku masih bisa berharap tentangnya. Ya, aku masih begitu
menyayanginya. Tak peduli seberapa perih luka yang digoreskannya, tak peduli
seberapa pahit kenyataan yang dituangkan ke dalam perasaan. Hatiku terlalu
jujur jika harus membencinya.
Masih ramai, tak
ada keheningan. Bahkan hatiku juga terdengar gaduh. Tak jelas apa iramanya.
Tapi, terlalu berisik untuk bisa dijamah dengan perasaan. Ada selintas bahagia
dan luka yang bercampur menjadi satu. Tapi, ku putuskan, aku bisa kembali
merasakan dingin dan dari ujung kaki, melalui pori-pori jari, merambat pelan ke
antara kaki, pelan menjalar ke tubuh, kemudian menyebar ke kepala, dicerna,
kemudian hati bisa merasakan itu, perlahan.
Sekilas ku tatap
matanya, aku masih belum bisa menilainya, karena aku tak tahan berlama-lama
menatap bagian itu. Terlalu dahsyat, menghujam. Pelan-pelan, mampu hilangkan
kosa kata dalam rangkaian prosa yang telah ku kumpulkan dari tumpukan novel
yang ku baca. Aksaranya menjadi kabur, abstrak.
Malam beranjak
pelan, sengaja ku buat pelan laju si besi tua ini. Ingin lebih lama
menghabiskan waktu dengannya, meski pertemuan ini mungkin terlihat canggung.
Tapi, aku bisa kembali merasakan, tak akan lama ini mencair, mungkin lima
menit, satu jam, satu hari, satu bulan, satu tahun, entah. Satu hal yang selalu
ku yakini, ini akan membaik.
…
Beberapa bulan
lalu, kejadiannya terjadi begitu saja. Ketika malam beranjak pelan, langit
menghitam pekat, lebih gelap dari apapun. Untuk kesekian kali, aku harus
merasakan keheningan menjadi lebih dari sekedar sepi. Ketika malam tercabik
melalui kenangan terperih, rintihan dari sebuah hati yang terlihat begitu kuat
itu akhirnya luluh.
Sunyi ini begitu
mencekam, semangatku berantakan, porak-poranda. Berserakan, tercabik menjadi
bagian-bagian kecil tak terlihat. Luruh, hancur.
Aku tak terlalu
kuat ketika berhadapan dengan hal yang berhubungan dengan rasa. Ini bukan
tentang berjalan diantara tebing curam, lebih dari sekedar mendaki gunung.
Lebih dari sekedar mengarungi jeram dan memanjat tebing, ini lebih pekat
daripada berjalan menyusuri goa, ini lebih panjang daripada berjalan menyusuri
garis pantai di bagian selatan bumi nusantara. Ini lebih panas dari sekedar
siang musim kemarau, ini lebih kering daripada suhu di gurun gersang, ini lebih
dingin daripada suhu di bagian kutub bumi.
Aku takluk di
hadapan sebuah rasa, aku tak begitu menyukainya. Percayalah, bertahun-tahun
belakangan ini, aku ditempa dengan situasi yang tak begitu indah. Serangkaian
kehilangan silih berganti menyambangiku. Rasa kehilangan yang menyebabkan
kepada sebuah penyesalah, dan kali ini, ketika ku katakan dalam hati tenang
janji itu, aku enggan untuk kesekian kalinya kehilangan.
Tapi apa daya,
Jemari Tuhan terlalu kuat untuk di lawan. Tak berdaya, hanya bisa mencoba
belajar menerima. Rela.
Pernah ku dengar
sebuah ungkapan dari salah seorang sahabat nabiku. “Jika aku berdoa dan Allah mengabulkannya, maka aku akan bahagia. Tapi
jika aku berdoa dan Allah tak mengabulkannya, maka aku lebih gembira. Karena yang
pertama adalah keinginanku, sedangkan yang kedua adalah keinginan-Nya”
sepertinya ungkapan sahabat nabiku itu terlalu berat untuk segera ku maknai,
batasku belum mencapai ke arah itu. Keinginanku lebih kuat daripada memaknai
kehendak-nya. Aku kembali terkulai, lemas. Nelangsa.
Butuh lebih dari
satu pekan untuk mengembalikan semuanya, lebih dari sebulan untukku memahami
situasinya, dan beranjak satu semester untukku bisa benar-benar mengerti apa
yang terjadi, sampai akhirnya kata rela itu tercipta, tapi masih ada rasa yang
tersisa. Masih ada harapan yang menyala, hingga akhirnya kini aku menjadi si
pembuat cerita. Menjadi pengkhayal yang selalu dipenuhi dengan fiksi, aku
adalah pelaku, aku adalah penulis dan aku adalah sutradaranya. Aku si
pengendali kisah.
….
Jemariku,
perlahan bergerak mengikuti bisikan hati. Perlahan, mencari jemarinya yang
memegang erat kemeja andalanku. Planel kotak-kotak warna biru. Masih terasa
dingin, tapi terasa bisa menghangatkan suasana. Kembali, romansa itu mengalir
pelan. Memasuki setiap celah dari hati yang sempat terluka, menyembuhkan
kegetiran yang berujung duka. Malam hari, di penghujung bulan Juni, hujan turun
sejak sore, Rintik Senja kembali bercerita. Dan inilah awalnya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar