Rabu, 19 November 2014

Senandung Si Penggenggam Hujan

#Pahami Ini


Lekaslah pergi ketika tak kau dapati apa yang di cari, beranjak menjauh, atau mengasingkan diri. Yang terakhir adalah langkah yang paling bijak, jika memang semua cara telah menemukan titik jenuh, tak ada lagi yang bisa dilakukan, tak ada lagi yang bisa ditemukan kecuali dengan perjalanan.

Tak perlu alasan bukan, bahkan ketika kau mencitai seseorang, terkadang kau tak perlu alasan, karena jika memang semuanya harus beralasan, bisa jadi nanti kita akan membencinya karena alasan-alasan itu. Aku mecintaimu tanpa alasan, tanpa ada materi yang ku beri, maka aku akan pergi menjauh tanpa alasan, tanpa apa pun, tak perlu di sesalkan, karena perjalan akan membawaku, membawa kita, terutama kisah yang entah apakah akan kau kenang, karena terkadang memang ‘melupakan’ adalah bagian terbaik jika kau tak bisa ‘rela’.
November yang basah, tak ada kegaduhan selain rinai hujan yang menghujam keras di atap-atap rumah, kantor, gedung-gedung tinggi, pertokoan, pusat perbelanjaan, jalan raya, gang sempit atau apa pun. Gaduh. Selepas gelap melepas kepergian siang, mentari hanya menyapa ragu, seperti hati ini yang tak kunjung yakin.

Aku, sama seperti para wanita itu, memiliki harapan yang sama, memiliki keinginan yang tak jauh berbeda. Terlebih jika itu berkata tentang urusan cinta, naif jika ku menampik bahwa kehadiran seorang lelaki itu tidak penting, realitanya, aku bahkan merindukan ada seseorang yang menyapa di kala fajar menyapa, atau ketika malam semakin matang. Ahh, aku bahkan merindukan canda dan tawa bersama, menikmati secangkir es krim bersama, duduk di meja yang sama, atau mungkin kita berdiskusi mengenai buku yang dibaca, sederhana bukan? Ya, ku pikir semuanya sesederhana itu.

Tapi, sepertinya memang tidak sesederhana itu. Heran, tentu saja. Aku bahkan sulit untuk menjelaskan bagaimana menerjemahkan rasa cinta ke dalam kata-kata, lantas, aku selama ini menjadi bagian dari si penyambung hati, selalu dan selalu. Aku bisa begitu lugas, menjelaskan perkara yang menyangkut rasa. Semua ini hanya seperti parodi bagiku.

Ada yang selalu mengeluh tentang semuanya, bahkan ada yang berujar bahwa hidup ini tak adil? Aku ingin tahu, ini tak adil untuk siapa? Bodoh, jika aku bisa mengumpat, aku akan lancarkan ribuan serangan dengan kata-kata kasar, tapi sayangnya, aku tak segila itu, masih ada banyak kata untuk menyadarkan mereka, dan tentu saja aku sedang menyadarkan diriku sendiri. Sial, semuanya hanya menjadi sebuah angan tanpa bayang, nyata pun tidak, bagaimana aku bisa merasakannya, ini terlalu dingin untukku.
Beberapa waktu yang lalu, ada sesuatu yang tidak ku mengerti. Ini cerita tentang dua orang pasang, tak jelas status mereka. Satu hal yang pasti, aku berada di antara kisah mereka. Ini bukan keuntungan bagiku, mencoba memahami dari dua sisi yang berbeda. Ku beritahu kau akan satu hal, perempuan itu sahahabatku, sementara yang lelaki, bahkan aku tidak kenal siapa dia, tapi aku sekarang cukup mengenalnya.

Dari sudut pandangku. Tentu tak akan ada pola yang akan tercipta begitu saja, semuanya harus saling berkaitan, satu sama lain, memahami dan mengerti, itu adalah harga yang harus dibayar jika membawa persolan rasa ke dalam ranah logika.

Ini bukan persoalan pilih memilih, bukan juga persoalan layak atau tidak layak. Aku hanya tidak mengerti, kenapa semuanya bisa menjadi begitu rumit, bagi mereka. Aku terlalu takut kehilangan sahabataku, aku bahkan tidak akan membuka aibnya, biarkan semuanya berjalan seperti itu, bagaimana pun juga, dia adalah sahabatku, aku lebih dari sekedar tahu bagaimana dia bersikap.

Sementara itu, aku tahu bahwa lelaki itu baik, humoris, pengertian, puitis, mungkin juga sedikit cerdas, asyik,kurus, datu hal lagi, dia gila. Gila dengan ide dan cita-citanya, ku pikir tak semua orang berpikir dengan caranya, idenya tak masuk akal, bagiku. Itu penilaianku tentangnya, Tapi di luar dari semua penilaianku itu, dia layak untuk mendapatkan sesuatu yang lebih, dari sahabatku, sekali pun itu menyakitkan, tapi dia layak mendapatkannya, ahh, tapi memang menjadi tak indah jika semuanya cepat berlalu.

Aku tak begitu paham dengan jalan pikiran mereka.
….
Dingin, tak ada lembayung senja yang menggantung di angkasa hari ini. Terlalu pekat, hujan berdansa sepanjang hari, tak memberikan kesempatan kepada para pengagum senja menikmati secarik keindahan yang tertuang di selembar cakrawala. Tak ada bintang malam ini, terlebih rembulan, hanya ada desau angin yang berbisik manja, hanya ada suara sisa tetesan air hujan yang berada di atas atap kamar ini.

Sebuah makna dalam perjalanan, mengasingkan diri, mencoba tak tersentuh dengan kenyataan yang menyakitkan, atau berkamuflase dengan lingkungan sekitar. Mencoba meraba dari setiap jengkal makna kehidupan, yang terkadang menerjang, tanpa ampun, tanpa belas kasihan.

Aku menjadi si penunggu waktu, menunggu tiap detik waktu yang berputar, mencoba mencari dan memahami, ada apa yang terjadi di luar sana, aku terlalu takut untuk meninggalkan ketakutan ini, aku menjadi si penunggu waktu, hingga mungkin waktu akan menjemputku, entahlah, aku hanya bisa berharap, waktu akan membawaku, jauh.

Aku bisa rasakan hujan memelukku erat, dingin di sekujur tubuh, menggigil. Aku bisa merasakan air semangat itu diciptakan melalui air, aku bisa merasakan bahwa sebagian orang akan merasa tenang ketika hujan turun, dan aku akan menggenggamnya, meski itu akan menjadi mustahil. Tapi, aku akan menggenggam hujan, menjadi penjaga semangat yang dilukiskan melalui rinai-rinai air yang tumpah dari awan kelabu itu, aku ingin menggenggamnya, hingga nanti bisa ku lepaskan genggaman ini, jika ada seseorang yang bisa merasakan hangat pelukannya.


Ini secarik cerita yang aku tak tahu dari sudut mana aku melihatnya, bahkan jika benar itu adalah sudut yang ku maksud, aku akan mulai memahami ini semua, bahwa kita hanya akan mati setelah hidup. Semuanya belum berakhir, dan ini terlalu dini untuk diputuskan. Ini akan menjadi bagian dari awal perjalanan yang tidak diketahui, berjalan seorang diri, mungkin akan menjadi sebuah pencarian hakiki, menapaki sisa-sisa kehidupan yang mulai menjemukan, aku perlu sesuatu yang baru, dan di sinilah aku  melihat awalnya, dari sudut yang berbeda aku akan memulainya. Begitulah rencananya..
Read More




Senin, 17 November 2014

Dia, Wanita yang Tak Ku Kenal

#Tafsir




Bahkan aku tak mengenalnya. Pertama kali ku sapa, tak ada maksud lain yang terlintas di dalam benak, hanya ingin menyapa dan mengucapkan terima kasih. Namun, akan selalu ada hal menarik, hingga aku menuliskan ini. Tengah malam, ketika udara di kota ini benar-benar menjadi sangat dingin.

Segera tuntas pekerjaanku, dengan pikiran yang bisa ku bilang ‘kacau’ aku harus bisa menunaikan kewajiban bukan? Tak ada kompromi untuk memberikan yang terbaik dalam menuntaskan tanggung jawab, karena pernah ku dengar bahwa ‘tanggung jawab adalah sebuah kehormatan’ dan itu akan selalu ku tunaikan, meski memang masih ada kesalahan, karena ku anggap itu adalah prosesnya. Dan begitulah aku menjalani hidup.

Pekat merayap pelan, menelan semua kecerahan di angkasa, di luar tak ada kehidupan, sepi. Ketika ku telisik tentang dia, seseorang yang tak ku kenal itu. Ada sebuah makna yang entah seperti apa wujudnya, yang ku tahu bahwa jelas masih ada orang yang melakukan apa pun untuk mendapatkan keinginannya, dan jika itu menyangkut rasa, aku akan selalu tertarik untuk menelisik, membuat lembaran demi lembaran kisah tentang itu.

Naluriku terlalu kuat untuk dicegah, namun ada sedikit kemampuan untukku selalu bisa menemukan sumber cerita, meski dengan versi yang berbeda, namun ku yakin alurnya akan tetap sama, satu persatu kisahnya terungkap, ada makna yang sedari awal ku terka, wanita ini mengalami kejadian yang tentu tidak ingin di alami. Wajar, ini hanya menjadi sebuah parodi pada akhirnya, lelucon sebelum kebenaran itu muncul. Tak habis fikirku tentang seseorang yang mengungkapkan rasanya dengan cara seperti itu.

Dia -lelaki- tidak hanya menyulut dahan kering dengan api, namun juga menambahkan angin dan bahan bakar, tentu saja dia hanya akan mendapatkan abu, abu yang bahkan hanya akan menghilang ketika musim kemarau datang, angin akan membawanya terbang, hilang.

Bagaimana mungkin dia akan menjelaskan bahwa itu adalah bentuk dari kasih sayang? Bukan, itu hanya ambisi, hasrat. Seperti birahi yang meninggi, dan kemudian menghilang jika sudah tersalurkan. Sesaat.

Lalu bagaimana dia akan menjelaskan, ketika bentuk perhatiannya justeru meneror sang pujaan? Itu juga bukan hal yang baik, tapi aku tak bisa berkata benar atau salah, karena tentu itu akan menjadi sebuah bahasa yang semakin tak jelas arahnya. Benar dan salah? Itu klise.

Aku belajar dari banyak hal, dari sebuah kemungkinan yang terbilang memiliki peluang mendekati mustahil, jika mengukur dengan presentase. Namun, ku tegaskan, tak akan ada hal yang mustahil, mengukir di atas air dan menggurat pena di angkasa itu bisa dilakukan, caranya? Tak perlu bertanya-tanya tentang itu, karena jika kau tak yakin dengan itu, mustahil kau mengerti tantang jawabanku, kau baru akan mengerti itu jika kau meyakini apa yang ku yakini.

Dan wanita ini, meski aku sudah tahu apa sebenarnya yang terjadi antara dia dan orang itu, aku belum cukup tahu tentang semuanya, tapi setidaknya dia -yang tidak ku kenal- bisa membuka mataku, bahwa ada cerita seperti ini, dan itu nyata.

Tentu akan ku buat ambigu, karena aku berharap bisa memperjelasnya, dalam balutan nada dan dentingan dawai kehidupan.
Terima kasih telah menemani dalam setiap detik di penghujung waktu, terima kasih untuk setiap detik waktu yang tersedia ketika di awal waktu ia kembali menyapa, terima kasih untuk secercah keyakinan tentang permukaan setiap kemungkinan yang mulai tenggelam, si penggenggam hujan akan bersenandung, dan dia akan menemukan ‘pelukis langit’ dengan versinya..


Read More




Minggu, 16 November 2014

Wanita Penggenggam Hujan

#Prosa


Harinya benar-benar kacau, semua rencana yang telah disusun tiba-tiba tak berbentuk, berantakan. Belum lagi mengenai hati, masalah pekerjaan sepertinya juga mulai mengintimidasi. Wajar, karena semuanya akan berproses bukan? Tidak akan mendapatkan apapun, kecuali dengan usaha dan kerja keras. Setelah itu bersyukur dan ikhlas, dan berharap mendapat ridho-Nya.
Apa yang bisa dinikmati sesiang ini, ketika langit tak lagi berseri? Secangkir kopi yang sudah menjadi dingin dan berbatang-batang tembakau terbaik dari negeri ini, mungkin itu menjadi sebuah racun, namun itu juga bisa menjadi penawarnya, mungkin saja.

Aku, masih berada di sini, berhadapan dengan kertas dan layar monitor, angan melayang, mencoba menggambarkan bentuk perasaan melalui goresan tulisan. Mencoba meluapkan amarah, menyalurkannya dengan cara yang berbeda. Ketika orang-orang menyampaikan amarahnya dengan bara api, aku akan melakukannya dengan menggunakan air, bisakah? Tak ada yang tidak bisa bukan?

Berkali-kali aku mencoba untuk bisa kembali berdiri, berdamai dengan rasa sesal dan sedikit keraguan, mencoba menentukan pilihan, masalahnya hanya satu. Layakkah aku memilih? Bahkan sedari dulu aku diajarkan untuk selalu menerima setiap pemberian dari yang maha kuasa, dan sekarang aku harus memilih? Alangkah bodohnya hidup, jika kita terus menerus memilih tanpa mengukur diri.

Mengukur diri, itu yang harus dilakukan, seberapa layak kita mendapatkan sesuatu yang diharapkan, jika tidak terlalu baik, maka jangan berharap yang terlalu baik, semua hasil telah ditentukan berdasarkan kadarnya masing-masing bukan?

Dan di sinilah aku berada, mencoba menerjemahkan semua prosa yang bermakna ambigu, samar.
Dia benar-benar kacau, tak ada tawa yang mengiasi wajah yang biasa sumringah. Terpekur dengan keadaan, masih memiliki harapan sederhana, yang diyakini sebagai cita-cita terbesar dalam hidupnya. Menjadi PNS.

Mungkin ia tidak cantik seperti para wanita di luar sana, begaya modis dengan berbagai aksesoris yang menempel di tubuhnya, mungkin juga dia tidak semenarik para model iklan di televise dengan rambut panjang dan rok super mini, atau mungkin juga ia akan kalah anggun jika dibandingnkan dengan pemeran film dalam romansa cinta yang selalu diputar setiap minggu, di bioskop-bioskop kota ini.

Tapi tidak bagiku, dia lebih dari sekedar bentuk fisik yang cantik dan anggun, lebih dari sekedar menarik. Atau pernah suatu ketika dia berujar, bahwa suaranya paling cempreng di antara keluarganya, tapi bagiku suaranya cukup halus, bisa menenangkanku, sesekali. Tidak, sering kali bahkan.

Pagi itu, suasana masih berkabut, dingin. Musim hujan. Rentetan pertanyaanku tak juga dijawab, dia masih enggan menyampaikan apa yang diketahuinya, aku lebih dari mengerti mengenai posisinya, aku lebih paham, mungkin.

Mungkin kesalahan terbesarku adalah menyeretnya ke dalam permasalahan ini, masalahku, mungkin kini akan menjadi masalah untuknya, dan hanya beribu maaf dan sesal yang bisa kutawarkan untuknya, tak ada yang bisa dilakukan kecuali itu.

Cukup, mungkin aku tidak akan melibatkannya lagi dalam setiap masalahku, terlebih jika mengenai hati, walaupun jujur ku akui, saat ini bahkan si pengagum senja dan orion sekali pun tak mengerti tentang kondisi ini, terlebih satu nama yang aku enggan menyebutnya, meski dengan sebutan yang biasa ku sematkan kepadanya, satu nama yang tidak pernah berubah, dari dua hal yang paling ku sukai di dunia ini, hujan dan senja.

Wanita penggenggam hujan, si pembawa pesan, si pengingat kehidupan, si penunggu waktu apa lagi nama yang akan ku sematkan kepadanya, entahlah. Itu hanya sebuah sebutan untuknya, itu adalah bentuk ucapan terima kasih yang mungkin tak pernah bisa kusampaikan dengan arti yang tinggi.
….
Aku pernah berbicara tentang janji. Dulu kalimat itu menjadi sebuah kalimat yang paling manis, lalu gampang ku muntahkan jika terasa hambar, dan ku beritahu kau tentang sesuatu, kalimat itu kini selalu menghantuiku. Aku tahu akibat dari semua janji yang tak pernah ku tepati, ada banyak orang terluka, hingga mereka sulit untuk sekedar berdiri dengan kaki sendiri. Dan hari ini, aku kembali berjanji, dan itu akan ku tepati, aku akan berusaha melunasi setiap hutang sebelum benar-benar si pencabut maut menjemput.

Dari sini, dari tempat yang enggan ku tinggalkan, karena ada banyak keindahan di dalam ruang dan waktu, silam. Aku mulai menuliskan tentangnya, menuliskan tentang dia, tentang diriku, tentang semuanya, ada banyak sekali hal yang terlewatkan, selagi kaki masih ingin menapak di tempat ini, aku akan terus menatap hamparan ilalang yang terus selalu tumbuh, aku akan terus menikmati rinai hujan yang kini terasa sangat menyakitkan, dan aku akan tetap menikmati itu, sekali pun itu menjadi sangat menyakitkan, hujan, selalu menimbulkan ketenangan bagiku.

Dan ketika ku genggam hujan ini untuknya, maka aku akan menceritakan segala ungkapan dari hati melalui tetesan yang menenangkan, genggaman ini tak akan ku lepaskan, sampai ada seseorang yang bisa memeluknya, nanti.


Ini kisah yang terus akan ku tuliskan, tentang wanita penggenggam hujan..
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML