Minggu, 16 November 2014

Wanita Penggenggam Hujan

#Prosa


Harinya benar-benar kacau, semua rencana yang telah disusun tiba-tiba tak berbentuk, berantakan. Belum lagi mengenai hati, masalah pekerjaan sepertinya juga mulai mengintimidasi. Wajar, karena semuanya akan berproses bukan? Tidak akan mendapatkan apapun, kecuali dengan usaha dan kerja keras. Setelah itu bersyukur dan ikhlas, dan berharap mendapat ridho-Nya.
Apa yang bisa dinikmati sesiang ini, ketika langit tak lagi berseri? Secangkir kopi yang sudah menjadi dingin dan berbatang-batang tembakau terbaik dari negeri ini, mungkin itu menjadi sebuah racun, namun itu juga bisa menjadi penawarnya, mungkin saja.

Aku, masih berada di sini, berhadapan dengan kertas dan layar monitor, angan melayang, mencoba menggambarkan bentuk perasaan melalui goresan tulisan. Mencoba meluapkan amarah, menyalurkannya dengan cara yang berbeda. Ketika orang-orang menyampaikan amarahnya dengan bara api, aku akan melakukannya dengan menggunakan air, bisakah? Tak ada yang tidak bisa bukan?

Berkali-kali aku mencoba untuk bisa kembali berdiri, berdamai dengan rasa sesal dan sedikit keraguan, mencoba menentukan pilihan, masalahnya hanya satu. Layakkah aku memilih? Bahkan sedari dulu aku diajarkan untuk selalu menerima setiap pemberian dari yang maha kuasa, dan sekarang aku harus memilih? Alangkah bodohnya hidup, jika kita terus menerus memilih tanpa mengukur diri.

Mengukur diri, itu yang harus dilakukan, seberapa layak kita mendapatkan sesuatu yang diharapkan, jika tidak terlalu baik, maka jangan berharap yang terlalu baik, semua hasil telah ditentukan berdasarkan kadarnya masing-masing bukan?

Dan di sinilah aku berada, mencoba menerjemahkan semua prosa yang bermakna ambigu, samar.
Dia benar-benar kacau, tak ada tawa yang mengiasi wajah yang biasa sumringah. Terpekur dengan keadaan, masih memiliki harapan sederhana, yang diyakini sebagai cita-cita terbesar dalam hidupnya. Menjadi PNS.

Mungkin ia tidak cantik seperti para wanita di luar sana, begaya modis dengan berbagai aksesoris yang menempel di tubuhnya, mungkin juga dia tidak semenarik para model iklan di televise dengan rambut panjang dan rok super mini, atau mungkin juga ia akan kalah anggun jika dibandingnkan dengan pemeran film dalam romansa cinta yang selalu diputar setiap minggu, di bioskop-bioskop kota ini.

Tapi tidak bagiku, dia lebih dari sekedar bentuk fisik yang cantik dan anggun, lebih dari sekedar menarik. Atau pernah suatu ketika dia berujar, bahwa suaranya paling cempreng di antara keluarganya, tapi bagiku suaranya cukup halus, bisa menenangkanku, sesekali. Tidak, sering kali bahkan.

Pagi itu, suasana masih berkabut, dingin. Musim hujan. Rentetan pertanyaanku tak juga dijawab, dia masih enggan menyampaikan apa yang diketahuinya, aku lebih dari mengerti mengenai posisinya, aku lebih paham, mungkin.

Mungkin kesalahan terbesarku adalah menyeretnya ke dalam permasalahan ini, masalahku, mungkin kini akan menjadi masalah untuknya, dan hanya beribu maaf dan sesal yang bisa kutawarkan untuknya, tak ada yang bisa dilakukan kecuali itu.

Cukup, mungkin aku tidak akan melibatkannya lagi dalam setiap masalahku, terlebih jika mengenai hati, walaupun jujur ku akui, saat ini bahkan si pengagum senja dan orion sekali pun tak mengerti tentang kondisi ini, terlebih satu nama yang aku enggan menyebutnya, meski dengan sebutan yang biasa ku sematkan kepadanya, satu nama yang tidak pernah berubah, dari dua hal yang paling ku sukai di dunia ini, hujan dan senja.

Wanita penggenggam hujan, si pembawa pesan, si pengingat kehidupan, si penunggu waktu apa lagi nama yang akan ku sematkan kepadanya, entahlah. Itu hanya sebuah sebutan untuknya, itu adalah bentuk ucapan terima kasih yang mungkin tak pernah bisa kusampaikan dengan arti yang tinggi.
….
Aku pernah berbicara tentang janji. Dulu kalimat itu menjadi sebuah kalimat yang paling manis, lalu gampang ku muntahkan jika terasa hambar, dan ku beritahu kau tentang sesuatu, kalimat itu kini selalu menghantuiku. Aku tahu akibat dari semua janji yang tak pernah ku tepati, ada banyak orang terluka, hingga mereka sulit untuk sekedar berdiri dengan kaki sendiri. Dan hari ini, aku kembali berjanji, dan itu akan ku tepati, aku akan berusaha melunasi setiap hutang sebelum benar-benar si pencabut maut menjemput.

Dari sini, dari tempat yang enggan ku tinggalkan, karena ada banyak keindahan di dalam ruang dan waktu, silam. Aku mulai menuliskan tentangnya, menuliskan tentang dia, tentang diriku, tentang semuanya, ada banyak sekali hal yang terlewatkan, selagi kaki masih ingin menapak di tempat ini, aku akan terus menatap hamparan ilalang yang terus selalu tumbuh, aku akan terus menikmati rinai hujan yang kini terasa sangat menyakitkan, dan aku akan tetap menikmati itu, sekali pun itu menjadi sangat menyakitkan, hujan, selalu menimbulkan ketenangan bagiku.

Dan ketika ku genggam hujan ini untuknya, maka aku akan menceritakan segala ungkapan dari hati melalui tetesan yang menenangkan, genggaman ini tak akan ku lepaskan, sampai ada seseorang yang bisa memeluknya, nanti.


Ini kisah yang terus akan ku tuliskan, tentang wanita penggenggam hujan..



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML