Sabtu, 10 Mei 2014

Pelajaran Dari Obrolan Pinggir Jalan



Malam yang terang meski tanpa bintang. Sesekali kendaraan bermotor melintas, membelah jalanan yang semakin sunyi. Kota ini tampak begitu lengang, berbeda dengan kota dimanaku berdomisili .

Dari obrolan pinggir jalan, bertemu dengan orang-orang baru. Misi awalnya jelas, menemui sahabat lama, membuka koneksi untuk sekedar melanjutkan semangat yang sempat kandas. Obrolan pinggir jalan, dengan segala rentetan pembicaraan. Berawal dari mengenang masa lalu, menceritakan harapan di masa depan, mengenang kejadian konyol beberapa tahun silam, hingga curahan hati mengalir seperti derasnya air yang turun ke permukaan yang lebih rendah.

Sebentar lagi tengah malam, obrolan semakin hangat. Di bumbui dengan celotehan ringan, mentertawakan teman, mentertawakan diri sendiri. Sejenak melepaskan kepenatan, cukup mujarab untuk melipur hati yang dilanda kegelisahan tak terkira.

Di tengah hangatnya obrolan, muncul kakek-kakek, mungkin usianya diatas 70-an tahun, tampak dari kulitnya yang keriput berkerut, rambut yang memutih halus, gigi yang sudah tak lengkap jumlahnya, ditambah lagi dengan jalan yang membungkuk.

Awalnya ku kira dia meminta-minta, seperti kebanyakan manula yang berkeliaran di malam hari. Namun perkiraanku meleset. Masih ku ingat jelas tawa khasnya, putus-putus. Dengan bahasa sunda yang tidak ku mengerti, kata temanku. Itu bahasa sunda halus, terlebih ucapannya sudah tidak sejelas lelaki seusiaku.

Dengan terampil dia memijat, meregangkan urat-urat yang kaku seperti kawat. Dengan celotehannya, ia tampak bahagia dengan kondisinya.  Seharusnya, ia tidur malam ini. Dengan anak dan cucu-cucunya, mengingat usianya yang tidak bisa di bilang muda. Namun, dia tidak meminta-minta seperti kebanyakan manula. Ia menawarkan jasa meski tanpa di minta, tak di beripun kurasa tak aka nada protes darinya, karena setelah ku Tanya ke kawan baruku, dia memang setiap malam berkeliaran. Singgah sejenak, bercerita dan bercanda, mengenai wanita muda. Lalu tertawa, kemudian beranjak. Selalu seperti itu.

Di pertengahan malam, ia masih berjalan. Menjemput rezeki yang entah dimana di turunkan untuknya. Sejenak aku termenung diantara canda yang dilontarkannya. Ada kesedihan dan rasa malu yang bercampur menjadi satu.

Tak ada keluhan yang keluar dari pembicaraannya, hanya ada canda dan tawa. Tak lupa tawa khasnya yang sepatah-sepatah itu membuatku juga bisa tertawa.

Terbayang, sering kali aku mengeluh kepada-Nya. Merutuki nasib yang tak segera membaik. Namun dari lelaki berusia senja itu ku temukan makna yang sebenarnya mengenai hidup.

Hidup itu begitu sederhana, mensyukuri apa yang telah di berikan kepada kita. Tanpa harus selalu mengeluh di setiap sisa ujung sujud dalam rakaat shalat. Hanya tertawa, seraya terus bergerak. Usia tak menghalanginya untuk tetap menjemput rezeki yang di turunkan-Nya untuk kita.

Darinya aku belajar malam ini. Darinya ku temukan arti kata sebuah perjuangan dan segenggam kenikmatan tak terkira yang di anugerahkan kepada kita.

Tidak perlu berkeluh kesah, tetap berusaha dan berdoa. Dan pada akhirnya kita tertawa bersama, tanpa ada rasa duka. Terimakasih kek, pelajaran berharga kudapatkan malam ini, darimu, untukku, untuk kita, untuk kami.


Pelajaran dari obrolan pinggir jalan..
Read More




Kamis, 08 Mei 2014

Aku dan pohon rindang




Sejuk memang, berada di bawah pohon rindang, terlebih ketika matahari berada tegak diatas kepala. Semilir angin di bawah pohon rindang menjadi pilihan terbaik, melebihi ruangan ber AC lengkap dengan fasilitasnya.  Dan kurasa semua orang akan menyetujui ini. Bukankah begitu? Kurasa sudah ku dapat jawabannya.

Semilir angin, pohon rindang, suasana tenang, tentram, adakah yang menginginkan lebih dari itu? Ternyata, ada ketenangan yang tersimpan diantara pesan semilir angin di pohon rindang.
Pohon itu bisa menjadi rindang, teduh, sejuk ketika berada diantara dahan-dahan yang bercabang. Namun, bukankah pohon itu tidak langsung menjadi rindang? Bukankah ia mengalami proses yang sama dengan kita? Dia memulai proses untuk memulai hidup, bertahan hidup, untuk menjadi tinggi, untuk menjadi rindang, untuk menjadi sejuk? Bukankah ia mengalami serangkaian proses sebelum menjadi seperti sekarang ini?

Mungkin hanya sebagian pohon yang kita tanam bisa bertahan. Perjuangannya bahkan di mulai dengan proses yang tidak kalah rumit. Ketika pertama kali di masukkan kedalam tanah, ia akan menyesuaikan lingkungan baru, bertahan dari sengatan matahari yang terkadang begitu menyala membara, atau derasnya hujan terkadang mengikis kekuatan tubuh yang masih rentan itu? Belum lagi dengan angin yang bertiup kencang, dengan hama dan pemangsa. Serangkaian perjuangan panjang untuk tetap bertahan.

Hingga akhirnya kini kita bisa menikmati berada dibawahnya, memetik inspirasi dari kesejukannya, merasakan ketenangan yang sulit untuk di tuliskan dengan abjad. Bahkan ketika pohon sudah berdiri menjulang tinggi sekalipun masih banyak terpaan yang harus di terimanya, semakin tinggi pohon berdiri maka akan semakin keras pula angin menghempas, seperti pepatah lama berbicara mengenai peribahasa. Semakin tinggi pohon berdiri maka akan semakin ia mudah untuk di gerakkan angin.

Memerlukan berapa puluh tahun untuk menjadi pohon rindang? Berapa puluh tahun agar kesejukan itu datang? Begitu juga dengan kita, untuk menjadikan kita bermanfaat bagi sesama tidaklah bisa dilakukan dalam kurun waktu beberapa minggu saja. Perlu perjuangan, tekad dan keinginan yang kuat.

Untuk berdiri kuat, untuk menjadi tangguh tidaklah bisa dilakukan tanpa melakukan atau merasakan pahitnya hidup. Karena tanpa rasa pahit, mustahil ada rasa manis. Karena semuanya harus ada perbandingannya. Semua rasa harus dirasakan, agar lengkap makna setiap rasa itu.

Ada kalanya memang kita harus merasakan kerasnya perjuangan ini. Melakukan serangkaian perjalanan panjang nan melelahkan. Adakalanya kita harus berhenti sejenak untuk mengusir penat, adakalanya juga kita harus jalan tertatih, merasakan sedikit kekecewaan dan rasa bersalah. Untuk menjadi rindang.

Lalu kesejukan setidaknya akan membawa kita pada sebuah ketenangan yang sebenarnya. Kesejukan yang akan membawa kita kedalam sebuah arti kata damai yang sesungguhnya. Antara aku dan pohon rindang, seperti itulah kita akan mencoba melakukannya.


Read More




Rahasia, tetap diam tak berucap



Terik ini kurasa begitu membakar tubuhku yang kian melemah. Kian renta karena usia. Energiku seolah habis terserap berbagai masalah yang tak pernah merasa lelah menggempur. Yang bisa dilakukan hanya mencoba bertahan, diam membatu. Mencoba kuat meski sesaat.

Hanya saja, aku tersadar setelah sekian lama. Tak seharusnya energi ini ku habiskan pada saat ini. Sementara aku tak tahu sampai kapan kehidupan ini berlanjut. Ada baiknya jika sedikit ku sisakan energi ini untuk kembali melanjutkan perjalanan yang tak tahu dimana kan berujung.

Sembari bertahan, ada baiknya kembali mengumpulkan sisa-sisa kepingan harapan yang tercabik-cabik oleh keadaan. Tidak ada yang tahu masa depan seseorang, meskipun cerita ini ku awali dengan kisah kelam, namun siapa yang tahu di masa depan nanti. Akankah berakhir kelam atau terang benderang.

Tidak ada salahnya jika mencoba melakukan dan menjadi lebih baik. Menjadi benar mungkin akan melalui banyak hal, akan ada lebih banyak rasa sakit dan akan ada lebih banyak rasa letih. Namun, sekali lagi ku tegaskan, aku tak tahu dengan masa depanku akan berakhir seperti apa.

Pernah ku ungkapkan, ingin sekali ku lihat isi dunia ini. Berkeliling diantara pesona yang selalu mengintimidasiku. Bercengkrama dengan alam sejuknya, bercengkrama dengan orang-orangnya. Menikmati setiap langkah yang tidak selalu indah. Kemudian menuliskannya kedalam lembaran-lembaran kertas, merangkainya dengan sedikit cerita petualangan, di bumbui dengan ungkapan rasa cinta, di kombinasikan dengan sebuah penyesalan dan kekecewaan, dan sebelum mengakhirinya dengan indah ingin ku tambahkan sedikit petualangan yang menegangkan, sedikit dramatis agar tak terlalu datar alur ceritanya..

Dan kau tahu, keinginan yang sempat terbang entah kemana itu kini kembali menyapa diantara keheningan ini. Berbicara diantara gelap dan dingin. Mengintip di balik pintu yang sedikit terbuka, mencoba kembali mengajakku berjabat tangan, kembali menggandengnya dengan genggaman keyakinan akan sebuah kekuatan harapan.

Tatapannya, terlihat seperti tatapan wanita penggoda. Sesekali tersipu, sesekali melirik. Ia menggoda dengan cara selayaknya wanita manja.

Lalu, ingin ku peluk semua harapan dan impian itu. Menggenggamnya dengan sangat kuat, tak akan ku biarkan kembali terlepas meski sesaat. Tak akan ku biarkan angin membawanya berkelana lagi, karena aku yang akan berkelana dengan impian-impian itu.

Sisakan sedikit energimu untuk melanjutkan langkah yang kian terasa berat. Jangan habiskan kekuatan itu hanya untuk menghadapi getirnya kenyataan yang menikam (saat ini).

Waktu menyapa dengan mesra. Embun pagi terlihat begitu menakjubkan, sisa tetesan yang mencair di ujung dedaunan, seperti berlian memantulkan cahaya mentari pagi, bisikan kata-kata mesra. Awan seputih kapas, bergelombang samudera di angkasa. Melukiskan kenyataan yang tak kasat mata, berjuta rahasia tak berucap.

Di ujung malam, diantara lelap. Sunyi ini merdu sekali. Keheningannya bagaikan syair-syair yang mengalun dari aksara sang pujangga.

Rahasia. Tetap diam tak berucap, (untuk masa depan).

…..
Read More




Rabu, 07 Mei 2014

Angin berhembus, pelan bercabang



Angin berhembus, pelan bercabang. Menyelinap diantara lintasan yang membentang. Lagu itu, untuk kesekian kali terdengar merdu. Kesekian kalinya lagu itu di nyanyikan oleh sentuhan lirih angin yang bercabang.

Dedaunan, satu persatu jatuh ke tanah yang basah. Dedaunan yang berwarna kering, tak kuasa bertahan diantara cabang dahan, bahkan selembut apapun angin membelainya ia akan jatuh perlahan, hanya menunggu waktu. Melayang-layang sebelum terhempas bebas menghantam tanah basah. Dedaunan itu gugur, tanpa ada yang bisa menahannya .

Angin berhembus pelan, menerbangkan debu-debu halus yang tertahan di tanah. Sesaat ia melayang, sesaat ia berpindah tempat, sebelum hujan membasahinya, sebelum ia mengendap lebih lama lagi, menjadi lumpur di dasar air. Bahkan debu yang menjadi lumpur itu tidak bisa menyalahkan air yang sudah menenggelamkannya begitu lama.

Kapan waktunya keberanian mendatangi kita, mengatakan semua kebenaran yang tidak seharusnya di pudarkan oleh lentik jemari nan mempesona, keindahan selintas mata memandang.

Tak terasa kegelapan malam jatuh, menuju dini hari yang dingin. Hanya sedikit cahaya diantara pekatnya cakrawala, rembulan? Tak tampak menghiasi bentangan malam yang panjang. Hanya lirih, berbalut hembusan angin yang bercabang. Tenang.

Menyalahkan situasi/seseorang/kondisi ketika terjatuh bukanlah sebuah penyelesaian. Hanya akan menimbulkan kegundahan diantara derita yang melanda. Bukan pula mencari perlindungan berlandaskan belas kasihan, karena pada dasarnya kita tidak ingin di kasihani, namun tentu mulut berbeda dengan hati yang berkata lirih. Kasihanilah dirimu yang ingin dikasihani.

Terkadang malam menjadi begitu terang, terkadang terasa terik, terkadang begitu syahdu, terkadang terasa pilu. Begitulah malam mengartikan dirinya.

Dedaunan yang berwarna hijau menyejukkan itu pada akhirnya akan mengering juga, satu persatu berguguran, terhempas di tanah yang basah. Pilar-pilar bebatuan cadas itu pada akhirnya akan menjadi butiran-butiran debu halus, yang akan terbang sesaat sebelum mengendap di dasar air, entah apakah ia akan kembali menjadi batu cadas nan perkasa.


Semuanya terjadi karena hembusan angin, pelan bercabang. Namun tak satupun diantara dedaunan dan batu itu menyalahkan sang angin yang bercabang.
Read More




Di batas kota (ketika sore menyapa)



Menyimpulkan dari pembicaraan beberapa waktu silam. Entah mengapa waktu yang telah berlalu itu kembali terbesit di benak. Di suatu sore yang cerah, seperti biasa suasana kota ini begitu romantis (bagi sebagian orang).

Tanpa sengaja, mataku menyaksikan pedagang yang berkeliling menjajakan dagangannya, seolah terik matahari yang membara itu adalah sahabat sejati. sahabat yang selalu menemani setiap langkahnya dalam menjemput rezeki.

Tak perduli pakaiannya basah oleh peluh, tak perduli telapak kaki yang beralaskan sandal jepit itu bertambah keras, karena entah berapa puluh kilo meter ia berjalan, bergerak pelan, menyusuri setiap gang, jalan raya, perkampungan.  Membelah waktu, menyonsong sebuah harapan baru, berharap anak istri bisa tersenyum ketika ia pulang dengan beberapa lembar rupiah. Menyambung asa untuk tetap bertahan dengan terpaan situasi kota yang kian merajalela, menikam siapa saja.

Hidup bukanlah hanya sekedar mencari nafkah, karena semuanya berjalan berdasarkan ibadah. Setiap peluh yang menetes, setiap langkah kaki yang terus berpindah, setiap helaan nafas yang terkadang begitu berat karena himpitan kenyataan, semuanya adalah kenikmatan yang di berikan sang khalik. Kenikmatan yang seharusnya tidak di khianati oleh sumpah serapah karena merasa lelah.

Kembali terbayang akan kisah masa lalu, begitu klasik dan romantic. Ada euphoria di dalamnya, ada asa yang melambung tinggi, menembus cakrawala. Ada harapan yang terbesit di setiap keinginan masa depan.
Dari pinggiran kota ini, aku menatap kejadian yang terlihat begitu gamblang. Jelas sekali terlihat, meski dengan mata tertutup. Semuanya bisa tergambar hanya dengan menarik nafas sekalipun.
   
Rerumputan itu tampak tenang bergoyang, hijau terlihat di pekarangan. Begitu tenang sekilas mata memandang. Hamparan rumput yang menghijau itu mungkin hanya kiasan kenangan yang tak lama kemudian menguning kering ketika hujan tak kembai membasahi bumi.

Akan ada masa sulit diantara masa tertawa. Akan ada kegelisahan diantara bahagia. Akan ada rasa takut diantara berani yang meninggi.

Sekali merasa kecewa akan di balas dengan ribuan rasa bahagia, ribuan kali melakukan kesalahan akan dibalas dengan jutaan kata maaf beserta nikmat yang di janjikan. Seribu kali berkhianat akan digantikan dengan kasih sayang yang tak terkira, begitulah sabda-Nya. Dan begitu pula seharusnya kita mencoba bersikap.

Setiap kejadian yang tersirat tentu mempunyai maksud meski tak tersurat. Ada sabda yang tak terbaca namun bisa di yakini oleh segenap hati.

Melihat anak-anak yang bermain itu sungguh indah. Ingin kembali mengulang ke masa itu, namun waktu tidak akan mengizinkannya. Karena prosesnya kita harus menjadi berkurang usia dan bertambah tua. Hanya bisa mengambil makna dari yang mampu di rasakan oleh panca indera.

Di batas kota, ketika sore menyapa dengan kehangatan sesingkat membalikkan telapak tangan. Kembali ku rasakan hangatnya sebuah harapan. Bukan saatnya merasa menjadi tidak berguna. Bahkan benalu sekalipun tentu ada manfaatnya.

Tidak harus menyalahkan siapapun. Karena keindahan rembulan di tengah malam hanya akan terlihat ketika benar-benar gelap. Harus ada sisi gelap diantara cahaya yang terang benderang, agar terlihat. Agar bisa merasakan keindahannya. Harus ada dua sisi yang berbeda, karena sisi itulah yang akan melengkapi. Sisi yang akan terus bersatu.
Read More




Tersesat...




Aku pernah tersesat diantara belantara rimba, meraba setiap jalan yang akan di lewati. Sesekali tergelincir, sesekali merasa gelisah, sesekali harus menarik nafas panjang, sesekali harus terduduk. Serangkaian kejadian yang sebenarnya tidak ingin dilalui. Meski letih, berjalan dengan kaki tertatih jalan itu mampu di lalui. Menemukan jalan keluar, menemukan jalan untuk kembali pulang.

Masih terbayang dengan sangat jelas waktu itu, ketika kabut mulai menutup, begitu pekat. Gelegar halilintar terdengar mengerikan, mencengkram perasaan menjadi was-was dan gelisah, rasa takut? Jangan di tanyakan lagi, perasaan itu begitu kuat menjalar di setiap aliran darah.

Cahaya yang ku bawa, sedikitpun tidak mampu menembus kabut yang begitu tebal. Sementara ku raba di sekelilingku hanya ada tebing curam yang  siap melahap. Hanya cahaya dari halilintar yang mampu menembus ketebalan kabut.  Memberikanku sedikit keberanian diantara rasa takut, memberikan setitik harapan diantara keputusasaan.

Tersesat, adalah kata yang paling tepat untuk mengambarkan kejadian itu. Akibat dari sebuah keputusan konyol dan ambisius, memaksa melangkah menuju titik akhir pendakian. Sementara tidak mengukur kemampuan diri, tidak mempertimbangkan kekuatan alam yang di luar nalar.

Sebuah keputusan yang berakhir fatal (pada akhirnya), karena ada belasan orang yang berdiri di belakangku, semua langkah tergantung padaku. Sementara aku hanya bisa berharap sang Khalik menuntun untuk kembali dengan selamat. Membawa sebagian besar orang tanpa pengalaman yang mumpuni untuk melalui kejadian seperti ini. Sangat sulit, sebuah tekanan besar.

Namun, dengan sedikit keberanian, dengan sedikit harapan, dengan sedikit ketabahan semua masalah ada jalan keluarnya. Meskipun tubuh sudah mulai kebal dengan sentuhan jemari, berkatapun terdengar mendengung.  Tapi semua itu adalah harga yang harus di bayar untuk bisa kembali.

Beberapa tahun kemudian kejadian itu merubah pola pikirku, merubah setiap tindakan yang ku lakukan. Setiap keputusan yang di ambil harus di analisis terlebih dahulu, harus ada berbagai pertimbangan dan sudut pandang.

Tersesat, memang harus seperti itu. Tersesat bukanlah petaka, itu adalah bagian dari rencana yang maha kuasa untuk kita bisa belajar, agar di gunakan di kemudian hari.

Teringat perbincangan beberapa waktu lalu. Jika di suruh memilih, berjalan tanpa arah dan tersesat, atau berdiam diri sembari menunggu waktu yang tepat untuk berjalan? Aku lebih memilih untuk berjalan tanpa arah dan kemudian tersesat, karena dengan tersesat aku akan menemukan jalan terbaik di kemudian hari, sebuah esensi dari ketersesatan, pada akhirnya nanti jika bisa keluar dari masalah itu, semuanya akan menjadi sangat baik.

Alasan kenapa tidak memilih berdiam diri, menunggu waktu yang tepat untuk kembali melangkah. Permasalahannya adalah, kita tidak tahu waktu yang tepat itu kapan. Bisa saja waktu yang tepat itu adalah waktu dimana ajal sedang menjemput, dan saat itu baru tersadar bahwa tubuh ini sudah tidak mampu untuk kembali memulainya, maka hanya sumpah serapah dan penyesalan yang akan keluar dari mulut dan hati. Mengutuk nasib, kenapa tidak melakukannya dari awal.

Permasalahannya sama, kita tidak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Maka lakukan sebisanya, sebaik mungkin, walaupun pada akhirnya kita sadar bahwa semua itu salah. Kesalahan bisa di perbaiki jika dilakukan seawal mungkin, dan di penghujung waktu semua kesalahan itu akan terbayar dengan apa yang sudah kita lakukan. Semua perbaikan dari setiap kesalahan adalah harga mutlak yang harus di bayar. Dan seperti itulah seharusnya.

Sejauh apa kita bisa melangkah, selama apa kita mampu bertahan, seberapa kuat kita untuk melawan dan seberapa tangguh kita untuk tetap tabah? Pertanyaan yang tentunya hanya akan terjawab jika kita bisa melaluinya.

Sejauh apapun kita melangkah, pada akhirnya kita akan kembali. Kembali pulang, karena masih ada rumah, dimana orang-orang yang menyayangi kita menunggu. Menanti kedatangan kita, tidak perduli apakah wajah yang kita tampakkan adalah kesedihan, bahagia, bangga, atau derita. Mereka, yang ada di rumah senantiasa akan menyambut dengan senyuman, menyambut dengan pelukan hangat.

Selama apapun kita bertahan, jika tidak melawan apa yang akan terjadi? Mungkinkah keadaan akan menyerah menyerang kita? Akankah gelombang kesedihan itu berhenti menggempur pertahanan kita? Mungkinkah? Kurasa tidak mungkin keadaan menyerah.

Maka pilihannya adalah, seberapa ingin kita untuk tetap melangkah meskipun salah.  Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Tuhan selalu punya rencana indah untuk kita, tergantung dari kita menilainya seperti apa.
…….
Read More




Berjalan itu hanya melangkah, tak perlu tegap, tak perlu cepat.





Pernah suatu ketika, waktu itu senja begitu berbeda meskipun tampak sama. Namun entah kenapa senja itu tidak setenang biasanya, ada rona kecewa yang terlihat dari cahaya jingganya, ada setitik nila diantara pesonanya. Tak sadar ketika petang hendak menikam, ia masih berada diantara rasa kecewa yang membungkam.

Lalu kegelapan benar-benar menghunus ribuah tusukan tajam tepat ke jantungnya, tanpa bisa mengelak ia terjebak. Tanpa bisa merasa, ia binasa. Seketika.

Isak tangis rembulan mengiringi kepergian cahaya senja, digantingan dengan lentera rembulan yang menenangkan. Namun rembulan tentu berbeda dengan senja. Rembulan, begitu menenangkan bukan, seperti yang kita lihat seperti sebelumnya, terlebih ketika purnama tiba, satu lingkaran penuh menghiasi angkasa yang gulita. namun tak bisa terelakkan meskipun cahayanya terkadang menenangkan sepanjang malam, ada hawa dingin yang tersirat, terkadang tanpa isyarat. Terkadang senandungnya begitu menyayat.

Ketenangan malam benar-benar mengaburkan tentang semua senandung purnama yang menyayat, bahkan ketenangan malam mampu mengantarkan jutaan mantera kepada yang penguasa alam raya, berupa lirik-lirik simphoni lantunan doa.

Bagaimana dengan senja? Meskipun singkat tapi cahayanya selalu menghangatkan, walau pada kenyataannya terkadang mata menjadi sangat silau jika langsung memandangnya dan beberapa detik kemudian pandangan menjadi hitam berbayang.

Siapa yang menyangkal hangat pelukannya? Siapa yang tidak menyukainya? Terlebih jika ia terlihat setengah melingkar diantara bentangan samudera dengan balutan warna biru yang menyentuh qalbu. Bukankah menjadi bertambah ke-eksotis-annya?

Keindahan di ciptakan memang untuk dirasakan, untuk selalu di syukuri keberadaannya. Mengenai rasa? Usah berkeluh kesah karenanya, sebuah rasa juga merupakan keindahan yang diciptakan sang penguasa jagat raya ini untuk menyentuh hati kita. Sekeras apapun hati seseorang, maka ia akan luluh dan bertekuk lutut di hadapan sebuah rasa.

Berjalan itu hanya melangkah, tak perlu tegap, tak perlu cepat. Karena cepat atau lambat itu hanya masalah waktu, intinya semuanya akan bergeser (bukan berarti tanpa tujuan). Berpindah dari satu titik ke titik berikutnya.

Dan itulah yang harus dilakukan (semua orang). Melangkah menggunakan lengan pun bisa di lakukan, karena papun alasnya, kita masih tetap berjalan di bumi ini. Tidak perlu menjadi istimewa untuk melakukan semuanya, menjadi biasapun bisa saja. Tidak perlu elegan, hanya butuh kesederhanaan yang dilandasi dengan kesabaran dan keteguhan hati, bahwa itu bisa terlewati. Bergerak itu hanya beranjak, tak perlu bimbang terlebih ragu.

Melampaui langkah sebelumnya? Harus seperti itu? Tentu saja (pendapatku). Hanya dengan hal itu sebuah pencapaian atau pencarian sebuah esensi (tentang apapun) akan di dapatkan. Dan setelah melampaui/melaluinya esensi itu akan di dapatkan.
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML