#Kepingan Baru Puzzle yang Hilang
|
Ilustrasi:uniqpost.com |
Kenangan
bersamanya, hanya itu satu-satunya harta yang ku punya. Hanya itu satu-satunya
yang ingin ku ingat. Aku hanya ingin mengingat wajahnya, aku hanya ingin
mengingat dia, selama setiap detik di sisa waktu hidupku. Bahkan aku tak
peduli, jika semuanya akan berakhir lebih tragis seperti di awal cerita, aku
bahkan tidak peduli melanjutkan dan menata kehidupan yang telah porak-poranda,
berserakan bagai kepingan puzzle yang tidak mungkin bisa tersusun, karena
terlalu banyak kepingan yang hilang.
Melanjutkan
hidup dengan normal? Aku bahkan tak tahu, apakah masih bisa melakukannya
sekarang, setelah semuanya yang telah berlalu. Aku bahkan tak percaya terhadap
siapa pun, yang ku percaya hanya satu, bahwa sebelum matahari tenggelam akan
terlihat setitik kehangatan dan keindahan di sana, akan ada gelap malam yang
terukir di cakrawala, akan ada matahari pagi yang hangat muncul di sebelah
timur, bahwa terang akan selalu diliputi kegelapan, dan aku tak tahu akan ku
hias dengan apa kegelapan itu. Aku tidak tertarik untuk menghias malamku dengan
kerlip cahaya. Aku hanya ingin gelap, tetap pekat.
Kejadian
malam kemarin masih saja terbayang di pelupuk mata, aku masih mengingatnya
begitu lekat. Wanita itu, mengingatkanku kepada Ana-ku, mengingatkan betapa dia
menderita pada saat itu, mengigat wajah wanita itu, seperti menyibak luka yang
telah tertutup. Masih ku ingat, orang-orang itu tanpa nurani hanya mendengarkan
nalurinya, naluri binatang.
“Bos, kita
apakan mereka?” tanya salah seorang anak buah Romi, mereka berlima
masih menunggu komando.
“Terserah
kalian. Urusanku sudah selesai. Pastikan bajingan ini menderita. Terserah
kalian akan apakan wanita itu. Buat dia tak bisa melupakan malam ini, buat
mereka menderita sebelum menghilang dari dunia.” ia tersenyum picik, menatapku
dan menatap Ana.
Bukk!! Keras
hantaman tinjunya menerjang ulu hatiku.
“Ini salam perpisahan dariku, sahabatku. Hahahaha!”
Tawanya
menggema memecah keheningan malam. Ia berlalu, keluar ruangan ini. sementara
aku hendak melawan, tiga kacung Romi telah beraksi, memberikan bogem mentahnya
ke tubuhku. Badanku, remuk redam, aku sudah tak bisa melihat dengan jelas di
sekitarku. Tapi masih bisa ku dengar teriakan Ana, mencoba mengentikan mereka.
“Berhenti!
Jangan! Aku mohon, jangan lagi pukul dia, aku mohon,” suaranya bergetar pilu.
“Hahaaha,
diam kau!” plakk! Salah seorang tanpa belas kasihan menampar Ana.
“Nanti
tunggu giliranmu cantik. Hahaha. Sekarang, kau lihat dulu suamimu ini, lihat
bagaimana dia tak bisa melakukan apa-apa. Akan kita buat dia lebih
menderita di ujung hidupnya,”
Ana
tersungkur, aku tak bisa berbuat apa-apa. Suaraku parau, mereka benar-benar
berhasil membuatku tak berdaya.
Jangankan melawan, hanya sekedar berteriak, tenagaku habis terkuras.
Menahan sakit yang menjalar di tubuhku.
Hangat darah
yang mengucur di pelipis masih bisa ku rasakan, pandanganku kabur, tapi masih
bisa ku lihat sekitar. Pemukul baseball yang menghantam wajahku tadi
benar-benar membuatku kehilangan setengah kesadaran.
“Ya, Rabb..
Jangan kau biarkan hambamu ini teraniaya. Jika Kau masih memberikan hidup
kepadaku, biarkan hamba melakukan tugas sebagai seorang suami, menjaga
kehormatan istrinya. Dan jika Kau menentukan untuk mengambilku, biarkan aku
menghadap-Mu dengan cara yang baik. Jangan Kau biarkan hamba-Mu ini menghadap
dengan menyimpan dendam di hati. Hanya kepada-Mu hamba meminta pertolongan,
hidupku adalah milik-Mu, maka Kau berhak menentukan apa yang kau inginkan.”
Ucapku lirih dalam hati.
Sebuah doa
dari hamba yang teraniaya, dan akan benar-benar terjadi. Tidak sekarang, tapi
kejadian ini merupakan titik balik dari kejadian di masa yang akan datang. Aku
hanya bisa terbaring di lantai, napasku tersengal, satu-satu. Aku benar-benar
tak berdaya, dan semakin perih ketika melihat para bintang itu mendekat Ana
dengan tatapan buas. Aku benar-benar tidak bisa melihat kejadian itu. Aku hanya
bisa menangis, melihat mereka mengagahi belahan jiwaku. Sengaja mereka
membiarkanku sadar, melihat semua itu. Mereka benar-benar menjalankan instruksi
majikannya, mereka benar-benar membuatku menderita.
Aku masih
bisa melihat bagaimana Ana memberikan perlawanan, tapi sekuat-kuatnya seorang
wanita tidak akan mampu menghadapi lima lelaki yang pikirannya telah menyerupai
dajjal. Tanpa ampun, mereka memukul dan menjambak rambutnya, menyeret dan
memukul bagai bintang. Dan sebelum hilang kesadaranya, mereka berhasil
merenggut kehormatan istriku, mengoyak hatiku. Aku hanya bisa menangis
melihatnya, tak bisa berbuat apa-apa. Amarahku bahkan tak bisa membuatku
bangkit. Dan semuanya benar-benar cepat berlalu. Tak lagi ku dengar suara Ana,
hanya ada gelap. Dan semuanya hilang.
Senja masih
tergurat indah di atas sana. Mencoba berdansa dengan cakrawala di akhir
waktunya. Sementara itu, burung-burung itu berkicau pelan, ada yang terbang berkelompok,
membuat formasi hurup V, menyibak cakrawala dengan kepakan sayap-sayap mungil
itu. Anda saja, hidup ini seperti yang dituliskan di cerita-cerita fiksi.
Begitu tenang, indah. Dengan balutan romansa cinta yang menghipnotis, dengan
lantuan dawai indah menghiasi tiap detak jantung yang memompa darah. Tapi,
cerita-cerita itu, tak ubahnya hanya khayalan semu, tak akan pernah terjadi di
dunia nyata ini. Jika pun ada, aku tak akan bisa merasakannya lagi.
Ku habiskan
sisa hari ini dengan berjalan menyusuri kota ini, kota yang baru ku huni
beberapa tahun lamanya. Kota yang selalu dianggap sebagai sepotong surga yang
jatuh ke bumi, atau ada yang mengatakan, Tuhan sedang tersenyum ketika
menciptakan tempat ini. Jika keadaan berbeda, tentu aku bisa membenarkan kata-kata
itu, tapi sekarang, tidak. Aku bahkan hanya bisa merasakan rasa sakit, tanpa
bahagia, tanpa ada yang tersisa di jiwa.
Sejak tiga
tahun lalu, ketika terkapar di tepi jalan tol. Aku melanjutkan hidup tanpa
arah, pagi itu ketika fajar menyingsing di ufuk timur ku lanjutkan hidup
sebagai seorang yang teraniaya. Sempat ku kembali mencari Ana, tapi tak ada
harapan. Menghilang tanpa jejak. Duniaku seperti runtuh ketika ku dengar kabar
jika dia telah tiada.
“Apakah ada
informasi tentang Nayla Anastasya pak?”
“Sebentar.
Anda siapa, dan ada kaitan apa dengannya?”
“Saya
kerabat jauhnya pak, sudah tiga bulan ini saya tidak mendengarkan kabar tentang
dia. Apakah babak tahu? Saya sudah datang ke rumahnya, tetapi rumah itu sudah
bukan miliknya lagi. Penunggu barunya pun tidak tahu kemana mereka pergi.”
“Tunggu,
saya carikan dulu datanya,”
“Nayla
Anastasya, istri pengusaha bernama Ryan Wijaya. Betul?” tanya polisi itu.
“Benar pak,
apakah ada informasi tentang mereka, apa yang terjadi?” tanyaku tak sabar.
Jantungku berdetak kencang.
“Ia
ditemukan tewas mengenaskan. Diperkosa sebelum dibunuh. Rumahnya berantakan, dan
dari olah kejadian tempat perkara, kami menyimpulkan terjadi perampokan di
rumah itu. sementara suaminya, tidak ditemukan hingga kini. Masih belum ada tanda-tanda
tentang dia. Kemungkinan dia juga dibunuh, tetapi dibawa ke tempat lain. Kami
masih melacak jejaknya,”
“Perampokan?”
aku mendesis, menahan amarah, menahan air di mata yang telah tergenang.
“Iya,
rumahnya berantakan, beberapa barang-barang hilang. Brankas di rumah itu telah
dibobol, bersama dengan dua mobil mewah yang juga ikut raib.”
“Lantas,
apakah perampoknya sudah ditemukan?”
“Ya, sudah.
Tapi tiga diantara mereka tewas, pada saat penangkapan. Mereka mengadakan
perlawanan. Mereka berjumlah lima orang, satu diantaranya mendekam dalam
tahanan, dan satunya berhasil meloloskan diri.” jawab polisi tersebut.
Aku
benar-benar lemas mendengarkan kabar tersebut. Si bajingan itu benar-benar
berhasil memanipulasi kejadian. Sampai sekarang kebejatannya tak terendus oleh
pihak berwajib.
“Maaf, nama
Anda tadi siapa, Romi?” tanya polisi tersebut.
“Benar pak.”
jawabku tergagap.
“Nama Anda
sama dengan rekan si pengusaha malang itu,”
Aku
terhenyak demi mendengar kabar tersebut. Berarti dia sempat berhubungan dengan
pihak kepolisian.
“Pak Romi,
juga berperan aktif dalam penangkapan perampok tersebut. Dia turut membatu kami
dalam penangkapan mereka. Bahkan, dia yang memberikan informasi tentang
keberadaan perampok tersebut. Dua minggu setelah kejadian kami berhasil
menggrebek sarang komplotan perampok yang telah masuk ke daftar buruan kami.
Dan itu berkat informasi dari beliau. Mungkin Anda kenal beliau. Dan hingga
kini, dia masih sering berhubungan dengan kami, mencari informasi keberadaan
penguasaha tersebut. Dia meminta kami mengusut kasus ini hingga tuntas dan
beliau meminta kami segera menemukannya.?”
“Tidak, saya
tidak mengenalnya.” aku hanya menggeleng. Menahan amarah yang terbakar. Dia
benar-benar seorang biadab. Setelah apa yang dilakukannya, dia berlagak seperti
pahlawan. Dan tentu saja dia ingin tahu keberadaanku, dia akan menghabisiku
jika tahu aku masih hidup. Aku benar-benar geram.
“Baiklah,
apakah ada yang bisa dibantu?”
“Tidak pak,
terima kasih informasinya.” polisi tersebut mengangguk, mempersilakanku pergi.
Dari kantor
polisi aku langsung menuju kantorku, bukan. Bukan lagi kantorku, tetapi bekas
kantorku. Ku perhatiakan dari kejauhan, lima orang keamanan berada di depan
gerbang, tampak ketat dijaga oleh security, juga ada dua polisi yang sedang
berjaga di sana. Dia benar-benar meningkatkan kewaspadaannya.
Aku tak bisa
mendekat. Semua orang itu baru, dan tidak ada satu pun anak buahku yang
tersisa. Aku tidak bisa mendekat. Aku harus waspada. Tidak bisa sembrono
menghadapi ini, aku perlu sebuah rencana. Ya, rencana untuk membalas
kekejiannya, aku akan membalas semua itu, dengan cara yang tak akan bisa
dilupakannya, aku akan merenggut semuanya darinya, aku ingin merasakan seperti
apa rasanya kehilangan. Tapi tidak sekarang, aku harus segera menjauh. Jika
tidak, semuanya akan sia-sia, amarahku hanya akan mengacaukan semuanya.
Tapi, aku
justru terjerembab di sini. Terdampar di kota ini. Setelah dari kantor Romi,
langkahku tak tentu arah. Rasa putus asa itu bahkan mampu melupakan amarah dan
dendam. Langkah kakiku akhirnya menuntunku untuk berada di tempat ini. Terkunci
di sini, nasibku berakhir menjadi seorang berandal dan pemabuk.
Dua tahun
lalu, setelah kejadian yang memilukan itu. Ketika aku berjalan tak tentu arah,
membiarkan langkah kaki membawa tanpa tujuan, dunia ini semakin kelam usai
kejadian selanjutnya yang mampu mengubah hidupku. Kejadian di mana untuk kedua
kalinya aku harus berjumpa dengan amarah. Ketika malam berada di titik
tergelap, aku melihat tiga orang menghajar seorang lelaki yang sudah tidak
berdaya. Darah membasuh wajahnya, luka cabikan benda tajam menganga dari
tubuhnya. Kakiku tergerak begitu saja ketika melihat kejadian itu. Dan ketika
salah seorang hendak memukulkan batu
bata ke wajah lelaki yang telah terkapar itu, secepat kilat aku
menyambar sebuah pipa yang berada di sampingku.
Buk!! Sekuat
tenaga ku pukulkan pipa itu di kepala bagian belakang lelaki itu, tak menunggu
lama dia terkapar. Sementara dua orang rekannya yang terkejut melihat rekannya
ambruk langsung berbalik arah kepadaku. Satu orang memegang belati, sementara
satu orang lagi menggunakan tangan kosong. Bersiap menghadapiku. Aku masih
ingat pelajaran beladiri pencak silat semasa kuliah dulu, beberapa jurus masih
bisa kugunakan. Aku tak akan mundur, aku telah masuk ke arena laga, pantang
bagiku mundur.
Tanpa
basa-basi kedua orang itu menyerangku membabi buta, bergantian melancarkan
tinju dan terjangan. Aku masih bisa berkelit, tapi satu hujaman belati itu
berhasil menggores lenganku, mengoyak kaos yang ku kenakan. Tapi satu tinju ke
arah rahang mampu membuatnya ambruk, sementara tendangan memutarku berhasil
mengenai ulu hati satu orang lainnya. Mereka terkapar, aku kalap. Semuanya
gelap, tinjuku bergantian mengajar orang-orang itu, wajahnya sudah tak
berbentuk. Berada di tingkat khusus satu dalam perguran silatku, cukup
merubuhkan orang-orang itu dengan mudah. Meski telah lama tak ku gunakan,
beberapa jurus dan olah napas masih bisa kukuasai dengan baik.
Amarahku
terbakar, kejadian malam itu benar-benar menguasai kelapa. Batu-bata yang
tergeletak di sebelahku tadi ku ambil, tanpa pikir panjang, ku hantamkan sekuat
tenaga ke wajah salah seorang dari mereka. Dia hanya mengerang sebelum berhenti
bergerak. Sementara mataku tajam melihat satu orang lainnya, ia mundur ke
belakang, dengan posisi duduk. Menyeret tubuhnya yang tak lagi kuat berdiri,
tapi sebelum bata yang ku genggam mendarat di wajahnya lelaki yang dikeroyok
tadi bangkit dan sekuat tenaga menghantamkan kayu ke kepalanya.
Brak!! Ia
mendengus puas. Sementara yang dipukul langsung tergeletak. Bersimbah darah
yang mengucur dari kepalanya. Aku hanya menatap kejadian itu, mengatur napas
yang tersengal. Mencoba kembali mengembalikan nalar yang telah dikuasi amarah.
“Siapa kau?”
Aku hanya
diam. Lelaki itu tak lama juga ikut ambruk. Luka di tubuhnya telah membuat dia
tak mampu berdiri dengan sempurna. Malam ini rangkaian cerita ini akan menyusun
kembali puzzle yang berserakan. Mengganti kepingan yang hilang, menjadi satu
rangkaian baru yang akan benar-benar berbeda dengan cerita yang ada sebelumnya.
Ketika malam menikam dengan kejadian yang tak pernah terbayangkan, aku
dihadapkan kepada situasi yang benar-benar rumit, dan tidak akan pernah ku
mengerti mengapa menjadi seperti ini. Doa malam itu akan terjawab dengan
rangkaian kejadian dalam waktu yang entah kapan berakhir.