ilustrasi: aisyafra.files.wordpress.com |
Jemari
cahaya senja meremas kenangan, menggurat hati melalui nada dalam untaian ruang
dan waktu. Membius kesadaran, menyandarkan keinginan dalam pelukan harapan,
tampak sayu memandang gerombolan kapinis yang terbang berkelompok, mengiringi
kepergian senja yang terlukis dalam keindahan sore, lembayung senja terlihat
mempesona di atas sana.
Sudah
beberapa kali, kami menikmati senja yang merona. Ya, kami, bukan aku sendiri. Dan
sekarang, itu adalah bagian yang luar biasa, bagian yang selalu ku nantikan
keberadaannya. Dan dia, satu-satunya perempuan yang akhirnya bisa ku ajak untuk
menikmati pesona sang senja.
Akan ku ceritakan kisah
yang selalu ku tuliskan dalam bingkai-bingkai dalam rangkaian kata itu, tentang para wanita itu, wanita dan kisah senja yang mempesona, ku beritahu kau tentang itu, mereka dan aku tentang senja itu. Kami bahkan belum pernah menatap senja di tempat yang sama. Ya, belum pernah. Dan dia,
adalah satu-satunya perempuan itu. Jika kau tanya siapa orang yang beruntung,
tentu itu adalah aku. Bukan dia. Menjadi perempuan pertama yang ku ajak
menyaksikan indahnya senja, bukanlah hal yang terlalu istimwa, itu adalah
momenku, itu adalah inginku, dan itu adalah bagian dari angan-angan yang mulai
terbuka satu persatu.
Biasanya,
aku hanya bisa menggurat gambar indah senja melalui kata-kata, melalui
deskripsi singkat dari pesan elektronik. Melalui rangkaian kata yang tertuang
dalam puluhan paragraph. Dan aku selalu berhasil membuka setiap jarak dalam kenangan
yang membentang, dalam indahnya pesona sang hari yang mulai menepi. Kisah itu
mungkin akan menjadi titik balik dari rangkaian cerita sebelumnya, apakah ini
akan berakhir di satu titik ini, atau akan kembali berlanjut? Aku tidak tahu,
tapi jika kau tanya apa inginku. Akan ku beritahu kau itu. Inginku, semoga saja
pencarianku akan berhenti pada titik ini, dengannya. Semoga saja, itu rapalan
mantra yang terus ku ucapkan di setiap gelap merenggut cahaya di cakrawala. Dan
ku harap, Si Pemilik Hati memberikan anggukan untuk setiap rapalan mantra yang
ku eja.
…..
Suasana
malam ini masih seperti beberapa hari yang lalu, masih cerah dengan hiasan
beberapa kemerlip bintang yang tergambar di bentangan malam yang indah, itu sangat
indah. Aku tidak mengada-ada, memang begitulah adanya. Malam akan selalu
menjadi kisah misterius, seperti ujarku waktu itu, malam akan selalu menjadi
rangkaian cerita yang selalu sulit di baca, tapi, gunakan hatimu, maka kau akan
tahu maksudnya. Dia bahkan bisa berujar dalam hembusan semilir angin, pelan,
perlahan, dan itu menjadi bagian yang harus dimengerti, tak bisa lantas kau
langsung paham maksudnya begitu saja.
Beberapa
waktu ini memang keadaan mulai menampakkan wujudnya yang sebenarnya, sama
seperti yang terjadi di pesisir pantai, ketika kuatnya gelombang menghantam
karang, gelombang akan selalu mengantam, tak peduli siang atau malam, setiap
detik dalam setiap putaran waktu. Dari hal terkecil hingga masalah prinsipil,
masalah itu terus saja mendera. Ku beritahu, bahwa cinta itu tak melulu manis,
ada kalanya dia terasa pahit, tak melulu tertawa, terkadang –atau bahkan lebih
sering- kita akan merasakan kecewa, tapi memang begitulah iramanya.
Bukanlah
kita sudah mengeja kata ikhlas ketika bisa mulai membaca, bukankah kita telah
berlatih untuk memahami arti kata rela, ketika kita mulai memutuskan untuk
memiliki sesuatu? Dan benar, jika memahami semua itu bukanlah semudah untuk
mendapatkannya, prinsip dasar yang ku temukan –di sebuah kompetisi- bahwa
merebut atau mendapatkan itu lebih mudah, tetapi mempertahankannya, itu sulit. Sebuah
pelajaran yang ku dapatkan baru-baru ini, pelajaran yang sebenarnya sudah ku
ketahui dari waktu dulu.
Tapi,
itu bukanlah soal. Karena –akan selalu ku coba – untuk memahami itu, mengerti
dari setiap garis yang tergurat dalam ketetapan langit, bahwa setiap kesusahan
akan selalu ada kemudahan, bahkan kita tak pantas untuk mempertanyakan setiap
kejadian yang telah terjadi, terlebih mempertanyakannya kepada Sang Pemilik. Karena,
nikmat mana yang kita dustakan. Bukankah tidak terhitung nikmat yang kita
dapatkan? Bukankah seharusnya kita menerimanya. Bukankah kita tunduk kepada
aturan-Nya. Ya, begitulah seharusnya. Tapi, lagi-lagi kita terlalu tolol untuk
memahami itu. Terlalu banyak pertanyaan yang kita ajukan kepada-Nya, tanpa
menoleh ke belakang, tanpa mengeja ketetapan yang telah digariskan.
Persoalan
itu, percayalah. Akan ada penyelesaian. Tergantung bagiamana kita menyikapi itu.
Maka, jabatlah erat setiap masalah, dan jadikan itu sebagai teman bukan lawan,
karena ketika kita bisa berdamai dengannya, kita tidak akan pernah merasa ia
menekan, justru kita akan semakin tegak berdiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar