Selasa, 23 September 2014

Bukan Kisahku, Tapi Kisahnya (Si Pembawa Pesan, Bagian 2)

#Bingkai Kenangan  



Aku masih tak ingat jelas kapan persis waktunya, karena waktu itu aku hanya seorang bocah, bocah yang terlalu polos untuk mengerti ini semua.

Namun, ku putuskan juga kapan tepatnya waktu itu, meskipun tidak terlalu tepat. Tapi, setidaknya aku sudah mencoba untuk mengingat sedetail mungkin peristiwa itu, kau tahu, aku bukanlah seseorang yang yang di  anugerahi ingatan kuat, tapi aku tak akan pernah melupakan kejadian itu. Kira-kira Sembilan tahun lalu, ada seseorang yang memberikan ucapan di hari ulang tahunku, waktu itu salah seorang temanku memberikan sebuah hadiah, sebuah hadiah dari kayu, mainan atau sejenis liontin. Dan aku begitu bahagia, lebih tepatnya aku sangat gembira.

Kau tahu, kejadian itu begitu cepat berlalu, bertahun-tahun seseorang itu bak ditelan bumi, hilang. Tapi kau paham kan? Hingga sekarang aku masih mengingat kejadian itu, terangkai dalam satu frame kenangan masa silam.

Ku tuliskan ini untuk seseorang, atau lebih tepatnya kepadamu, ku perjelas agar kau memahami dan mengerti, bahwa yang ku tulis ini adalah untukmu.

Beberapa waktu lalu, sempat ku tuliskan naskah berbeda tentang hal ini, di mana aku bercerita tentang ruangan yang di huni oleh beberapa orang yang silih berganti datang dan menghilang. 

Kau tahu, ada satu tempat yang tidak pernah terisi orang lain, dan hingga ku putusakan untuk mengusirmu, aku terkadang masih merindukan saat-saat di mana fantasiku selalu bersamamu, di mana aku bisa bercengkrama dalam diam, melintasi ribuan kilometer jarak yang membentang dari barat hingga timur, atau dalam putaran waktu dalam satu hari.

Kau tahu? Aku merubah naskah ini hanya satu malam, tapi apakah kau tahu? Aku perlu Sembilan tahun untuk menentukan memulai kisah ini, di lembaran kertas kosong pada jurnal baru ini? Tapi, ku harap. Kau tak tahu itu. Karena aku tak ingin membuatmu terusik, itu saja.

Pagi ini, masih seperti beberapa hari yang lalu. Masih di bulan September, hawa pagi semakin dingin, angin berhembus kencang, semetara ia berbisik dalam keramaian, aku merasa benar-benar hidup. Bukan karena ku putuskan untuk melupakanmu, atau mengusirmu dari ingatan dan hatiku, tapi aku merasa hidup karena aku memiliki harapan. Harapan tentang hari-hari yang indah, ku yakin semua orang menginginkan itu, dan aku menajadi salah seorang yang selalu menantikan hari-hari indah itu.

Tak peduli berapa lama penantianku ini, yang ku tahu. Aku begitu tenang menjalani hari-hari setelah ini. Aku masih seperti yang kau kenal, hanya saja mungkin fisikku berubah kini. Dulu kau hanya mengenal gadis kecil, yang mungkin kau sudah lupa tampangku waktu itu. Kau mungkin lupa, dengan tawa riangku, dengan binar mataku, dengan renyah celotehku. Aku tak berubah sama sekali, aku masih menjadi wanita yang sama, hanya saja usia membuatku sedikit lebih matang.


Tak apa, kau tak mengenangku menjadi salah satu bagian dalam fase hidupmu. Aku tak menuntut lebih. Karena aku sadar posisi dan situasi, aku cukup tahu diri. Tak usah kau perjelas kondisinya, aku sudah cukup untuk berpikir dewasa. Dan aku akan selalu berusaha. Percayalah, aku lebih kuat dari yang terlihat.

Aku memang selalu bertindak konyol, beberapa tahun lalu kutemukan dia, melalui jejaring sosial, dan ku tahu ia menjadi salah satu mahasiswa di salah satu Universitas ternama di kota ini. ku beri tahu kau salah satu kekonyolanku, aku selalu melintasi jalan yang sama, jalan di mana kampusnya berada, dan berharap bertemu dengannya.

Padahal, aku bisa pastikan bahwa tidak akan ada obrolan yang bisa keluar dari mulutku, pasti aku akan meredam hati dan mendamaikan perasaan ini. Tapi itulah aku, selalu berandai-andai. Dan semua orang pasti pernah melakukannya, termasuk juga dengan kalian.

Tapi, aku seperti diingatkan akan sesuatu, mataku dibuka oleh kenyataan. bahwa sebenarnya aku tak akan pernah menjadi bagian dari hidupnya, hidupmu. Dan aku tak perlu menjelaskan itu, karena aku cukup senang ketika menjaga itu bersama rahasia kita, atau lebih tepatnya rahasiaku.
…..
Pukul 06.04 WIB, baru saja selesai ku tuntaskan pekerjaan ini. Berpacu dengan deadline berita dari belahan dunia bagian barat, ku rangkai kata-kata, penuh penekanan dan intonasi nada dalam naskahnya, ku perjelas dengan gambar-gambar yang menunjang beritaku. Aku cukup jernih berpikir hingga sepagi ini, hingga mentari menyapa diantara pohon daun jambu air yang tumbuh di pekarangan belakang, atau lebih tepatnya pohon itu tumbuh di antara tembok pembatas halaman tak bertuan.

Cahaya kuning keemasan muncul perlahan, dari sebelah timur, selaksa sapa punjangga melalui bait-bait kata dalam sebuah prosa, menerobos melalui celah-celah jendela, bersamaan dengan semillir angin yang mendesak masuk, membawa hawa sejuk.

Ketika ku tuliskan cerita tentang seorang sahabat, yang beberapa waktu  lalu mencoba berdamai dengan hatinya, mencoba memberanikan diri hanya untuk sekedar mengucapkan selamat ulang tahun, melalui barisan kata yang dibuatnya. Tidak terlalu indah memang, tapi untuk apa indah, jika itu tidak pernah menjadi sesuatu yang benar-benar indah.

Aku hanya bisa tertawa membacanya, bukan karena itu tidak bermutu atau tidak penting. Tapi lebih kepada maksud yang di sampaikannya, aku tertawa karena di dunia ini masih ada seorang wanita yang begitu mengingat setiap detail kejadian di masa kecilnya. Aku tertawa karena takjub dengan perasaannya, dengan kisahnya.

Beberapa waktu lalu, ia mengirimkan surat itu kepadaku, surat yang telah ia kirimkan melalui pesan di jejaring sosial, dan baru pagi ini aku sempat membacanya. Dan kau tahu, wanita yang ku panggil ‘Si Pembawa Pesan’ itu memang benar-benar luar biasa. Aku tidak melebih-lebihkannya, aku hanya berpendapat, kau tidak akan tahu sebelum bertemu dengannya, tapi saranku, jangan bertemu dengannya, karena dia hanya akan diam ketika berhadapan dengan seseorang yang belum di kenalnya dan bisa ku pastikan, bahwa kalian akan merasa bosan dengan hal itu.

Tapi, aku cukup mengerti. Ada sebuah pesan yang ingin ku sampaikan, belajar dari dia ‘Si Pembawa Pesan’ jika kita tidak perlu tergesa-gesa untuk menentukan sesuatu, karena pada akhirnya penantian itu akan menunjukkan tentang kebenaran, meski itu terkadang menyakitkan. Tapi, penantian itu akan selalu berbuah manis, jika kita selalu bisa menerimanya dengan lapang dada.

Akan ada secarik kertas kosong untuk kita memulai cerita kembali, akan selalu ada nada baru yang bisa dinyanyikan, akan selalu ada tarian kemenangan untuk kita, aku, kamu, dia dan mereka. Tarian itu, lagu itu, akan selalu menanti dan menunggu, hingga waktu yang akan menjelaskan, bahwa kita diberi sesuatu bukan karena keinginan kita, kita hanya akan diberi sesuatu yang menjadi kebutuhan kita, dan percayalah itu baik untuk kita.

Dan kisah ini, bukanlah kisah terakhir dari ‘Si Pembawa Pesan’



Bandung, 23-09-14
Pukul 06.23 WIB
-Si Pembawa Pesan-
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML