#Bingkai Kenangan
Aku masih tak
ingat jelas kapan persis waktunya, karena waktu itu aku hanya seorang bocah,
bocah yang terlalu polos untuk mengerti ini semua.
Namun, ku
putuskan juga kapan tepatnya waktu itu, meskipun tidak terlalu tepat. Tapi,
setidaknya aku sudah mencoba untuk mengingat sedetail mungkin peristiwa itu,
kau tahu, aku bukanlah seseorang yang yang di anugerahi ingatan kuat, tapi aku
tak akan pernah melupakan kejadian itu. Kira-kira Sembilan tahun lalu, ada
seseorang yang memberikan ucapan di hari ulang tahunku, waktu itu salah seorang
temanku memberikan sebuah hadiah, sebuah hadiah dari kayu, mainan atau sejenis
liontin. Dan aku begitu bahagia, lebih tepatnya aku sangat gembira.
Kau tahu,
kejadian itu begitu cepat berlalu, bertahun-tahun seseorang itu bak ditelan
bumi, hilang. Tapi kau paham kan? Hingga sekarang aku masih mengingat kejadian
itu, terangkai dalam satu frame kenangan masa silam.
Ku tuliskan ini
untuk seseorang, atau lebih tepatnya kepadamu, ku perjelas agar kau memahami
dan mengerti, bahwa yang ku tulis ini adalah untukmu.
Beberapa waktu
lalu, sempat ku tuliskan naskah berbeda tentang hal ini, di mana aku bercerita
tentang ruangan yang di huni oleh beberapa orang yang silih berganti datang dan
menghilang.
Kau tahu, ada satu tempat yang tidak pernah terisi orang lain, dan
hingga ku putusakan untuk mengusirmu, aku terkadang masih merindukan saat-saat
di mana fantasiku selalu bersamamu, di mana aku bisa bercengkrama dalam diam,
melintasi ribuan kilometer jarak yang membentang dari barat hingga timur, atau
dalam putaran waktu dalam satu hari.
Kau tahu? Aku merubah
naskah ini hanya satu malam, tapi apakah kau tahu? Aku perlu Sembilan tahun
untuk menentukan memulai kisah ini, di lembaran kertas kosong pada jurnal baru
ini? Tapi, ku harap. Kau tak tahu itu. Karena aku tak ingin membuatmu terusik,
itu saja.
Pagi ini, masih
seperti beberapa hari yang lalu. Masih di bulan September, hawa pagi semakin
dingin, angin berhembus kencang, semetara ia berbisik dalam keramaian, aku
merasa benar-benar hidup. Bukan karena ku putuskan untuk melupakanmu, atau
mengusirmu dari ingatan dan hatiku, tapi aku merasa hidup karena aku memiliki
harapan. Harapan tentang hari-hari yang indah, ku yakin semua orang
menginginkan itu, dan aku menajadi salah seorang yang selalu menantikan
hari-hari indah itu.
Tak peduli
berapa lama penantianku ini, yang ku tahu. Aku begitu tenang menjalani
hari-hari setelah ini. Aku masih seperti yang kau kenal, hanya saja mungkin
fisikku berubah kini. Dulu kau hanya mengenal gadis kecil, yang mungkin kau
sudah lupa tampangku waktu itu. Kau mungkin lupa, dengan tawa riangku, dengan binar
mataku, dengan renyah celotehku. Aku tak berubah sama sekali, aku masih menjadi
wanita yang sama, hanya saja usia membuatku sedikit lebih matang.
Tak apa, kau tak
mengenangku menjadi salah satu bagian dalam fase hidupmu. Aku tak menuntut
lebih. Karena aku sadar posisi dan situasi, aku cukup tahu diri. Tak usah kau
perjelas kondisinya, aku sudah cukup untuk berpikir dewasa. Dan aku akan selalu
berusaha. Percayalah, aku lebih kuat dari yang terlihat.
Aku memang
selalu bertindak konyol, beberapa tahun lalu kutemukan dia, melalui jejaring
sosial, dan ku tahu ia menjadi salah satu mahasiswa di salah satu Universitas
ternama di kota ini. ku beri tahu kau salah satu kekonyolanku, aku selalu
melintasi jalan yang sama, jalan di mana kampusnya berada, dan berharap bertemu
dengannya.
Padahal, aku
bisa pastikan bahwa tidak akan ada obrolan yang bisa keluar dari mulutku, pasti
aku akan meredam hati dan mendamaikan perasaan ini. Tapi itulah aku, selalu
berandai-andai. Dan semua orang pasti pernah melakukannya, termasuk juga dengan
kalian.
Tapi, aku
seperti diingatkan akan sesuatu, mataku dibuka oleh kenyataan. bahwa sebenarnya
aku tak akan pernah menjadi bagian dari hidupnya, hidupmu. Dan aku tak perlu
menjelaskan itu, karena aku cukup senang ketika menjaga itu bersama rahasia
kita, atau lebih tepatnya rahasiaku.
…..
Pukul 06.04 WIB,
baru saja selesai ku tuntaskan pekerjaan ini. Berpacu dengan deadline berita dari
belahan dunia bagian barat, ku rangkai kata-kata, penuh penekanan dan intonasi
nada dalam naskahnya, ku perjelas dengan gambar-gambar yang menunjang beritaku.
Aku cukup jernih berpikir hingga sepagi ini, hingga mentari menyapa diantara pohon daun jambu air yang tumbuh di pekarangan belakang, atau lebih tepatnya pohon itu tumbuh di antara tembok pembatas halaman tak bertuan.
Cahaya kuning
keemasan muncul perlahan, dari sebelah timur, selaksa sapa punjangga melalui bait-bait kata dalam sebuah prosa, menerobos melalui celah-celah jendela, bersamaan dengan semillir
angin yang mendesak masuk, membawa hawa sejuk.
Ketika ku
tuliskan cerita tentang seorang sahabat, yang beberapa waktu lalu mencoba berdamai dengan hatinya, mencoba
memberanikan diri hanya untuk sekedar mengucapkan selamat ulang tahun, melalui
barisan kata yang dibuatnya. Tidak terlalu indah memang, tapi untuk apa indah,
jika itu tidak pernah menjadi sesuatu yang benar-benar indah.
Aku hanya bisa
tertawa membacanya, bukan karena itu tidak bermutu atau tidak penting. Tapi lebih
kepada maksud yang di sampaikannya, aku tertawa karena di dunia ini masih ada
seorang wanita yang begitu mengingat setiap detail kejadian di masa kecilnya. Aku
tertawa karena takjub dengan perasaannya, dengan kisahnya.
Beberapa waktu
lalu, ia mengirimkan surat itu kepadaku, surat yang telah ia kirimkan melalui
pesan di jejaring sosial, dan baru pagi ini aku sempat membacanya. Dan kau
tahu, wanita yang ku panggil ‘Si Pembawa Pesan’ itu memang benar-benar luar
biasa. Aku tidak melebih-lebihkannya, aku hanya berpendapat, kau tidak akan
tahu sebelum bertemu dengannya, tapi saranku, jangan bertemu dengannya, karena
dia hanya akan diam ketika berhadapan dengan seseorang yang belum di kenalnya
dan bisa ku pastikan, bahwa kalian akan merasa bosan dengan hal itu.
Tapi, aku cukup
mengerti. Ada sebuah pesan yang ingin ku sampaikan, belajar dari dia ‘Si
Pembawa Pesan’ jika kita tidak perlu tergesa-gesa untuk menentukan sesuatu,
karena pada akhirnya penantian itu akan menunjukkan tentang kebenaran, meski itu
terkadang menyakitkan. Tapi, penantian itu akan selalu berbuah manis, jika kita
selalu bisa menerimanya dengan lapang dada.
Akan ada secarik
kertas kosong untuk kita memulai cerita kembali, akan selalu ada nada baru yang
bisa dinyanyikan, akan selalu ada tarian kemenangan untuk kita, aku, kamu, dia
dan mereka. Tarian itu, lagu itu, akan selalu menanti dan menunggu, hingga
waktu yang akan menjelaskan, bahwa kita diberi sesuatu bukan karena keinginan
kita, kita hanya akan diberi sesuatu yang menjadi kebutuhan kita, dan
percayalah itu baik untuk kita.
Dan kisah ini,
bukanlah kisah terakhir dari ‘Si Pembawa Pesan’
…
Bandung, 23-09-14
Pukul 06.23 WIB
-Si Pembawa Pesan-