#Bukan Tentang Pengakuan
Ilustrasi:1.bp.blogspot.com |
Akhir-akhir
ini, cuaca begitu ceria ketika malam menjelang, atau lebih tepatnya, saat pekat
benar-benar membungkus waktu. Di cakrawala sana, terlihat begitu tenang,
dengan beberapa pijar bintang yang bersinar, meredup, tapi ada sebagian yang terang,
serta ditambah sentuhan manis dari bulan yang berbentuk sabit.
Ahh,,
kau tahu, bahkan aku sepertinya telah lupa bagaimana rasanya nestapa. Karena bagiku
sama, rasa itu sepertinya terlalu lama menemaniku, hingga lupa bagaimana ku
ungkapkan rasa yang sebagian orang akan bergidik jika kembali merasakannya. Tapi
aku, aku bahkan tak peduli tentang bagaimana rasanya derita menyabotase hatiku.
Lebih
dari seminggu lalu, kota ini, tak lagi selalu di guyur hujan. Menyisakan roman
indah ketika senja menyapa, ada cakrawala biru menyapa di atas sana ketika
subuh berlalu, saat mentari mulai menampakkan diri. Indah memang, terlebih
kadang-kadang ada sebaris kabut yang menutupi anggunnya barisan pegunungan yang
terbentang membentuk sebuah cincin, melingkar seperti memagari kota ini, akan
selalu indah bukan?
Beberapa
tahun lalu, sepertinya tawa tak akan lepas dari wajah-wajah mereka, ketika ku
ungkapkan harapan dan impianku, tentang cita-cita yang direfleksikan ke dalam
sebuah kata-kata, akan ada nada berirama ‘merendahkan’ atau bisa ku sebut itu
adalah doa, doa yang disampaikan dengan cara mereka, dan aku pun juga
kadang-kadang tertawa, menertawakan semua itu. Karena kau tahu? Bahkan aku juga
merasakan, jika impianku itu terlalu muluk, atau bahkan adalah sesuatu yang
mustahil. Melukis langit! Itu impianku.
Jangankan
melukis langit, menggapai mentari pun kau tak akan bisa, dari seseorang yang
dianggap tidak memiliki masa depan, terlalu banyak berkhayal, dan jika bolah ku
curahkan sedikit rasa kecewa ini karena di rendahkan, aku akan selalu
mengingatnya, akan selalu ku ingat, untuk menjadi penyemangat, dan suatu saat,
aku akan benar-benar memberi warna pada angkasa itu. Ya, aku bisa melukis
langit, dengan jemariku.
Aku,
seperti dihempaskan begitu dalam ketika ada banyak nada merendahkan. “Mimpimu
terlalu tinggi kawan, tak usahlah kau terlalu muluk-muluk, melangkah saja kau
susah, bagaimana kau bisa menjelajah sebagian bumi ini, hidup itu harus
dilakoni dengan realitas, lihat! Buka matamu, lalu kau camkan dalam hati,
kemudian, kau patri dengan paku baja, agar tak lepas dari otak pengkhayalmu
itu, bahwa hidup ini sudah begitu keras, jangan bebani dengan sesuatu yang tak
pasti!”
Atau
di suatu malam, ketika aku bertandang ke kediaman seseorang. Ya, seorang wanita
tentunya. Ketika itu, dia bertanya tentang pekerjaan. “Apa pekerjaanmu nak?” tanya
wanita separuh abad itu. Aku tertunduk, tak bisa ku tawarkan pekerjaan yang
bisa ku jadikan jaminan untuk bisa menjaga buah hatinya. Kata-kataku hilang,
bak ditelan bumi.
“Penulis.”
jawabku lirih.
Ku
tahu, dari pekerjaan itu, tak ada jaminan harta di dalamnya, karena sempat ku
utarakan dengan bangga tentang pekerjaanku, dan jawab mereka pada waktu itu. “Semoga lekas dapat pekerjaan yang lebih
baik!”
Dan
seperti apa yang ku duga, wanita separuh abad itu juga memberikan jawaban
serupa. Aku tertunduk. Bahkan, aku hanya memiliki setelah pakaian yang sama,
selalu itu yang ku kenakan setiap kali bertandang, itu adalah satu setelan
pakaian terbaikku, dan hanya itu. Wajar jika orang-orang menatapku dengan
tatapan nelangsa, pemuda tak memiliki masa depan. Suram.
Benar
saja, beberapa bulan kemudian, ternyata bahkan aku merasa seperti dihempaskan
(lagi) ketika ada seseorang yang datang kepadanya, dengan label ‘eksekutif muda’,
setelan perlente, gelar dari perguruan tinggi ternama, mapan, bergelimang
harta, dan si penulis –yang bahkan baru bisa mengeja kata ini- harus
benar-benar belajar mengeja kata ‘rela’ untuk melepaskan sebagian impian yang
pernah dirajut.
Sekali
lagi, aku si pengkhayal yang memiliki cita-cita melukis langit, entah, apakah
semua orang masih akan menilai sama, tapi aku bahkan tak memikirkan penilaian
orang tentangku sekarang. Dianggap pengangguran, tak miliki penghasilan, hidup
tak miliki rumah. Aku bahkan mulai tak mempedulikan itu.
Ada
nasihat dari seorang teman, sahabat atau kakak. Dia berujar suatu ketika. “Kita
ini, anak perantau. Pantang menerima pujian. Jika kau berharap dipuji, matilah
kau! Kita ini, anak perantau, harus berdiri dengan kritikan orang lain, harus
kuat dengan badai terpahit di tanah orang. Berdiri tegak dengan caci maki,
pantang bagi kita untuk berpuas diri dengan pujian!”
……
Ku
beri tahu kau, kalian, tentangku sekarang, aku seorang pengkhayal yang mencoba
menuliskan bait tentang harapan melalui rapalan doa dan usaha, akan terus
melangkah, akan tetap berjalan meski susah, dan satu persatu, ketika si pemuda
tak miliki masa depan ini bahkan bisa berlari kencang, melebihi desiran angin dan
desau suara peluru, tak perlu kau, kalian memberi pengakuan terhadapku, karena,
aku sungguh tak butuh pengakuan. “Berproses” ujar salah satu ‘mentor-ku’ dan aku, akan menikmati
setiap proses itu.
-Berjalan itu hanya sekedar
melangkah, tak perlu tegap, tak perlu cepat. Hanya sekedar melangkah, dan kau
akan temukan jawaban dari semua pertanyaan itu, sekalipun dengan diam-