Rabu, 25 Februari 2015

Aku, Si Pengkhayal Tanpa Masa Depan

#Bukan Tentang Pengakuan


Ilustrasi:1.bp.blogspot.com

Akhir-akhir ini, cuaca begitu ceria ketika malam menjelang, atau lebih tepatnya, saat pekat benar-benar membungkus waktu. Di cakrawala sana, terlihat begitu tenang, dengan beberapa pijar bintang yang bersinar, meredup, tapi ada sebagian yang terang, serta ditambah sentuhan manis dari bulan yang berbentuk sabit.

Ahh,, kau tahu, bahkan aku sepertinya telah lupa bagaimana rasanya nestapa. Karena bagiku sama, rasa itu sepertinya terlalu lama menemaniku, hingga lupa bagaimana ku ungkapkan rasa yang sebagian orang akan bergidik jika kembali merasakannya. Tapi aku, aku bahkan tak peduli tentang bagaimana rasanya derita menyabotase hatiku.

Lebih dari seminggu lalu, kota ini, tak lagi selalu di guyur hujan. Menyisakan roman indah ketika senja menyapa, ada cakrawala biru menyapa di atas sana ketika subuh berlalu, saat mentari mulai menampakkan diri. Indah memang, terlebih kadang-kadang ada sebaris kabut yang menutupi anggunnya barisan pegunungan yang terbentang membentuk sebuah cincin, melingkar seperti memagari kota ini, akan selalu indah bukan?

Beberapa tahun lalu, sepertinya tawa tak akan lepas dari wajah-wajah mereka, ketika ku ungkapkan harapan dan impianku, tentang cita-cita yang direfleksikan ke dalam sebuah kata-kata, akan ada nada berirama ‘merendahkan’ atau bisa ku sebut itu adalah doa, doa yang disampaikan dengan cara mereka, dan aku pun juga kadang-kadang tertawa, menertawakan semua itu. Karena kau tahu? Bahkan aku juga merasakan, jika impianku itu terlalu muluk, atau bahkan adalah sesuatu yang mustahil. Melukis langit! Itu impianku.

Jangankan melukis langit, menggapai mentari pun kau tak akan bisa, dari seseorang yang dianggap tidak memiliki masa depan, terlalu banyak berkhayal, dan jika bolah ku curahkan sedikit rasa kecewa ini karena di rendahkan, aku akan selalu mengingatnya, akan selalu ku ingat, untuk menjadi penyemangat, dan suatu saat, aku akan benar-benar memberi warna pada angkasa itu. Ya, aku bisa melukis langit, dengan jemariku.

Aku, seperti dihempaskan begitu dalam ketika ada banyak nada merendahkan. “Mimpimu terlalu tinggi kawan, tak usahlah kau terlalu muluk-muluk, melangkah saja kau susah, bagaimana kau bisa menjelajah sebagian bumi ini, hidup itu harus dilakoni dengan realitas, lihat! Buka matamu, lalu kau camkan dalam hati, kemudian, kau patri dengan paku baja, agar tak lepas dari otak pengkhayalmu itu, bahwa hidup ini sudah begitu keras, jangan bebani dengan sesuatu yang tak pasti!”

Atau di suatu malam, ketika aku bertandang ke kediaman seseorang. Ya, seorang wanita tentunya. Ketika itu, dia bertanya tentang pekerjaan. “Apa pekerjaanmu nak?” tanya wanita separuh abad itu. Aku tertunduk, tak bisa ku tawarkan pekerjaan yang bisa ku jadikan jaminan untuk bisa menjaga buah hatinya. Kata-kataku hilang, bak ditelan bumi.

“Penulis.” jawabku lirih.

Ku tahu, dari pekerjaan itu, tak ada jaminan harta di dalamnya, karena sempat ku utarakan dengan bangga tentang pekerjaanku, dan jawab mereka pada waktu itu. “Semoga lekas dapat pekerjaan yang lebih baik!”

Dan seperti apa yang ku duga, wanita separuh abad itu juga memberikan jawaban serupa. Aku tertunduk. Bahkan, aku hanya memiliki setelah pakaian yang sama, selalu itu yang ku kenakan setiap kali bertandang, itu adalah satu setelan pakaian terbaikku, dan hanya itu. Wajar jika orang-orang menatapku dengan tatapan nelangsa, pemuda tak memiliki masa depan. Suram.

Benar saja, beberapa bulan kemudian, ternyata bahkan aku merasa seperti dihempaskan (lagi) ketika ada seseorang yang datang kepadanya, dengan label ‘eksekutif muda’, setelan perlente, gelar dari perguruan tinggi ternama, mapan, bergelimang harta, dan si penulis –yang bahkan baru bisa mengeja kata ini- harus benar-benar belajar mengeja kata ‘rela’ untuk melepaskan sebagian impian yang pernah dirajut.

Sekali lagi, aku si pengkhayal yang memiliki cita-cita melukis langit, entah, apakah semua orang masih akan menilai sama, tapi aku bahkan tak memikirkan penilaian orang tentangku sekarang. Dianggap pengangguran, tak miliki penghasilan, hidup tak miliki rumah. Aku bahkan mulai tak mempedulikan itu.

Ada nasihat dari seorang teman, sahabat atau kakak. Dia berujar suatu ketika. “Kita ini, anak perantau. Pantang menerima pujian. Jika kau berharap dipuji, matilah kau! Kita ini, anak perantau, harus berdiri dengan kritikan orang lain, harus kuat dengan badai terpahit di tanah orang. Berdiri tegak dengan caci maki, pantang bagi kita untuk berpuas diri dengan pujian!”
……

Ku beri tahu kau, kalian, tentangku sekarang, aku seorang pengkhayal yang mencoba menuliskan bait tentang harapan melalui rapalan doa dan usaha, akan terus melangkah, akan tetap berjalan meski susah, dan satu persatu, ketika si pemuda tak miliki masa depan ini bahkan bisa berlari kencang, melebihi desiran angin dan desau suara peluru, tak perlu kau, kalian memberi pengakuan terhadapku, karena, aku sungguh tak butuh pengakuan. “Berproses” ujar salah satu ‘mentor-ku’ dan aku, akan menikmati setiap proses itu.

-Berjalan itu hanya sekedar melangkah, tak perlu tegap, tak perlu cepat. Hanya sekedar melangkah, dan kau akan temukan jawaban dari semua pertanyaan itu, sekalipun dengan diam-
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML