#Bagian Sekarang dan untuk Cerita
Masa Depan
Ilustrasi:1.bp.blogspot.com |
“Kau
tahu, ku rasa rapalan mantra doa miliknya lebih kuat daripada milikku. Dari setiap
tempat yang dia datangi, dari setiap waktu yang dia lewati, sedetikpun dia tak
pernah melupakan untuk merapal harapan itu. Kau tahu, semua itu begitu
bermakna, begitu berirama, begitu kuat. Firasatku buruk tentang ini. Tentang
dia yang tentu saja masih mengharapkanmu, entah kapan akan berakhir
penantiannya.
“Dia,
mungkin mencintaimu melebihiku. Dia, mungkin mengharapkanmu melebihi harapanku.
Ketakutanku hanya satu. Aku takut kau lantas menyesal karena meninggalkannya. Ku
lihat dia begitu anggun, begitu kuat, dengan jejak kaki yang terus menapaki
tiap jengkal bumi nusantara ini. Aku, iri padanya.”
Senja
makin tenggelam di dasar sana, menyisakan roman indah dari bias cahaya yang
tertera di antara cakrawala Membungkam seribu tanya yang terlontar dari
keraguan sang pemilik hati. Sekumpulan burung golejra terbang bergerombol,
mencicit memecah kebisingan kota yang diselimuti warna lembayung, membentuk
paduan warna yang mempesona, elok dipandang mata, melegakan ruang hati.
Sementara
dia berhenti, ujung matanya menyipit, bibirnya tampak maju beberapa millimeter
berwarna merah muda, membuatku semakin gemas dibuatnya. Aku tersenyum
menatapnya, memegang kepalanya, mengelus perlahan.
“Kau,
masih saja seperti itu. Kau beritahu kau beberapa hal, dari setiap tempat yang
ku datangi, orang-orang yang ku jumpai, dari setiap detik dalam putaran waktu
yang mengintari hari, aku juga merapal doa, menjadikannya begitu bermakna,
menjadi begitu kuat, kau tahu firasatku selalu baik. Terlebih tentang kita,
iya, kita.
“Lihat,
perhatikan setiap kejadian yang akan terjadi setelah ini. Kau tahu bukan, bahwa
kita bahkan tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi. Kita hanya bisa
berprasangka. Ketakutanmu, mungkin baik, tapi bisa menjadi buruk jika terlalu
berlebih, bukan begitu?”
Aku
mencoba mendapatkan kesepakatan. Melukiskan senyum terindah di wajah kusut ini,
mencoba mematut-matutkan diri di depannya. Ia hanya mengangguk, tetap cemberut.
“Hahaha,
kau ini. Jangan seperti itu, semakin kau merajuk, nanti tak bisa ku lupakan
wajah manismu itu. Sudah cukup kau mengintimidasi tiap malam dan kesendirianku
dengan wajah itu, kau tahu, wajahmu selalu ada di pelupuk mata, bahkan ketika
mataku terpejam, kau sedikit pun tak berpaling. Sekarang, apa kau tega
menekanku dengan tampang seperti itu?” aku tertawa demi melihat wajahnya yang
terlihat kesal, namun tak berapa lama senyum tersungging di wajahnya.
“Nah,
begitu lebih baik. Kau terlihat lebih cantik beberapa persen dari sebelumnya.” dia
mencubit lenganku.
Kenangan
itu masih begitu jelas tampak di kepalaku, masih berada mengisi relung jiwaku. Setiap
detik bahkan hingga putaran waktu ini kian menekan. Malam semakin dingin,
akhir-akhir ini suasana menjadi tak menentu, angin menerjang ketika malam
datang, dan terik membakar ketika siang menjelang. Tapi setidaknya di
penghujung hari aku bisa tersenyum menatap ke atas, menikmati mahakarya sang
pencipta, ada lukisan indah ketika sore menjelang. Ah, aku selalu bisa
merasakan kehadirannya kini bahkan setiap detik aku bisa merasakan sentuhan
jemari indahnya.
Bagian-bagian
itu terususun kembali. Membentuk sebuah bidang dengan garis tegas dari tiap
sisinya. Menguak tabir dari kepingan silam yang akan menjadi salah satu pondasi
kuat dari perjalanan kisah seorang anak manusia, menjadikannya pegangan ketika
badai kecewa dan nestapa menerjang dinding-dinding harapan.
Waktu
itu, pernah ku berujar, akan membuatnya bahagia dan tertawa. Namun, tak
terhitung berapa banyak ku torehkan luka dan kecewa kepadanya, namun, dengan
ketulusan hati dan kelembutan rasa yang dimilikinya, semua rasa kecewa itu
melebur menjadi sebuah rasa yang kian menguat. Mengaburkan setiap kepingan kata
salah menjadi untaian kata maaf dan menjadi ucapan terima kasih.
Tak
terhitung berapa kali cemooh dan ucapan bernada miring menerjangku, dan semakin
kuat dia bisa menggenggam keyakinanku tentang mimpi-mimpi itu, tentang harapan
yang hanya di anggap isapan jempol bagi sebagian lainnya.
Malam
ini, ketika pekat memeluknya begitu erat, aku juga berada di sana, mencoba
memeluknya lebih erat dari biasanya, menggenggam erat jemarinya, membisikkan
kata-kata cinta, membisikkan rapalan mantra untuknya. Harapanku, harapannya,
berputar lantas menembus angkasa, pada malam itu juga, bagian dari kisah indah
akan tertera dalam balutan nada indah. Antara aku dan dia. Perempuan penggenggam
hujan, dan si pelukis langitnya.