Kamis, 25 Juni 2015

Merapal Harapan

#Bagian Sekarang dan untuk Cerita Masa Depan

Ilustrasi:1.bp.blogspot.com


“Kau tahu, ku rasa rapalan mantra doa miliknya lebih kuat daripada milikku. Dari setiap tempat yang dia datangi, dari setiap waktu yang dia lewati, sedetikpun dia tak pernah melupakan untuk merapal harapan itu. Kau tahu, semua itu begitu bermakna, begitu berirama, begitu kuat. Firasatku buruk tentang ini. Tentang dia yang tentu saja masih mengharapkanmu, entah kapan akan berakhir penantiannya.

“Dia, mungkin mencintaimu melebihiku. Dia, mungkin mengharapkanmu melebihi harapanku. Ketakutanku hanya satu. Aku takut kau lantas menyesal karena meninggalkannya. Ku lihat dia begitu anggun, begitu kuat, dengan jejak kaki yang terus menapaki tiap jengkal bumi nusantara ini. Aku, iri padanya.”

Senja makin tenggelam di dasar sana, menyisakan roman indah dari bias cahaya yang tertera di antara cakrawala Membungkam seribu tanya yang terlontar dari keraguan sang pemilik hati. Sekumpulan burung golejra terbang bergerombol, mencicit memecah kebisingan kota yang diselimuti warna lembayung, membentuk paduan warna yang mempesona, elok dipandang mata, melegakan ruang hati.

Sementara dia berhenti, ujung matanya menyipit, bibirnya tampak maju beberapa millimeter berwarna merah muda, membuatku semakin gemas dibuatnya. Aku tersenyum menatapnya, memegang kepalanya, mengelus perlahan.

“Kau, masih saja seperti itu. Kau beritahu kau beberapa hal, dari setiap tempat yang ku datangi, orang-orang yang ku jumpai, dari setiap detik dalam putaran waktu yang mengintari hari, aku juga merapal doa, menjadikannya begitu bermakna, menjadi begitu kuat, kau tahu firasatku selalu baik. Terlebih tentang kita, iya, kita.

“Lihat, perhatikan setiap kejadian yang akan terjadi setelah ini. Kau tahu bukan, bahwa kita bahkan tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi. Kita hanya bisa berprasangka. Ketakutanmu, mungkin baik, tapi bisa menjadi buruk jika terlalu berlebih, bukan begitu?”

Aku mencoba mendapatkan kesepakatan. Melukiskan senyum terindah di wajah kusut ini, mencoba mematut-matutkan diri di depannya. Ia hanya mengangguk, tetap cemberut.

“Hahaha, kau ini. Jangan seperti itu, semakin kau merajuk, nanti tak bisa ku lupakan wajah manismu itu. Sudah cukup kau mengintimidasi tiap malam dan kesendirianku dengan wajah itu, kau tahu, wajahmu selalu ada di pelupuk mata, bahkan ketika mataku terpejam, kau sedikit pun tak berpaling. Sekarang, apa kau tega menekanku dengan tampang seperti itu?” aku tertawa demi melihat wajahnya yang terlihat kesal, namun tak berapa lama senyum tersungging di wajahnya.

“Nah, begitu lebih baik. Kau terlihat lebih cantik beberapa persen dari sebelumnya.” dia mencubit lenganku.

Kenangan itu masih begitu jelas tampak di kepalaku, masih berada mengisi relung jiwaku. Setiap detik bahkan hingga putaran waktu ini kian menekan. Malam semakin dingin, akhir-akhir ini suasana menjadi tak menentu, angin menerjang ketika malam datang, dan terik membakar ketika siang menjelang. Tapi setidaknya di penghujung hari aku bisa tersenyum menatap ke atas, menikmati mahakarya sang pencipta, ada lukisan indah ketika sore menjelang. Ah, aku selalu bisa merasakan kehadirannya kini bahkan setiap detik aku bisa merasakan sentuhan jemari indahnya.

Bagian-bagian itu terususun kembali. Membentuk sebuah bidang dengan garis tegas dari tiap sisinya. Menguak tabir dari kepingan silam yang akan menjadi salah satu pondasi kuat dari perjalanan kisah seorang anak manusia, menjadikannya pegangan ketika badai kecewa dan nestapa menerjang dinding-dinding harapan.

Waktu itu, pernah ku berujar, akan membuatnya bahagia dan tertawa. Namun, tak terhitung berapa banyak ku torehkan luka dan kecewa kepadanya, namun, dengan ketulusan hati dan kelembutan rasa yang dimilikinya, semua rasa kecewa itu melebur menjadi sebuah rasa yang kian menguat. Mengaburkan setiap kepingan kata salah menjadi untaian kata maaf dan menjadi ucapan terima kasih.

Tak terhitung berapa kali cemooh dan ucapan bernada miring menerjangku, dan semakin kuat dia bisa menggenggam keyakinanku tentang mimpi-mimpi itu, tentang harapan yang hanya di anggap isapan jempol bagi sebagian lainnya.


Malam ini, ketika pekat memeluknya begitu erat, aku juga berada di sana, mencoba memeluknya lebih erat dari biasanya, menggenggam erat jemarinya, membisikkan kata-kata cinta, membisikkan rapalan mantra untuknya. Harapanku, harapannya, berputar lantas menembus angkasa, pada malam itu juga, bagian dari kisah indah akan tertera dalam balutan nada indah. Antara aku dan dia. Perempuan penggenggam hujan, dan si pelukis langitnya.
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML