Tampilkan postingan dengan label Roman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Roman. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 Agustus 2015

Kisah Kita Sore Itu

ilustrasi: aisyafra.files.wordpress.com


Jemari cahaya senja meremas kenangan, menggurat hati melalui nada dalam untaian ruang dan waktu. Membius kesadaran, menyandarkan keinginan dalam pelukan harapan, tampak sayu memandang gerombolan kapinis yang terbang berkelompok, mengiringi kepergian senja yang terlukis dalam keindahan sore, lembayung senja terlihat mempesona di atas sana.

Sudah beberapa kali, kami menikmati senja yang merona. Ya, kami, bukan aku sendiri. Dan sekarang, itu adalah bagian yang luar biasa, bagian yang selalu ku nantikan keberadaannya. Dan dia, satu-satunya perempuan yang akhirnya bisa ku ajak untuk menikmati pesona sang senja. 

Akan ku ceritakan kisah yang selalu ku tuliskan dalam bingkai-bingkai dalam rangkaian kata itu, tentang para wanita itu, wanita dan kisah senja yang mempesona, ku beritahu kau tentang itu, mereka dan aku tentang senja itu. Kami bahkan belum pernah menatap senja di tempat yang sama. Ya, belum pernah. Dan dia, adalah satu-satunya perempuan itu. Jika kau tanya siapa orang yang beruntung, tentu itu adalah aku. Bukan dia. Menjadi perempuan pertama yang ku ajak menyaksikan indahnya senja, bukanlah hal yang terlalu istimwa, itu adalah momenku, itu adalah inginku, dan itu adalah bagian dari angan-angan yang mulai terbuka satu persatu.

Biasanya, aku hanya bisa menggurat gambar indah senja melalui kata-kata, melalui deskripsi singkat dari pesan elektronik. Melalui rangkaian kata yang tertuang dalam puluhan paragraph. Dan aku selalu berhasil membuka setiap jarak dalam kenangan yang membentang, dalam indahnya pesona sang hari yang mulai menepi. Kisah itu mungkin akan menjadi titik balik dari rangkaian cerita sebelumnya, apakah ini akan berakhir di satu titik ini, atau akan kembali berlanjut? Aku tidak tahu, tapi jika kau tanya apa inginku. Akan ku beritahu kau itu. Inginku, semoga saja pencarianku akan berhenti pada titik ini, dengannya. Semoga saja, itu rapalan mantra yang terus ku ucapkan di setiap gelap merenggut cahaya di cakrawala. Dan ku harap, Si Pemilik Hati memberikan anggukan untuk setiap rapalan mantra yang ku eja.
…..
Suasana malam ini masih seperti beberapa hari yang lalu, masih cerah dengan hiasan beberapa kemerlip bintang yang tergambar di bentangan malam yang indah, itu sangat indah. Aku tidak mengada-ada, memang begitulah adanya. Malam akan selalu menjadi kisah misterius, seperti ujarku waktu itu, malam akan selalu menjadi rangkaian cerita yang selalu sulit di baca, tapi, gunakan hatimu, maka kau akan tahu maksudnya. Dia bahkan bisa berujar dalam hembusan semilir angin, pelan, perlahan, dan itu menjadi bagian yang harus dimengerti, tak bisa lantas kau langsung paham maksudnya begitu saja.

Beberapa waktu ini memang keadaan mulai menampakkan wujudnya yang sebenarnya, sama seperti yang terjadi di pesisir pantai, ketika kuatnya gelombang menghantam karang, gelombang akan selalu mengantam, tak peduli siang atau malam, setiap detik dalam setiap putaran waktu. Dari hal terkecil hingga masalah prinsipil, masalah itu terus saja mendera. Ku beritahu, bahwa cinta itu tak melulu manis, ada kalanya dia terasa pahit, tak melulu tertawa, terkadang –atau bahkan lebih sering- kita akan merasakan kecewa, tapi memang begitulah iramanya.

Bukanlah kita sudah mengeja kata ikhlas ketika bisa mulai membaca, bukankah kita telah berlatih untuk memahami arti kata rela, ketika kita mulai memutuskan untuk memiliki sesuatu? Dan benar, jika memahami semua itu bukanlah semudah untuk mendapatkannya, prinsip dasar yang ku temukan –di sebuah kompetisi- bahwa merebut atau mendapatkan itu lebih mudah, tetapi mempertahankannya, itu sulit. Sebuah pelajaran yang ku dapatkan baru-baru ini, pelajaran yang sebenarnya sudah ku ketahui dari waktu dulu.

Tapi, itu bukanlah soal. Karena –akan selalu ku coba – untuk memahami itu, mengerti dari setiap garis yang tergurat dalam ketetapan langit, bahwa setiap kesusahan akan selalu ada kemudahan, bahkan kita tak pantas untuk mempertanyakan setiap kejadian yang telah terjadi, terlebih mempertanyakannya kepada Sang Pemilik. Karena, nikmat mana yang kita dustakan. Bukankah tidak terhitung nikmat yang kita dapatkan? Bukankah seharusnya kita menerimanya. Bukankah kita tunduk kepada aturan-Nya. Ya, begitulah seharusnya. Tapi, lagi-lagi kita terlalu tolol untuk memahami itu. Terlalu banyak pertanyaan yang kita ajukan kepada-Nya, tanpa menoleh ke belakang, tanpa mengeja ketetapan yang telah digariskan.


Persoalan itu, percayalah. Akan ada penyelesaian. Tergantung bagiamana kita menyikapi itu. Maka, jabatlah erat setiap masalah, dan jadikan itu sebagai teman bukan lawan, karena ketika kita bisa berdamai dengannya, kita tidak akan pernah merasa ia menekan, justru kita akan semakin tegak berdiri.
Read More




Kamis, 25 Juni 2015

Merapal Harapan

#Bagian Sekarang dan untuk Cerita Masa Depan

Ilustrasi:1.bp.blogspot.com


“Kau tahu, ku rasa rapalan mantra doa miliknya lebih kuat daripada milikku. Dari setiap tempat yang dia datangi, dari setiap waktu yang dia lewati, sedetikpun dia tak pernah melupakan untuk merapal harapan itu. Kau tahu, semua itu begitu bermakna, begitu berirama, begitu kuat. Firasatku buruk tentang ini. Tentang dia yang tentu saja masih mengharapkanmu, entah kapan akan berakhir penantiannya.

“Dia, mungkin mencintaimu melebihiku. Dia, mungkin mengharapkanmu melebihi harapanku. Ketakutanku hanya satu. Aku takut kau lantas menyesal karena meninggalkannya. Ku lihat dia begitu anggun, begitu kuat, dengan jejak kaki yang terus menapaki tiap jengkal bumi nusantara ini. Aku, iri padanya.”

Senja makin tenggelam di dasar sana, menyisakan roman indah dari bias cahaya yang tertera di antara cakrawala Membungkam seribu tanya yang terlontar dari keraguan sang pemilik hati. Sekumpulan burung golejra terbang bergerombol, mencicit memecah kebisingan kota yang diselimuti warna lembayung, membentuk paduan warna yang mempesona, elok dipandang mata, melegakan ruang hati.

Sementara dia berhenti, ujung matanya menyipit, bibirnya tampak maju beberapa millimeter berwarna merah muda, membuatku semakin gemas dibuatnya. Aku tersenyum menatapnya, memegang kepalanya, mengelus perlahan.

“Kau, masih saja seperti itu. Kau beritahu kau beberapa hal, dari setiap tempat yang ku datangi, orang-orang yang ku jumpai, dari setiap detik dalam putaran waktu yang mengintari hari, aku juga merapal doa, menjadikannya begitu bermakna, menjadi begitu kuat, kau tahu firasatku selalu baik. Terlebih tentang kita, iya, kita.

“Lihat, perhatikan setiap kejadian yang akan terjadi setelah ini. Kau tahu bukan, bahwa kita bahkan tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi. Kita hanya bisa berprasangka. Ketakutanmu, mungkin baik, tapi bisa menjadi buruk jika terlalu berlebih, bukan begitu?”

Aku mencoba mendapatkan kesepakatan. Melukiskan senyum terindah di wajah kusut ini, mencoba mematut-matutkan diri di depannya. Ia hanya mengangguk, tetap cemberut.

“Hahaha, kau ini. Jangan seperti itu, semakin kau merajuk, nanti tak bisa ku lupakan wajah manismu itu. Sudah cukup kau mengintimidasi tiap malam dan kesendirianku dengan wajah itu, kau tahu, wajahmu selalu ada di pelupuk mata, bahkan ketika mataku terpejam, kau sedikit pun tak berpaling. Sekarang, apa kau tega menekanku dengan tampang seperti itu?” aku tertawa demi melihat wajahnya yang terlihat kesal, namun tak berapa lama senyum tersungging di wajahnya.

“Nah, begitu lebih baik. Kau terlihat lebih cantik beberapa persen dari sebelumnya.” dia mencubit lenganku.

Kenangan itu masih begitu jelas tampak di kepalaku, masih berada mengisi relung jiwaku. Setiap detik bahkan hingga putaran waktu ini kian menekan. Malam semakin dingin, akhir-akhir ini suasana menjadi tak menentu, angin menerjang ketika malam datang, dan terik membakar ketika siang menjelang. Tapi setidaknya di penghujung hari aku bisa tersenyum menatap ke atas, menikmati mahakarya sang pencipta, ada lukisan indah ketika sore menjelang. Ah, aku selalu bisa merasakan kehadirannya kini bahkan setiap detik aku bisa merasakan sentuhan jemari indahnya.

Bagian-bagian itu terususun kembali. Membentuk sebuah bidang dengan garis tegas dari tiap sisinya. Menguak tabir dari kepingan silam yang akan menjadi salah satu pondasi kuat dari perjalanan kisah seorang anak manusia, menjadikannya pegangan ketika badai kecewa dan nestapa menerjang dinding-dinding harapan.

Waktu itu, pernah ku berujar, akan membuatnya bahagia dan tertawa. Namun, tak terhitung berapa banyak ku torehkan luka dan kecewa kepadanya, namun, dengan ketulusan hati dan kelembutan rasa yang dimilikinya, semua rasa kecewa itu melebur menjadi sebuah rasa yang kian menguat. Mengaburkan setiap kepingan kata salah menjadi untaian kata maaf dan menjadi ucapan terima kasih.

Tak terhitung berapa kali cemooh dan ucapan bernada miring menerjangku, dan semakin kuat dia bisa menggenggam keyakinanku tentang mimpi-mimpi itu, tentang harapan yang hanya di anggap isapan jempol bagi sebagian lainnya.


Malam ini, ketika pekat memeluknya begitu erat, aku juga berada di sana, mencoba memeluknya lebih erat dari biasanya, menggenggam erat jemarinya, membisikkan kata-kata cinta, membisikkan rapalan mantra untuknya. Harapanku, harapannya, berputar lantas menembus angkasa, pada malam itu juga, bagian dari kisah indah akan tertera dalam balutan nada indah. Antara aku dan dia. Perempuan penggenggam hujan, dan si pelukis langitnya.
Read More




Minggu, 08 Maret 2015

Jemari Itu, Ingin Ku Genggam Lebih Lama


Ilustrasi: driedroses.files

Bisakah ku sebutkan, jika aku kini sembunyi di antara sebuah kisah indah? Bukan, bukan aku, tapi kita, ya kita. Bersembunyi di antara diamnya rahasia, berada di balik semua itu, terselip sebuah kisah indah yang akan selalu menjadi sebuah rahasia, entah sampai kapan rahasia itu akan tetap bungkam, enggan berucap barang sepatah kata sekali pun.

Mentari sore itu menyisakan sisa warna keemasan di atas sana, sebentar lagi tenggelam. Ya, senja akan tetap indah, meskipun jelas ia akan tetap hilang. Di telan gelapnya malam, dan kemudian akan menyisakan sebuah kisah lainnya.

Kali ini, mungkin aku akan menuliskan tentang indahnya jemari-jemari itu, jemari yang begitu lembut ketika ku genggam barang sejenak. Jemari yang ingin ku genggam selamanya, jemari yang tak akan pernah ku lepaskan, jemari yang kemudian akan menjaga sebagian rasa yang kini mulai tertera di dalam aksara, dalam lantunan melodi nan merdu. Ya, jemari-jemari lentik itu, telah memberikan warna dalam sebagian tulisan dalam jurnal ini.

Harapan-harapan itu, impian-impian itu, kembali menyapa di antara sisa malam yang gelap. Entah untuk yang ke berapa kalinya, senja hanya diam saja, menyaksikan parodi malam yang begitu menenangkan, atau tentang orion yang sesekali mewarnai pada sisa malam yang terus tenggelam. Kemudian, pada saat yang sama, rintik hujan kembali menyapa dari sisi yang terbuang, aku tak menoleh sekalipun ke arah itu, enggan hanya sekedar bebalik, aku tak akan memutar arah jalanku, aku akan tetap berjalan ke depan, menggenggam jemari lentik si penggurat pesan.

Rapalan doaku, menggema ketika menyapa sang pencipta, untuk kemudian ku selipkan sebait nama tentang harapan di masa depan, berharap embun pagi berikan kesegaran di saat fajar menyapa. Percayalah, ku tahu rasa takut itu hanya bagian dari keragu-raguanmu.

Jemari itu, ingin sekali ku genggam, lebih lama dari biasanya. Lebih lama dari sekedar genggaman salam perpisahan. Jemari itu, ingin sekali ku genggam, tak akan ku lepaskan, karena jemari-jemari itu akan ku gunakan untuk menggurat kisah indah, di balik sebuah rahasia yang terus kau genggam.

..Jangan pernah takut sayangku
Sungguh, kau tak pernah sendiri di sana
Dalam hening, rapalan doaku, akan selalu temanimu
Usah ragu, percayalah tentang semua ini
Aku, kamu, dua orang bodoh yang telah berjanji,
Untuk tidak saling mengkhianati
Ya, waktunya akan segera tiba, cepat atau lambat,

Rahasia itu, akan berbicara dengan sangat jujur…
Read More




Senin, 02 Februari 2015

Bahasa Diam

#Meyakinkan Kita

Ilustrasi: stat.ks.kidsklik.com


Lagi, seperti menekan tombol reset, semuanya terulang, sama persis. Sementara aku, kembali tertawa seperti waktu itu, meskipun jelas ada gurat kecewa tertera di lubuk hati, tapi keinginan dan perjuanganku terlalu lemah untuk melawan kehendak-Nya. Lagi-lagi, aku di ajarkan satu kata itu, rela. Ya, aku kembali di ajarkan tentang semuanya, ternyata tak mudah untuk mengucap rela, dan untuk yang kesekian kalinya, si pemilik hidup berikan pelajaran berharga.

Dua kejadian berantai menerjang bak gelombang, memeluk tubuh batuan karang di tepian pantai, hanya bisa teronggok diam, tak bisa melawan, setabah itu pula dia menerima terpaan hidup yang terus menggerus tak pernah berhenti walau dalam hitungan detik. Tapi, sekuat-kuatnya batu karang, ia akan terkikis juga, seteguh apa pun hatinya, ada saja sebait kata rasa mengubah suasana. Frame ini sama sekali tak ku suka, tapi ku bilang, aku miliki kisah luar biasa. Si pelukis waktu kembali menuliskan setiap kejadian tentang irama kehidupan.
….

Setelah hari ini, akan selalu ada tulisan yang bisa di baca, di mengerti untuk kemudian di pahami dan mungkin aku akan membuatnya bisa dicerna, bahkan dengan bahasa diam. Malam kemarin, aku baru saja kembali memahami tentang arti merindu, mencoba kembali mengingat detail tiap kejadian yang tersimpan di dalam satu kata itu. Seperti candu, satu kata itu bahkan bisa mengguratkan luka terdalam, aku, kembali menapaki sebuah jalan yang membentang, panjang.

“Harus menahan rindu berapa lama lagi dan harus menunggu hingga kapan hanya untuk sekedar bertemu, atau hanya sekedar saling menatap?” tanyanya suatu ketika.

Aku terdiam, tak ada bahasa yang bisa ku jelaskan padanya. Mataku nanar tajam menatap ke depan, pikiran melayang menembus cakrawala yang semakin pekat, kosong.

“Dan jika ia datang, apa yang bisa dilakukan selain merapal doa. Jika tidak ada pertemuan, apakah rindu akan terselesaikan?” ia melanjutkan. Ku coba untuk mencerna setiap kata yang bahkan tak bisa ku mengerti.

“Rindu, ia adalah anugerah. Usah resah terlebih gundah. Dia akan berkata dengan cara terhalus, tak harus terucap dengan kata atau tanya. Karena rindu bahkan bisa berbicara dengan caranya, cara terakhir yang sulit untuk di mengerti, diam.” kata ku kemudian, hanya itu jawaban yang ku miliki. Menunduk.

Sesaat, matanya berbinar. Ada harapan di sana, bahkan jika pun ia tak mengerti, dia akan tetap suka. Jawabanku diterjemahkan dengan rasa yang terus berkejolak di hatinya. Aku bahkan tak paham dengan apa yang ku ucapkan.

“Diam? Apa ketika rindu terus menggerus, dan kita hanya diam, apakah bisa semudah itu dijawab? Apa semuanya bisa selesai hanya dengan diam?” rentetan pertanyaan itu seperti menyeretku ke dalam jurang terjal, tanpa ada pegangan, aku terseret, jatuh. Dia benar, aku membenarkan sesuatu yang ku yakini salah. Munafik, aku menjadi seperti itu sekarang ini.

“Apa aku terlalu egois jika selalu menantikan pertemuan itu? “ tanyanya.

Aku menggeleng, mencoba memasukkan setiap pertanyaan itu ke dalam pikiran dan hatiku, yang sedari tadi menolak untuk memahami dan mengerti tentang percakapan ini. Jelas, ada sebaris kata yang entah apakah ingin lagi ku rasakan.

“Bahkan, kau harus mengerti tentang makna diam. Ya, diam. Hanya itu satu-satunya bahasa yang bisa dimengerti oleh hati. Dengan diam, kita akan mengerti tentang instrumen kehidupan,” jawabku sekenanya. Jawaban putus asa.

“Pertemuan, itu hanya akan selalu di akhiri dengan perpisahan. Penyesalan adalah pernyataan selanjutnya yang akan terlontar jika semua kata tak bisa menjawab itu. Egois, itu hanya bagian yang kemudian, secara perlahan akan menenggelamkan diri kita ke dalam jurang yang bernama penyesalan.” ku lanjutkan kataku.

Kembali, putaran waktu itu seperti membawaku ke masa dulu. Ketika tawa dan bahagia menjadi nada terindah untuk didendangkan, ketika semua derita bermakna pelajaran berharga. Tapi, kemudian ada satu hal yang bisa ku tarik garisnya, memintalnya menjadi lembaran-lembaran kisah, menjadikan semua kisah itu hanya menjadi bualan semata, ironis. Itu adalah satu kata yang bisa disimpulkan.

Ku katakana kepadanya, aku akan menjelaskan makna dari satu kata itu. Tapi kemudian ku sadari, bahwa hanya aku yang akan mengerti bahasa diam, hanya aku yang bisa mengerti arti kata yang diterjemahkan sebagai keputusasaan oleh sebagian orang. Orang yang tidak mengerti, bahwa dalam diam sekalipun ada selarik kejadian dan perbuatan yang melebihi  arti dari sekedar perjuangan dan pengorbanan semu.
….

Sore tadi, ketika selesai turun hujan.
Aku kembali terpekur. Meresapi kejadian ini. Sessaat sebelum matahari tergelincir di sebelah barat. Sebelum semuanya tenggelam, ku tuliskan harapan di sisa hari yang tinggal beberapa detik saja. Ku jabarkan ke dalam bahasa yang sulit diterjemahkan, akhirnya ketika bahasa diam tak bisa dimaknai oleh sebagian orang, aku berkata lantang. Ku teriakkan setiap kata itu, menuliskannya dengan huruf kapital besar-besar, agar terbaca, jika bisa aku ingin mereka mengeja dengan mata tertutup.

Lagi, harapan itu dikandaskan oleh waktu. Ketika kemapanan dan derajat pekerjaan di pandang sebagai tolak ukur jaminan kebahagiaan, aku adalah orang pertama yang akan menentangnya, menjadi garda terdepan untuk mengucapkan bahwa semua itu hanya penilaian yang tak beralasan. Dan aku akan menjadi orang paling terakhir jika memang benar bahwa uang dan jabatan adalah hal mutlak untuk menuliskan cerita indah dengan gurat tawa menyelingi di setiap waktunya.

Menanti mentari esok hari, kembali berdansa dengan harapan dan impian, dengan atau tanpa kata bahagia, aku akan terus berjalan, terus  mengukir kisah pada seseorang yang ada di dalam hati, cerita tentang si penunggu waktu mungkin memang akan berakhir, karena hanya waktu satu-satunya yang pasti. Kemudian, aku akan tetap menuliskan harapan kepada dia ‘ku’ tentang arti kata diam yang sesungguhnya, kepada si penyuka hujan yang terus menanti penggenggamnya hadir memeluk setiap harapan dan impian ‘gila’nya, tentang rapalan doa yang terajut dalam rangkaian mantra pelipur lara, di sini, aku akan memeluk hujan, berdansa dengannya, bercerita tentangnya, akan ku yakinkan bahwa setiap perjuangan akan selalu ada harga yang harus ditebus, akan selalu ada harapan, bahkan ketika semua kata tak bisa menjelaskannya.

Aku akan buat dia ‘ku’ meyakini apa yang ku yakini, aku akan menjelaskan kepadanya dengan bahasa yang kini hanya bisa ku mengerti seorang diri, bagaimanapun, dia ‘ku’ harus mengerti tentang semua ini. Bahwa akan selalu ada lukisan indah di langit, setiap waktu. Tak mengenal waktu, bahkan aku akan berusaha menikam waktu, sebelum waktu membunuhku.


Percayalah, bahwa kita akan selalu miliki harapan indah, cerita petualangan yang mengesankan, akan menjadi milik kita. Percayalah, bentangan bumi ini mengajarkan kita banyak hal, kita bukan hanya akan menceritakan ramah sapa dari bagian Asia, menapaki peradaban di birunya Eropa, berjalan diantara eksotisme bumi Afrika, atau kemudian berdansa dengan liukan tubuh si Latin di benua Amerika, ini akan menjadi kisah kita yang paling hebat. Percayai itu.
Read More




Jumat, 30 Januari 2015

Sore Itu

#Bahagia Kita, Cukup Sederhana

Ilustrasi: www.kaffah.biz


Pada bagian mana  yang belum diketahui? Akan ku beritahu kau tentang sesuatu, atau bahkan mungkin kau juga sudah tahu tentang itu, tapi tak apalah, aku akan tetap mengatakannya. Begini, akan selalu ada pertanyaan dari setiap jawaban yang terlontar dari setiap kejadian. Dari balik semua ini, dari dalam diri sendiri atau bahkan dari orang lain, jawaban akan selalu dijawab dengan pertanyaan -lagi-.

Jadi apakah kau masih akan mempertanyakan jawaban yang telah diberikan? Akankah semua jawaban itu adalah bahan untuk kembali melontarkan pertanyaan yang akan kau ajukan? Entahlah, aku bahkan tak mengerti akan seperti apa semuanya, jika kembali kau berkata: “Aku tak tahu” mungkin sebenarnya kau tahu itu, atau kau hanya akan menutup semua jawaban yang ku yakini adalah “Iya, aku juga merasakan hal yang sama”.

Pada bagian ini, sengaja kenapa aku inginkan ada jarak diantara kebersamaan yang mengasyikkan, aku hanya ingin, aku dan kamu, atau bahkan mereka berpikir sejenak, tentang semuanya. Merenungkan apa yang sebenarnya terjadi, karena aku selalu yakin, bahwa ketiadaan itu akan dianggap ada jika semuanya benar-benar tidak ada, jadi ku sebut ini adalah simulasi untuk pengujian tentang semua ini. Dan apakah masih ada kata-kata ‘Aku tidak tahu”.
Sore itu, hujan mulai mereda. Ku katakan malam sebelumnya, bahwa  senja kali ini akan bersemu jingga. Merona di cakrawala, sebelah barat sana. Akan ada lukisan indah di langit, akan ada cerita tentang keindahan yang selalu ku katakana padanya. Dan keyakinan itu muncul begitu saja, benar, sore itu, menjelang petang datang, ketika tak ada harapan lagi bahwa akan ada mentari yang bersemu jingga di atas sana, langit terlukis indah, setelah sepanjang hari hujan memeluk bumi.

“Indah bukan? Sudah ku katakan, bahwa langit akan terlukis indah sore ini,” sebuah pesan singkat ku kirim padanya.

Tak lama kemudian ada pesan masuk, darinya.

“Iya, indah. Bahkan sudah lama aku tak melihat ini, mungkin aku sudah lupa. Kapan terakhir kalinya langit bersemu jingga setelah hujan,” balasnya. Aku tersenyum.

Aku, selalu percaya tentang harapan. Bahwa keyakinan itu patut di perjuangkan. Aku belajar banyak sore ini, bahkan ketika keputusasaan menjalar di dalam hati, harapan itu musnah, ketika seharian hujan mengguyur bumi, membasahi semuanya, tak ada jeda. Langit mengajarkan pelajaran, bahwa akan selalu ada kemungkinan dari setiap kejadian, dan keyakinan adalah salah satu alasan kenapa semua ini patut di perjuangkan.

Secangkir kopi, berteman tembakau terbaik negeri ini. Menjadi sahabat yang bahkan -ku tahu- ia akan membunuhku perlahan.  Pada sisa bagian malam ini, aku kembali merenungkan tentang makna perjuangan, harapan, cita-cita dan romansa.

“Kau masih tak yakin dengan semua ini?” tanyaku.

“Hmm.. Aku tak tahu. Bukankah kau sudah tahu jawabannya? Kenapa kau selalu tanyakan itu padaku?” lagi, pertanyaanku dijawab dengan pertanyaan.

Lagi, aku hanya tersenyum mendengarkan semua itu. Aku, bahkan seseorang yang tidak perlu mendengarkan jawaban itu, masih menanyakannya. Bukankah semua orang butuh penjelasan? Bukankah semua orang butuh pengakuan, tapi sedikit demi sedikit, aku mencoba untuk tidak memerlukan pengakuan itu, meski jelas mungkin tindakan itu hanya akan melahirkan sebuah kata ‘munafik’.
….

Malam merambat pelan, ketika aku membelah jalanan. Hawa masih terasa sangat dingin. Bandung bulan Januari selalu saja dingin, curah hujan periode ini meningkat pesat, warga kota ini tidak terlalu asing dengan hawa dingin, dan perlahan aku juga menyesuaikan semua ini. Mencoba memahami ini dengan hati, mengolah rasa dengan balutan keyakinan yang terus memudar. Aku, masih berharap, masih memeluk semua ini dengan keyakinan. Keyakinan yang bahkan mungkin mulai tergerus, memudar atau mungkin ada juga peluang akan hilang.

Malam itu, kembali pertemuan itu terulang kembali. Pada bagian ini, suasana sederhana itu menjadi sangat berarti bagiku. Tak ada hiasan lilin dan menu mewah di atas meja, hanya ada satu lembar papan panjang, kursi plastik dan teh tawar. Menu sederhana, dan ku beritahu satu hal, bahwa untuk merasakan indahnya romansa berbalut bahagia itu begitu sederhana.

“Jadi, selama tiga hari ini kita tidak akan bertutur sapa. Tak ada sms, telepon, chatting atau apa pun.” kataku, berikan senyum terbaik malam ini.

“Baiklah,” jawabnya singat, seraya mengangguk, membalas senyuman.

“Lantas, apa hukumannya jika salah satu dari kita melanggar kesepakatan itu?” tanyaku lagi.

“Hmm… Mungkin sebatang cokelat akan menjadi harga yang pantas untuk itu. Bagaimana?” tanyanya.

“Baiklah, tak masalah.” aku menyepakati itu, tanpa berpikir panjang.

Jangan dilihat dari sebatang cokelatnya, aku hanya ingin bertemu lagi. Sesederhana itu semuanya bisa membuat suasana menjadi riang gembira, akan ada tawa yang terlukis di wajah itu, dua orang yang masih akan tertawa dalam kesederhanaan.


Sore itu, hanya beberapa jam saja, tak lebih dari dua jam pertemuan itu, tapi begitu bermakna. Terlukis bahagia dengan balutan kesederhanaan, tanpa kemewahan. Tapi coba kau perhatikan lalu kemudian rasakan, bahwa ada tawa terlukis di dua wajah malam itu, mungkin akan banyak lagi tawa yang akan tercipta setelahnya, atau tak menutup kemungkinan akan ada derai air mata yang akan terlukis di dua wajah bahagia itu. Semuanya, masih akan menjadi bagian dari rencana-Nya, masih akan ada pertanyaan yang akan dijawab dengan pertanyaan.
Read More




Senin, 26 Januari 2015

Cerita Tentang Dia ‘Ku’

#Menggurat Kisah Diantara Pelukan Hujan



Sore itu, setelah kumandang adzan magrib membahana kota ini, ketika senja hanya menyisakan bias yang tak terlihat di ufuk barat, sementara itu barisan rintik hujan sekali lagi menyapa. Menaburkan tetesan air dari langit, menguat aroma tanah basah, membasuh bumi dengan jutaan berkah, aku kembali melanjutkan kisah tentang hujan.

Terlihat dari kejauhan, dia menunggu di depan tempat makanan cepat saji. Menggunakan setelan pakaian yang baru ku lihat, tampak serasi dengan apa yang dikenakan. Sementara aku, masih dengan gayaku, kemeja planel dan jeans belel, miris, hanya ini pakaian terbaikku. Menyapa ketika menyibak hujan yang masih setia membasahi malam yang terus merangkak.

Janji makan malam, sederhana. Malam ini tentu saja sama seperti kemarin bagi sebagian banyak orang, hujan masih saja menyapa kota ini, tak pernah berhenti sepanjang hari. Hawa dingin masih menjadi sahabat setia. Orang-orang terlalu akrab dengan suasana dingin dan basah kota ini, janji sederhana itu menjadi kepingan cerita yang luar biasa bagi seseorang. Lelaki itu, masih menggurat harapan dan angan yang sempat memudar, mencoba menggoreskan tinta di atas cakrawala, masih percaya akan satu kesempatan kecil dalam hidupnya, menemukan pelukis langit-nya.

Sementara ia melangkah menembus malam dan menyibak hujan, langkahnya mantap memecah keheningan, ada sebongkah harapan yang tersisa, tak sepenuhnya sirna karena kejadian beberapa waktu lalu.

Bagian ini, akan tampak biasa bagi sebagian orang, karena tentu saja semua orang pernah mengalaminya, dan akan menjadi klise jika kemudian dituangkan ke dalam kertas dan cerita seperti ini, tapi bagiku, setiap kisah tidak akan pernah usang, akan ada bagian menarik yang bisa ditelisik. Apa lagi jika bukan tentang harapan-harapan itu? Ya, harapan tentang mengecap sebuah indahnya rasa yang terus tergerus, mencoba menjalani semua fase kritis, menelan semuanya. Ini tetap menjadi sebuah kisah indah baginya, bagi sebagian orang, dan mungkin saja aku ambil bagian dalam cerita ini.

“Aku di seberang jalan,” sebuah pesan singkat masuk.

Aku melangkah pelan, menyapu pandangan. Masih tak terlihat, sekali lagi langkah ini memutari tempat ini. Sebagian orang berteduh di bawah pohon rindang, menanti angkutan umum. Sesaat mataku menangkap wanita bediri di depan gerai makanan cepat saji.

Mataku masih berusaha mengenali, meski hanya berjarak kurang dari 50 meter, tapi dengan pencahayaan terbatas dan hujan seperti ini, sulit bagiku untuk mengenali siapa pun.

Hujan, bikin bete,” ujarnya singkat. Aku berusaha tersenyum. Masih mencoba memilih kata pembuka untuk menyapa. Ini saat krusial, karena salah saja menentukan kalimat tanya, semuanya akan berakhir dengan tanda tanya.

Sayup-sayup terdengar suara musik di café sebelah, tampak band lokal sedang perform di pelataran teras. Hujan tak menyurutkan semangat sekumpulan pemuda itu membawakan lagu miliki Hoobastank, The Reason.

Entah, sepertinya semuanya menjadi resonansi, terhubung. Antara hujan, momen ini dan tentu saja lagu itu menambah suasana menjadi tak terduga, pas sekali dengan keadaan ini, ini bukan sebuah kebetulan.

..I'm not a perfect person
There's many things I wish I didn't do
But I continue learning
I never meant to do those things to you
And so I have to say before I go
That I just want you to know

I've found a reason for me
To change who I used to be
A reason to start over new
and the reason is you …

Tak perlu ku ungkapkan semuanya, sepertinya lagu itu sudah menjawab semuanya, mengantarkan kata pembuka untukku memulai percakapan. Masih  ku tatap wajahnya, kembali mengguratkan harapan di langit yang pekat, sesekali mencuri pandang kepadanya, terpana sesaat, kemudian mematrinya dalam ingatan. Dari tatapan mata hingga intuisi yang diciptakan oleh suasana hujan ketika petang menjelang.

“Jadi, mau makan apa?” tanyaku memecah keheningan.

“Terserah,” jawabnya singkat.

Aku tak terlalu pandai menjawab hal itu, meskipun itu bukan pertanyaan, tapi jelas dia butuh penjelasan. Akan ke mana dan bagaimana kelanjutan rencana ini. Sepersekian detik ku pacu otakku, menelusuri tiap sudut kota, hujan menyempitkan pilihan. Aku masih mencoba mengais jawaban itu. Mungkin otakku terlalu lelah untuk mencari jawaban sederhana itu, karena sepanjang hari ini telah terkuras.

“Mau jenis makanan seperti apa?” tanyaku.

Pengen sate,” sebuah jawaban ku dapat. Klik, otakku langsung mengunci koordinat tempat di mana akan ku tuju.

“Ada tempat makan favoritku, mau kita kesana?” tanyaku lagi. Jelas naluri bertanyaku tak hilang, bahkan aku menjadi seperti seorang wartawan yang memburu berita dari narasumbernya.

Dia tak suka ditanya, ku tahu itu pasti. Aku hanya memastikan pilihan itu tak salah.

“Terserah.” jawabnya singkat.

“Baiklah, sekarang kita berangkat?” tanyaku lagi. Dan lagi-lagi aku bertanya, matanya menatapku tajam, telat meralat, dia terlanjur tak suka ditanya.

Ada rumus yang mengatakan bahwa wanita tentu tak suka ditanya, tapi jelas mereka sangat ingin ditanya. Dan sialnya, aku bukan termasuk orang yang pandai menjawab pertanyaan ‘terserah’.

“Tapi masih hujan, tak apa?” tanyaku lagi, bodoh. Ia mendengus pelan. Aku terdiam. Sekali lagi, kebodohanku bertambah lima persen.

Ia hanya mengangguk, memberikan kunci scooter maticnya, tak berapa lama kami berjalan menembus malam, di bawah siraman gerimis yang ku paksa menjadi romantis. Kebodohanku bertambah lima persen, setelah baru beberapa meter berjalan gerimis semakin deras membasuh tubuh ini, tanpa jas hujan dan terjebak di perempatan jalan, masih ada satu menit lebih lampu merah itu menyala. Otakku kembali berputar, mencari cara mencairkan suasana yang sebenarnya romantis, tapi jika basah kuyup bukan romantis yang tercipta, tapi derita.

Dia menolak berhenti, memintaku melanjutkan perjalanan. Sial, kebodohanku bertambah lima persen, total baru saja 10 menit, kebodohanku telah meningkat pesat sebanyak 15 persen. Tempat makan itu tak ada di sana, dalam hati menyumpahi keadaan. Ini menjadi kontradiksi, sebuah pertanyaan kembali tertera di hati, jelas aku lupa di mana letak tempat makan itu, salah mengambil belokan jalan, dan itu menjadi petaka ketika rencana pertama gagal.

“Sepertinya si tukang sate ambil cuti,” kataku pelan. “Ada pilihan lain?” tanyaku lagi.

“Terserah, yang jelas aku lapar.” ku lihat ia nyengir dari kaca spion. Sepertinya gurauanku berhasil membuatnya tertawa, lagi.

Baiklah, kali ini kebodohanku kalah cepat dengan mengambil alih, ku putuskan untuk menepi, sebuah kedai yang tampak sepi, mungkin hujan membuat sebagian orang malas berjalan keluar.

Setelah berdiskusi, menentukan menu makan dan minum, makan malam berjalan seperti seharusnya. Tak ada yang spesial, hanya saja, aku semakin terlihat bodoh ketika minuman pesananku tak tersentuh, jeruk hangat itu memiliki rasa yang jelas tak bersahabat denganku. Dalam hati merutuk, semanis apa pun minuman itu, tentu masih aka nada rasa masam di dalamnya, dan lambungku sudah tak kuat dengan rasa tajam, lambung perantau yang hanya makan tepat waktu selama lima hari, 25 hari berikutnya Senin makan, Selasa puasa, Rabu ngutang, Kamis dibayar, Jumat ngutang lagi, Sabtu dan Minggu menunggu santunan dari rekan-rekan. Miris.

Makan malam selesai, tapi hujan belum usai. Masih ada rintik-rintik di sana, sudah terlalu larut. Ku putuskan untuk kembali.

Makan malam biasa, dengan banyak kebodohan tercipta. Tak berhasil menciptakan suasana yang berkesan, hanya beberapa bagian saja mungkin yang akan dikenangnya, tapi tidak bagiku, kebodohan itu ibarat menjadi berkah untukku. Karena kebodohan itu, aku bisa kembali mengajaknya berdansa dengan hujan dan hawa dingin, memecah keheningan malam kota ini, kota yang selalu romantis dengan hawa dingin, kota yang akan selalu menciptakan kenangan indah, untuk siapa pun.

Sementara itu, ketika malam merayap pelan, memecah keheningan, pertemuan itu ditutup dengan kisah favorit, kisah tentang jagung bakar dan sebotol minuman yang lupa dibayar. Menambah kekonyolan ini, kekonyolan itu menjadi bagian dari kisah romantis yang akan dianggap biasa saja bagi semua orang, tapi tidak bagiku. Ini akan selalu menjadi fase indah di sisa waktuku di kota ini, kota yang perlahan mungkin akan segera ku tinggalkan, dan sebelum itu benar-benar terjadi, aku akan melukis langit dengan rintik hujan dan dengan jemari yang menggenggam hujan, melukiskannya pada bagian kisah yang akan terus terbaca ketika hujan menyapa.


Malam semakin pekat, hawa dingin semakin menusuk. Baru saja ku tuliskan seuntai doa, berlirik mantra untuk mengantarkannya dalam mimpi yang lelap, akan selalu ada harapan, bahkan untuk sesuatu yang belum pasti. Tak perlu ragu, karena jelas ini akan terjadi seperti yang seharusnya, tentang dia ‘ku’ dan tentang pelukis langitku.


Read More




Selasa, 06 Januari 2015

Pijar

#Lebih dari Ucapan Terima Kasih dan Harapan Tentang Cerita Hujan



Dia masih menunggu kalimat selanjutnya. Sementara aku, masih menikmati momen itu. Sudah ku katakan, aku selalu suka mentap wajah itu, wajah penasaran dan antusias, wajah ceria tanpa beban, dan wajah itu, mungkin perlu waktu lama untukku bisa kembali menemukan yang seperti itu.

Temaram cahaya rembulan perlahan menyingkap malam, membuka mendung yang menggulung sejak siang tadi. Alunan musik terdengar merdu, aku tertawa sesaat ketika sebuah lagu diputarkan di café ini, lamat-lamat terdengar perlahan, aku tahu lagu ini, ini lagu yang kita suka.

…If you'd accept surrender
I'll give up some more
Weren't you adored
I cannot be without you
Matter of fact
Ooo...
I'm on your back

If you walk out on me
I'm walking after you

Another heart cracked
In two
I'm on your back...

Mengalun merdu, aku tersenyum menatapnya. Lagu milik Foo Fighter, Walking After You itu masih mengalun perlanan, memecah keheningan, menyibak kenangan, mengeja kata demi kata waktu itu.

“Masih ingat?” tanyaku.

Ia mengangguk, tersenyum, manis. Aku suka. Mungkin aku tidak akan pernah mampu membencinya, karena sungguh, tak ada yang bisa membuatku benci terhadapnya, meski jelas aku tahu dia melakukan apa, sesuatu yang membuatku melangkah lebih lambat dari biasanya.

“Ayo, lagi. Aku masih mau dengar kata-katanya,” rengeknya manja.

Dia masih belum berubah. Masih suka mengintimidasi dengan cara seperti itu, cara yang membuatku tak bisa berbuat apa-apa, selain menuruti kehendaknya.

“Hey, kau tahu. Bahkan ketika cahaya temaran rembulan itu tak ada, kau bisa terangkan suasana, membuatnya cerah, kau tahu kenapa?” tanyaku. Ia menggeleng, sepertinya ia masih mencerna kata-kataku tadi.

“Karena, kau lebih dari cukup membuat jagat raya bercahaya. Tak perlu pijar lain, karena kau bisa menjadi pijar di antara gelap dan sepi. Mungkin, itu tidak akan bisa di artikan secara harfiah, karena gelap tetaplah gelap, dia akan terus seperti itu jika tanpa cahaya. Tapi kau tahu, bahwa satu pijar dari lentera itu bisa membuat seseorang menemukan jalan setelah tersesat? Kau seperti itu, bagiku.” jelasku.

Ia masih tak mengerti, tapi dari guratan wajahnya, ia suka, tersipu bahagia.

“Kamu, orang yang paling mengerti aku. Kamu orang yang selalu enggan marah meski jelas ku buat dirimu terluka. Oh iya, satu lagi, kamu adalah orang yang paling romantis yang pernah ku kenal,” akhirnya dia berbicara agak panjang dari sebelumnya.

“Entah, mungkin aku akan selalu menginginkan kamu terus menuliskan sebuah cerita, aku akan selalu menunggu itu, walapun nanti, kita tak akan pernah bersama lagi, dalam kisah itu.” jelasnya.

Aku hanya mengangguk, tak apa-apa, aku lebih dari suka bisa menuliskan semua ini untukmu, ucapku dalam hati. Tak bisa dipungkiri, bahwa fakta itu menjelaskan begitu gamblang, tentang semuanya, membuat yang semula semu, menjadi jelas terlihat, menyala, perlahan-lahan semuanya menjadi terbuka, tak perlu investigasi. Ini akan berjalan seperti seharusnya, akan menjadi bagian perjalanan hidup, cerita cinta, asmara, harapan, nostalgia, nestapa, ya apapun namanya, ini akan selalu menarik.
….

“Akan ku ceritakan sesuatu, tentang seseorang. Coba kau simak dengan baik. Aku, tak pernah paham, kenapa aku dan dia dipertemukan. Tapi satu hal, mungkin dengan semua keadaan ini, aku akan berterimakasih dengan semuanya, dengannya,” aku membuka percakapan.

Dia menyimak dengan seksama, sepertinya terkejut. Ya, wajar jika dia terkejut, karena biasanya dia yang selalu mengawali cerita, dia selalu bercerita, tentang apapun, dan kali ini aku memulai semuanya.

Ku benarkan letak kacamataku, tak ada yang salah. Tapi jelas, ini pertama kalinya buatku mengatakan seperti ini. Canggung. Dia antusias, menunggu.

“Aku selalu takut, dengan gelap, sendiri, sepi. Sekarang aku merasakannya, dia benar-benar membuat semuanya berbeda. Dia selalu ada, pagi, siang, sore, bahkan ketika matahari tenggelam, ketika waktu menunjukkan tengah malam, dia selalu ada. Kalaupun tidak ada, aku akan meminta dia untuk ada dan muncul. Dan kau tahu, dia selalu  berkenan ada,” kataku kemudian.

Masih mencoba menggurat kata, menyusunnya agar tak terlalu berantakan, jelas, aku tidak terbiasa mengatakan ini, tak terbiasa menuliskan cerita, berbeda dengannya. Dia masih menungguku melanjutkan kalimat, masih antusias seperti pertama ku utarakan maksudku tadi. Aku mencoba menguatkan hati, mencoba melanjutkan kata-kata yang sepertinya mulai tersendat.

Ku lanjutkan lagi:”Kau tahu, aku sempat berpikir dia itu hantu,” ia mendongak, menatapku. Tersenyum simpul.

“Hahaha, kalaupun dia hantu, mungkin aku tidak akan pernah takut, walaupun jelas ku katakan, aku selalu takut, bahkan hanya dengan gelap dan sepi. Sendiri. Dia selalu baik terhadapku, meskipun aku tak tahu apakah dia juga baik dengan orang lain,” sambungku.

Ia menatapku, tercengang. Ia jelas tahu apa yang dibicarakan, tapi dia tertahan enggan memotong pembicaraanku, karena mungkin dia tahu, aku selalu tak suka jika perkataanku dipotong. Tapi untuk kali ini, aku berharap dia memotong perkataanku, tapi ternyata tidak. Dia memilih menungguku, menanti dengan seksama.

“Terima kasih untuk kesediaannya menjadi teman atau bahkan sahabat. Sebenarnya, hanya itu yang ingin ku beritahu, mungkin kita tidak akan pernah tahu seperti apa akhirnya nanti. Tapi, sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan, biarkan semuanya terjadi begitu saja. Kita punya doa yang sama, berharap dengan kebahagiaan masing-masing, dan ku kira semua orang pun memiliki doa yang sama, berbahagia dengan jalannya masing-masing,” kataku, mencoba mengakhiri percakapan.

Tapi kemudian ku lanjutkan, karena tak ada tanda-tanda dia akan mengambil alih percakapan.

“Terima kasih, hey kamu. Iya kamu, untuk pagi yang cerah, malam yang ceria, dan mantera-mantera pengantar tidur. Aku suka itu. Nanti, kau bisa sampaikan ke orang itu, dia, si pembuat cerita, kau mengenalnya?” tanyaku kepadanya yang masih memperhatikanku.
Dia hanya tersenyum, tanpa sepatah kata sekalipun. Dan aku, sekali lagi hanya bisa menahan napas. Kesal, mungkin. Tapi aku cukup senang, akhirnya bisa mengatakan itu.

….
Matahari perlahan-lahan mulai naik ke atas, menampakkan kegarangannya hari ini. Ada setitik kehangatan ketika pagi menjalar berputar separuh waktu hari ini. Aku masih berusaha membuat suasana hatiku kembali seperti sedia kala, beberapa hari ini jelas tak tahu penyebabnya, aku sulit sekali mendapatkan suasana ceria seperti biasanya. Terima kasih untuknya, terima kasih untuk semuanya, untuk harapan dan cerita di saat senja menyapa, menceritakan kisah tentang rintik hujan.


Aku hanya butuh setitik pijar di saat malam yang gelap, hanya butuh menjaganya tetap menyala, bahkan ketika badai menghantam, memporak-porandakan semuanya, dan untuk saat ini, aku hanya akan menjaga itu tetap menyala. Percayalah, lebih dari ucapan terima kasih semua itu, itu lebih dari sekedar sapa di saat pagi menjelang, atau tentang harapan cerita-cerita tentang kita, untukmu, untuknya, dua harapan yang akan selalu berpijar terang.
Read More




Jumat, 02 Januari 2015

Gurat Tawa Dikala Senja Menyapa

#Kemarin



“Buatkan aku sebuah kata-kata. Aku ingin mendengarkannya.” ia meminta, matanya menatap ke depan, mengunci pandanganku. Sayu, ada kerinduan di sana, tapi jelas tak ada keberanian untuk mengatakannya. Aku cukup jelas bisa melihatnya, bertahun-tahun aku mempelajari tatapan mata itu. Ini tidak mungkin salah.

Aku tersenyum, kemudian menatapnya. Halus.

Ada sebuah relung jiwa yang menganga, teriris pelan, menyayat, tapi tak ada rasa sakit di sana. Hanya ada sebuah rasa yang kemudian memudar, tak jelas. Aku tak tahu ini pertanda apa, apakah ini adalah permintaan terakhirnya? Entahlah, aku enggan memikirkannya terlalu dalam. Toh ini akan terjadi juga. Cepat atau lambat, kata-kata itu akan terucap.

“Apa yang ingin kau dengarkan dariku? Bukankah terlalu sering aku bercerita kepadamu? Tidak bosankah kau selalu dengar apa yang ku katakan, bahkan aku terlalu banyak bicara akhir-akhir ini, bukankah begitu?” tanyaku.

Ia menggeleng. Sejurus matanya kembali mengunci pandanganku. Aku tertegun, bening matanya gambarkan wajahku di sana. Mata itu seolah memohon kepadaku.

Aku tersenyum, menatapnya, mencoba memberikan tatapan terbaik yang ku miliki, ini mungkin akan menjadi tatapan terakhirku untuknya, tatapan paling romantis yang pernah ku berikan untuknya. Mungkin.

“Baiklah jika kau memaksa, aku bisa apa? Kau selalu bisa memaksaku, dengan cara apapun. Bahkan, tanpa kau berkata, kau bisa mengintimidasiku begitu kuat,” aku menghela napas. Masih belum terpikirkan apa yang harus ku ucapkan.

Ia menunggu dengan tatapan antusias. Sial, bahkan konsentrasiku telah buyar demi melihat itu semua. Ini sudah dua tahun berlalu, dan aku masih belum bisa melepaskan tatapan mata itu. Sekali lagi, dia mengintimidasiku dengan caranya sendiri.

Aku mengambil napas, berat. Mengumpulkan semua memoriku tentang waktu itu, mencoba merangkai mozaik yang telah terberai, mencoba mengumpulkan kepingan puzzle yang berserakan, pikiranku kembali merangkainya menjadi sebuah kisah, tentang kita.
….

Malam di kota ini semakin dingin, padahal baru saja ku tinggalkan sejenak. Beberapa hari lamanya kakiku beranjak menjauhi semua ini, mencoba merajut kisah di tempat yang berbeda, Jakarta. Untuk beberapa kalinya ku injakkan kakiku di kota itu, kacaunya pikiranku kembali menyatu dengan kondisi semrawutnya ibu kota. Nyaring klakson meraung panjang, memekakan telinga, teriakan kondektur metro mini, pedagang asongan, senandung penyanyi jalanan, tak kalah ingin berpentas, sesekali pengemis itu menunjukkan aksinya, menegadahkan kedua tangan dengan tatapan kosong, berharap. Ah, bahkan di mata mereka masih ada harapan, bahkan mereka masih berharap kepada seseorang yang tidak dikenalnya, sementara aku tidak.  Tak ada harapan di mataku, terlebih di dalam hati. Kosong. Ironis.

Dan di sinilah aku sekarang berada, bersama hawa dingin dan rasa rindu tentang sesuatu yang tak ku ketahui wujudnya. Kembali aku tenggelam di dalam samudera bahasa, kembali menuliskan kata-kata ini, memadukan berbagai kosa kata, ini hari yang sibuk. Aku benar-benar lelah, hingga tak terasa mataku terpejam sesaat, hingga kumandang adzan magrib bangunkanku dari mimpi indah sejenak. Aku kembali terjaga, dan ketika aku belum siap, hawa dingin itu kembali memelukku, memutar memori itu.
“Semilir angin membawa kita kepada suasana ini, suasana yang tidak kita mengerti. Bercengkrama dengan cara kita masing-masing. Mencoba memahami hati, kembali merasakan apa yang pernah hilang,” sengaja ku potong kalimatku, lamat-lamat ku tatap wajahnya. Ia masih menunggu kalimatku berikutnya.

Dia masih menunggu kalimat berikutnya. Aku melihatnya, sungguh. Pelan-pelan ku goreskan tinta itu di ingatanku, mengguratkan gambar terakhir dari wajahnya. Mungkin aku tidak akan melihatnya lagi, mungkin. Tidak ada yang tahu.

“Hujan, berapa kali ku tuliskan kisah tentang hujan? Tak terhingga bukan? Bukan, itu bukan cerita tentang hujan, itu cerita tentangmu, tentangku. Tentang kita. Kau pernah melihat indahnya sunset di tepi pantai, indah bukan? Ku beritahu kau satu hal, kehadiranmu selalu dinantikan meski hanya sesaat, seperti itulah kau di mataku, selalu dinanti meski hanya sesaat. Kau tahu, aku bisa melangkah ratusan kilo meter, menjalani setapak demi setapak perjalanan yang entah sampai kapan berujung, dan kemudian pada suatu waktu sebelum malam menjelang, aku akan berhenti sejenak. Menatap berjam-jam mentari yang merona itu, dan begitulah kau di mataku, selalu indah meski hanya sesaat ku menatap,” kataku. Wajahnya merona, merah. Ia suka, aku bahagia.

Matanya semakin antusias, tak sabar menunggu kalimat berikutnya. Aku ingin menatapnya lebih lama lagi, ketika binar mata itu seperti berbicara, “Aku masih akan menunggu itu,”

“Kau lihat, bahkan sejenak ketika gelap itu hendak menelan mentari yang merona itu, kau tetap indah dengan kisah itu. Malam datang, menyapa hari yang akan berganti, gelap. Ini kisah lain dari pesonamu, bahkan ketika malam tak ada cahaya di atas sana, kau tetap indah dengan kisahmu. Gelap itu menggurat kenangan ketika sepi mulai merasuki hati, tapi kau tahu? Itu adalah bagian dari kisahmu, kisah yang bahkan akan selalu bisa membuatku tertawa bahagia,” aku tersenyum. Kembali senyumnya simpul tersungging di wajah itu, merona, sekali lagi. Dia tertawa, aku menyukainya.

Angin kembali membelai mesra, kata-kataku tercekat, sesaat aku sadar, ini adalah guratan kata yang mungkin akan kembali berserakan, akan kembali terberai, pecah, bahkan aku tak yakin akan kembali menyatu, itu hanya bagian yang akan terlupakan bukan? Ya, itu hanya akan menjadi kisah klise, antiklimaks.
…..

Pada bagian lain kisah ini, aku kembali merangkai asa yang entah telah terburai ke mana, ini akan menjadi sebuah kontradiksi. Ini akan menjadi impulsif, dramatis, melankolis, romantis sesekali, getir di dalamnya, sedikit cerita yang menggurat hati akan menambah suasana semakin menarik bukan, bahkan kalian akan segera menyukai kabar duka, menurutku, kabar buruk adalah kabar baik, setidaknya itulah yang ku tangkap dari semua fenomena yang di angkat media.

Hujan memang tidak menyapa hari ini, tapi jelas kabut menutup sebagian kota yang entah telah menggeliat sejak pukul berapa. Hingga siang menjelang, bahkan matahari enggan menampakkan kegarangannya hari ini, semakin dingin. Karena mendung menggantung di cakrawala, menggulung sebagian kisah kelam dan derita sebagian orang, bencana semakin menggeliat, alam menunjukkan keparkasaannya, banjir, longsor, bahkan hingga kecelakaan salah satu maskapai penerbangan menjadi sebuah informasi yang sangat nikmat untuk disantap.

Miris, negeri ini semakin gembira menonton pertunjukan itu, media berbondong-bondong mengangkat berita duka, menjadikan itu sebagai komoditi untuk mengeruk rupiah. Headline news, di mana-mana menayangkan berita yang sama, tak terhingga dalam hitungan detik berita itu mendapat ribuan klik dari para pembaca yang mengakses melalui website, mendapat rating tertinggi dari pemirsa layar kaca. Ada apa dengan negeri ini, atau lebih tepatnya, ada apa dengan kita, denganku, denganmu? Aku masih tak mengerti, mungkin akan lebih baik jika kita tidak mengerti itu.
…..


Aku, kamu. Hujan, senja, malam, mentari pagi selalu menggambarkan suasana tentang waktu itu. Ini akan menjadi bagian yang tidak akan terlupakan. Sementara itu, penggenggam hujan kembali bersendung riang, di antara rintik hujan dikala senja menyapa, malam menjadi kisah yang terus bercerita tentang semuanya, semilir angin akan selalu membisikkan untaian kata berirama mendayu. Aku, kamu, dia, mereka, menjadi sebuah rentetan cerita yang tak akan terputus, hanya waktu, satu-satunya yang pasti, selebihnya tidak ada.
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML