Senin, 26 Januari 2015

Cerita Tentang Dia ‘Ku’

#Menggurat Kisah Diantara Pelukan Hujan



Sore itu, setelah kumandang adzan magrib membahana kota ini, ketika senja hanya menyisakan bias yang tak terlihat di ufuk barat, sementara itu barisan rintik hujan sekali lagi menyapa. Menaburkan tetesan air dari langit, menguat aroma tanah basah, membasuh bumi dengan jutaan berkah, aku kembali melanjutkan kisah tentang hujan.

Terlihat dari kejauhan, dia menunggu di depan tempat makanan cepat saji. Menggunakan setelan pakaian yang baru ku lihat, tampak serasi dengan apa yang dikenakan. Sementara aku, masih dengan gayaku, kemeja planel dan jeans belel, miris, hanya ini pakaian terbaikku. Menyapa ketika menyibak hujan yang masih setia membasahi malam yang terus merangkak.

Janji makan malam, sederhana. Malam ini tentu saja sama seperti kemarin bagi sebagian banyak orang, hujan masih saja menyapa kota ini, tak pernah berhenti sepanjang hari. Hawa dingin masih menjadi sahabat setia. Orang-orang terlalu akrab dengan suasana dingin dan basah kota ini, janji sederhana itu menjadi kepingan cerita yang luar biasa bagi seseorang. Lelaki itu, masih menggurat harapan dan angan yang sempat memudar, mencoba menggoreskan tinta di atas cakrawala, masih percaya akan satu kesempatan kecil dalam hidupnya, menemukan pelukis langit-nya.

Sementara ia melangkah menembus malam dan menyibak hujan, langkahnya mantap memecah keheningan, ada sebongkah harapan yang tersisa, tak sepenuhnya sirna karena kejadian beberapa waktu lalu.

Bagian ini, akan tampak biasa bagi sebagian orang, karena tentu saja semua orang pernah mengalaminya, dan akan menjadi klise jika kemudian dituangkan ke dalam kertas dan cerita seperti ini, tapi bagiku, setiap kisah tidak akan pernah usang, akan ada bagian menarik yang bisa ditelisik. Apa lagi jika bukan tentang harapan-harapan itu? Ya, harapan tentang mengecap sebuah indahnya rasa yang terus tergerus, mencoba menjalani semua fase kritis, menelan semuanya. Ini tetap menjadi sebuah kisah indah baginya, bagi sebagian orang, dan mungkin saja aku ambil bagian dalam cerita ini.

“Aku di seberang jalan,” sebuah pesan singkat masuk.

Aku melangkah pelan, menyapu pandangan. Masih tak terlihat, sekali lagi langkah ini memutari tempat ini. Sebagian orang berteduh di bawah pohon rindang, menanti angkutan umum. Sesaat mataku menangkap wanita bediri di depan gerai makanan cepat saji.

Mataku masih berusaha mengenali, meski hanya berjarak kurang dari 50 meter, tapi dengan pencahayaan terbatas dan hujan seperti ini, sulit bagiku untuk mengenali siapa pun.

Hujan, bikin bete,” ujarnya singkat. Aku berusaha tersenyum. Masih mencoba memilih kata pembuka untuk menyapa. Ini saat krusial, karena salah saja menentukan kalimat tanya, semuanya akan berakhir dengan tanda tanya.

Sayup-sayup terdengar suara musik di café sebelah, tampak band lokal sedang perform di pelataran teras. Hujan tak menyurutkan semangat sekumpulan pemuda itu membawakan lagu miliki Hoobastank, The Reason.

Entah, sepertinya semuanya menjadi resonansi, terhubung. Antara hujan, momen ini dan tentu saja lagu itu menambah suasana menjadi tak terduga, pas sekali dengan keadaan ini, ini bukan sebuah kebetulan.

..I'm not a perfect person
There's many things I wish I didn't do
But I continue learning
I never meant to do those things to you
And so I have to say before I go
That I just want you to know

I've found a reason for me
To change who I used to be
A reason to start over new
and the reason is you …

Tak perlu ku ungkapkan semuanya, sepertinya lagu itu sudah menjawab semuanya, mengantarkan kata pembuka untukku memulai percakapan. Masih  ku tatap wajahnya, kembali mengguratkan harapan di langit yang pekat, sesekali mencuri pandang kepadanya, terpana sesaat, kemudian mematrinya dalam ingatan. Dari tatapan mata hingga intuisi yang diciptakan oleh suasana hujan ketika petang menjelang.

“Jadi, mau makan apa?” tanyaku memecah keheningan.

“Terserah,” jawabnya singkat.

Aku tak terlalu pandai menjawab hal itu, meskipun itu bukan pertanyaan, tapi jelas dia butuh penjelasan. Akan ke mana dan bagaimana kelanjutan rencana ini. Sepersekian detik ku pacu otakku, menelusuri tiap sudut kota, hujan menyempitkan pilihan. Aku masih mencoba mengais jawaban itu. Mungkin otakku terlalu lelah untuk mencari jawaban sederhana itu, karena sepanjang hari ini telah terkuras.

“Mau jenis makanan seperti apa?” tanyaku.

Pengen sate,” sebuah jawaban ku dapat. Klik, otakku langsung mengunci koordinat tempat di mana akan ku tuju.

“Ada tempat makan favoritku, mau kita kesana?” tanyaku lagi. Jelas naluri bertanyaku tak hilang, bahkan aku menjadi seperti seorang wartawan yang memburu berita dari narasumbernya.

Dia tak suka ditanya, ku tahu itu pasti. Aku hanya memastikan pilihan itu tak salah.

“Terserah.” jawabnya singkat.

“Baiklah, sekarang kita berangkat?” tanyaku lagi. Dan lagi-lagi aku bertanya, matanya menatapku tajam, telat meralat, dia terlanjur tak suka ditanya.

Ada rumus yang mengatakan bahwa wanita tentu tak suka ditanya, tapi jelas mereka sangat ingin ditanya. Dan sialnya, aku bukan termasuk orang yang pandai menjawab pertanyaan ‘terserah’.

“Tapi masih hujan, tak apa?” tanyaku lagi, bodoh. Ia mendengus pelan. Aku terdiam. Sekali lagi, kebodohanku bertambah lima persen.

Ia hanya mengangguk, memberikan kunci scooter maticnya, tak berapa lama kami berjalan menembus malam, di bawah siraman gerimis yang ku paksa menjadi romantis. Kebodohanku bertambah lima persen, setelah baru beberapa meter berjalan gerimis semakin deras membasuh tubuh ini, tanpa jas hujan dan terjebak di perempatan jalan, masih ada satu menit lebih lampu merah itu menyala. Otakku kembali berputar, mencari cara mencairkan suasana yang sebenarnya romantis, tapi jika basah kuyup bukan romantis yang tercipta, tapi derita.

Dia menolak berhenti, memintaku melanjutkan perjalanan. Sial, kebodohanku bertambah lima persen, total baru saja 10 menit, kebodohanku telah meningkat pesat sebanyak 15 persen. Tempat makan itu tak ada di sana, dalam hati menyumpahi keadaan. Ini menjadi kontradiksi, sebuah pertanyaan kembali tertera di hati, jelas aku lupa di mana letak tempat makan itu, salah mengambil belokan jalan, dan itu menjadi petaka ketika rencana pertama gagal.

“Sepertinya si tukang sate ambil cuti,” kataku pelan. “Ada pilihan lain?” tanyaku lagi.

“Terserah, yang jelas aku lapar.” ku lihat ia nyengir dari kaca spion. Sepertinya gurauanku berhasil membuatnya tertawa, lagi.

Baiklah, kali ini kebodohanku kalah cepat dengan mengambil alih, ku putuskan untuk menepi, sebuah kedai yang tampak sepi, mungkin hujan membuat sebagian orang malas berjalan keluar.

Setelah berdiskusi, menentukan menu makan dan minum, makan malam berjalan seperti seharusnya. Tak ada yang spesial, hanya saja, aku semakin terlihat bodoh ketika minuman pesananku tak tersentuh, jeruk hangat itu memiliki rasa yang jelas tak bersahabat denganku. Dalam hati merutuk, semanis apa pun minuman itu, tentu masih aka nada rasa masam di dalamnya, dan lambungku sudah tak kuat dengan rasa tajam, lambung perantau yang hanya makan tepat waktu selama lima hari, 25 hari berikutnya Senin makan, Selasa puasa, Rabu ngutang, Kamis dibayar, Jumat ngutang lagi, Sabtu dan Minggu menunggu santunan dari rekan-rekan. Miris.

Makan malam selesai, tapi hujan belum usai. Masih ada rintik-rintik di sana, sudah terlalu larut. Ku putuskan untuk kembali.

Makan malam biasa, dengan banyak kebodohan tercipta. Tak berhasil menciptakan suasana yang berkesan, hanya beberapa bagian saja mungkin yang akan dikenangnya, tapi tidak bagiku, kebodohan itu ibarat menjadi berkah untukku. Karena kebodohan itu, aku bisa kembali mengajaknya berdansa dengan hujan dan hawa dingin, memecah keheningan malam kota ini, kota yang selalu romantis dengan hawa dingin, kota yang akan selalu menciptakan kenangan indah, untuk siapa pun.

Sementara itu, ketika malam merayap pelan, memecah keheningan, pertemuan itu ditutup dengan kisah favorit, kisah tentang jagung bakar dan sebotol minuman yang lupa dibayar. Menambah kekonyolan ini, kekonyolan itu menjadi bagian dari kisah romantis yang akan dianggap biasa saja bagi semua orang, tapi tidak bagiku. Ini akan selalu menjadi fase indah di sisa waktuku di kota ini, kota yang perlahan mungkin akan segera ku tinggalkan, dan sebelum itu benar-benar terjadi, aku akan melukis langit dengan rintik hujan dan dengan jemari yang menggenggam hujan, melukiskannya pada bagian kisah yang akan terus terbaca ketika hujan menyapa.


Malam semakin pekat, hawa dingin semakin menusuk. Baru saja ku tuliskan seuntai doa, berlirik mantra untuk mengantarkannya dalam mimpi yang lelap, akan selalu ada harapan, bahkan untuk sesuatu yang belum pasti. Tak perlu ragu, karena jelas ini akan terjadi seperti yang seharusnya, tentang dia ‘ku’ dan tentang pelukis langitku.





Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML