#Menggurat Kisah Diantara
Pelukan Hujan
Sore itu, setelah kumandang adzan magrib membahana kota ini,
ketika senja hanya menyisakan bias yang tak terlihat di ufuk barat, sementara
itu barisan rintik hujan sekali lagi menyapa. Menaburkan tetesan air dari
langit, menguat aroma tanah basah, membasuh bumi dengan jutaan berkah, aku
kembali melanjutkan kisah tentang hujan.
Terlihat dari kejauhan, dia menunggu di depan tempat makanan
cepat saji. Menggunakan setelan pakaian yang baru ku lihat, tampak serasi
dengan apa yang dikenakan. Sementara aku, masih dengan gayaku, kemeja planel
dan jeans belel, miris, hanya ini pakaian terbaikku. Menyapa ketika menyibak
hujan yang masih setia membasahi malam yang terus merangkak.
Janji makan malam, sederhana. Malam ini tentu saja sama
seperti kemarin bagi sebagian banyak orang, hujan masih saja menyapa kota ini,
tak pernah berhenti sepanjang hari. Hawa dingin masih menjadi sahabat setia. Orang-orang
terlalu akrab dengan suasana dingin dan basah kota ini, janji sederhana itu
menjadi kepingan cerita yang luar biasa bagi seseorang. Lelaki itu, masih
menggurat harapan dan angan yang sempat memudar, mencoba menggoreskan tinta di
atas cakrawala, masih percaya akan satu kesempatan kecil dalam hidupnya,
menemukan pelukis langit-nya.
Sementara ia melangkah menembus malam dan menyibak hujan,
langkahnya mantap memecah keheningan, ada sebongkah harapan yang tersisa, tak
sepenuhnya sirna karena kejadian beberapa waktu lalu.
Bagian ini, akan tampak biasa bagi sebagian orang, karena
tentu saja semua orang pernah mengalaminya, dan akan menjadi klise jika
kemudian dituangkan ke dalam kertas dan cerita seperti ini, tapi bagiku, setiap
kisah tidak akan pernah usang, akan ada bagian menarik yang bisa ditelisik. Apa
lagi jika bukan tentang harapan-harapan itu? Ya, harapan tentang mengecap
sebuah indahnya rasa yang terus tergerus, mencoba menjalani semua fase kritis,
menelan semuanya. Ini tetap menjadi sebuah kisah indah baginya, bagi sebagian
orang, dan mungkin saja aku ambil bagian dalam cerita ini.
“Aku di seberang jalan,” sebuah pesan singkat masuk.
Aku melangkah pelan, menyapu pandangan. Masih tak terlihat,
sekali lagi langkah ini memutari tempat ini. Sebagian orang berteduh di bawah
pohon rindang, menanti angkutan umum. Sesaat mataku menangkap wanita bediri di
depan gerai makanan cepat saji.
Mataku masih berusaha mengenali, meski hanya berjarak kurang
dari 50 meter, tapi dengan pencahayaan terbatas dan hujan seperti ini, sulit
bagiku untuk mengenali siapa pun.
“Hujan, bikin bete,”
ujarnya singkat. Aku berusaha tersenyum. Masih mencoba memilih kata pembuka
untuk menyapa. Ini saat krusial, karena salah saja menentukan kalimat tanya,
semuanya akan berakhir dengan tanda tanya.
Sayup-sayup terdengar suara musik di café sebelah, tampak
band lokal sedang perform di pelataran teras. Hujan tak menyurutkan semangat sekumpulan
pemuda itu membawakan lagu miliki Hoobastank, The Reason.
Entah, sepertinya semuanya menjadi resonansi, terhubung. Antara
hujan, momen ini dan tentu saja lagu itu menambah suasana menjadi tak terduga,
pas sekali dengan keadaan ini, ini bukan sebuah kebetulan.
..I'm not a perfect person
There's many things I wish I didn't do
There's many things I wish I didn't do
But I continue learning
I never meant to do
those things to you
And so I have to say
before I go
That I just want you to
know
I've found a reason for
me
To change who I used to
be
A reason to start over
new
and the reason is you …
Tak perlu ku ungkapkan semuanya, sepertinya lagu itu sudah
menjawab semuanya, mengantarkan kata pembuka untukku memulai percakapan. Masih ku tatap wajahnya, kembali mengguratkan
harapan di langit yang pekat, sesekali mencuri pandang kepadanya, terpana
sesaat, kemudian mematrinya dalam ingatan. Dari tatapan mata hingga intuisi
yang diciptakan oleh suasana hujan ketika petang menjelang.
“Jadi, mau makan apa?” tanyaku memecah keheningan.
“Terserah,” jawabnya singkat.
Aku tak terlalu pandai menjawab hal itu, meskipun itu bukan
pertanyaan, tapi jelas dia butuh penjelasan. Akan ke mana dan bagaimana
kelanjutan rencana ini. Sepersekian detik ku pacu otakku, menelusuri tiap sudut
kota, hujan menyempitkan pilihan. Aku masih mencoba mengais jawaban itu. Mungkin
otakku terlalu lelah untuk mencari jawaban sederhana itu, karena sepanjang hari
ini telah terkuras.
“Mau jenis makanan seperti apa?” tanyaku.
“Pengen sate,”
sebuah jawaban ku dapat. Klik, otakku langsung mengunci koordinat tempat di
mana akan ku tuju.
“Ada tempat makan favoritku, mau kita kesana?” tanyaku lagi.
Jelas naluri bertanyaku tak hilang, bahkan aku menjadi seperti seorang wartawan yang memburu berita dari narasumbernya.
Dia tak suka ditanya, ku tahu itu pasti. Aku hanya
memastikan pilihan itu tak salah.
“Terserah.” jawabnya singkat.
“Baiklah, sekarang kita berangkat?” tanyaku lagi. Dan lagi-lagi
aku bertanya, matanya menatapku tajam, telat meralat, dia terlanjur tak suka
ditanya.
Ada rumus yang mengatakan bahwa wanita tentu tak suka
ditanya, tapi jelas mereka sangat ingin ditanya. Dan sialnya, aku bukan
termasuk orang yang pandai menjawab pertanyaan ‘terserah’.
“Tapi masih hujan, tak apa?” tanyaku lagi, bodoh. Ia mendengus
pelan. Aku terdiam. Sekali lagi, kebodohanku bertambah lima persen.
Ia hanya mengangguk, memberikan kunci scooter maticnya, tak berapa lama kami berjalan menembus malam, di
bawah siraman gerimis yang ku paksa menjadi romantis. Kebodohanku bertambah
lima persen, setelah baru beberapa meter berjalan gerimis semakin deras
membasuh tubuh ini, tanpa jas hujan dan terjebak di perempatan jalan, masih ada
satu menit lebih lampu merah itu menyala. Otakku kembali berputar, mencari cara
mencairkan suasana yang sebenarnya romantis, tapi jika basah kuyup bukan romantis
yang tercipta, tapi derita.
Dia menolak berhenti, memintaku melanjutkan perjalanan. Sial,
kebodohanku bertambah lima persen, total baru saja 10 menit, kebodohanku telah
meningkat pesat sebanyak 15 persen. Tempat makan itu tak ada di sana, dalam
hati menyumpahi keadaan. Ini menjadi kontradiksi, sebuah pertanyaan kembali
tertera di hati, jelas aku lupa di mana letak tempat makan itu, salah mengambil
belokan jalan, dan itu menjadi petaka ketika rencana pertama gagal.
“Sepertinya si tukang sate ambil cuti,” kataku pelan. “Ada
pilihan lain?” tanyaku lagi.
“Terserah, yang jelas aku lapar.” ku lihat ia nyengir dari kaca spion. Sepertinya gurauanku
berhasil membuatnya tertawa, lagi.
Baiklah, kali ini kebodohanku kalah cepat dengan mengambil
alih, ku putuskan untuk menepi, sebuah kedai yang tampak sepi, mungkin hujan
membuat sebagian orang malas berjalan keluar.
Setelah berdiskusi, menentukan menu makan dan minum, makan
malam berjalan seperti seharusnya. Tak ada yang spesial, hanya saja, aku
semakin terlihat bodoh ketika minuman pesananku tak tersentuh, jeruk hangat itu
memiliki rasa yang jelas tak bersahabat denganku. Dalam hati merutuk, semanis
apa pun minuman itu, tentu masih aka nada rasa masam di dalamnya, dan lambungku
sudah tak kuat dengan rasa tajam, lambung perantau yang hanya makan tepat waktu
selama lima hari, 25 hari berikutnya Senin makan, Selasa puasa, Rabu ngutang, Kamis dibayar, Jumat ngutang lagi, Sabtu dan Minggu menunggu
santunan dari rekan-rekan. Miris.
Makan malam selesai, tapi hujan belum usai. Masih ada
rintik-rintik di sana, sudah terlalu larut. Ku putuskan untuk kembali.
Makan malam biasa, dengan banyak kebodohan tercipta. Tak berhasil
menciptakan suasana yang berkesan, hanya beberapa bagian saja mungkin yang akan
dikenangnya, tapi tidak bagiku, kebodohan itu ibarat menjadi berkah untukku. Karena
kebodohan itu, aku bisa kembali mengajaknya berdansa dengan hujan dan hawa
dingin, memecah keheningan malam kota ini, kota yang selalu romantis dengan
hawa dingin, kota yang akan selalu menciptakan kenangan indah, untuk siapa pun.
Sementara itu, ketika malam merayap pelan, memecah
keheningan, pertemuan itu ditutup dengan kisah favorit, kisah tentang jagung
bakar dan sebotol minuman yang lupa dibayar. Menambah kekonyolan ini,
kekonyolan itu menjadi bagian dari kisah romantis yang akan dianggap biasa saja
bagi semua orang, tapi tidak bagiku. Ini akan selalu menjadi fase indah di sisa
waktuku di kota ini, kota yang perlahan mungkin akan segera ku tinggalkan, dan
sebelum itu benar-benar terjadi, aku akan melukis langit dengan rintik hujan
dan dengan jemari yang menggenggam hujan, melukiskannya pada bagian kisah yang
akan terus terbaca ketika hujan menyapa.
Malam semakin pekat, hawa dingin semakin menusuk. Baru saja
ku tuliskan seuntai doa, berlirik mantra untuk mengantarkannya dalam mimpi yang
lelap, akan selalu ada harapan, bahkan untuk sesuatu yang belum pasti. Tak perlu
ragu, karena jelas ini akan terjadi seperti yang seharusnya, tentang dia ‘ku’
dan tentang pelukis langitku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar