Aku masih menatap
mentari yang sama, menjalani hari yang sama setiap minggunya, menghirup udara
yang sama, namun tentu saja ada yang berbeda. Dan akan selalu menjadi berbeda.
Jurnal itu tertutup,
bahkan ketika lembaran-lembaran di dalamnya masih begitu banyak yang masih
begitu polos, tanpa warna dan tinta yang tertera di dalam lembaran selanjutnya.
Lalu, ia memaksa untuk menggantinya, memaksa untuk segera menuliskan kata-kata
terakhir dan kata-kata penutup. Tanpa, daya, aku hanya bisa menutupnya.
Jurnal ini masih begitu
baru, ada sekitar seratus halaman, dan masih begitu polos. Masih belum tahu
akan memulainya dengan kata-kata apa, masih enggan untuk memulai menuliskannya.
Aku kembali merasakan yang namanya kebimbangan datang, menghampiri, lalu
menyapaku diantara gelap malam yang masih terus mengintimidasi, yang terus
menggangguku.
Sudut paling gelap itu,
beberapa waktu lalu masih ada seberkas cahaya lentera yang terdapat dari sana,
menerobos ke celah-celah yang lebih sempit, dan aku masih berani untuk berjalan
diantara gelapnya lorong itu. Tapi kini, lentera itu seperti enggan menyala,
seperti padam karena usia yang terus menggerusnya, atau padam karena tak ada
lagi bahan bakar yang bisa membuatnya tetap menyala.
Aku kembali membuka
lembaran-lembaran yang telah dimakan usia, tampak berwarna lebih kuning, atau
ada sebagian yang berwarna cokelat. Ada beberapa noda hitam karena coretan, ada
beberapa noda yang tidak bisa dihapuskan.
Membacanya kembali,
seperti menarikku kedalam kisah yang indah. Penuh dengan kejutan, penuh dengan
drama dan rasa was-was. Aku pernah khwatir jurnal ini akan benar-benar menghilang,
aku pernah menulis begitu indah di dalamnya. Namun, memang tak bisa dipungkiri,
aku selalu menuliskan kalimat bermakna sakit dan derita di dalamnya.
Memang, hanya beberapa
lembar saja ku tuliskan semua kisah yang sebenarnya hanya berupa “fiksi” ini.
aku lebih membuatnya berwarna dengan menambahkan beberapa nada penyesalan dan
nada kegetiran. Ada saatnya ku buat begitu indah, penuh romansa, ada kalanya ku
tuliskan tentang kepedihan dan rasa sakit, ada beberapa intrik yang ku buat,
agar tampak dramatis, agar terdapat klimaks pada alurnya, pada kisahnya.
Entah, aku selalu bisa
mendapatkan ketenangan ketika ku menuliskan di dalam jurnal yang kini enggan
terbuka itu. Namun, tidak ku pungkiri, bahwa ada sedikit rasa tak percaya
mengakhiri kisah yang belum tuntas ini, atau memang lebih baik kisah ini
berakhir dengan penuh tanda tanya. Karena memang pada sudut pandangnya, tak akan
ada celah yang bisa kembali di tempati.
Jika waktu akhirnya
memutuskan untuk menyudahinya, maka aku akan melakukannya. Bukannya aku enggan,
namun memang sepertinya tidak akan ada waktu bagiku untuk kembali merasakan
cahaya yang ku tempatkan di sebuah sudut yang tidak bisa dijangkau oleh
siapapun, hanya aku. Dan kau tidak akan pernah terusik di dalamnya, di tempat
itu.
Hanya ada aku, kamu dan
secercah cahaya pesona senja, yang jingga merona, tampak elok ketika mata
memandangnya. Akan selalu ada cahaya itu di setiap menjelang petang. Dan aku
akan selalu menuliskan cerita tentang indahnya waktu itu pada jurnal baru ini,
diantara waktu siang dan malam, diantara batas yang tidak pernah kita lewatkan.
Bandung, 7 Agustus 2014
19.41 WIB
- Setelah Membacanya -